You ask me…

Sebuah lagu yang sering dinyanyikan pada waktu Paskah, “He Lives” adalah sebuah respon dari pertanyaan orang yang tidak percaya, “You ask me how I know He lives.” Pertanyaan ini, yang menuntut pembuktian fakta kebangkitan tubuh Kristus, adalah salah satu dari banyak ungkapan zaman modern akan penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang supernatural dan melampaui rasio manusia. Modernisme, humanisme sekular, rasionalisme, sekularisme, atheisme, ideologi Marxisme, komunisme; semua “isme-isme” ini telah menjadi musuh besar kekristenan dan menyusup masuk ke dalam gereja dengan nama liberalisme.

Sekarang humanisme sekular, yang mengatakan bahwa “Allah sudah mati”, sudah mati. Namun hal ini tidak berarti bahwa tahta dunia ini diserahkan kepada kebenaran Allah yang sejati. Liberalisme yang sudah memasuki gereja dan membuang segala unsur yang tidak dapat dibuktikan akal manusia, tidak mengangkat tangan dan menyerahkan senapan mereka, melainkan membuka pintu lebar-lebar bagi panser dan rudal nuklir. Yang lebih gawat lagi adalah rudal tersebut ditempeli stiker salib dan pansernya mengumandangkan lagu-lagu Kristen. Nyalakan lampu panggung bagi neo-paganisme.

Apa itu neo-paganisme? Paganisme adalah praktek-praktek penyembahan berhala atau penyembahan kepada obyek yang salah, ciptaan sebagai ganti Pencipta. Kita mungkin membayangkan orang-orang zaman dulu yang menari-nari sekeliling sebuah patung, dan berpikir hal semacam itu sudah lewat ditelan perjalanan sejarah umat manusia. Masakan manusia yang sudah mengalami kemajuan selama beribu-ribu tahun masih sebegitu bodohnya?

Sebuah website pagan di internet saat ini (Center for Sacred Sciences) menjelaskan posisi theologi mereka. Point pertama adalah the ultimate reality cannot be grasped by thought or expressed by words. Kedengarannya benar, bukan? Jika seorang hamba Tuhan mengatakan “Realita ultimat terlalu besar untuk rasio dan kata-kata”, kemungkinan besar jemaat tidak akan protes. Namun apa yang sebetulnya dikatakan di sini adalah pentingnya eliminasi rasio dan kata-kata. Rasio dan kata-kata tidak boleh dipakai karena secara definisi rasio dan kata-kata membuat perbedaan (point kedua). Motto monisme (nama dari paganisme zaman ini) dalam usahanya menyingkirkan perbedaan Pencipta dan ciptaan berbunyi “semua adalah satu.” Tetapi semua tidak mungkin menjadi satu, selama saya membedakan komputer tempat saya menulis, kursi tempat saya duduk, dan listrik yang memungkinkan saya bekerja di malam hari. Mungkin bagi pembaca modern hal ini konyol; jika saya dan arus listrik itu satu maka pasti artikel ini tidak mungkin sampai ke tangan saudara karena saya entah ada di rumah sakit atau rumah duka. Namun saya bisa mengatakan kepada saudara bahwa neo-paganisme sudah menyatakan hal-hal yang lebih tidak masuk akal lagi dan dunia mempercayainya.

Tentu saja, jika rasio dibuang, dunia akan menerima banyak hal yang absurd. Mungkin barulah pada saat itu kita menyayangkan betapa selama ini kita kurang bersyukur dan bertanggung jawab untuk anugerah kemampuan berpikir manusia yang diberikan oleh Tuhan, dan yang harus dipakai secara maksimal dalam responnya kepada Allah! Tetapi pendulum dalam sejarah pemikiran manusia memang hanya bisa berjalan bolak-balik dari rasionalisme kepada irasionalisme, dan saat ini trend-nya adalah membuang pikiran.

Mengapa monisme bisa menjadi “thespirituality? Salah satu pembuka jalan bagi monisme adalah materialisme dunia modern yang tidak mengizinkan spiritualitas apapun juga. Tapi hal itu tidak dapat mengubah kenyataan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk religius. Masalahnya sekarang spiritualitas yang menguasai dunia mengakibatkan kita harus membuat perbedaan yang tajam mengikuti contoh Rasul Paulus; bukan antara orang percaya dan tidak percaya, tetapi di antara semua orang yang memang semuanya adalah orang percaya, hanya perbedaannya percaya kepada siapa atau apa.

Dan sama seperti liberalisme Kristen, trend zaman ini masuk ke gereja dengan penampilan dan bau Kristen (kalau hal semacam itu ada) dan dibutuhkan wahyu ilahi untuk bisa mengenali serigala dari domba. Satu contoh berkaitan dengan event Paskah yang lagunya kita bahas di atas tadi. Zaman ini tidak lagi menanyakan fakta kebangkitan Kristus, tetapi sesuai dengan subyektivitas yang ada di mana-mana, “Apa makna Kristus hidup bagi saya pribadi?”

Dalam usaha menjawab pertanyaan ini, saya mengambil satu kalimat khas Reformed yang sering didengungkan, “Tiada kebangkitan tanpa salib.” Jadi untuk mengerti makna kebangkitan kita perlu melihat kembali kepada salib.

Minggu sengsara tahun ini meninggalkan kesan yang dalam bagi saya lewat dua program Pemahaman Alkitab; pada hari Kamis sebelum Jumat Agung, dan pada hari Jumat Agung itu sendiri. Pada hari Kamis di GRII Karawaci dibahas mengenai perjalanan Tuhan Yesus dari seminggu sebelum Ia disalibkan. Pada hari Jumat di Tanah Abang dibahas hubungan yang sangat signifikan antara kematian Kristus dan perayaan Paskah dalam Perjanjian Lama yang adalah bayang-bayang dari Korban Ultimat sang Anak Domba. Saya masih ingat pertanyaan yang tidak bisa-bisa saya jawab dan yang tidak mau hilang-hilang juga berkenaan dengan kesengsaraan Kristus. Mengapa Dia melakukan semua itu? “Karena Dia mengasihi saya;” jawaban yang paling cepat muncul. Berikutnya “Untuk menebus umat pilihan.” “Karena Ia taat kepada Bapa.” “Untuk propisiasi murka Allah.” “Karena Bapa sudah menetapkan hal itu.” “Untuk mengalahkan maut.” “Karena hanya Kristus dengan natur manusia dan ilahinya yang mungkin menyelamatkan manusia.” Karena, karena, karena. Untuk, untuk, untuk.

Namun pada saat itu jiwa saya tidak menginginkan kata-kata, melainkan hanya diam terperangah di bawah salib dan bertanya, bertanya, dan sekali lagi bertanya. Mengapa Dia melakukan semua itu? Semua jawaban di atas benar secara dogmatis, tetapi tidak ada dari jawaban itu yang mengenali pertanyaan yang sedalam-dalamnya. Saya orang berdosa, saya tidak layak mendapat semua itu, saya bahkan tidak layak mendengar berita kematian Kristus di salib untuk saya, saya yang berdosa ini! Mengapa? Mengapa Dia melakukan semua itu?

Lalu apa? Mungkinkah waktu saya tenggelam dalam keharuan mengingat Yesus yang disalib, diliputi emosi yang intens, tersentuh oleh cinta-Nya buat saya; sebetulnya semua itu sama sekali bukan spiritualitas yang ber-Tuhan? Saya sibuk dengan apa yang dikerjakan-Nya buat saya, perasaan yang muncul dengan kesadaran itu dalam diri saya, betapa Dia mencintai saya, saya, saya, dan sekali lagi saya. Tetapi siapa yang mungkin menegur seseorang yang berlinang air mata ketika mendengar sekali lagi peristiwa Jumat Agung? Kemungkinan besar sekali orang Kristen melihat hal ini semata-mata sebagai bukti spiritualitas Kristiani sejati, namun perbedaannya terlalu tipis untuk dicerna dengan mata.

Gereja-gereja Injili sibuk dengan aspek sentimental dan subyektif dari kekristenan; betapa Yesus sudah menyelamatkan saya, bagaimana Ia adalah Juruselamat pribadi saya, teman saya, saya, saya, dan sekali lagi saya.

Gereja Injili membuat kesalahan mereduksi iman Kristen menjadi sesuatu yang hanya sentimental dan subjektif. Kerohanian Kristiani hanya dipandang dari satu sudut yakni Kristus yang mencintai saya, Juruselamat pribadi saya, Sahabat saya, lagi-lagi saya, saya, dan sekali lagi saya. Memang tidak ada yang salah dengan aspek personal iman kita, toh Allah kita memang Allah yang merupakan suatu pribadi, dan bukan ilah yang impersonal dalam paganisme. Namun waktu fokus kita bergeser dan diri kita di-zoom sampai memenuhi seluruh semesta, kita sudah mempraktekkan spiritualitas yang tidak bertuhan. Perbedaannya memang sangat tipis dan sulit ditangkap oleh mata.

Saya terpaksa harus memberikan contoh dari pengalaman pribadi saya lagi. Waktu saya menulis sebuah artikel dan sangat ingin supaya artikel tersebut memiliki kualitas yang baik, siapa yang tahu apakah itu disebabkan ketaatan dan tanggung jawab di hadapan Tuhan, atau semata-mata untuk memuaskan diri saya? Sewaktu saya menjalankan pelayanan dengan keinginan untuk mengerjakan sesuatu yang bermutu, siapa yang tahu itu ambisi untuk Tuhan atau untuk diri? Sekali lagi, perbedaannya sangat tipis, namun kita bertanggung jawab untuk menguji diri kita dalam hal ini.

Daya tarik diri memang terlalu besar. Dan paganisme terlalu pandai dalam memanfaatkan hal ini. Sebuah buku dari tokoh pagan, Shirley Mclaine, diberi judul yang mengilustrasikan ciri paganisme dengan jelas, “Going within.” Masuk ke dalam diri, karena diri adalah ilahi dan hanya memerlukan pencerahan untuk mengingat bahwa dirinya itu ilahi. Tanpa harus mengenal paganisme, kita semua tahu betapa terobsesinya kita mengenai diri kita sendiri. Kita tidak bisa lepas dari daya tarik diri; pengalaman saya, pengetahuan saya, kegagalan, keberhasilan, perasaan, masalah, kemenangan, selera, pendapat saya mengenai segala sesuatu, pendapat orang lain mengenai diri; segala detil-detil yang paling kecil mengenai diri kita sendiri menyibukkan kita tak habis-habisnya. Kita benar-benar bisa masuk ke dalam diri kita, terus masuk dan tidak menemukan batas; bukan karena kita begitu indahnya tetapi justru karena begitu bobrok dan rusaknya kita. Kegelapan jiwa manusia berdosa, kelicikan hati, kejahatan pikiran, semua itu adalah jurang yang tak berdasar, gua yang tidak ada ujungnya, kalau bukan anugerah Allah yang membatasi, “Stop, hanya sampai di sini saja kejahatanmu.”

Selain kejahatannya yang tidak ada habis-habisnya, keinginan manusia berdosa juga tidak pernah puas dan kenyang. Setelah satu keinginan dipenuhi, yang muncul kemudian adalah keinginan yang berikutnya. Sungguh, salah satu hal yang paling celaka bagi seseorang adalah kalau ia bisa mendapatkan semua yang ia ingini, karena ‘mendapatkan’ pun hanya akan membuatnya makin penasaran. Kecuali manusia mendapatkan Allah sendiri; yang tak terbatas untuk memenuhi lubang jiwa manusia yang tidak habis-habisnya menuntut, manusia akan semakin sengsara dengan terpenuhinya keinginannya.

Paganisme memanfaatkan hal ini. Self-improvement atau perbaikan diri, pencarian the higher self, pembebasan diri dari penderitaan… Siapa yang tidak ingin semua itu? Melihat iming-iming spiritualitas yang bisa membuat saya lebih baik, lebih bijaksana, lebih menguasai diri, lebih bisa mengatur waktu, lebih rajin, lebih tenang, lebih bahagia, lebih puas, siapa yang tidak akan tergiur dan meneteskan air liur? Tapi pertanyaannya, apa yang Kristiani mengenai semua itu?

Kita adalah makhluk yang berdosa, dan semakin kita mengenal standar kesucian Allah yang sama sekali berbeda dari standar moralitas manusia, kita tidak akan semakin senang dengan diri kita. Bukannya kita tidak bertumbuh menjadi lebih suci dalam proses pengudusan, tetapi kita akan dibawa untuk melihat diri kita dari kacamata Allah. Selain itu kita tidak hanya akan melihat diri saja, tetapi melihat segala sesuatu dengan proporsi yang benar, alias Allah yang besar, dan kita yang kecil. Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan supaya kita mencapai kerohanian yang benar?

Pertanyaan ini pun perlu kita cermati. Spiritualitas paganisme memiliki banyak sekali teknik-teknik untuk membawa diri masuk ke dalam keadaan mistikal, dan teknik-teknik itu sungguh bekerja. Namun dalam kekristenan tidak ada resep yang hasilnya pasti selalu sama setiap waktu, setiap tempat, setiap pribadi. Ada doa-doa yang dijawab, ada yang dijawab dengan “tidak”. Membaca firman Tuhan kadang begitu menguatkan, waktu yang lain lagi begitu kering. Menyanyikan lagu pujian bisa menyentuh hati kita yang terdalam, bisa juga hanya lewat begitu saja. Kalau hasilnya yang kita cari, kita akan sering kecewa. Jadi apa yang harus kita kerjakan? Ketaatan. Di dalam saya menulis artikel, atau mengerjakan pelayanan, berdoa, membaca firman Tuhan, mendengarkan khotbah, belajar, makan, tidur, semua dikerjakan bukan untuk “mencapai kerohanian yang lebih tinggi”, “menjadikan diri saya lebih baik”, bukan, melainkan semata-mata untuk menaati Tuhan. Sering saya ingin mengetahui prestasi saya, berapa banyak yang sudah saya kerjakan, apakah meninggalkan hasil pada orang yang dilayani, tetapi bukan itu standar pengukurannya. Apakah saya sudah menaati Tuhan, melakukan yang Tuhan mau saya kerjakan, mengerjakan yang terbaik? Itulah satu-satunya yang penting.

Kiranya kebangkitan Kristus terus mengingatkan kita, kita yang sudah mati dalam dosa diberikan anugerah yang menghidupkan, supaya kita jangan terjatuh ke dalam jerat diri, tetapi boleh terus taat kepada Allah yang besar!

Tirza Juvina Rachmadi

Pemudi GRII Karawaci

Note: Seluruh artikel ini diinspirasikan oleh kuliah “Understanding Contemporary Paganism in Christian Renewal” di Institut Reformed Jakarta, 24-28 Maret 2008.