Pernahkah Anda memiliki teman yang Anda pikir telah Anda kenal dengan baik, namun ternyata ada banyak hal dalam dirinya yang belum Anda ketahui? Hal semacam ini kerap terjadi ketika kita menyelidiki Rasul Paulus. Sekilas, ia bagaikan seorang sahabat yang kita kenal dengan baik. Kita banyak mendengar khotbah dan mengikuti Pendalaman Alkitab mengenai Paulus dan surat-suratnya. Tetapi setelah kita menggali kehidupan dan theologi Paulus secara lebih mendalam, kita akan heran dengan apa yang kita temukan.
Latar Belakang Paulus1
Dari pengalaman sehari-hari, kita tahu bahwa ada banyak hal yang memengaruhi apa yang kita percayai tentang Allah, diri kita sendiri, dan dunia sekitar kita. Tidak ada orang yang membangun theologinya dalam ruang hampa, dan hal ini pun berlaku bagi Paulus. Walaupun Roh Kudus memimpin Paulus secara pribadi, Roh Kudus berkenan memakai berbagai aspek dari latar belakang Paulus untuk membawanya kepada kebenaran iman Kristen. Ini berarti jika kita ingin mengerti inti sari theologi Paulus, kita harus mengenal latar belakang kehidupannya. Kita memang tidak tahu banyak mengenai pertumbuhan pribadi Paulus, tetapi kita tahu bahwa ia bertumbuh di dalam pengaruh dua kebudayaan yang kuat: kebudayaan Yahudi dan kebudayaan non-Yahudi (Yunani-Romawi).
Kebudayaan Yahudi
Perjanjian Baru menyatakan dengan jelas bahwa Paulus sangat menyadari warisan Yahudinya sebelum ia menjadi seorang Kristen. Deskripsi pribadinya tentang masa mudanya sebelum ia bertobat mengungkapkan komitmennya yang kuat kepada Yudaisme. Paulus mengeklaim bahwa dirinya: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, dan orang Farisi dalam hal pendiriannya terhadap hukum Taurat (Flp. 3:5).
Paulus adalah seorang religius yang konservatif dan sepenuhnya membaktikan diri dalam memelihara dan memajukan tradisi Israel. Ia juga menjelaskan bahwa di dalam agama Yahudi, ia jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengannya di antara bangsanya, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangnya (Gal. 1:14). Sebelum bertobat, semangat Paulus untuk membela Yudaisme sedemikian besar sehingga ia dengan keras menganiaya gereja Kristen yang dianggap sebagai bidat Yahudi (Kis. 9:1-3).
Selain bersemangat, Paulus juga adalah orang yang sangat terdidik di dalam Yudaisme. Ia pernah menjadi murid dari Rabi Gamaliel, seorang rabi yang paling terkenal di Yerusalem (Kis. 22:3). Paulus sangat terlatih dalam theologi dan Kitab Suci Yahudi. Ia sama sekali bukan seorang fanatik yang tidak memiliki pengetahuan.
Kebudayaan Yahudi Paulus bukan saja penting baginya sebelum ia menjadi Kristen; ia juga tetap sangat berutang kepada warisan yang sama ini sesudah pertobatannya. Sebagai seorang Kristen, ia tetap melaksanakan adat istiadat Yahudi sebagaimana yang ia katakan dalam suratnya kepada jemaat Korintus (1Kor. 9:20). Bahkan walaupun ia dianiaya dengan sengit oleh orang Yahudi karena imannya kepada Kristus, jati diri etnis dan kesetiaan Paulus sedemikian kuat sehingga ia masih dengan gigih berusaha menyelamatkan mereka. Ia sangat berdukacita dan selalu bersedih hati, bahkan ia mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudara kaum bangsanya secara jasmani, bangsa Israel (Rm. 9:2-5).
Dengan mengingat pentingnya latar belakang Yahudi bagi Paulus, bagaimana latar belakang ini memengaruhi theologi Kristennya?
Pertama, sebagai seorang Yahudi sekaligus Kristen-Yahudi, Paulus memercayai otoritas Perjanjian Lama dan tunduk kepadanya tanpa syarat. Paulus tidak akan pernah memercayai apa pun yang bertentangan dengan Perjanjian Lama. Sayangnya, sebagian theolog berpendapat bahwa Paulus menolak ajaran Perjanjian Lama dan menggantinya dengan iman barunya kepada Kristus. Tetapi hal ini sama sekali tidak benar. Paulus berpegang teguh pada monotheisme Israel di Perjanjian Lama dan dengan sebulat hati taat kepada tuntutan moralnya. Paulus tidak pernah sekali pun percaya bahwa iman Kristennya membuatnya menentang Perjanjian Lama. Sebaliknya, komitmennya kepada Kristus memperdalam pengabdiannya kepada Perjanjian Lama. Inilah alasan mengapa Paulus meminta Timotius, anak rohaninya, untuk tetap berpegang kepada kebenaran dan ajaran Perjanjian Lama, sebab di dalamnya Timotius akan memperoleh hikmat yang menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus (2Tim. 3:14-15).
Kedua, Paulus memegang teguh kepercayaan bangsa Yahudi bahwa suatu hari nanti Allah akan mengutus Mesias, Anak Daud yang agung, yang akan mengakhiri penderitaan Israel dan memperluas Kerajaan Allah kepada semua bangsa non-Yahudi. Kita dapat mengatakan bahwa alasan pertobatan Paulus menjadi orang Kristen adalah karena ia percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang sudah lama dinantikan itu. Karena itulah Paulus tidak ragu untuk menyebut Yesus sebagai Kristus, atau Christos, yang merupakan terjemahan Yunani untuk istilah Ibrani Meshiach atau Mesias. Paulus tidak memandang kekristenan sebagai pengganti Yudaisme. Sebaliknya, ia percaya bahwa kekristenan adalah cabang dari Yudaisme yang mengakui bahwa Yesus adalah Sang Mesias sejati.
Pilar-pilar iman Yahudi ini—ketundukan penuh kepada Alkitab dan pengharapan akan Mesias—merupakan dimensi penting dari pandangan Kristen Paulus. Dalam hal ini dan berbagai hal lain, inti dari kepercayaan Kristen Paulus bergantung kepada warisan Yahudinya.
Tetapi Paulus tidak saja dipengaruhi oleh warisan Yahudinya. Roh Kudus juga berkenan memakai interaksi Paulus dengan kebudayaan non-Yahudi untuk membentuk theologinya.
Kebudayaan Non-Yahudi
Pertama-tama, kita harus mengingat bahwa selama hidupnya, Paulus tidak hanya tinggal di Palestina, tetapi juga tinggal di dalam lingkungan non-Yahudi. Lukas mencatat bahwa Paulus berasal dari Tarsus, kota non-Yahudi di Kilikia (Kis. 21:39), dibesarkan di Yerusalem (Kis. 22:3), dan kembali tinggal di Tarsus ketika ia dewasa (Kis. 9:30; 11:25).
Sebagai tambahan, interaksi Paulus dengan dunia non-Yahudi diperkuat oleh fakta bahwa ia menikmati kewarganegaraan Romawi secara penuh. Paulus tidak membeli kewarganegaraan itu, tetapi memilikinya sejak lahir (Kis. 22:28). Dalam beberapa peristiwa di Kisah Para Rasul, kita membaca bahwa Paulus secara aktif menekankan haknya sebagai seorang warga negara Romawi untuk membela dirinya dan menyebarkan Injil. Paulus bahkan mendemonstrasikan kesediaannya untuk menjalankan adat istiadat non-Yahudi demi kepentingan Injil (1Kor. 9:21). Paulus sangat mengenal kebudayaan non-Yahudi sampai ia sanggup untuk menyesuaikan perilakunya dengan kebiasaan-kebiasaan orang non-Yahudi sambil tetap menaati hukum Kristus.
Terakhir, Paulus juga memahami karya sastra agung dari kebudayaan non-Yahudi. Dalam nas-nas seperti Kisah Para Rasul 17:22-28 dan Titus 1:12, Paulus sungguh-sungguh merujuk kepada, dan bahkan mengutip, para filsuf non-Yahudi. Ia sangat terdidik dan memahami filsafat dan agama dunia Yunani-Romawi.
Apakah dampak dari pengenalan dan interaksi Paulus dengan kebudayaan non-Yahudi terhadap diri dan theologinya?
Pertama-tama, kita harus mengingat bahwa pengenalan Paulus akan kebudayaan non-Yahudi tidak pernah membuat Paulus mengubah kekristenannya agar dapat diterima oleh orang non-Yahudi. Paulus tetaplah orang Yahudi dalam orientasi dasarnya. Namun, interaksi Paulus dengan dunia non-Yahudi setidaknya telah memengaruhi dia dalam dua cara.
Pertama, interaksi ini memperlengkapi Paulus untuk melayani orang-orang non-Yahudi di luar gereja. Paulus mengenal nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan orang non-Yahudi lebih dari kebanyakan orang yang lain, sehingga ia sangat siap untuk memberitakan Injil kepada mereka dengan cara yang lebih efektif. Inilah alasan mengapa Paulus disebut “rasul untuk orang non-Yahudi” (Rm. 11:13).
Lebih jauh lagi, Paulus juga siap untuk melayani orang non-Yahudi di dalam gereja dan bahkan berjuang demi mereka. Pelayanan Paulus kepada orang non-Yahudi telah melibatkan dia dalam salah satu pertentangan yang paling sengit dalam gereja abad pertama, yaitu mengenai apakah perlu memaksa orang percaya non-Yahudi untuk disunat. Paulus memainkan peran penting dalam meyakinkan para rasul dan para penatua bahwa petobat non-Yahudi tidak perlu disunat (Kis. 15). Di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus dengan tegas membela hak orang non-Yahudi untuk tidak disunat.
Pertentangan ini kemudian mewakili perhatian Paulus yang lebih luas untuk orang non-Yahudi di dalam gereja. Meskipun banyak orang Kristen Yahudi pada zaman itu yang menganggap orang Kristen non-Yahudi hanya dapat menjadi orang percaya kelas dua, Paulus bersikeras bahwa Kristus telah menghancurkan tembok pemisah antara orang Yahudi dan orang non-Yahudi sehingga keduanya menjadi satu di dalam Kristus, dan orang-orang non-Yahudi juga memiliki hak untuk disebut sebagai keturunan Abraham yang berhak menerima janji-janji Allah (Gal. 3:28-29). Hal ini menjadi satu tema sentral dalam surat-surat Paulus, bahwa Yesus telah membuka pintu yang lebar bagi keselamatan bangsa-bangsa non-Yahudi, sehingga setiap orang non-Yahudi yang ada di dalam Kristus diperhitungkan sebagai seorang berdarah Yahudi asli serta pelaku hukum Taurat yang sempurna di mata Allah.
Jadi kita melihat bahwa latar belakang Paulus dalam kebudayaan Yahudi dan non-Yahudi memengaruhi dia dalam banyak cara. Dan dengan mengingat latar belakang ganda ini, kita kini siap untuk melihat bagaimana kaitan antara theologi Paulus dan pelayanannya.
Misi
Setelah memikirkan tentang latar belakang Paulus, kita juga harus melihat misi rasulinya. Kita dapat memahami tugas Paulus sebagai rasul Yesus Kristus dengan melihat kepada tiga perjalanan misinya dan perjalanannya ke Roma.
Perjalanan Pertama
Perjalanan misi Paulus yang pertama dicatat dalam Kisah Para Rasul 13-14. Perjalanan ini dimulai ketika Allah memerintahkan gereja di Antiokhia untuk mengkhususkan Paulus dan Barnabas bagi suatu pekerjaan. Roh Kudus kemudian memimpin keduanya ke Pulau Siprus. Setelah melalui beberapa kesempatan melayani di sana, mereka melangkah lebih jauh untuk melakukan penginjilan di Asia Kecil. Paulus memulai dengan mewartakan Injil di sinagoge orang Yahudi, tetapi setelah menerima banyak perlawanan dari orang Yahudi, ia mulai berkhotbah kepada orang non-Yahudi juga.
Paulus berhasil merintis sejumlah gereja dalam perjalanan pertamanya ini, termasuk beberapa gereja di wilayah Galatia. Setelah berjalan ke timur sampai ke Derbe, Paulus dan Barnabas berbalik arah. Mereka kembali ke kota-kota Galatia, sampai akhirnya tiba di laut dan berlayar pulang. Perjalanan misi pertama Paulus relatif singkat dan tidak rumit, tetapi perjalanannya yang kedua membawanya menjauh dari tanah Palestina.
Perjalanan Kedua
Perjalanan misi Paulus yang kedua dicatat dalam Kisah Para Rasul 15:36-18:22, yang dimulai ketika para rasul dan para pemimpin gereja di Yerusalem memilih Paulus dan Barnabas untuk menyampaikan surat kepada gereja-gereja di Antiokhia, Siria, Kilikia, dan Galatia, yang berisi penjelasan bahwa para petobat non-Yahudi tidak perlu disunat atau memelihara hukum Musa untuk mendapatkan keselamatan.
Persis sebelum perjalanan ini dimulai, Paulus mengalami perselisihan dengan Barnabas sehingga mereka berpisah dan Paulus membentuk tim yang baru bersama Silas. Kedua orang ini pertama-tama melintasi Siria, dan kemudian menuju Kilikia sampai tiba di Galatia. Di Listra yang ada di wilayah inilah Timotius bergabung dalam perjalanan Paulus.
Saat melanjutkan perjalanannya, Paulus ingin memberitakan Injil ke sebelah utara Asia dan Bitinia, tetapi Roh Kudus mencegahnya. Maka Paulus pergi ke kota pesisir yaitu Troas. Di sana, alasan Roh Kudus mencegahnya menjadi jelas melalui penglihatan yang terkenal. Dalam penglihatan ini, Paulus melihat seseorang yang memohon agar Paulus mengkhotbahkan Injil di Makedonia, provinsi sebelah utara Yunani. Paulus dan kelompoknya langsung merespons mimpi itu dengan berlayar ke provinsi tersebut. Paulus merintis banyak gereja di Yunani, termasuk gereja di Filipi dan Tesalonika di utara. Paulus kemudian beranjak ke selatan, mengunjungi Athena, dan merintis sebuah gereja di Korintus. Paulus kemudian pergi ke Efesus, dan setelah beberapa waktu berada di sana, ia kembali lagi ke Palestina.
Perjalanan Ketiga
Perjalanan misi Paulus yang kedua segera disusul oleh perjalanan ketiga yang membawanya kembali ke sebelah barat, yang dicatat di dalam Kisah Para Rasul 18:23-21:17. Dalam perjalanan ini, Paulus pergi ke Antiokhia di Siria melewati Galatia dan Frigia, kemudian memulai sebuah pelayanan yang berkembang pesat di Efesus. Setelah itu, selama beberapa bulan Paulus menjelajahi Yunani dari utara ke selatan dan kembali lagi ke utara. Ia mengunjungi gereja-gereja yang telah ia rintis dalam perjalanannya yang sebelumnya ke wilayah ini, dan kemudian ia kembali lagi ke Yerusalem.
Ketika Paulus kembali ke Yerusalem sesudah perjalanannya yang ketiga, orang Yahudi mengajukan tuduhan palsu bahwa Paulus telah menghasut rakyat, sehingga pemerintah Romawi menangkap dia. Setelah menjalani dua tahun di dalam penjara, Paulus menuntut haknya sebagai seorang warga negara Romawi untuk naik banding kepada kaisar. Proses naik banding kepada kaisar inilah yang menjadi alasan bagi perjalanannya yang keempat, yang membawanya ke Roma.
Perjalanan Keempat
Catatan tentang perjalanan misi keempat Paulus dicatat di dalam Kisah Para Rasul 27-28. Paulus menempuh sebagian besar perjalanan ini dengan kapal. Saat berada di antara Kreta dan Pulau Malta, badai dahsyat meluluhlantakkan kapal yang mengangkut Paulus dan sejumlah tahanan lain. Para awak kapal, para penjaga, Paulus, dan kawan-kawan seperjalanannya mengalami karam kapal dan terdampar di Pulau Malta selama tiga bulan sebelum mereka bisa melanjutkan perjalanan ke Roma. Di Roma, Paulus menjadi tahanan rumah dari tahun 60 sampai 62 M. Selama masa ini, Paulus dapat melayani dengan bebas.
Menurut tradisi, Paulus dibebaskan oleh Nero dan kemudian ia pergi ke Spanyol untuk mewartakan Injil. Beberapa bukti dari surat untuk Timotius dan Titus juga menunjukkan bahwa ia pergi ke arah timur untuk mendirikan dan menguatkan gereja-gereja yang ada di sana. Tetapi kemungkinan pada sekitar tahun 65 M atau tidak lama kemudian, Nero kembali menyuruh menangkap Paulus, dan akhirnya Paulus dihukum mati.
Pandangan sekilas ke wilayah di antara Yerusalem dan Roma menyingkapkan bahwa Paulus telah mengunjungi banyak tempat, menjalin hubungan dengan ribuan orang di lebih dari dua puluh lima kota. Apa yang perlu kita pelajari dari kenyataan bahwa ia sanggup melakukan perjalanan seluas itu? Apa yang disampaikan oleh hal-hal ini tentang inti sari theologi Paulus?
Sudah pasti ada banyak hal yang dapat kita pelajari tentang theologi Paulus dari perjalanan-perjalanan misinya itu. Tetapi satu hal yang paling penting yang kita pelajari ialah bahwa theologi Paulus tidak mengizinkannya untuk menjadi seorang theolog teoretis semata. Pastilah Paulus sangat terdidik dan sangat cerdas. Tetapi Paulus bukanlah theolog yang duduk di menara gading, jauh dari kehidupan sehari-hari di dunia nyata di mana kita semua tinggal—kehidupan yang menyakitkan dan berantakan, penuh dengan kekacauan, keadaan darurat, dosa, penderitaan, dan kotoran.2 Theologi Paulus menjadikannya memiliki kehidupan yang berkorban dan melayani. Ketika kita menilik inti sari theologi Paulus, kita tidak boleh berhenti pada seperangkat ide atau kepercayaan yang diceraikan dari kehidupan praktis. Hal inilah yang membuat surat-surat Paulus dikenal dengan pembagian dua struktur: paruh pertama mengenai eksposisi theologis dan paruh kedua mengenai kehidupan praktis.3 Kita harus mencari sesuatu yang radikal dan mengubah hidup. Apabila kita mengerti theologi Paulus dengan tepat, sebagaimana halnya Paulus, theologi itu akan mengilhami dan memimpin hidup kita untuk menjalani kehidupan pelayanan yang radikal untuk Kristus, gereja, dan dunia.
Marthin Reynaldo
Pemuda FIRES
Referensi:
1. Pendekatan terhadap theologi Paulus melalui latar belakang dan perjalanan misinya diambil dari: Kidd, Reggie. Paul and His Theology. Third Millennium Ministries, https://thirdmill.org/seminary/lesson.asp/vid/5/version/. Diakses pada 4 Desember 2020.
2. Kalimat ini digunakan untuk menggambarkan kehidupan John Calvin dalam Mathis D., Piper J. (Ed). 2010. With Calvin in the Theater of God. Illinois (US): Crossway Books.
3. Kalimat yang senada dengan Chamblin, J. K.
2006. Paulus dan Diri: Ajaran Rasuli bagi Keutuhan Pribadi. Jakarta (ID): Momentum.