Harga BBM pada Hari Jumat Agung

Beberapa hari ini, Indonesia dilanda oleh beberapa gelombang demonstrasi yang semakin besar
menjelang pengetukan palu di DPR perihal harga BBM. Karena aksi protes sudah semakin hebat,
banyak orang menunggu saat-saat terakhir itu dengan rasa tegang. Dikhawatirkan jika DPR
menggolkan usul pemerintah, aksi demontrasi dapat menjadi semakin hebat. Akhirnya gelombang
unjuk rasa tidak semakin besar pada hari-hari setelahnya karena DPR dan pemerintah setuju untuk
menunda kenaikan harga BBM.

Seperti yang telah kita ketahui, konflik antara pemerintah dan rakyat ini dilatarbelakangi oleh
harga minyak dunia yang terus meningkat. Pemerintah merasa sudah tidak sanggup menanggung
biaya konsumsi BBM rakyatnya seperti sekarang dan ingin mengurangi subsidinya. Jika terus-
menerus menyubsidi, uang pemerintah habis hanya untuk itu dan tidak dapat mengembangkan
pembangunan di bidang lain.

Di sisi lain, para demonstran merasa pemerintah harus mati-matian menyubsidi rakyatnya apa pun
yang terjadi. Ini karena rakyat tidak mempunyai uang untuk membayar semua biaya BBM yang
mereka perlukan dan gunakan secara rutin. Belum lagi, harga-harga barang yang lain akan ikut naik
dengan naiknya harga BBM. Rakyat yang sudah miskin akan semakin tercekik lagi.

Sadar atau tidak, baik pemerintah maupun rakyat semakin merasakan makna dari kata “mahal”
dan menghidupinya. Harga BBM yang mahal membuat kedua pihak sama-sama pusing. Sama-sama
merasa tidak kuat menanggung beban “mahal”. Kata itu dapat menggerakkan palu pemerintahan.
Kata itu juga dapat menggerakkan amarah dan aksi rakyat.

Dengan latar belakang seperti ini, umat Kristen pada tahun ini memperingati hari Jumat Agung. Hari
Jumat ini, kita akan mengingat kembali pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, yang dilakukan-
Nya karena cinta kasih-Nya kepada umat manusia. Mungkin berita seperti ini sudah sangat sering
didengar oleh sebagian orang Kristen, sehingga sudah menjadi biasa. Namun, konteks yang Tuhan
izinkan terjadi di Indonesia kiranya mengingatkan kepada kita kembali makna dari “mahal”. Saya
percaya kita akan mulai merasakan arti kata itu jika kita harus membayar Rp. 100.000,- untuk satu
liter bensin. Bayangkan saat itu betapa sakitnya hati kita setiap kali keluar dari SPBU.

Namun, apalah itu BBM jika dibandingkan dengan mahalnya darah Yesus Kristus? Pernahkah
kita bayangkan sakit hati Allah Bapa ketika melepaskan Anak-Nya yang Tunggal ke bumi untuk
mencurahkan darah bagi umat manusia, yang ketika itu masih musuh-Nya? Apa perasaan Allah
Tritunggal ketika darah Yesus yang paling mahal baik di bumi dan di sorga itu mulai menetes setitik
demi setitik dari atas kayu salib? Pada hari Jumat Agung, mari kita renungkan betapa mahalnya
darah Yesus yang dicurahkan, dan mari kita hidup dengan ucapan dan perbuatan syukur kepada-
Nya. Sudahkah mahalnya darah Yesus yang dicurahkan menggerakkan akal budi, perasaan,
kehendak, dan aksi kita?