Kita kadang suka menggembar-gemborkan Amanat Agung tanpa usaha pemahaman yang dalam tentang apa yang dimaksud dan dituntut dari Amanat Agung itu sendiri. Matius 28:18-20 yang dikenal sebagai Amanat Agung Kristus, kadang dimengerti secara parsial dan tidak utuh. Hal ini kerap menimbulkan ketidakseimbangan dalam cara memandang perintah ini dan miskonsepsi dalam penerapannya.
Berikut adalah tiga miskonsepsi dari Amanat Agung yang perlu diluruskan berdasarkan penafsiran yang lebih seimbang di dalam konteks dan preteks dari ayat ini.
Miskonsepsi #1: Amanat Agung adalah perintah semata.
Hal ini tidak salah, tapi kurang lengkap. Memahami Amanat Agung hanya sekadar perintah membuat mandat ini menjadi menakutkan dan kadang berat dilaksanakan. Namun, kita lupa melihat bahwa mandat ini diapit oleh dua kenyataan janji yang indah. Memang dalam keseluruhan kitab suci, tidak ada perintah yang tidak disertai janji, dan sebaliknya, tidak ada janji yang diberikan tanpa ketaatan atas suatu perintah.
Kenyataan janji yang pertama adalah motivasi dasar dari Amanat Agung itu sendiri: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Amanat Agung Kristus didasarkan atas kenyataan bahwa Ia, Tuhan yang bangkit, telah menang dan segala kuasa di sorga dan di bumi ada di dalam tangan-Nya. Kenyataan ini sebenarnya melegakan dan menghibur, sehingga dalam tantangan dan penderitaan sebesar apa pun yang mungkin mendera dalam ketaatan kita pada perintah ini, Ia tetap memegang kendali kuasa.
Selanjutnya, menyadari kelemahan dan keterbatasan murid-murid-Nya, Ia menutup kalimat perintah-Nya kembali dengan janji kedua: penyertaan-Nya senantiasa sampai akhir zaman. Puji Tuhan! Kita tidak akan pernah sendirian dalam menjalani Amanat Agung ini. Ia bersama dengan kita selamanya! Dalam aspek yang serupa, Paulus juga mengatakan, “kasih Kristus akan mendorong kita” (Christ’s love compels us [NIV]) untuk terus setia menjalani perintah ini sampai akhir.
Pembenaran akan miskonsepsi ini bukan hanya akan menghilangkan ketakutan, tetapi juga membangkitkan keyakinan dan kenikmatan kita dalam menjalani perintah dan mengalami janji yang dikandung dalam Amanat Agung ini. Ribuan buku tidaklah cukup untuk menampung cerita para murid Kristus sepanjang zaman yang di dalam kesetiaan mereka menjalankan Amanat Agung penginjilan ini, kemudian menikmati janji penyertaan Kristus dan kuasa-Nya dalam pelayanan mereka.
Miskonsepsi #2: Amanat Agung adalah perintah penginjilan semata.
Sekali lagi, hal ini tidak salah, tapi kurang utuh. Dari empat frase kata kerja yang ada di ayat 19-20: “pergilah”, “jadikanlah…murid”, “baptislah”, dan “ajarkanlah”; dalam bahasa aslinya secara gramatikal, kata perintah (imperative verb) yang utama ada pada frase “jadikanlah…murid” (Yunani: matheteuosate).1 Ini berarti perintah yang sesungguhnya adalah untuk menjadikan segala bangsa murid Kristus. Implikasinya, ketiga frase lainnya harus ditempatkan dalam konteks perintah “jadikanlah…murid”.
Proses menjadikan murid memang harus melibatkan penginjilan, tetapi bukan hanya itu. Perintah menjadikan murid, sebagaimana Yesus sendiri contohkan, menuntut suatu proses kontinuitas mulai dari seorang mendengar Injil, mengaku percaya (dibaptis), diajarkan segala sesuatu yang pernah Kristus ajarkan dan melakukan segala pengajaran Kristus, sampai pada akhirnya orang itu menyerupai Kristus sendiri (Christ-likeness). Ini adalah suatu proses pemuridan yang utuh.
Oleh karena perintah ini adalah suatu paket proses, kita tidak bisa mengatakan, “Saya mengajar dan memuridkan saja, orang lain yang memberitakan Injil.” Kita pun tidak bisa mengklaim, “Saya sudah menginjili maka saya tidak perlu lagi memuridkan.” Semangat memberitakan Injil harus disertai keyakinan yang sama untuk mengajar dan memuridkan. Penginjilan kita tidak boleh bersifat “hit and run” – yang mengatakan, “Yang penting saya sudah membagikan Injil. Jadi sekarang saya sudah dibebaskan dari tanggung jawab berikutnya, semata-mata tergantung orang tersebut dalam meresponi Injil, kalau dia tidak mau percaya atau setia mengikut Kristus, itu salah dia.”
Pemahaman “hit and run” ini tidak biblikal dan kurang bertanggung jawab. Sebagai murid Kristus, kita diperintahkan untuk melakukan keseluruhan proses pemuridan (pemberitaan Injil dan pemuridan), walau tentu dengan penekanan yang berbeda sesuai karunia yang Roh Kudus anugerahkan. Rasul Paulus boleh dikatakan sebagai seorang yang sangat giat menjalankan Amanat Agung penginjilan ini, akan tetapi ia juga yang mengatakan dalam Kolose 1:28: “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.”
Miskonsepsi #3: Amanat Agung hanya bagi mereka yang “pergi” atau bagi para misionaris ke negara-negara asing atau bagi orang-orang yang dipanggil penuh waktu.
Terjemahan Alkitab bahasa Indonesia agak lemah dalam menyatakan maksud asli dari ayat ini. Kata perintah “pergilah” memberi kesan bahwa untuk dapat menjalankan Amanat Agung ini, seorang harus meninggalkan rumahnya, pekerjaannya, atau kondisinya sekarang. Padahal, kata asli yang dipakai untuk “pergilah” (Yunani: poreuothentes)2 adalah dalam bentuk “aorist participle” dan lebih tepat diartikan sebagai “as the way you go” atau “ke tempat mana saja kamu pergi” atau “di mana saja kamu berada”.3
Pengertian ini memberikan penekanan yang sama sekali berbeda. Ini berarti Amanat Agung ini dimaksudkan untuk dijalankan dalam konteks di mana kita sekarang hidup dan berada – di tengah kampus, kantor, keluarga, gereja, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, Amanat Agung ini adalah bagi setiap orang percaya dalam kesehariannya, walaupun Tuhan bisa saja secara khusus memanggil sebagian orang secara penuh waktu atau sebagian lagi keluar memberitakan Injil ke tempat-tempat terpencil yang Ia kehendaki.
Itu bisa di tengah rimba pedalaman ataupun dalam riuh rendah hawker centre dan kesibukan kerja kita di kantor dan ruang kuliah di kampus, seperti lagu “The Mission” yang Steve Green lantunkan: “Across the street or around the world, the mission is still the same: proclaim and live the truth in Jesus’ name.” Dalam kota besar atau dalam rimba, jiwa sama berharganya di mata Tuhan, seperti kata salah satu lagu ciptaan Pdt. Dr. Stephen Tong. Kalau Tuhan panggil kita membawa Injil ke kaum intelektual di kampus dan kota besar, puji Tuhan. Jika Tuhan berkehendak kita pergi ke suku-suku tak terjangkau di daerah pedalaman atau para kaum miskin di daerah “slum” dan “war zone”, kita juga harus taat. Lihat Kotak Intermezzo.34
Satu konsekuensi dari arti ayat ini adalah Amanat Agung penginjilan bukanlah hanya sekadar terjadi di satu event atau program, misalnya KKR atau penginjilan ke rumah sakit atau ke kampus, tapi harus mencakup keseluruhan hidup kita. Tidak ada salahnya dengan event atau program. Kegiatan yang mulia ini tetap perlu digalakkan sebagai wadah untuk menggerakkan kita untuk membagikan Injil. Yang menakutkan adalah efek negatifnya, yang mengatakan mengikuti kegiatan sudah cukup. Akibatnya, di dalam KKR atau penginjilan ke rumah sakit, kita bisa saja giat dan semangat, tapi dalam keseharian (tempat kerja, ruang kuliah), kita tidak berbuat apa-apa untuk membawa Injil.
Selain itu, ada satu hal lagi yang kita patut renungkan. Amanat Agung berkaitan dengan kehidupan keseharian kita, di mana semua orang di sekeliling kita melihat dan menilai kita (tidak ada yang bisa ditutupi). Oleh karena itu, kita perlu bertanya bukan hanya berapa banyak jiwa yang sudah kita bawa semakin dekat pada Kristus, tetapi juga berapa banyak jiwa, yang oleh karena kelakukan dan perkataan kita yang tidak memberi teladan, telah kita bawa semakin jauh dari Kristus. Sangat mengerikan kalau kadang kita membanggakan diri kita telah membawa 1-2 jiwa kepada Kristus ke KKR, tetapi pada saat yang sama kehidupan dan perkataan kita secara sadar atau tidak sadar telah menggiring 10-20 jiwa semakin jauh dari Kristus.
Tentu saja, kita berharap seperti rasul Paulus yang meyakini tentang dirinya, bahwa ke mana saja ia pergi, ia adalah “bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir (kami) adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan” (2Kor. 2:15-16). Tidak ada aroma netral di sini. Menjadi bau yang harum bagi mereka yang menerima Kristus atau bau yang mematikan bagi mereka yang menolak.
Oleh karena itu, adalah suatu impotensi rohani ketika kita mencoba untuk hidup tidak saling mengusik kepercayaan orang lain dengan alasan kerukunan umat beragama ataupun sekadar kepengecutan kita. Tidak ada gunanya garam kalau kehilangan asinnya, tidak mungkin terang tidak menyinari sekelilingnya. Amanat Agung berkaitan erat dengan status kita dalam Kristus. Kita adalah milik Kristus maka gaya hidup kita sudah semestinya sejalan dengan Amanat Agung yang Kristus perintahkan.
Senada dengan Paulus, Jim Elliot, seorang misionaris yang mati martir di pedalaman Nikaragua menaikkan doa, “Father, make me a crisis man. Bring those I contact to decision. Let me not be a milepost on a single road. Make me a fork, that men must turn one way or another on facing Christ in me.”
Usai membaca pembahasan Amanat Agung untuk kesekian kalinya, pada akhirnya, hanya akan ada dua kelompok murid Kristus. Kelompok pertama adalah mereka yang membaca, membuat artikel, menerbitkan buletin tentang Amanat Agung, atau bahkan berdebat mendiskusikannya. Mereka mengadakan seminar tentang Amanat Agung, aktif berdiskusi tentang ketepatan interpretasinya, ataupun terkagum-kagum dan dibuat terharu akan kedalaman artinya. Akan tetapi, mereka dari kelompok ini berhenti di titik ini. Kelompok kedua adalah mereka yang menjalankan dan menghidupi Amanat Agung ini.
Ada di kelompok manakah Saudara?
Lisman Komaladi
Jemaat GRII Singapura