Pada artikel sebelumnya kita telah membahas kaitan antara pengalaman manusia dan Alkitab. Kita melihat bahwa pengalaman adalah bagian penting dari kehidupan manusia, baik bagi individu maupun secara komunal. Selain itu, kita juga membahas tentang Alkitab, sebagai media utama yang digunakan Allah untuk menyatakan diri di dalam dunia. Salah satu media yang Tuhan pakai di dalam membentuk Alkitab adalah pengalaman manusia yaitu pengalaman dari para penulisnya. Kita melihat bahwa pengalaman manusia Tuhan pakai untuk menyatakan wahyu-Nya. Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang cara Tuhan menggunakan pengalaman untuk membuat kita mengerti kebenaran atau Alkitab sebagai otoritas tertinggi di dalam kekristenan.
Peranan pengalaman di dalam interpretasi atau mengerti kebenaran adalah salah satu issue yang masih hangat dibahas pada saat ini. Munculnya Gerakan Liberal dan Karismatik pada akhir zaman modern membawa perubahan cara pandang kekristenan terhadap pengalaman. Liberalisme dan Karismatik memiliki arus pemikiran yang berbeda. Konsep pengalaman di dalam konteks liberalisme adalah pengalaman yang menjadikan rasio manusia sebagai otoritas tertinggi. Sedangkan di dalam konteks Karismatik, yang menjadi fokus adalah emosi dari pengalaman tersebut. Meskipun berbeda, keduanya sama-sama memberikan ruang bagi pengalaman di dalam kehidupan kristen. Liberalisme menjadikan pengalaman manusia sebagai titik awal di dalam membangun theologi (theology from below), sedangkan Karismatik menjadikan pengalaman religius dalam pembelajaran Alkitab secara personal (rhema) sebagai hal yang lebih penting dibanding kebenaran yang objektif melalui penggalian yang dapat dipertanggungjawabkan secara theologis maupun Alkitabiah (logos).
Selain liberalisme dan Karismatik, pengaruh dari filsafat postmodern menambah “panas” issue mengenai peranan pengalaman di dalam mengerti kebenaran. Postmodern membawa zaman untuk melihat hal yang parsial sebagai hal yang lebih penting daripada general, terkadang yang parsial dipakai untuk mendefinisikan yang general. Di bawah pengaruh filsafat ini, pengalaman pribadi dianggap sebagai hal yang harus diapresiasi bahkan diakomodasi, tidak peduli hal itu benar atau salah. Kisah-kisah pinggiran yang terlihat “unik” dan “inspiratif” begitu menarik bagi masyarakat zaman ini. Tidaklah mengherankan jikalau pada zaman ini orang-orang lebih berani mengekspresikan dirinya walaupun begitu berbeda, unik, bahkan aneh, dibandingkan konteks sosial pada umumnya. Di dalam konteks inilah pengalaman menjadi hal yang sangat dihargai dan dipakai untuk menjustifikasi kebenaran yang dianut.
Inti dari perdebatan terkait isu ini adalah saat pengalaman dijadikan salah satu metode dalam menginterpretasi Alkitab. Sehingga pada zaman ini lebih banyak penyesatan yang terjadi karena metode interpretasi Alkitab yang juga semakin banyak, bahkan semakin liar tak terkendali. Salah satu aspek yang berkontribusi di dalam kekacauan ini adalah aspek pengalaman. Diperhadapkan dengan konteks zaman yang seperti ini, sebagai orang Reformed bagaimanakah kita berespons terhadap hal ini? Benarkah pengalaman yang bersifat pribadi dapat dipakai untuk menentukan kebenaran yang bersifat universal? Bagaimanakah kaitan pengalaman pribadi dan Alkitab di dalam membangun pengenalan kita akan Allah? Hal inilah yang akan kita bahas di dalam artikel ini.
Otoritas Alkitab dan Transmisinya
Reformed Theology berpegang kepada prinsip sola scriptura, hal ini tidak lagi bisa dikompromikan. Jikalau kita tidak lagi mengakui prinsip sola scriptura, berarti kita sedang menggeser otoritas Alkitab dan ini juga berarti kita tidak lagi mengakui konsep inspiration, inerrancy, and infallibility dari Alkitab. Ketiga konsep ini tidak bisa kita pisahkan satu dengan lainnya. Saat kita membuang salah satu konsep saja, kedua konsep lainnya pun akan ikut gugur. Saat kita percaya bahwa seluruh tulisan Alkitab diwahyukan oleh Allah (inspiration), kita harus mengakui bahwa seluruh tulisan ini absah dan tidak mengandung kesalahan sama sekali (inerrancy and infallibility), begitu juga sebaliknya. Dan ketiga konsep inilah yang menjadikan Alkitab sebagai otoritas tertinggi di dalam kekristenan.
Di dalam menyatakan otoritas Alkitab, John Frame berargumen bahwa tidak ada penurunan derajat kuasa, otoritas, atau kehadiran ilahi ketika firman ditransmisi dari suara Allah ke suara para nabi, hingga ke kitab yang tertulis. Namun ketiadaan penurunan derajat Alkitab belum menyatakan cara Alkitab masuk ke dalam pribadi. Agar kita bisa menerimanya ke dalam hati sebagai kebenaran, atau sebagai worldview pribadi, Frame menyatakan setidaknya ada delapan tahap yang terlibat dalam transmisi:
1. Penyalinan
2. Kritik teks
3. Penerjemahan
4. Pengajaran dan pemberitaan
5. Sakramen
6. Pengakuan/kredo/tradisi
7. Penerimaan manusia
8. Interpretasi dan pemahaman pribadi
9. Kedelapan proses tersebut bersifat fleksibel, karena penerimaan firman ke hati kita dapat terjadi melalui satu atau beberapa tahap. Sebagai orang Reformed, kita percaya bahwa setiap proses tersebut tidak menurunkan otoritas Alkitab. Hasil penyalinan yang akurat terhadap teks asli tidak mengubah kebenaran yang ada. Setiap bagian Alkitab saling mendukung kebenaran satu sama lain. Sementara itu, Alkitab diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan edisi, tanpa mengurangi kandungannya, karena firman Allah memang ditujukan untuk semua orang. Hal yang sama juga berlaku baik untuk pengajaran dan pemberitaan, yang orang Reformed percayai sebagai cara utama menyebarkan firman dan melakukan Amanat Agung. Begitu juga dengan sakramen, pengakuan/kredo/tradisi, penerimaan pribadi, dan interpretasi. Semua proses ini membentuk theologi kita, yang adalah aplikasi dari firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Otoritas Alkitab dan Pengalaman Manusia
Berkait dengan Alkitab, John Frame memberikan penekanan pada aspek personal dari firman. Ia mengatakan bahwa firman yang diwahyukan adalah firman dari Allah yang berpribadi. Firman ini dinyatakan oleh Allah yang berpribadi kepada manusia yang berpribadi sehingga firman ini menuntut respons ketaatan dari manusia. Di dalam kaitan ini John Frame menyatakan bahwa di dalam wahyu terdapat relasi objective-subjective yang dapat dibagi menjadi 3 bagian:
1. Wahyu dari Allah yang berpribadi (Objective Revelation) adalah wahyu Allah yang tersedia bagi manusia, walaupun wahyu ini belum diaktualisasi oleh manusia. Di dalam konteks ini, baik alam maupun Alkitab adalah wahyu Allah yang dinyatakan bagi manusia.
2. Wahyu Allah yang diterima secara subjektif oleh manusia yang tidak percaya kepada Allah. Di dalam Roma 1 dinyatakan bahwa Allah sudah jelas menyatakan diri-Nya kepada manusia tetapi mereka berespons dengan penolakan dan pemberontakan. Ini adalah respons subjektif manusia yang menolak wahyu Allah.
3. Wahyu Allah yang direspons dengan iman dan ketaatan kepada Allah. Frame mengatakan bahwa wahyu Allah yang diterima di dalam iman adalah wahyu Allah yang sejati, karena wahyu Allah adalah komunikasi yang Ia kehendaki.
Di dalam konteks inilah pengalaman manusia berperan untuk membawa kita mengerti firman. Atau dengan kata lain, wahyu Allah yang direspons di dalam iman adalah wahyu yang diaktualisasikan ke dalam pribadi manusia. Di dalam proses aktualisasi inilah pengalaman manusia berbagian di dalam membawa kita mengenal Allah.
Saat seseorang mengaktualisasikan firman yang Allah nyatakan berarti orang tersebut sedang melakukan respons terhadap firman Allah sesuai dengan yang Allah kehendaki. Frame menghubungkan hal ini dengan tiga perspektif dari Lordship Attributes:
• Belief (Normative): Allah yang mewahyukan diri-Nya berarti Ia menunjukkan pekerjaan yang agung dan kita harus percaya terhadap setiap deskripsi dan interpretasi yang Ia berikan.
• Obedience (Situational): Wahyu Allah harus direspons dengan ketaatan tanpa keraguan atau ketidakyakinan.
• Participation (Existential): Karena Allah mewahyukan diri-Nya bukan hanya di dalam bentuk perintah, tetapi juga dalam bentuk perumpamaan, puisi, simbol, dan lain-lain, Allah ingin agar kita berpartisipasi dengan merenungkan dan menaruhnya di dalam hati. Saat firman itu kita taruh di dalam hati, berarti kita dengan rela memberikan seluruh hidup kita diubah oleh karya penebusan Allah. Firman itu akan bekerja mengubah emosi, prioritas, perspektif, dan hal yang kita sukai. Allah menginginkan kita bukan hanya percaya dan patuh kepada-Nya, tetapi juga terlibat dengan-Nya secara pribadi di dalam berbagai cara untuk “work out our salvation”.
Ketiga perspektif kita kerjakan dengan menggunakan seluruh aspek kehidupan yang Allah sudah berikan kepada kita sebagai gambar-Nya: kemampuan kita untuk belajar, pendengaran, rasio, dan perasaan kita. Dalam hal ini, pengalaman merupakan salah satu aspek yang kita gunakan untuk mempelajari firman Allah sehingga kita bisa mengerti dan berespons dengan tepat kepada Allah. Tentu saja kita harus tetap menyadari fakta bahwa kita adalah manusia berdosa. Seluruh aspek kehidupan ini tidak mungkin dapat berfungsi dengan benar jikalau Roh Kudus tidak bekerja untuk menguduskan diri kita. Pekerjaan Roh Kudus inilah yang membedakan pandangan Reformed dengan pandangan dari liberalisme dan Karismatik. Reformed tidak membuang aspek pengalaman di dalam kita mengenal Allah tetapi membawanya untuk takluk di bawah otoritas Allah yang dikerjakan-Nya melalui pekerjaan Roh Kudus. Untuk melihat lebih jelas penggunaan aspek pengalaman ini, pada bagian selanjutnya akan dibahas aplikasinya di dalam realitas kematian.
Realitas Kematian
Pengalaman yang akan dialami semua orang adalah kematian. Kita semua sadar bahwa suatu saat, kematian akan datang menjemput. Terkadang, kematian datang dengan perlahan. Di waktu lain, kematian menyerang seperti seorang pencuri, dalam waktu yang tidak terduga. Korbannya pun bisa kita sendiri atau orang yang kita kenal. Mau tidak mau, suka tidak suka, lonceng kematian akan berbunyi, dan jiwa kita akan dijemput dari dunia tempat berkumpulnya orang-orang yang hidup.
Kita sulit memahami makna kematian. Walaupun manusia sudah memahami sepercik cara kematian itu bekerja, tidak mudah menjawab alasan kematian menjemput. Mengapa ia harus mati? Mengapa orang yang baik meninggalkan kita? Mengapa mereka yang lebih muda lebih cepat mati? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul dalam ketidaktahuan kita akan kekosongan yang ditinggalkan oleh kematian.
Ketidaktahuan akan kematian diekspresikan dalam dua bentuk yang bertolak belakang. Di satu sisi, bagi seseorang yang kehilangan sanak saudara atau sahabat terkasih, kematian seseorang adalah sebuah tragedi. Kematian membuat kita meraung-raung, terisak oleh kepedihan hati, melihat tubuh yang dingin, tak bergerak itu, masuk ke dalam liang lahat, atau oven panas, menunggu untuk diproses menjadi karbon yang diserap ke dalam tanah. Emosi kita seperti melaju dalam rel roller coaster, ketika arus memori membanjiri otak dengan pengalaman-pengalaman manis bersama dia yang sudah tiada. Di sisi lain, kematian sejuta orang menimbulkan emosi yang diterjemahkan ke dalam bentuk angka. Negara akan lebih tertarik untuk menghitung bantuan yang diperlukan oleh yang masih hidup serta cara melenyapkan tubuh-tubuh yang sudah tidak berpenghuni tersebut, jika masih ada dan/atau ditemukan, utuh maupun tidak, ketimbang menangisi yang tiada. Kematian yang datang borongan ini membuat meraung-raung hanya menghabiskan tenaga yang bisa disalurkan kepada orang-orang yang masih hidup. Jika perlu, kematian sejuta orang itu ditunggangi sebagai kereta politik untuk mengambil simpati warga kepada program-program politikus tertentu. Kenyataan ini sesuai yang dikatakan oleh Stalin, “Kematian seseorang adalah tragedi; kematian sejuta orang adalah statistik.”
Kedua ekspresi dalam menghadapi kematian tersebut tidak serta-merta menjawab pertanyaan “mengapa”. Pertanyaan tersebut hanya terjawab melalui wawasan dunia yang dianut oleh seseorang. Merujuk pada contoh di artikel pertama, kita dapat menemukan dua jenis orang dengan cara pandang atas kematian yang sangat berbeda. Orang yang pertama mungkin berpikir bahwa kematian hanyalah akhir dari siklus kehidupan. Naik atau turunnya derajat kita pada siklus kehidupan selanjutnya bergantung pada perbuatan baik yang kita lakukan. Sementara itu, orang yang kedua melihat kematian sebagai kepergian seseorang dari dunia fana ke dunia kekal. Hanya iman terhadap Sang Penebuslah, sola fide, yang menjadi jaminan bahwa hidup di dunia kekal sana akan bahagia.
Kematian dalam Alkitab
Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa kematian merupakan upah dari dosa yang diakibatkan oleh leluhur kita, Adam. Dosa, bentuk pemberontakan kita terhadap Allah Sang Pencipta, membuat kita mengalami kematian. Lebih lanjut, kematian yang dijelaskan oleh Alkitab tidak hanya dibatasi oleh kematian fisik, seperti yang diketahui melalui ilmu medis. Alkitab menjelaskan kematian yang dialami sebagai kematian rohani. Dosa membuat kita tuli akan Allah. Kita tidak bisa mendengar Dia, karena tendensi hati kita ingin lari dari-Nya. Ketimbang tunduk dan melakukan perintah-Nya, kita lebih suka mengikuti keinginan-keinginan hati kita sendiri yang melawan Allah.
Kematian dalam Pentateukh digunakan Tuhan untuk menyatakan, selain kematian yang diakibatkan oleh penuaan, tetapi juga kematian yang dikaitkan dengan ketidaktaatan seseorang atau sekelompok orang terhadap perintah Allah. Kematian Nadab dan Abihu dan ditelannya para pengikut Korah, orang yang berontak terhadap Musa, adalah contoh kematian yang diakibatkan oleh murka Allah atas manusia yang tidak menghargai perintah-Nya. Lebih lanjut, Tuhan mengutuk generasi pertama orang-orang Israel yang keluar dari Mesir, sehingga mereka akan mati di padang gurun dan tidak bisa masuk ke dalam Tanah Perjanjian, termasuk Musa. Hanya dua orang yang dikecualikan dari kutuk tersebut, karena kesetiaan mereka, yaitu Kaleb dan Yosua. Bagi orang-orang yang menyaksikan hal-hal tersebut, kejadian-kejadian itu sudah selayaknya menimbulkan kengerian dan kegentaran, karena Tuhan memang menjalankan perjanjian yang sudah dinyatakan-Nya dari awal.
Kematian tentu juga berkait erat dengan kedukaan, khususnya bagi orang-orang yang ditinggalkan. Daud berduka ketika anaknya dengan Batsyeba mati kena tulah. Para saudara Yesus berduka ketika Lazarus meninggal. Yesus sendiri pun menangis bersama mereka. Dimensi duka menjadi sebuah lonceng. Kematian menjadi sebuah peringatan akan kutuk yang dijatuhkan Tuhan kepada Adam.
Bagian Alkitab yang lain mengaitkan kematian dengan harapan. Perjanjian Lama menggunakan kematian orang-orang yang melanggar perintah Tuhan sebagai pereda kemarahan Tuhan. Contoh yang terlihat adalah ular tembaga yang dibuat oleh Musa, untuk mengingatkan orang Israel akan sumber pengharapan mereka, yaitu Tuhan yang menyembuhkan mereka dari bisa ular. Selain itu, pada Perjanjian Baru, kematian Kristus sering disimbolkan sebagai domba yang datang ke dalam pembantaian. Karena Kristus adalah korban yang sempurna, tidak perlu lagi ada domba lain yang dikorbankan. Manusia bisa bebas dari dosa. Orang-orang yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal. Ini tentunya adalah sebuah kabar yang melegakan dan memberi harapan!
Harapan yang didatangkan oleh kematian membuat para pengikut Kristus memiliki kekuatan untuk mengabarkan Injil. Dengan kekuatan dari Roh Kudus, mereka yang tadinya menyembunyikan diri karena ketakutan, menjadi berani maju menjadi saksi berita baik. Ancaman kematian bukanlah lagi sesuatu yang menakutkan, melainkan menjadi kehormatan. Kematian, walaupun membawa duka, tidak lagi menjadi sesuatu yang membawa ketakutan. Bahkan, bagi Paulus, mati untuk Kristus adalah keuntungan. Kematian sudah kehilangan sengatnya.
Alkitab menawarkan perspektif yang holistik tentang kematian. Kita dapat membahasnya dalam tiga perspektif. Perspektif pertama, kematian adalah sebuah kejadian yang pasti dialami oleh semua umat manusia. Hal ini tertuang dalam narasi-narasi yang dialami oleh manusia sepanjang zaman, sebagai wahyu umum atas semua manusia. Namun demikian, Alkitab juga menyatakan bahwa Firman itu telah datang untuk menghapus dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia. Penebusan Kristus… Dari penebusan Kristuslah, orang-orang yang percaya mempunyai kekuatan untuk menghadapi kematian. Kesaksian Roh Kuduslah yang menguatkan orang-orang tersebut, sehingga mereka bisa dengan satu suara berkata, “Maut, di manakah sengatmu?”
Dalam artikel ini kita telah melihat tentang otoritas Alkitab sebagai dasar dari narasi hidup kita berikut kaitannya dengan pergumulan kita menghadapi kematian, suatu pengalaman yang akan datang kepada semua manusia. Ketika kita sedang mengalami perjalanan menuju pengalaman ini, bagaimana kita melihat kehidupan kita? Apakah kita melihatnya dari pengalaman kepada pengalaman, ataukah kita sanggup melihat dari perspektif Sang Pencipta yang menciptakan kita, pengalaman kita, dan juga menyediakan “pengalaman baru” yang akan datang? Akhir kata, Alkitab sebagai otoritas tertinggi bagi kehidupan manusia, bukan untuk menindas, melainkan untuk membawa kita melihat dengan perspektif Allah akan seluruh rencana Allah yang indah bagi kehidupan kita. Mari melihat pengalaman hidup kita dengan benar dan mari menikmatinya dengan segala keindahannya di dalam Tuhan.
Alvin Natawiguna
Pemuda FIRES