Am I Ashamed for Being Elected?

Am I Ashamed for Being Elected?

Ketika seorang wanita dipilih dari sekumpulan wanita-wanita yang memiliki kemampuan dan kepandaian untuk menjadi seorang Miss Universe, maka malam hari itu, ia menjadi pusat sorotan dunia dan akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang di dunia ini. Ketika seorang remaja terpilih masuk di dalam sebuah tim sepakbola untuk mewakili sekolahnya, maka betapa bersukacitanya remaja tersebut, seakan ketika semua orang menatap kepadanya, mereka sedang melihat pemain andalan kebanggaan sekolah mereka. Ketika seorang pemuda dipilih dan diterima masuk ke dalam sebuah perusahaan besar ternama dengan gaji selangit, maka pemuda tersebut seakan memiliki sebuah status baru yang dapat dan patut dia banggakan, serta masih banyak lagi fenomena-fenomena yang dapat ditampilkan untuk menunjukkan betapa perjuangan seseorang dengan segenap ketrampilan dan kemampuannya dapat membuatnya menjadi orang-orang pilihan dari lingkungannya. Hal tersebut membawa kebanggaan tertentu bagi pribadi yang terpilih.

Namun mengapa ketika kita dipilih Tuhan menjadi umat-Nya, kita justru kehilangan kebanggaan itu dan menjadi orang-orang yang takut untuk menyuarakan status kita sebagai orang-orang yang terpilih? Sebagai contoh sederhana, pada saat kita mendengar teman-teman kita, di sekolah atau kampus, membuat lelucon tentang Tuhan Yesus, apakah kita tertawa bersama dengan mereka atau kita menentang mereka sekalipun mereka adalah teman dekat atau sahabat kita? Mungkin sekali kita akan diam dan menghindar, serta berkata dalam hati kita, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Tujuannya adalah supaya teman-teman kita tidak menjadi marah dan kemudian menjauhi kita, sementara kita juga tidak terlalu larut di dalam perasaan bersalah. Sampai kapan kita mau berlindung di balik pelarian diri, dengan embel-embel ayat Alkitab sebagai tameng penghibur hati nurani kita yang sudah bersalah di hadapan Tuhan? Kita semua bungkam dengan alasan bahwa ketika kita menyuarakan status kita sebagai anak Tuhan, kita mungkin akan terpisah dengan orang-orang yang mungkin kita kasihi, dan kita tidak mau hal itu terjadi. Apalagi ketika teman-teman menjauhi kita, kita akan kehilangan status yang lebih riil yang kita miliki setiap harinya, yaitu status yang menjanjikan bahwa akan selalu ada seorang teman yang berada di samping kita ketika kita membutuhkan seseorang.

Apakah semua ini terjadi karena kita mengetahui dan menyadari bahwa ketika kita bisa menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, itu semua adalah anugerah yang “gratis”? Bukankah anugerah itu berarti tidak ada sedikit pun andil kita di dalam mendatangkan keselamatan itu? Apakah ketika tidak adanya keikutsertaan kita di dalamnya, kita merasa “ya sudah, toh saya sudah terpilih” dan semua menjadi biasa-biasa saja bagi kita? Bukankah itu yang sedang terjadi dalam dunia ini pada zaman ini, ketika nilai sebuah pencapaian semata-mata dipandang dari seberapa besar effort atau usaha yang sudah diberikan bagi hal itu. Sehingga pada waktu kita harus berjuang mengerahkan segala kepandaian atau ketrampilan kita dan kemudian kita dipilih, betapa besarnya kebanggaan dan sukacita atau mungkin lebih tepatnya kita sebut ‘kepuasan’. Mengapa demikian? Bukankah ada sesuatu yang salah yang sedang terjadi?

Calvin menuliskan sebuah poin di dalam pengajarannya tentang doktrin keselamatan yang menyatakan mengenai perihal pemilihan tanpa syarat atau unconditonal election. Allah memilih dan menetapkan serta memanggil manusia yang dipilih-Nya, untuk menerima anugerah yang memampukan mereka menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Penebus dan Juruselamat hidup satu-satunya. Pemilihan tanpa syarat artinya pemilihan yang tidak dilandasi oleh faktor apapun di luar Diri Allah yang dijadikan sebagai kriteria pemilihan. Pemilihan tanpa syarat adalah pemilihan yang mutlak murni dilakukan berdasarkan kehendak dari Sang Pencipta.

Unconditional election tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia pun. Waktu kita membeli buah, kita pasti punya standar prosedur pemilihan buah. Dalam setiap keputusan manusia, pasti akan diwarnai pertimbangan oleh berbagai pandangan atau penilaian terhadap obyek yang akan dipilih, yaitu dengan memilih yang terbaik dari antara yang ada. Tetapi Allah memilih manusia bukan atas dasar pertimbangan atribut manusia, seperti perbuatan baik, senyum yang selalu menghias wajah, atau bahkan segala sesuatu yang dipandang mulia oleh dunia saat ini. Kita menjadikan Robin Hood sebagai pahlawan kaum marginal sebab ia berjuang dengan mencuri dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang yang miskin. Dan ketika hati kita kagum dengan sikap heroiknya, kita sedang menyetujui perbuatan mencuri dan kita memilih untuk menjadi seperti Robin Hood dibandingkan menjadi manusia lainnya. Kita mengompromikan tujuan mulia yang bersifat humanis untuk menggeser dosa mencuri. Bagi kita mungkin itu menjadi hal yang dapat dimaklumi. Tetapi di mata Allah, dosa yang bertujuan mulia sekalipun adalah hal yang najis, jahat, dan tidak berkenan di mata Allah.

Dengan demikian, jika konsep pemilihan Allah didasarkan kepada apa yg melekat dalam hidup manusia, maka semua manusia pasti akan menuju kepada kebinasaan kekal. Mengapa? Allah yang sempurna tidak akan pernah menemukan hal yang baik dari manusia termasuk di dalam perbuatan manusia yang kelihatan paling baik dan mulia, sebab semua manusia telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Bagaimana mungkin Allah yang sempurna memilih manusia yang berdosa dan kotor untuk menjadi milik-Nya, jika perbuatan manusia menjadi persyaratan agar Allah mau berkenan menerima manusia? Allah yang kudus adalah Allah yang membenci dosa. Jawabannya adalah tidak akan pernah mungkin terjadi sampai selama-lamanya seorang manusia di dalam keberdosaannya datang mempersembahkan sesuatu yang kudus dan diperkenan oleh Allah. Dari yang najis tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik, seperti yang diungkapkan Yesus di dalam Matius 7:18-19 yaitu: “Setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik”. Oleh karena itu, satu-satunya otoritas yang berhak dan dapat memilih tanpa adanya persyaratan apapun pada obyek yang dipilih adalah Allah sendiri di dalam kehendak dan kedaulatan-Nya yang absolut dan yang tidak bergantung pada apapun di luar Diri-Nya sendiri.

Allah yang berdaulat dalam memilih manusia, juga berdaulat dalam panggilan-Nya kepada mereka. Panggilan yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam hati manusia, yang tidak ada seorang manusia pun dapat menolak panggilan itu. Mereka akan meresponi panggilan ini dan menerima keselamatan yang dianugerahkan oleh Allah di dalam kematian dan kebangkitan Putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Ketiadaan andil manusia dan kerelaan Allah memilih manusia di dalam segala ketidaklayakan untuk keluar dari binasa kekal, itulah anugerah. Sebuah ajakan kekal yang membawa kita ke dalam pembaharuan status menjadi anak-anak Allah, umat pilihan-Nya. Demikianlah yang menjadi keyakinan Paulus, di dalam tulisan yang ditujukan kepada jemaat Efesus yang hidup di dalam kecukupan dan kelimpahan, yang berseru, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu melainkan pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Efesus 2:8-9)

Paulus paling mengerti hal ini. Paulus adalah seseorang yang memperoleh gelar anak Taurat, yang memiliki darah asli orang Ibrani, dan tidak bercacat di dalam menjalankan hukum Taurat yang sangat banyak dan rumit. Secara gamblang, Paulus menuliskannya di dalam suratnya kepada jemaat Filipi bahwa dia memiliki esensi yang murni dan nyata sebagai seorang Yahudi. Itulah status yang pernah memuaskan hatinya. Di dalam statusnya, dia menyerang dan menyiksa orang-orang percaya untuk menyangkali Yesus. Dia tersenyum puas kala darah tercurah dari tubuh Stefanus. Sementara konsep Allah bukanlah sebuah hal yang asing bagi Paulus. Dia sudah menghafal dan mengerti Taurat, bahkan menjalankannya dengan tiada cacat. Dia dididik di bawah didikan guru besar Gamaliel. Paulus juga adalah orang yang sangat terhormat. Dia mampu memiliki dua kewarganegaraan yang besar pada zaman itu yaitu Yahudi dan Yunani. Di mata istana Romawi, dia adalah orang besar dan diakui sampai ke dalam istana kaisar. Di mata imam-imam Yahudi, dia amat dihormati. Dia bahkan mampu memperoleh sebuah surat dari Imam Besar, yang memberikannya sebuah kebebasan atau izin menangkap atau bahkan membunuh para pengikut Kristus. Dia mengerjakan semua ‘pelayanannya’ di dalam status kebanggaannya dan di situlah dia berbangga, yang diterjemahkan sebagai sebuah pelayanan kepada Allah. Selain itu, mengikut Yesus bagi Paulus, berarti dia harus membuang komunitas dan harga dirinya, beserta kepuasan dan kebanggaannya yang selama ini diperolehnya melalui pandangan orang-orang terhadap statusnya.

Ketika Tuhan memanggil Paulus, ia hanya mampu meresponi dan menerima panggilan itu. Dan sejak hari itu, dia benar-benar mempersembahkan dirinya bagi Tuhan. Kemuliaan dirinya dipandang dari sudut bagaimana Allah memandang dia. Itu yang paling berarti. Apa yang dulu menjadi kebanggaannya dibandingkan dengan pekerjaan pelayanannya untuk Kristus dipandangnya sebagai kotoran buangan (dung). Dia benar-benar menyampahkan seluruh kebanggaannya. Seringkali setelah bertobat, kita masih ingin memelihara kemuliaan kita di mata lingkungan. Dulu semua orang mengagumi dan menganggap kita eksis di dalam lingkungan pergaulan, tetapi kita takut setelah mengikut Yesus, kita dianggap sok suci, tidak gaul lagi. Itu sebabnya kebanyakan dari kita tidak mau terlalu menunjukkan status kita di dalam Tuhan. Lihatlah pada Paulus, Eropa dipertobatkan oleh dia yang dulunya membenci keKristenan. Dia mau menerima segala keraguan orang-orang percaya yang pernah dikejar-kejarnya, serta kemarahan orang-orang Yahudi yang melihatnya sebagai pengkhianat yang harus dibunuh. Seseorang dengan otoritas yang amat besar waktu itu, seorang Paulus dengan ‘license to kill’ di tangannya, tunduk di bawah panggilan Allah yang memilih dia dengan sebuah otoritas yang mutlak. Tidak ada seorangpun yang dapat menolak Yesus ketika dia sudah menjadi orang yang dipilih Allah dan kemudian dipanggil-Nya masuk ke dalam keselamatan.

Siapakah Petrus yang dipanggil dari menghela jala untuk menangkap ikan menjadi seorang penjala manusia? Siapakah Matius yang dipanggil di dalam jabatannya sebagai pemungut cukai untuk mengikut Yesus? Siapakah John Newton yang dipanggil dari pekerjaannya sebagai penjual budak untuk menuliskan sebuah lagu yang menginspirasikan William Wilberforce dalam perjuangan menghapuskan perbudakan orang-orang berkulit hitam? Siapakah Fanny Crosby yang dipanggil di dalam kebutaannya untuk menuliskan lagu-lagu hymn yang menjadi berkat bagi banyak orang? Siapakah John Calvin yang ditahan keluar dari Jenewa dan akhirnya menjadi tonggak iman Reformed yang teguh dan setia pada kebenaran Alkitab? Siapakah kamu, hai pembaca, ketika Tuhan memilih dan memanggilmu kepada-Nya?

Masih bisakah kita menyombongkan diri di dalam sikap kita yang terlalu acuh tak acuh setelah kita mengetahui hal ini? Kita ini hanya manusia-manusia yang mati di dalam dosa sejak Adam jatuh ke dalam dosa. Sadarkah kita akan hal itu? Masih bisakah kita tidak lagi mau menundukkan diri di hadapan Allah untuk kembali bersyukur kepada-Nya? Jangan-jangan hati kita masih terbuat dari batu yang disebutkan oleh Alkitab sebagai hati yang belum diperbaharui, atau sebagai kesimpulannya adalah sebuah jiwa yang belum diselamatkan (Yeh. 10:19-20).

Lebih lagi, di dalam segala ketidakmampuan kita, Allah memilih kita dan memberi kita hati yang terbuat dari daging untuk mampu berespon kepada panggilan-Nya melalui pekerjaan Roh Kudus yang melahirbarukan. Pilihan yang bernilai kekal yang diputuskan oleh Allah akan memutuskan rantai kebinasaan kekal bagi mereka yang dipanggil-Nya. Pilihan dan panggilan Allah adalah dua hal yang tidak pernah terpisahkan di dalam rancangan keselamatan di dalam diri seseorang. Mereka yang dipilih-Nya sejak kekekalan, mereka pula yang dipanggil-Nya menuju kekekalan.

Kita pun sepatutnya menyadari betapa indahnya anugerah Allah bagi hidup kita melalui pemilihan dan panggilan-Nya. Bukankah itu menunjukkan betapa istimewanya kita di mata Allah? Bukankah itu menunjukkan bahwa Allah ingin kita berbagian di dalam rencana kekal-Nya? Bagaimana mungkin kita tidak berdebar-debar kala kita mengetahui bahwa Sang Pencipta dan Pemilik seluruh alam semesta ini mengajak kita yang hina untuk masuk dan berbagian dalam kerajaan-Nya? Bukankah seharusnya ini yang menjadi kebanggaan kita (lagi-lagi diingatkan, bukan sebuah kesombongan)? Bukankah ini adalah sebuah status yang agung, yang seharusnya membuat kita gentar dan berhati-hati di dalam menjalankan hidup di dalamnya? Kebanggaan itu seharusnya membuat kita berdiri dengan teguh dan berani untuk menyatakan Dia yang telah memilih kita melalui setiap segi kehidupan kita.

Waktu kita menyadari hal ini, bukankah kita seharusnya menyatakannya dengan penuh senyum dan kepercayaan diri di waktu seseorang mempertanyakan mengenai status kita sebagai anak Tuhan? Kiranya kita tidak akan pernah ragu lagi untuk menceritakan cinta kasih Kristus di atas kayu salib kepada siapapun yang Tuhan izinkan untuk kita layani. Kita tidak akan pernah tahu apakah orang yang berbicara di hadapan kita adalah orang yang Tuhan pilih dan akan dipanggil-Nya. Tetapi kita menyadari bahwa ketika Allah telah memilih seseorang, maka kita bisa dipakai sebagai alat-Nya untuk menyerukan panggilan-Nya yang tidak akan bisa ditolak oleh orang tersebut. Di saat itulah kita akan menjumpai kepuasan kita oleh karena kita telah memuliakan Dia dan menikmati Dia. Bukankah itu yang seharusnya menjadi tujuan kita, seperti yang diungkapkan di dalam pertanyaan pertama dari Westminster Catechism?

Berbanggalah jika kita sudah menerima panggilan agung itu sebagai orang-orang pilihan Tuhan, dan jalanilah panggilan itu dengan hati yang gentar dan serius untuk menggenapkan tujuan dan kehendak-Nya dalam diri kita sehingga hidup kita adalah hidup yang memuliakan Dia senantiasa dan yang hanya puas dalam menikmati persekutuan bersama dengan Dia.

Solidaritus

Pemuda GRII Pusat