Natal, Cyril, dan Kekerasan: Sebuah Surat

If history teaches us anything, then, it is that humanity’s irrepressible religiosity is exceeded only by its incessant and unbearable cruelty”[1]

Yang terkasih, Cyril, Uskup Besar (Archbishop) di Alexandria, yang tetap teguh di dalam iman kepada Tuhan, salam di dalam nama Tuhan.[2]

Bulan Desember sudah lewat. Kami sudah melewati Natal – merayakan dan mengingat kembali kedatangan Anak Tunggal Allah, Yesus Kristus, membawa damai dan memperdamaikan dunia dengan Allah. Akan tetapi, kenyataan dunia akhir-akhir ini membawa ironi. Bukannya damai, tetapi kekerasan yang merajalela dan membawa banyak korban jiwa. Kalau kami sebutkan satu per satu, tak cukup kertas untuk menampungnya. Yang lebih menyedihkan, pemicu kekerasan bukan dimonopoli oleh kaum tak beragama, tetapi juga oleh banyak orang yang mengaku dirinya religius, bahkan sebagai pengikut Yesus Kristus, Sang Damai itu.

Entah kenapa kerisauan kami mengingatkan kami pada suatu masa, sekitar 1.600 tahun lampau, di mana saat itu engkau, Cyril, memerintah sebagai Uskup Besar gereja di Alexandria. Karena galau hati kami inilah, surat ini kami tuliskan sebagai pemaparan proses pergumulan yang kami mencoba untuk mengerti.

Sungguh hidup dan karyamu adalah contoh menakjubkan tentang sebuah niatan dan dedikasi yang mendalam akan dunia theologi dan gereja (ecclesiastical courses). Beberapa contoh bisa kami sebut tentang karyamu: Commentaries on St John Gospel, Isaiah, Luke, and the Minor Prophets,[3] belum lagi tulisan theologi yang engkau tulis tentang Trinity dan Christology.[4] Selain kumpulan karya yang mengesankan ini, engkau juga berhasil mengatur kehidupan gerejawi di wilayah Roma Timur selama lebih dari tiga dekade, walau dengan tantangan dari keuskupan Konstantinopel tetapi engkau tetap tanpa berkompromi menghajar tuntas segala ajaran sesat.[5]

Akan tetapi, dalam surat ini, kami ingin merujuk pada masa awal dari kepemimpinanmu, antara tahun 414 dan 428 AD. Pada masa ini, sejarahwan mencatat setidaknya empat gambaran gejolak yang terjadi di mana keterlibatanmu nampak baik secara langsung maupun tidak: penggrebegan dan penyitaan secara paksa gereja-gereja para pengikut Novatianist, kekerasan masal terhadap kaum Yahudi sekaligus pengusiran mereka besar-besaran dari kota Alexandria, bersitegang secara politis dengan Gubernur Orestes, dan pembunuhan keji terhadap seorang filsuf wanita, Hypatia.[6]

Banyak sejarahwan berusaha menjelaskan mengapa gereja saat itu terlibat dalam kekerasan tersebut. Ada yang mendukung, ada pula yang mengutuk. Pada mulanya, walaupun kami berusaha untuk mengerti keunikan konteks zamanmu dan kesulitan yang engkau hadapi sebagai “pemimpin muda”[7], kami tetap tidak menemukan dasar yang bisa menjustifikasikan penggunaan kekerasan dan kelaliman bahkan untuk kepentingan gereja.

Akan tetapi, janganlah heran, penggunaan kekerasan dan pertumpahan darah demi nama Allah bukanlah suatu hal yang asing dalam catatan sejarah. Beberapa hal bisa disebutkan di sini (walau mungkin engkau tidak awam dengan nama-nama mereka, bertahanlah untuk membacanya): abad ke-11 dan 13 di mana para prajurit perang Salib berparade menuju kota Yerusalem dan membunuh ribuan jiwa tak berdosa, periode Inkuisisi pada Abad Pertengahan merupakan masa gelap di mana banyak jiwa hilang tanpa alasan yang jelas, dan juga Perang Para Petani (Peasants’ Wars) yang terjadi setelah peristiwa reformasi di Jerman. Untuk insiden yang lebih kini, kami bisa juga mendaftarkan konflik religius di Sri Lanka, Serbia, Kashmir, Maluku, Rwanda, dan juga, katanya “Just War”, invasi Amerika di Irak.

Adanya “Myth of Redemptive Violence” – istilah yang dipakai Walter Wink untuk suatu pandangan yang menyatakan “that violence saves, that war brings peace, and that might makes right”[8], juga mengaburi pikiran dari banyak orang Kristen sepanjang sejarah. Ini diperparah dengan adanya tokoh tertentu yang mengaku dirinya religius dan pada saat yang sama tidak mendengarkan apa pandangan umum para orang Kristen. Invasi Amerika dan Inggris ke Irak adalah salah satu contoh. Pada tahun 2001, Presiden George Bush, yang mengaku dirinya orang Kristen lahir baru, memberikan argumen bahwa perang yang ia promosikan adalah “a war to defend civilization” dan Perdana Menteri Tony Blair memutuskan untuk menyertakan pasukan Inggris walaupun mendapat tentangan hebat dari gereja (Church of England).

Yang Terkasih, Uskup Besar Cyril, dengan amat sedih kami harus memberitahukan catatan ini kepadamu bahwa salah seorang ateis dan jurnalis dari Inggris, Christopher Hitches, bahkan mengatakan “the real ‘axis of evil’ is Christianity, Judaism, and Islam”.[9] Berdasarkan catatan panjang kekerasan yang terjadi, tidaklah dibutuhkan seorang intelektual untuk menghubungkan bahwa ada aspek kekerasan yang melekat dalam sistem agama, entah dikarenakan banyak kisah kekerasan di kitab suci agama tertentu ataupun janji kehidupan abadi yang menggiurkan setelah kematian seorang martir. Di pihak lain, ada juga yang berusaha mencoba menjelaskan bahwa harus dibedakan antara apa yang sebuah agama (termasuk kekristenan) ajarkan dengan apa yang dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya beragama (termasuk para orang Kristen). Kekristenan pada esensinya baik, sementara kekerasan yang muncul dari dalamnya bersifat impulsif, individual, terlokalisasi, dan merupakan penyimpangan dari ajaran asli.

Pada awalnya kami pun juga mengamini hipotesa tersebut. Apa yang terjadi di jalan-jalan Alexandria, di mana gerombolan rahib Nitrian menyeret tubuh tidak berdaya wanita bernama Hypatia, walaupun ada motivasi religi, hanyalah merupakan usaha brutal terbatas oleh para rahib untuk menunjukkan kepada masyarakat tentang superioritas kekristenan terhadap para kaum penyembah berhala. Argumen yang sama juga bisa diterapkan dalam kasus orang Kristen yang membalas dendam terhadap kaum Islam di Maluku, orang Kristen membunuh sesama Kristen di Rwanda, atau bahkan sekali lagi George Bush dan Tony Blair, yang memang Kristen, tetapi memimpin koalisi menginvasi Irak. Mereka semuanya pengecualian. Tidak seharusnya demikian kalau berdasarkan ajaran kekristenan yang sejati.

Akan tetapi, semakin kami memikirkannya, semakin kami berpendapat sama dengan Christopher Marshall yang mengatakan bahwa kedua alasan tersebut – satu pihak yang mengatakan kekerasan adalah bagian yang melekat dari suatu agama dan pihak lain yang mencoba membedakan antara esensi dan kenyataan suatu agama, bersifat reduksionis karena kedua alasan ini “fail to do justice to the complexity of human behaviour and to the socially integrated nature of religious convictions and practice”[10]. Dalam salah satu tulisannya ia juga mengutip hasil riset dari Bradford University pada tahun 2004 yang menyimpulkan bahwa “although armed conflict may take on religious overtones, their genesis is found in a complex matrix of crisscrossing and mutually exacerbating factors, such as economics, politics, resources, ethnicity, and identity, power struggles, inequality, oppression, and other historical grievances.”[11] Masalah agama tidak pernah berdiri sendiri karena agama selalu berinteraksi secara mendalam dengan berbagai faktor. Selain itu, rezim tidak beragama (seperti Mao di China sepajang Revolusi Kultural atau Stalin di Rusia atau Idi Amin di Uganda) kenyataannya telah membunuh lebih banyak jiwa dan membawa kekerasan yang lebih keji. Agama bukanlah satu-satunya sebab dari suatu kekerasan.

Akan tetapi, untuk mencegah kemungkinan terjadinya kekerasan, dalam agama apapun Christopher Marshall memberikan usulan yang menarik yaitu untuk melakukan Audit-Teror (Terror-Audit) yang ia definisikan sebagai “a fresh and honest assessment of its own historical, moral, and theological complicity in violence.”[12] Melakukan suatu pengecekan terhadap kemungkinan kekerasan yang bisa dipicu oleh suatu agama akan menolong memberikan kewaspadaan, peringatan, dan juga usaha pencegahan kemungkinan kekerasan itu terjadi.

Yang Terkasih Uskup Besar Cyril, kami menjadi yakin sekarang bahwa kurang adanya “Terror-Audit” pada masa awal kepemimpinanmu menyebabkan periode itu penuh dengan peristiwa kekerasan. Ini mungkin karena sebelumnya engkau telah terbiasa di pusat kekuasaan. Dipersiapkan selama sembilan tahun sebagai seorang lector oleh pamanmu, Theophilus, yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Uskup Besar, tidaklah mudah bagimu untuk melihat kekurangan yang ada dalam sistem gerejawi pada waktu engkau dilantik. Ini ditambah dengan kenyataan bahwa wilayah pengaruh gereja pada saat itu sangat besar dan mendalam ke seluruh aspek sosial. Belum lagi para parabalani[13], kelompok militan yang sangat setia memberi tambahan dukungan. Pada tahun 412 AD, sebagai Uskup Besar Alexandria, engkau memiliki kekuasaan yang hampir absolut. Kondisi ini mungkin menyesatkanmu kepada kebanggaan diri dan kehilangan sentuhan terhadap realita bahwa kota dan politik gereja masih sangat rentan pada waktu itu.

Oleh karena itu, kami hendak memberitahukanmu, bahwa semakin mutlak kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, semakin kecil perhatian yang ia akan berikan untuk melakukan “Terror-Audit” secara jujur dan mendalam. Seorang penulis, Vinoth Ramachandra, dengan singkat menyimpulkan bahwa, “at root, violence derives from the attempt to replace God with ourselves as individuals and as nations and to force others and the world to conform to our desires.”[14]

Yang Terkasih Uskup Besar Cyril, tidakkan engkau menyadari bahwa pamanmu sering dijuluki sebagai ‘Egyptian Pharaoh’[15]? Tidakkah engkau insyaf bahwa banyak yang bernafas lagi ketika engkau meninggal pada tahun 444 AD? Satu tulisan terkenal, oleh Theodoret, menggambarkan secara tepat sentimen ini: “At last with a final struggle the villain has passed away… Observing that his malice increased daily and injured the body of the Church, the Governor of our souls has lopped him off like a canker… His departure delights the survivors but possibly disheartens the dead; there is some fear that under the provocation of his company they may send him back again to us.”[16].

Oleh karena itu, kami harus setuju dengan apa yang dinasehatkan oleh Douglas Meek bahwa “never before have we needed so much the criticism of religion, but the most historically effective criticism of religion comes from within the religion itself.”[17] Dan untuk kita, Kitab Suci seharusnya menjadi cermin yang mengkritisi secara mendalam. Beberapa hal bisa diutarakan di sini sebagai refleksi. Perintah Ketiga dari Taurat dengan jelas mengatakan, “Janganlah engkau menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan.” Ini termasuk menggunakan nama Tuhan demi kepentingan dan kekejian yang kita lakukan. Nabi Yesaya juga membeberkan bahwa Tuhan tidak mendengarkan doa kita, “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya…” yang dikarenakan “sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yesaya 1:15-17) Dan Paulus pun dalam Kitab Roma mengkritisi: “Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu? Seperti ada tertulis, “Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain.” (Roma 2:23-24). Sudahkah firman Tuhan menjadi cermin yang menolong kita untuk melihat seperti apa kita dan seperti apa kita seharusnya menjadi?

Kami mencoba untuk berspekulasi sekarang. Jika dan hanya jika ada kerendahan hati (humility) untuk berefleksi dan belajar dari kesalahan masa lalu yang mungkin telah dilakukan oleh pamanmu, engkau mungkin bisa mencegah banyak pertumpahan darah kaum Novatian dan Yahudi. Jika dan hanya jika ada suatu integritas (integrity) yang berani untuk memusatkan diri pada hal-hal esensi dari fungsi gerejawi, engkau mungkin tidak terlibat dalam perseteruan politik yang tidak perlu dengan Orestes ataupun tergoda untuk memobilisasi tentara Jabalani-mu. Jika dan hanya jika ada kesederhanaan (simplicity) dalam benakmu, engkau mungkin bisa mencegah orang-orang menaikkan alis mata mereka karena melihat kekayaan gereja Alexandria yang luar biasa besarnya.[18]

Iya, ketiga karakter ini: humility, integrity, simplicity[19] adalah hal yang seyogyanya ada dalam masa awal kepemimpinanmu dan juga seharusnya dihidupi bagi seluruh pemimpin Kristen sepanjang zaman. Alangkah banyaknya kekekerasan dan pertumpahan diri yang bisa dihindari!

Oleh karena itu, kami menyetujui apa yang Miroslav Volf yakini bahwa “the cure against religiously induced or legitimized violence is not less religion, but in a carefully qualified sense, more religion.”[20] Dalam nada yang sama, Scott Appleby juga menyatakan bahwa bertentangan dengan pandangan umum, orang beragama yang menghidupi keagamaannya dapat memberikan kontribusi yang lebih kepada perdamaian. Ia menyebut mereka sebagai militan religi tanpa kekerasan (“nonviolent religious militants”) yang berfungsi untuk “plumb their respective religious traditions for spiritual and theological insights and practices useful in preventing deadly conflict or limiting its spread.”[21] Orang-orang seperti ini adalah obat penawar yang efektif terhadap racun cengkeraman kekerasan atas nama agama.

Yang Terkasih Uskup Besar Cyril, kami hendak mengakhiri surat kami dengan menyerukan tantangan dari Volf untuk melenyapkan segala kekerasan atas nama agama dari sejarah masa depan dengan mulai mempersiapkan para militan untuk perdamaian sejak sekarang: “If we strip Christian convictions of their original and historic cognitive and moral content, and reduce faith to a cultural resource endowed with a diffuse aura of the sacred, we are likely to get religiously legitimized and inspired violence in situations of conflict. If, on the other hand, we nurture people in historic Christian convictions that are rooted in sacred texts, we will likely get militants of peace.”[22]

Iya, sebagaimana seperti diutarakan di awal surat ini, semangat Natal di mana Kristus datang membawa damai harus merasuki setiap dari kita, para militan untuk perdamaian, sehingga kekerasan atas nama Allah dan pertumpahan darah yang telah terjadi pada zaman lampau tidak perlu terulang lagi.

“Hal-hal ini, oleh karena itu, kami tuliskan untukmu demi kasih Kristus, menasihatimu sebagai seorang saudara dan mendorongmu di depan Kristus dan para malaikat-Nya bahwa engkau juga akan berpikir dan mengajarkan hal-hal ini bersama kami, sehingga damai atas gereja-gereja dapat dilindungi dan persekutuan kasih terus tidak terputuskan antara sesama imam Allah.”[23]

Lisman Komaladi

Pemuda GRII Singapura

1 Christopher D. Marshall, “For God’s Sake: Religious Violence, Terrorism, and the Peace of Christ” (paper presented at the Micah Network Conference, Chiang Mai, Thailand, September 11-16, 2006), 9.

2 I adopt similar greetings Cyril used in his Letter no 1, written probably in his early years, taken from John I. McEnerney, St. Cyril of Alexandria, Letters 1-50 (Washington DC: The Catholic University of American Press, 1985), 13.

3 His other writings survived in fragments include the commentaries on Kings, Psalms, Proverbs, Song of Songs, Jeremiah, Ezekiel, Daniel, Matthew, Romans, 1 and 2 Corinthians, and Hebrews.

4 Especially his short treatise titled “That Christ Is One” and the letters to Nestorius. Both were latter immortalized in the proceedings of the Council of Ephesus and Chalcedon.

5 Norman Russell, Cyril of Alexandria (London: Routledge, 2000), 3.

6 Ibid, 7-9; McEnerney, St. Cyril of Alexandria, Letters 1-50, 1-12; John A. McGuckin, St. Cyril of Alexandria, The Christological Controversy (New York: St Vladimir’s Seminary Press, 2004), 7-14.

7 McGuckin in his book (p.15) quoted Wickham’s summary on the early crises of Cyril administration: “The facts are not to be denied. The picture they yield is not one of a fanatical priest, hungry for power, heading a howling mob, but of an untried leader attempting, and initially failing, to master popular forces”.

8 Walter Wink, The Powers That Be: Theology for A New Millenium (New York: Doubleday, 1998), 42.

9 Christopher Hitchens, quoted in Vinoth Ramachandra, Subverting Global Myths (Downers Grrove, Illinois: InterVarsity Press, 2008), 75.

10 Marshall, “For God’s Sake: Religious Violence, Terrorism, and the Peace of Christ”, 7.

11 Greg Austin, Todd Kranock, & Thom Oommen, quoted in Marshall, “For God’s Sake: Religious Violence, Terrorism, and the Peace of Christ”, 8.

12 Ibid, 16.

13 Initially Parabalani is originally a group of able-bodied men who acted as hospital porters and ministered to the sick in a form of early Christian guild of hospital.

14 Ramachandra, Subverting Global Myths, 84.

15 Russell, Cyril of Alexandria, 6.

16 Theodoret, quoted in John J. O’Keefe, St Cyril of Alexandria, Festal Letters 1-12, trans. Philip R. Amidon (Washington: The Catholic University of America Press, 2009), 3-4.

17 M. Douglas Meeks, “What Can We Hope for Now?” in Strike Terror No More: Theology, Ethics, and the New War, ed. John Berquist (St. Louis: Chalice Press, 2002), 261.

18 Russell, Cyril of Alexandria, 10.

19 I am indebted to Christopher Wright as he pointed these three virtues in his excellent talk on October 23, 2011 in one of the plenary sessions at the recent 3rd Lausanne Congress for World Evangelization, Cape Town, South Africa (Oct 17-24, 2010). Video can be downloaded at http://conversation.lausanne.org/en/conversations/detail/11556 .

20 Miroslav Volf, “Guns and Crosses”, Christian Century, May 17, 2003, under “Faith Matters”, http://www.christiancentury.org/article/2003-05/guns-and-crosses [accessed on Nov 3, 2010].

21 R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation (New York: Rowman & Littlefield, 2000), 6-7.

22 Volf, “Guns and Crosses”.

23 I again adopted similar closing regards as Cyril used in one of his letters to Nestorius: http://www.monachos.net/content/patristics/patristictexts/134-cyril-of-alexandria-second-epistle-to-nestorius [accessed on Nov 3, 2010]