A Brief History on Calvin Theology in Public Square (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya, penulis telah memaparkan perkembangan bibit-bibit pemikiran tentang demokrasi dan republikanisme sejak zaman Musa hingga memasuki Abad Pertengahan di Inggris. Perkembangan ini penting diketahui ketika kita ingin membahas theologi John Calvin khususnya dalam ranah publik, sebab pembentukan konsep Calvin dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang telah menetas sebelumnya. Selain itu, perkembangan tersebut melatarbelakangi keagungan pemikiran Calvin dalam ranah publik.

Pada artikel kali ini, penulis akan meneruskan pembahasan mengenai konteks sejarah yang mempersiapkan ledakan di zaman Reformasi, yang dipuncakkan oleh Calvin, sehingga pengaruhnya dapat mendunia bahkan masih dirasakan hingga saat ini. Artikel ini juga akan membahas sebagian buah pikiran Calvin yang menjadi fondasi dalam konsep demokrasi dan republikanisme.

Setting in 14th to 16th Century in Europe
Pada masa ini, ketegangan antara gereja dan negara yang telah dipicu sejak abad-abad sebelumnya menjadi semakin terlihat. Kelemahan dari institusi-institusi yang ada, mencerminkan kondisi sosial yang memburuk. Pemerintah sipil menjadi ajang Kaum Bangsawan (Nobles) untuk melakukan korupsi. Kebebasan rakyat menjadi sangat sulit didapatkan. Sayangnya perilaku demikian mewabah juga dalam pemerintahan eklesiastik. Jabatan dan otoritas digunakan untuk menentukan apa yang benar dan salah, tidak lagi bersandar kepada Alkitab sebagai sumber kebenaran. Menggunakan nama Tuhan dan gereja untuk praktik ego-maniak adalah kegiatan yang dijumpai sehari-hari.

Kerusakan ini, yang terus akan bertumbuh dan memicu Martin Luther untuk memakukan 95 tesisnya di pintu gerbang Gereja Kastil (Schlosskirche) Wittenberg, ternyata sejak abad ke-14 sudah mengundang reformasi-reformasi kecil di kota-kota Eropa. Salah satu bentuk reformasi awal dilihat dari gerakan Renaisans awal yang, sebagiannya, merupakan ekspresi humanisme yang membutuhkan reformasi di bidang ekonomi dan politik. Perkembangan institusi-institusi seperti serikat pekerja menjadi beralih ke arah pasar bebas. Hierarki dalam sistem feodal menjadi batu yang dianggap menghalangi perkembangan rakyat untuk maju. Hal-hal ini menjadi spektrum yang mulai mewarnai pra-modernisme untuk berubah dari monarki menuju egalitarianisme. Renaisans awal, yang berkembang di Italia terlebih dahulu, memengaruhi kota-kota sekitar sehingga kemajuan dalam sistem-sistem politik di dalamnya menjadi persiapan jalan bagi pemikiran Calvin. Kota yang dapat diperhatikan adalah seperti Florence, Venice, Milan. Namun, sama seperti pembahasan sebelumnya, kota ini pun tidak dapat konsisten mempertahankan eksperimentasi mereka menjadi kota demokrasi dan republik. Demokrasi yang tidak bertahan lama itu dengan segera berubah menjadi oligarki dan tidak banyak lagi negara bagian di Eropa yang berusaha mereformasi dirinya menuju kedaulatan rakyat pada zaman itu.

Swiss
Berbeda dengan beberapa demokrasi modern, iman dan politik di Swiss memiliki sejarah yang panjang dan adanya manfaat dari interaksi antar satu dengan yang lain. Swiss pada Abad Pertengahan, sama seperti negara-negara Eropa yang lain, masih berupa negara-negara bagian yang dipimpin oleh otoritas-otoritas lokal, seperti pendeta. Baru pada abad ke-13 dibentuk konfederasi awal yang mirip dengan zaman sekarang, yaitu konfederasi republik pertama dalam sejarah modern. Tindakan ini begitu berani, sebab menjadi sebuah konfederasi berarti maju melawan tradisi untuk memperkembangkannya lebih lanjut. Terlebih lagi, perlawanan ini melawan kekuasaan raja Jerman pada zaman itu yaitu Albert, setelah ayahnya, Rudolf I, meninggal pada tahun 1291. Konfederasi ini yang hanya terdiri dari tiga komunitas kecil yaitu Uri, Schwyz, dan Unterwalden, bersama-sama memulai suatu pakta pertahanan untuk membela satu dengan yang lain dalam menghadapi serangan dari luar, Jerman dan Austria.

Istilah konfederasi pertama kali muncul dalam sumpah yang disahkan sebagai dasar republikanisme di Swiss. Dimulai dengan “Dalam nama Allah, Amin,” seperti Perjanjian Lama, dan berdiri untuk “bertahan selamanya, jika Allah menghendaki”. Istilah ini pun yang menjadi sebutan bagi kelompok pada zaman Calvin, kaum Huguenots. Betapa indahnya melihat adanya integrasi antara kepercayaan politik dan komitmen religius.

Selain demikian, tiga kota yang kecil yang berani ini mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi yang langka ketika konteks itu. Melalui sistem tersebut, konfederasi ini berusaha mempertahankan otonomi atas masalah-masalah intern dan menjaga kesatuan untuk melawan ancaman dari luar. Berhasilnya konfederasi ini memukul balik pasukan-pasukan Austria, menarik minat kota-kota sekitar untuk bergabung dalam konfederasi ini. Kota-kota tersebut antara lain: Zurich, Glarus, Zug, Bern, dan lain-lain. Para anggota konfederasi ini pun mulai bereksperimen dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda, seperti contohnya Zurich mengadakan suatu pemerintahan dengan dewan yang terdiri dari 36 burgher. Sedangkan Bern, memiliki suatu Dewan Besar Dua Ratus yang nantinya akan ditiru Jenewa pada zaman Calvin. Ada juga yang berusaha mengadopsi sistem demokrasi langsung seperti di Athena. Namun, perkembangan yang sangat baik adalah setiap kota mulai terlepas dari cengkeraman monarki, dan masuk ke masa depan yang menjamin kebebasan dalam bermasyarakat.

Konfederasi dan perjanjian ini menjadi perintis struktur-struktur perjanjian yang bakal berkembang menjadi sesuatu yang dahsyat lagi setelah adanya Reformasi. Menjelang abad ke-15, komunitas seperti Appenzell dan St. Gallen juga diterima di Konfederasi Swiss. Bahkan, mereka juga memiliki perjanjian-perjanjian dengan beberapa kota imperial Jerman dan Perancis. Hingga tahun 1513, tiga belas kota lainnya, termasuk Fribourg dan Basel, bersekutu dengan konfederasi dan menjadi panggung bagi Martin Luther dan Huldrych Zwingli.

Bukankah Allah yang begitu agung juga adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya supaya kehendak-Nya yang mulia itu terlaksana? Kita dapat melihat bahwa konteks sejarah pun bergulir seperti batang air di tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini. Dibuat-Nya sedemikian rupa menjadi latar yang sesuai bagi Luther dan Calvin yang diusung-Nya menjadi jenderal garis depan untuk memimpin perubahan kebudayaan yang dahsyat. Peperangan yang dimulai oleh Konfederasi Swiss akan menjadi peperangan yang mendunia melalui pemicu yaitu Reformasi. Dari melawan otoritas suatu monarki, menjadi melawan otoritas kuasa kegelapan dalam dunia. Dari membangun tradisi konfederasi yang baru, menjadi membangun kebudayaan Kerajaan Allah di tengah dunia. Dari peperangan fisik, akan menjadi peperangan konsep, intelek, melawan pemikiran dunia yang tidak tunduk di bawah kaki Kristus.

Seperti yang dimulai dari sebuah kalimat, “Dalam nama Allah, Amin,” Reformasi dimulai dari pernyataan Luther, “Here I stand.” Berkembangnya peperangan menjadi hal yang mendunia, maka perlengkapan senjata pun menjadi modal yang krusial. Melawan sebuah kota atau kerajaan memerlukan senjata, apalagi melawan seluruh dunia. Tak mungkin maju berperang tanpa memperlengkapi pasukan dengan senjata yang memadai. Di mana besi dan baja tak lagi menjadi alat peperangan, namun konsep kebenaran, keadilan, hidup menjadi worldview yang akan memperlengkapi kita masuk dalam peperangan dunia ini. Namun, konsep dari mana? Alkitab adalah firman Tuhan yang harus menjadi senjata kita, menjadi sumber kebenaran, keadilan melawan penguasa-penguasa di udara. Oleh sebab itu, Calvin melihat pentingnya ini dan membangun kerangka berpikir tak hanya dalam konsep theologis, tetapi masuk dalam ranah publik pula, dari sudut pandang firman Tuhan. Sebelum melihat konsep Calvin, perlu kita membahas pemikiran reformator sezamannya yang akan membuat kita mengapresiasi Calvin lebih lagi.

Martin Luther
Skinner mengatakan, sulit untuk mengapresiasi Calvin dan Farel tanpa terlebih dahulu memahami Luther. Luther memiliki konsep bahwa Allah sudah menetapkan baik gereja maupun negara sebagai bidang yang terpisah tetapi sah. Dua bidang tersebut memiliki pedangnya masing-masing, pemerintah dengan kekuatan sipil dan gereja dengan disiplin gereja. Sebagian poin rangkuman yang dapat ditarik dari konsep politik Luther adalah demikian:

Perlunya sebuah standar yang transenden, bukan dari dunia, bagi praktik-praktik politik di dunia sebab dunia sudah bobrok dan jatuh ke dalam dosa.
Sejarawan Jerman Karl Holl melihat bahwa Luther tidak berusaha membenarkan hak dan kewajiban negara atas fungsinya yaitu menekan kejahatan, melainkan membenarkannya melalui aspek-aspek positifnya. Menurut Holl, Luther dengan reformator yang lainnya, “mengambil negara, bukan dari bawah, tetapi secara eksklusif dari atas, dari rencana kehendak Allah akan keselamatan dan menegaskan karakternya yang khas sebagai suatu negara yang esensinya adalah otoritas.” Salah satu tafsiran Luther mengenai masalah ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan banyak orang Kristen, yaitu “Bagaimana sikap orang Kristen terhadap otoritas sekuler dan sejauh mana orang Kristen wajib menaatinya?”

Dalam tafsirannya, Luther berusaha mengoreksi banyak pemikiran-pemikiran yang kurang tepat. Di zamannya, beberapa orang menafsirkan bahwa perlawanan terhadap pemerintahan sipil adalah sesuatu hal yang selalu tidak sah. Karena itu, sangat sulit melihat adanya perlawanan terhadap pemerintah sipil di sebagian besar kota di Eropa. Akan tetapi, Luther tidak melihatnya demikian. Menurut Luther, adalah hal yang salah jika pemerintah mengira dapat memerintah dengan sewenang-wenang, namun juga, adalah hal yang bodoh bila warganya pun percaya bahwa mereka harus menaati pemerintahnya dalam segala sesuatu. Sebab, negara memiliki asal-usulnya dalam kehendak dan ketetapan Allah dan tidak dimaksudkan untuk berdiri di atas dasar yang murni sekuler, karena murni sekuler berarti murni berdosa. Jika institusi didirikan di atas dasar yang murni berdosa maka bagaimana institusi tersebut dapat menjalankan kewajibannya dengan baik? Apalagi institusi sepenting negara yang harus menjaga kedamaian bersama.

Jika dunia merupakan tempat yang sempurna, maka, menurut Luther, pemerintahan sipil tidak lagi diperlukan karena memang kebutuhan pemerintahan ada dalam konteks kerusakan manusia akibat dosa. Dengan demikian, “Allah telah menetapkan dua pemerintahan, (pemerintahan) rohani yang membentuk orang Kristen yang sejati dan benar melalui Roh Kudus di bawah Kristus, dan pemerintahan sekuler yang mengendalikan orang non-Kristen dan orang fasik serta memaksa mereka untuk menjaga kedamaian dalam perilaku mereka dengan tetap tenang, suka atau tidak suka.”

Aplikasinya adalah orang Kristen pun harus menaati pemerintah sebagaimana otoritas yang memang ditentukan berasal dari Tuhan. Namun, ketaatan tersebut dilakukan selama pemerintah masih dalam jalan yang benar sesuai firman Tuhan. Dalam hal perlawanan kepada pemerintah sipil, Luther masih kurang yakin dibandingkan Calvin, di mana hal ini menjadi salah satu yang khas dalam Calvinisme. Luther mengatakan, “Ketika otoritas-otoritas sekuler gagal melakukannya, orang Kristen harus mengizinkan dirinya untuk diperlakukan dengan kejam dan dianiaya, serta jangan melawan kejahatan dengan yang jahat sebagaimana firman Kristus katakan.”

Pemerintahan yang terbatas perlu dibentuk melalui hukum dan desentralisasi kekuasaan.
Luther mendukung pemerintahan sipil yang harus dibatasi ruang lingkup kekuasaannya dengan dasar perintah Allah. Pembatasan ini dapat terjadi jika negara memiliki hukum yang baik. Di sini, Luther melihat pentingnya hukum sebagai batas kewenangan para penguasa. Dia mengingatkan, “bila pemerintahan sekuler diberi terlalu banyak kebebasan untuk bertindak, bahaya yang diakibatkan tidak dapat ditanggung dan mengerikan, tetapi membatasinya dalam batas yang terlalu sempit juga berbahaya. Di satu sisi ada terlalu banyak hukuman, di sisi yang lain terlalu sedikit. Yang lebih dapat ditoleransi adalah jika pihak pemerintahan sekuler dibatasi terlalu sempit, karena lebih baik jika seorang penjahat hidup daripada seorang yang ‘benar’ harus dibunuh. Pasti selalu ada penjahat-penjahat dalam dunia, tetapi hanya sedikit orang benar.” Terutama, hukum sipil harus dibatasi hanya untuk mengurusi masalah-masalah yang berkait di bumi dan tidak boleh melanggar otoritas pemerintahan Allah untuk mengurusi masalah jiwa. Pernyataan ini didukung melalui tafsirannya terhadap Roma 13 yaitu bahwa, “ketaatan dan kekuasaan sekuler hanya mencakup pajak, kewajiban, kehormatan, ketakutan, hal-hal eksternal. Paulus sedang menetapkan suatu batas terhadap kekuasaan: kekuasaan yang tidak berkuasa atas iman dan firman Allah, tetapi atas perbuatan jahat.”

Pemikiran Luther sudah mulai berakar di lahan persemaian Protestan pada awal abad keenam belas meskipun tidak di seluruh tempat. Namun, perbedaan antara Luther dan Calvin dilihat dengan jelas oleh seorang sejarawan abad ke-19. Luther mengusahakan hubungan jiwa yang benar dan tidak mereformasi sakramen atau liturgi Katolik sedangkan Calvin menyerang praktik-praktik yang ia pikir tidak didukung oleh Alkitab. Luther mengakui pangeran sebagai pelindungnya sedangkan Calvin adalah pembimbing Republik Swiss. Luther melawan gereja Roma karena imoralitasnya sedangkan Calvin karena penyembahan berhalanya. Akan tetapi, kita tidak boleh meremehkan klaim dari sejarawan abad ke-19 yang menyatakan, “Tetapi tanpa Reformasi yang dipimpin oleh Luther, tidak ada Revolusi yang dipimpin oleh Washington.”

Selain Luther, reformator lainnya yang memiliki pemikiran tentang theologi politik adalah Zwingli. Kita akan melihat secara singkat poin-poin pemikiran Zwingli.

Huldrych Zwingli        
Zwingli adalah perintis Reformasi di Jenewa sebelum William Farel. Dia adalah seorang pendeta yang sama berapi-apinya dengan Farel. Beberapa pemikiran yang Zwingli kembangkan antara lain:
Perlawanan terhadap pemimpin sipil itu sah jika pemimpin sipil tersebut memerintahkan penindasan terhadap agama yang benar, serta perlawanan ini harus dengan dukungan mayoritas besar dan tanpa pembunuhan atau perang.
Mengharapkan adanya kerja sama antara dua wilayah otoritas yang berbeda yaitu gereja dan negara tanpa adanya penggabungan namun harus bersama-sama kembali kepada norma-norma Allah.
Pendeta tidak boleh melakukan politik praktis dengan diberikan kekuasaan dalam negara karena akan mengalihkan pendeta dari fungsinya yang diberikan Allah yaitu pemberita Injil.
Gereja harus melakukan reformasi dirinya dari dalam dan selanjutnya gereja harus mereformasi masyarakat.

Pengaruh Zwingli sangat kental dalam Swiss dan dapat dilihat dari pemilihan umum yang dilakukan di Swiss. Pemilu adalah hal yang sangat jarang pada zaman itu, tetapi Zwingli menginisiasikannya dengan mengumpulkan lebih dari 600 orang untuk mendengarkan perdebatan Zwingli dengan pendebat Katolik. Dalam debat ini, warga dapat mengemukakan pendapat dengan bebas dan mereka akan memilih jalan mana yang diikuti, Protestan atau Katolik. Gaya baru ini yang akan menjadi tren dan pola bagi banyak pemerintah sipil di masa yang akan datang.

Setelah panggung disiapkan, maka kita akan lebih mudah memahami kontribusi Calvin terhadap teori politik. Penulis akan mencoba membahas pemikiran Calvin yang berasal dari Institutes of Christian Religion dan karya-karya lainnya.

John Calvin
David Hall mengatakan bahwa pemikiran politik Calvin di Institutes masih dimasukkan dalam daftar pemikiran politik yang memiliki pengaruh politik sangat besar. Karl Holl pun menegaskan bahwa bagi Calvin negara bukan hanya necessary evil, melainkan, lebih dari Lutheran, memberikan suatu dasar theologis untuk menentang pemerintah-pemerintah tidak adil. Sehingga dalam sejarah kita dapat melihat, ke mana pun kaum Calvinis menyebar, di sana akan ditemukan praktik-praktik yang bukan hanya menjalankan namun mengembangkan pandangan tentang pemerintahan yang terbatas.

Tentu pokok pikiran theologis Calvin sangat memengaruhi pandangannya mengenai politik dan dalam ranah publik. Poin-poin tersebut adalah kedaulatan Allah yang berlaku di seluruh dunia, dosa yang masuk ke dalam kehidupan manusia, otoritas manusia tidak lebih tinggi dari otoritas Allah, dan sebagainya. Tetapi pada pembahasan kali ini, penulis mencoba membagikan tulisan Calvin yang langsung membahas mengenai topik-topik politik.

Bagi Calvin, pemerintahan sipil memang semestinya diizinkan untuk menegakkan keadilan sipil dan moralitas luar. Hal ini karena Calvin percaya bahwa pemerintahan sipil mencontohkan bagaimana Allah masih memberikan anugerah-Nya bagi seluruh umat manusia. Tugas pemerintahan sipil seharusnya menjamin “agar perwujudan agama publik dapat hadir di antara orang Kristen, dan bahwa kemanusiaan dipelihara di antara manusia.” Tanpa adanya alat Tuhan yang menopang dunia berdosa ini, manusia akan semakin kacau dan terus memilih untuk berbuat dosa. Dengan melihat fakta dosa yang telah masuk dalam segala aspek kehidupan manusia, barulah kita dapat melihat akan pentingnya pemerintahan sipil.

Dilanjutkan oleh Calvin bahwa segala otoritas dan kekuasaan adalah berasal dari Allah dan otoritas yang diberikan-Nya kepada pemerintah merupakan otoritas yang sah. Namun, bukan berarti Calvin mendukung segala bentuk praktik kotor yang mengatasnamakan pemerintah. Hak pemerintah yang ditetapkan oleh Allah adalah untuk mengusahakan kesejahteraan manusia, bukan kekuasaan pemerintahan yang tidak adil. Sebab, sebagaimana Tuhan memberikan mandat kepada pemerintahan sipil untuk menyejahterakan rakyat, maka Calvin percaya pemerintahan apa pun masih jauh lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali. Anarkis bukanlah solusi yang tepat bagi pemerintahan yang sangat cacat dan rusak.

Di bagian lainnya, Calvin mengatakan bahwa tujuan pemerintahan sipil yang ditetapkan adalah “menghargai dan melindungi penyembahan kepada Allah, mempertahankan doktrin yang sehat tentang kesalehan dan posisi gereja, menyesuaikan kehidupan kita dengan masyarakat manusia, membentuk perilaku sosial kita menurut keadilan sipil, mendamaikan kita dengan yang lain, serta meningkatkan kedamaian dan ketenangan umum.” Selain itu, berkait dengan tugas pemerintahan sipil, Calvin juga mendukung bahwa pemerintahan sipil sudah seharusnya menegakkan agama. Dengan adanya konflik yang terjadi antara gereja dan negara kemudian, maka harus ada evaluasi ulang terhadap prinsip dasar ini. Dan Calvin memasukkan batasannya yaitu, tidak ada pemerintahan yang diizinkan untuk menyesuaikan penyembahan kepada Allah menurut imajinasi mereka atau melarang praktik agama yang benar. Praktik agama yang benar tentu harus dilindungi oleh pemerintah tetapi bukan berarti bahwa pemerintah harus ikut campur dalam menentukan kebijakan dalam gereja. Pemerintahan sipil perlu menjamin dan mendukung adanya kebebasan warganya dalam melakukan praktik ibadah. Sedangkan untuk sistem pemerintahan yang Calvin usulkan adalah gabungan dari aristokratik dan demokrasi yang terwujud dari adanya dewan-dewan sebagai alat untuk mengawasi dan mengimbangi pemimpin-pemimpin dalam bidang eksekutif.

Tema penting yang Calvin juga bahas adalah panggilan, hak, dan kewajiban para magistrat atau pejabat. Berlawanan dengan kaum Anabaptis, Calvin mengakui pelayanan dalam jabatan politik adalah hal yang sangat pantas. Bahkan ia menjunjung tinggi jabatan ini dengan mengatakan, bahwa panggilan manusia yang paling sakral dan terhormat adalah panggilan menjadi pelayan publik. Karena itu seluruh pejabat haruslah menyadari akan panggilan mereka, sebab panggilan tersebut berasal dari Allah dan ditugaskan bagi warga, sehingga mereka harus menjadi orang yang berhutang pada warga. Dengan demikian, tidak boleh ada ruang sedikit pun dalam jabatan mereka yang hanya menguntungkan kepentingan pribadi, atau kelompok, melainkan harus bagi kebaikan publik. Oleh karena Calvin menegaskan bahwa pejabat-pejabat inilah yang menjadi “wakil-wakil Allah” dalam “melindungi dan membela keadilan publik, kesopanan, kesusilaan, dan ketenangan untuk menjamin keamanan bersama dan kedamaian semua orang”. Panggilan ini juga menyiratkan bahwa otoritas dan kekuasaan bukanlah dari jabatan itu sendiri melainkan pemberian dari Allah, sehingga tidak ada kekuasaan pejabat yang tidak terkendali.

Dengan menjalankan panggilan yang benar, para pejabat sedang melaksanakan penghakiman Allah yang sah kepada para pelanggar hukum. Akan tetapi, jika pejabat membiarkan kejahatan semakin bertumbuh dan merajalela, bahkan melakukannya sendiri, maka mereka akan sangat bersalah kepada Tuhan. Oleh karena itu pejabat harus memiliki kesalehan yang baik.

Calvin juga menekankan pentingnya hukum sebagai salah satu sarana pembatasan kekuasaan bagi para pejabat-pejabat untuk menjalankan tugasnya. Hukum, oleh Calvin, disebut sebagai pejabat yang diam. Karena, dalam sebuah republik yang benar, keberadaan hukum menjadi otot yang paling kuat dari persemakmuran yang ada. Meskipun Calvin sangat menyukai penggunaan hukum yudisial Perjanjian Lama, tetapi dia tidak kaku dan menyandang theokratik yang kolot. Tetapi, menekankan hukum moral akan kesalehan, kasih, kewajiban tanpa memutlakkan hukum-hukum yang mengatur rutinitas, seperti misalnya saat kita makan. Inilah menjadi dasar dari penetapan hukum bahwa keadilan, kesalehan, kasih harus menjadi tujuan sebuah hukum disusun tanpa memutlakkan bagian-bagian yang non-esensial untuk diterapkan di segala tempat. Pada bagian yang lainnya, Calvin juga mendorong adanya akses kepada proses hukum yang adil dan jujur oleh seluruh rakyat tanpa pengecualian bagi rakyat yang memiliki jabatan tinggi maupun banyak harta; semua memiliki hak yang sama.

Yang tak kalah pentingnya, John Calvin juga membahas dengan luas mengenai kewajiban dan respons orang Kristen sebagai rakyat, hal yang ditekankan adalah menghormati jabatan yang sudah Allah tentukan. Perlunya kesadaran untuk tunduk kepada pemerintah adalah sama halnya tunduk di hadapan Allah sebab otoritas yang Tuhan izinkan bagi pemerintah adalah sah. Ketaatan tersebut dinyatakan dalam ketaatan pada hukum, membayar pajak, melayani bangsa, dan melindungi negara. Tetapi, Calvin juga menasihatkan agar orang Kristen tidak ikut campur secara berlebihan ke dalam otoritas pejabat karena warga pun masih di bawah otoritas raja.
Di saat yang sama, raja harus memerhatikan kesejahteraan rakyat, agar mereka dapat melaksanakan kewajiban yang Allah tentukan untuk dijalankan. Juga dalam tafsirannya terhadap Kitab Daniel, Calvin lebih memperjelas bahwa penundukan kepada pemerintah adalah bersifat relatif. Didasarkan pada kisah Daniel, Calvin menulis bahwa Daniel tidak begitu terikat dengan raja Persia ketika raja itu mengklaim dirinya sebagai allah.

Perbuatan ini sudah sangat rusak karena menggeser Allah dari sumber otoritas itu sehingga tidak menaatinya adalah suatu tindakan yang benar. Dan dalam kasus seperti ini, salah satunya, Calvin mengizinkan adanya pertentangan kepada pemerintahan, menggulingkan seorang pemimpin yang jahat. Akan tetapi, hal ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan atau atas kepentingan pribadi. Calvin berharap para pejabat lebih sadar akan kewajiban untuk membereskan kejahatan terlebih dahulu dibandingkan masyarakat umum. Pengecualian ini adalah bukti providensi Tuhan dalam sejarah, meskipun Calvin lebih memilih Tuhan sendiri yang mengoreksi kejahatan.

Salah satu poin yang penting berkait dengan rakyat dan negara adalah keluarga sebagai dasar dari negara yang baik. Sama seperti yang Agustinus tekankan, memerhatikan keluarga dalam masyarakat sama halnya dengan mereformasi secara perlahan-lahan. Harus diakui bahwa adanya pengaruh besar dihasilkan dari keluarga kepada masyarakat karena nilai-nilai yang diterapkan dalam masyarakat berasal dari keluarga juga. Alkitab pun menekankan keluarga sebagai elemen paling dasar untuk hidup berkomunitas. Karena itu, jangan meremehkan pengaruh keluarga bagi masyarakat dan negara.

Pemikiran-pemikiran ini diteruskan dan disebarluaskan oleh para pengikutnya. Salah satunya Amerika, sebagai negara tempat berkembangnya Puritanisme yang sangat dipengaruhi Calvin. Amerika menjadi panggung untuk mementaskan dan mengeksperimentasi apa yang Calvin telah katakan. Hasilnya begitu memuaskan hingga Rumah bagi Para Pemberani itu, mulai meninggalkan iman mereka yang sejati dan menjadi sebuah negara sekuler yang melawan Allah.

Jika kita melihat di sekitar, kita akan menyadari bahwa pengaruh pemikiran Calvin dalam bidang politik sudah sangat mendunia. Sadarkah kita bahwa asal-usul dari reformasi politik berakar dari Calvin? Bahkan hingga abad-abad berikutnya, pokok-pokok pemikiran ini terus dikembangkan oleh para penerusnya, dibawa ke mana pun Calvinisme menyebar, dan memberikan dampak yang begitu luas bagi dunia, di mana pengaruhnya pun masih dirasakan sampai sekarang.

Mungkin banyak negara-negara yang menolak Calvinisme ataupun kekristenan dan pengaruhnya bagi negara mereka. Tetapi, adanya pemerintahan yang peranannya dibatasi sebagai hamba rakyat, hukum yang membatasi kekuasaan penguasa, pentingnya desentralisasi kekuasaan adalah buah dari pemikiran Calvin. Calvinisme membangun sebuah tradisi pentingnya mengurangi kekuasaan pemerintah yang besar. Meskipun demikian, Calvinisme pun tidak menjawab semua masalah-masalah politik yang besar maupun memberikan konsep politik yang dibahas dengan lebih komprehensif. Akan tetapi, Calvin telah meletakkan dasar yang kokoh bagi kehidupan bermasyarakat dibanding teori politik lainnya seperti Marxis, Platonis, dan lain-lain.

Pentingnya Calvinisme dan Reformed Theology semakin marak digaungkan di zaman ini. Menjelang peringatan 500 tahun Reformasi, mari kita melihat kembali apa yang Tuhan sudah kerjakan melalui peristiwa bersejarah itu. Sebuah rendaan sejarah yang indah dalam memunculkan buah pemikiran Alkitabiah, akan membuat kita takjub, apalagi dampaknya begitu besar. Tetapi ketakjuban itu tidak cukup, semangat dan warisan sejarah ini harus diteruskan, tongkat estafet ini harus terus dilanjutkan untuk generasi selanjutnya, hingga Tuhan datang kembali. Siapa yang akan meneruskan tongkat estafet di zaman ini? Mari para pemuda-pemudi, bangkitlah!

Howard Louis
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
1. http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?groupid=2640&HistoryID=ac42&gtrack=pthc
2. http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?groupid=3031&HistoryID=ac78&gtrack=pthc
3. Calvin di Ranah Publik, David W. Hall