Judul: Hermeneutik: Bagaimana menafsirkan Firman Tuhan dengan tepat?
Penulis: Gordon D. Fee & Douglas Stuart
Penerbit: Yayasan Penerbit Gandum Mas
Tebal: xii + 276 halaman
Cetakan: pertama
Dulu waktu di sekolah, pelajaran yang saya selalu dapat nilai merah atau paling tidak perbatasan di angka 6, adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Guru selalu mengajar, ”Kamu tidak bisa membaca karya sastra seperti kamu membaca koran, demikian juga cerita hikayat tidak bisa dipersamakan dengan misalnya karya biografi seseorang. Setiap jenis ada cara membaca dan memahami yang berbeda-beda karena memang gaya dan tujuannya berbeda. Ngerti anak-anak? Jelas aja nilai kalian merah terus, masakan karya Chairil Anwar dibaca secara literal!”
Rupanya sekarang pun banyak orang Kristen ketika membaca Alkitab nilainya masih merah terus, karena mungkin mereka lupa Alkitab adalah kumpulan 66 buku dengan genre yang berbeda-beda: sejarah, silsilah keturunan, aneka jenis syair, amsal, teka-teki, narasi, maupun nubuatan. Atau juga mungkin mereka tidak mau repot mencoba mengerti secara saksama, baca semuanya dengan sama saja, tanpa pandang bulu.
Bagi sebagian orang, kata “hermeneutik” mungkin terdengar sangat asing, namun buku yang ditulis oleh dua profesor theologi ini sekaligus memberikan sub-judul sebagai penjelasannya. Mereka, di awal buku ini, sudah memberikan PR (pekerjaan rumah) kepada setiap orang yang bersungguh-sungguh ingin mengerti apa yang menjadi makna dan maksud dari firman Tuhan ketika mereka membacanya, “Kita mempunyai dua tugas: Pertama, mengetahui, apa arti teks itu semula; tugas ini disebut exegesis (penafsiran). Kedua, kita harus belajar mendengar makna yang sama dalam berbagai-bagai konteks yang baru atau yang berbeda pada zaman kita ini; tugas kedua ini disebut hermeneutic.” (halaman xi dalam bagian prakata)
Kedua profesor tersebut ternyata bukanlah “guru killer” seperti guru bahasa saya dulu karena walau mereka memberikan PR yang jelas sulit namun mereka memberikan alat bantu dalam mengerjakan PR tersebut. Menafsirkan Alkitab secara tepat dan bertanggung jawab bukanlah seperti suatu teka-teki melainkan seperti menjelajah hutan yang penuh dengan keindahan namun setiap yang masuk ke dalamnya tentunya perlu membawa kompas, alat-alat bantu lainnya. Alat bantu apakah yang mereka sarankan? Menurut mereka alat bantu yang utama adalah suatu terjemahan Alkitab yang baik (baik itu dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris). Dulu saya tidak bisa menjawab dan menjelaskan dengan saksama ketika ditanya kenapa Bible mempunyai begitu banyak versi misalnya New International Version (NIV), King James Version (KJV), New American Standard Bible (NASB), Living Bible, dan banyak lainnya. (Alkitab bahasa Indonesia lebih sedikit secara jumlah, yang dikenal dan dipakai secara umum biasanya terbitan LAI – Terjemahan Baru dan Bahasa Indonesia Sehari-hari). Bab kedua buku ini memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dengan tuntas dan mendalam. Tentunya ini akan sangat membantu pembaca bukan hanya dalam menentukan pilihan namun juga mengerti mengapa kita memerlukan beberapa terjemahan sekaligus sebagai perbandingan dalam kita mencoba mengerti lebih mendalam dari arti dan maksud suatu teks dalam Alkitab.
Sebagian besar dari buku ini membahas mengenai berbagai macam gaya sastra alkitabiah yang dibahas dalam bab yang berbeda sesuai pengelompokan mereka misalnya surat-surat kiriman, hikayat perjanjian lama, kitab-kitab Injil, perumpamaan, taurat, kitab nabi-nabi, kitab mazmur, kebijaksanaan, dan kitab wahyu. Mereka memang dari awal menunjukkan maksud mereka bahwa perbedaan itu penting sekali dan seharusnya mempengaruhi cara seorang membacanya dan bagaimana mengerti beritanya untuk masa kini.
Bagi yang membaca sampai sini sudah terbersit pikiran “Koq repot amat yahh, saya kan bukan seorang ahli theologi atau murid seminari; saya cuma orang awam biasa.” Jangan langsung berprasangka buruk, walau penulisnya adalah dua profesor theologi ternama namun mereka memang menujukan buku ini untuk dibaca oleh kaum awam. Di halaman 2 ditulis, “Tujuan penafsiran yang baik adalah sederhana: menemukan pengertian yang jelas dari teks itu. Dan faktor yang paling penting yang dapat kita sediakan untuk tugas itu adalah pikiran sehat yang sudah diterangi Tuhan.” Mereka mengakui kita tidak perlu menjadi seorang ahli Alkitab untuk bisa mengerti Alkitab. Kalau kita ingat bahwa Alkitab adalah firman Tuhan yang Ia wahyukan bagi umat-Nya, masakan Ia tidak akan menerangi pikiran kita yang haus datang mencari pengertian dari Firman-Nya? Bukankah Ia Allah yang menyatakan diri-Nya? Datanglah dengan penuh keberanian menghampiri takhta kuasa-Nya yang suci dan mulia!
Pembahasan dari buku ini, yang sangat kaya dan mendalam namun mudah dimengerti, sekaligus penuh banyak contoh-contoh kasus di setiap babnya, akan memberikan setiap pembacanya ketrampilan yang memadai dalam menafsirkan firman Tuhan dengan tepat. Saya heran sekarang banyak orang yang ikut kelas “table manner” yang isinya menjelaskan kita harus pakai sendok atau garpu yang mana untuk makanan yang mana, karena kalau salah pakai kita akan dicap sebagai “kurang manner” atau ”kurang beradab”. Untuk suatu dinner yang menurut mereka elite dan bergengsi (sedangkan menurut saya kurang berguna), mereka tidak berpikir panjang harus menghabiskan banyak waktu dan uang untuk belajar menggunakan alat makan yang sesuai untuk makanan yang berbeda. Maka orang Kristen yang saat teduh setiap hari membaca firman Tuhan sebagai makanan rohani mereka, tidak mau dan tidak rela memperlengkapi diri untuk menggunakan “alat makan rohani” yang tepat? Gak beradab ahh!
Semoga semua pembaca yang selesai membaca buku ini tidak lagi mendapatkan nilai merah dalam ujian rohani!
Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR