Pengalaman adalah bagian yang tidak terlepaskan dari hidup kita. Pengalaman itu selalu mewarnai hari-hari kita hidup. Pengalaman itu bisa sesederhana duduk terkantuk di bangku kelas, sambil menatap kelas yang tertidur saat mendengar dosen mendongeng. Pengalaman bisa juga dimengerti sebagai sesuatu yang berkesan, seperti terdiam seribu bahasa saat berada di hadapan sang lawan jenis, sambil mengumpulkan keberanian untuk menyatakan cinta. Pengalaman-pengalaman ini, baik yang diteruskan melalui orang lain maupun yang kita alami sendiri, akan membantu kita lebih mengenal pribadi dan identitas diri. Tidak heran, pengalaman-pengalaman tersebut seolah-olah “menggurui” kita melalui pelajaran-pelajaran di kehidupan nyata dan pengalaman sering dikatakan sebagai “the best teacher”.
Walaupun “pengalaman adalah guru yang terbaik”, kita sering tidak mau “tunduk” pada guru tersebut. Kita cenderung memilah-milah pengalaman kita sendiri. Pengalaman yang positif cenderung kita tonjolkan, lengkap dengan bumbu dan hiasan yang “gue banget”. Sementara itu, pengalaman yang negatif sering kita benamkan. Sebisa mungkin, pengalaman-pengalaman negatif itu diperlakukan selayaknya zombie yang kepalanya ditebas, agar tidak bangkit lagi dari kubur. Tidak heran, seorang psikolog sekuler ternama, Sigmund Freud, menganggap pengalaman yang “terbenam” itu sebagai sumber kegilaan yang menggerogoti seseorang. Mau tidak mau, suka tidak suka, pengalaman akan menjadi bagian dari hidup dan diri kita.
Penerimaan atau penolakan dari pengalaman sebagai bagian dari identitas diri adalah perwujudan dari mindset atau cara berpikir atau cara pandang1 yang kita amini. James Sire melihat bahwa hal ini adalah bentuk fundamental dari orientasi hati, yang disadari atau tidak disadari, kita pegang dalam keseharian, baik secara konsisten maupun tidak. Sire menggunakan istilah wawasan dunia (worldview) untuk menjelaskan konsep ini. Wawasan dunia yang kita miliki dapat diekspresikan dalam bentuk narasi atau sekumpulan asumsi dasar (yang mungkin benar, setengah benar, atau sama sekali salah), dan digunakan sebagai dasar untuk melihat realitas, cara kita hidup dan bergerak, dan keberadaan kita. Kelakuan, cara berpikir, komitmen, dan hal-hal yang kita lakukan sehari-hari amat sangat didasari oleh wawasan dunia yang kita anut.
Dalam budaya pluralis, kita akan sering menemui berbagai wawasan dunia. Tentunya, kebanyakan dari mereka tidak dalam bentuk yang tersurat. Kita mungkin menemukan dua orang yang sama-sama pekerja keras, sama-sama berakhlak, berkebajikan, bermoral tinggi, dan sama-sama ringan tangan membantu orang-orang yang membutuhkan. Namun demikian, kedua orang ini bisa saja memiliki wawasan dunia yang lain. Orang yang pertama berkeyakinan bahwa pekerjaan yang ia lakukan sebagai upah untuk menutupi ketidaksempurnaannya, sementara orang kedua lain berkeyakinan bahwa pekerjaan yang ia lakukan adalah bentuk dari rasa syukur atas berkat yang selama ini ia telah terima. Lebih lanjut, dengan menutupi ketidaksempurnaannya, orang pertama percaya bahwa ia bisa mencapai tingkat yang lebih tinggi di kehidupan berikut melalui perbuatan baiknya. Sementara penebusan yang diyakini telah diterima oleh orang yang kedua membuatnya percaya bahwa hidupnya kelak akan berada di dalam kekekalan bersama dengan Allah Sang Penebus. Kedua contoh orang tersebut hanya merepresentasikan sepercik wawasan dunia yang dimiliki dunia pluralis saat ini. Masih banyak bentuk wawasan dunia lain, yang akan sering kita temui. Wawasan-wawasan dunia tersebut tidak jarang berkonflik satu dengan yang lainnya. Konflik ini bisa dalam bentuk cekcok, perdebatan, perkelahian, hingga pembunuhan massal. Walaupun konflik pada hakikatnya tidak bisa dihindari, sebagai orang percaya, kita perlu lebih memahami cara pandang orang lain.
Worldview dan Alkitab
Cara pandang modern memandang pengalaman sebagai hal yang tidak penting. Bagi cara pandang modern yang penting adalah objektivitas, sehingga pengalaman pribadi yang dianggap subjektif akan dikesampingkan. Tetapi di sisi lain, postmodern mengangkat signifikansi pengalaman pribadi sebagai hal yang harus dihargai dan dihormati. Kedua cara pandang ini berdampak terhadap cara pandang theologi kita.
Ada masa di mana orang Kristen terbawa arus rasionalisme dan objektivisme yang mengejar pemahaman yang benar dan objektif secara theologis dengan berdasarkan Alkitab. Sikap ini dibarengi dengan pandangan yang skeptis terhadap pengalaman pribadi. Hal ini diperkeruh dengan merebaknya ajaran Karismatik yang sangat menekankan pengalaman pribadi dengan Tuhan tetapi kurang menekankan pembelajaran firman Tuhan. Sehingga orang Kristen konvensional, termasuk Reformed, sangat alergi dengan istilah “pengalaman”.
Tetapi di sisi lain kita harus mengakui bahwa sikap yang antipati dengan pengalaman pribadi sangat rentan dan melahirkan ekstrem lain yang akhirnya skeptis dengan orang Kristen yang terus-menerus belajar. Karena sikap haus akan pembelajaran ini tidak dibarengi dengan kehidupan yang semakin memuliakan Tuhan, malahan membuatnya menjadi sangat arogan karena pengetahuan yang banyak. Kondisi ini menjadikan posisi pengalaman hidup manusia di dalam kita mengerti kebenaran menjadi membingungkan. Pada bagian selanjutnya kita akan melihat mengenai relasi antara Alkitab dan pengalaman hidup. Kita akan melihat bagaimana pengalaman itu adalah salah satu aspek penting di dalam mengenal kebenaran, tetapi bukan sebagai yang terutama.
Alkitab: Panggung Allah dalam Dunia
Alkitab adalah media yang digunakan Allah untuk menyatakan diri-Nya. Allah yang tidak terbatas menggunakan media tertulis untuk menyatakan diri-Nya. Perasaan, karakter, dan atribut Tuhan dituangkan-Nya di Alkitab. Seperti halnya seseorang yang berbicara, Allah ingin agar diri-Nya dikenal melalui firman-Nya yang dinyatakan. Melalui firman-Nya, kita mengenal pribadi dan natur Allah: karakter-Nya, sifat-sifat-Nya, karya-karya yang telah dilakukan-Nya, dan kemampuan-Nya. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat kita perhatikan di seluruh Alkitab.
Dalam buku Systematic Theology, John Frame mengategorikan manifestasi firman Allah di dunia dalam tiga media:
Media pertama yang digunakan Allah adalah melalui peristiwa (events) yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Sejarah, yang dikategorikan Frame dalam sejarah umum (natural and general history) dan sejarah keselamatan (redemptive history), menceritakan tentang Allah yang bercampur tangan dalam jalannya sejarah. Sejarah umum menceritakan tentang karya-karya Allah yang dapat dilihat dan dinikmati semua manusia. Namun demikian, Alkitab menceritakan juga tentang kejatuhan manusia. Kejatuhan menyebabkan manusia bergeser dari posisinya semula dan oleh karena itu, Allah juga menyatakan diri-Nya melalui sejarah keselamatan, yang adalah pengembalian segala ciptaan (termasuk manusia) ke tujuan dan posisinya semula. Orang Kristen umumnya mengenal sejarah keselamatan ini melalui pola C-F-R-C (creation–fall–redemption–consummation).
Media kedua yang Allah gunakan untuk menyatakan diri-Nya adalah melalui bahasa manusia. Bahasa ini dapat digunakan Allah untuk berbicara secara langsung, seperti kepada umat Israel di Perjanjian Lama, disampaikan melalui nabi yang diutus-Nya, atau melalui firman yang tertulis. Meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dimengerti makhluk yang terbatas, bahasa ini tetap otoritatif dan memiliki kuasa yang sama. Di Kitab Keluaran, saat Musa menyatakan diri kepada umat Israel, kata-kata yang ia ucapkan adalah kata-kata Allah. Allah memberikan firman-Nya kepada Musa, karena ia dipercaya sebagai nabi-Nya. Otoritas Allah ini harus diikuti oleh semua umat-Nya. Oleh sebab itu, ketika Allah menyatakan kesucian-Nya melalui Musa, seperti ketika bangsa Israel pergi ke Gunung Sinai, bangsa itu takut dan tunduk dengan gemetar, karena mereka tahu suara Musa adalah suara Allah.
Media ketiga yang Allah gunakan adalah manusia itu sendiri. Selain berkait dengan kedua hal sebelumnya (manusia sebagai pelaku dalam sejarah dan bahasa manusia sebagai media untuk menyampaikan firman Allah), Allah juga menggunakan pengalaman kita dalam menyampaikan firman-Nya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bagian berikut.
Alkitab dan Pengalaman
Dalam menyatakan firman-Nya di Alkitab, Allah menggunakan orang-orang yang beragam. Orang-orang ini berlatar belakang yang berbeda-beda. Mulai dari orang-orang sederhana hingga orang-orang yang berpendidikan, orang Israel hingga orang Yunani, masing-masing dari mereka memiliki dinamika hidup yang berbeda. Uniknya, Allah mau menggunakan pengalaman masing-masing penulis untuk menyatakan firman-Nya. Tulisan penulis tidak didikte secara mekanis (kata per kata, hingga tanda baca), tetapi diinspirasikan oleh Roh Kudus. Tidak heran kita kadang menemui masalah dalam membaca Alkitab. Hal ini disebabkan ketidakcocokan budaya (termasuk wawasan dunia) penulis dengan budaya yang kita pahami. Oleh karena itu, akan membantu pembacaan Alkitab kita jika kita mengerti konteks penulisan Alkitab.
Selain keragaman budaya, para penulis Alkitab juga tersebar di berbagai waktu. Para penulis Alkitab tersebar dari Pentateukh (kira-kira abad ke-13 Sebelum Masehi) hingga Yohanes (abad pertama Setelah Masehi). Namun demikian, sebagai firman Allah, ada kontinuitas antara satu kitab dan kitab yang lain. Masing-masing buku dalam Alkitab merujuk pada sebuah tema utama, yaitu tentang datangnya Kerajaan Allah ke dalam dunia. Kerajaan Allah ini kembali berkait dengan keselamatan dan pemenuhan janji Allah, akan dikembalikannya dunia ini ke arah yang sudah direncanakan sejak awal.
Pengalaman manusia dengan Allah di dalam Alkitab dinyatakan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian ini mengandung tiga atribut penting. Pertama, ketika Allah menyatakan firman-Nya, firman-Nya itu berlaku untuk sekelompok orang saja. Pelangi yang Ia tunjukkan setelah banjir besar surut ditujukan kepada Nuh dan keluarganya, bukan hanya Nuh saja. Allah meminta Nuh untuk terus mengingat janji yang telah dinyatakan antara Dia dan Nuh. Kedua, karena perjanjian ini ditujukan untuk sekelompok orang, orang-orang tersebut perlu mengingat dan menempatkannya di dahi dan di tangan mereka. Perjanjian tersebut perlu (dan harus) diteruskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Hal ini berlaku baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang untuk menggenapi Taurat, bukan meniadakannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh para rasul, yang juga mengakui otoritas dari firman di Perjanjian Lama. Ketiga, konsep perjanjian yang Allah berikan kepada manusia mengandung berkat dan kutuk. Berkat diberikan jika manusia menaati Allah dan perintah-Nya. Sebaliknya, kutuk diberikan Allah jika manusia melanggar perintah-Nya.
Pengalaman adalah bagian yang Tuhan pakai untuk menyampaikan firman-Nya. Seluruh tokoh Alkitab menjadi bagian dari media yang Tuhan pakai. Sehingga posisi pengalaman hidup tidak mungkin dikesampingkan di dalam kita mengenal Allah. Genre narasi adalah bagian yang menggunakan pengalaman hidup sebagai media dalam menyampaikan firman Tuhan. Oleh karena itu pengalaman hidup tetap memegang peranan penting di dalam kita mempelajari Alkitab. Tetapi kembali seperti yang John Frame katakan, pengalaman adalah salah satu perspektif di dalam kita melihat kebenaran bukan sebagai otoritas utama. Theologi Reformed, di dalam semangat sola scriptura, mengutamakan Alkitab sebagai otoritas utama di dalam kebenaran. Hal ini tidak berarti media lain seperti pengalaman, ilmu pengetahuan, sejarah, dan lain-lain, kita kesampingkan, tetapi semua ini harus ditaklukkan di bawah Alkitab. Semua pengertian yang kita peroleh dari media lain harus sinkron dengan yang Alkitab katakan. Jikalau ada perbedaan atau pertentangan, maka kita harus kembali kepada otoritas Alkitab.
Jikalau pada artikel ini kita sudah melihat bagaimana Tuhan memakai pengalaman hidup manusia untuk menyampaikan firman-Nya, maka pada artikel selanjutnya kita akan melihat dengan lebih detail bagaimana pengalaman hidup memiliki peranan di dalam pergumulan kita di dalam mengenal Allah. Pengalaman hidup menjadi salah satu bagian yang membawa kita untuk mengenal kebenaran di dalam keluasan dan keutuhannya.
Alvin Natawiguna
Pemuda FIRES
Footnote:
1. Budaya Barat condong memprioritaskan pikiran dan hikmat, sementara budaya Timur condong memprioritaskan kelakukan dan bukti. Asal muasal dari pembentukan cara pandang ini adalah di luar dari pembahasan artikel ini.