Bait Allah: Kutuk dan Berkat Berlimpah bagi Pendosa Terbesar

Beginilah firman TUHAN semesta alam: Bangsa ini berkata: “Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali Rumah TUHAN!” (Hag. 1:2)

Kitab Hagai dibuka dengan kalimat tuduhan Allah terhadap bangsa Israel yang belum lama pulang dari pembuangan Babel. Setelah 70 tahun lebih diperbudak di Babel, bangsa Israel akhirnya pulang ke Yerusalem. Ketika di Yerusalem, sejauh mata mereka memandang, yang ada hanya reruntuhan akibat kalah perang. Maka, mereka harus membangun Yerusalem dari nol. Bagi seorang manusia, ketika disuruh memilih mendirikan rumah, tembok, atau tempat ibadah, maka hal yang paling masuk akal adalah mendirikan rumah terlebih dahulu, baru tembok, dan terakhir tempat ibadah. Sepulang dari pembuangan, para suami harus memberi tempat berdiam dan berlindung bagi istri dan anaknya. Setelah keluarga tenang dan aman, barulah kerja membangun tembok supaya tidak diganggu dan diserang oleh musuh. Maka, sewajarnya membangun rumah ibadah menjadi prioritas terakhir. Begitulah yang dilakukan bangsa Israel. Menurut logika manusia, hal ini sangat masuk akal. Sama seperti kita hari ini, kita lebih mengutamakan kuliah, pekerjaan, dan waktu liburan kita lebih dari Allah. Makanya kita bisa begitu serius ketika melakukan tugas kita saat kuliah atau kerja dan begitu santai untuk pergi jalan-jalan berwisata sambil “refreshing” dari sumpeknya weekday. Apabila masih ada sisa waktu, di situlah tempat kita sediakan waktu untuk membaca Alkitab, berdoa, dan ke gereja. Namun kita melihat, Nabi Hagai menentang keras worldview seperti ini.

Pertama, Nabi Hagai mengajak Israel untuk mengingat kembali bahwa mereka adalah umat Allah melalui perjanjian di Gunung Sinai. Hagai 1:6 penting untuk dimengerti berdasarkan konteks perjanjian Israel di Gunung Sinai dan kutukan yang sudah ditetapkan untuk pelanggaran. Di sanalah Musa memperingatkan bangsa Israel bahwa pengkhianatan dan pelanggaran terhadap perintah Allah akan mendatangkan kekeringan dan kelaparan (Im. 26:26; Ul. 28:16, 18, 38-40), kekurangan anggur (Ul. 28:39), dan berbagai kebutuhan sehari-hari (Ul. 28:19, 23-24, 44). Hal tersebutlah yang terefleksi pada Hagai 1:6. Namun, bukan kelaparan yang menyengsarakan yang terjadi, sebab orang-orang masih tetap akan menuai, makan, minum, berpakaian, dan mendapatkan upah. Tetapi, meskipun mereka sudah bekerja keras, mereka akan mengalami ketidakpuasan dan hasil yang tidak maksimal. Hasil ladang ada, tetapi sedikit. Bisa makan, tetapi tidak mengenyangkan. Bisa minum, tetapi tidak menyegarkan. Berpakaian, tetapi tidak menghangatkan badan, dan dapat upah, tetapi seakan mempunyai dompet bocor karena terbatasnya hasil panen dan biaya hidup yang makin hari makin meningkat. Di waktu itu, bangsa Israel tidak akan menikmati berkat berlimpah dari Allah. Meskipun banyak dari mereka berhasil pulang kembali dari pembuangan, namun mereka harus mengalami kutukan secara komunal, karena ketidaktaatan mereka kepada Allah. Dalam gagalnya mereka mendirikan Bait Allah, mereka menunjukkan bahwa pada dasarnya mereka belum kembali kepada Allah, mencintai dan menaati Allah dengan seluruh hati, jiwa, dan pikiran mereka (Ul. 30:1-6).

Hagai 1:9 juga menambahkan keluhan Allah kepada umat-Nya. “Kamu mengharapkan banyak, tetapi hasilnya sedikit, dan ketika kamu membawanya ke rumah, Aku menghembuskannya. Oleh karena apa? Demikianlah firman TUHAN semesta alam. Oleh karena Rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusan rumahnya sendiri.” Kata “hasil” mengindikasikan bahwa hasil ladanglah yang dihembuskan oleh Allah. Hal ini begitu menyedihkan, sebab nabi-nabi sebelumnya berdoa dan menjanjikan harapan yang besar akan kelimpahan hasil ladang setelah umat Allah kembali dari pembuangan (Yer. 31:11-14; Am. 9:13-15). Karena itu, mereka mempunyai ekspektasi tinggi ketika mereka pulang. Namun, betapa besar kekecewaan mereka, sebab mereka tidak dapat mengalami apa pun yang dijanjikan. Apa yang dibawa pulang ke rumah secara literal ditiup oleh Allah. Betapa banyak juga janji Allah di dalam hidup ini yang belum kita terima karena gagalnya kita menaati berbagai perintah Allah. Kita sudah dibaptis dan menjadi orang Kristen, menerima Roh Kudus yang dijanjikan Allah karena menjadi orang Kristen yang percaya kepada Tuhan Yesus, serta berbagai kelimpahan dari Allah. Namun, kita masih mengalami kekosongan hidup. Begitu banyak remaja, pemuda, hingga orang dewasa Kristen harus mencari hiburan di luar untuk mengisi kekosongan hatinya, rasa lapar, dan rasa haus jiwa kita yang tidak pernah terpuaskan. Tidakkah kita sadar bahwa urusan kita dengan Allah belum beres?

Allah kembali bertanya dalam Hagai 1:9, “Mengapa?” Allah menjawab, “Oleh karena Rumah-Ku yang tetap menjadi reruntuhan, sedang kamu masing-masing sibuk dengan urusan rumahnya sendiri.” Kekecewaan Allah soal mendirikan rumah, di sini sudah diulang sebanyak dua kali (Hag. 1:4 dan 9) di dalam satu pasal yang sama. Di dalam bahasa Ibrani, pengulangan berarti penekanan akan pentingnya suatu ucapan. Dikatakan bahwa umat Israel punya waktu, tenaga, dan keinginan untuk membangun. Namun, seluruh energi yang mereka punya diarahkan kepada arah yang salah. Prioritas mereka diarahkan kepada diri mereka sendiri daripada diarahkan kepada Allah. Itu sebabnya mereka harus dihukum Allah. Ketika Allah menghukum umat-Nya, kita harus membacanya menurut kacamata perjanjian Allah dengan umat-Nya. Tujuan Allah menghukum umat-Nya adalah demi mendisiplinkan umat-Nya, dengan harapan mereka mau kembali kepada Allah.

Ketika umat Allah menunjukkan ketidaksetiaan kepada Allah, hukuman Allah bukan hanya berdampak kepada manusia saja, tetapi seluruh alam juga akan terdampak (Hag. 1:10-11). Bukan hanya bangsa Israel yang akan kekurangan makanan, melainkan gandum, anggur, minyak, hasil tanah, manusia, hewan, dan segala hasil usaha juga terdampak hukuman Allah. Tidakkah kita sadar, pada waktu kejatuhan manusia pertama, yakni Adam dan Hawa, satu orang berdosa, seluruh manusia menjadi berdosa? Maka, ketika kita melakukan suatu ketidakbenaran, suatu dosa, bukan hanya kita yang akan mendapat hukuman dari Allah, melainkan orang lain pun akan terkena dampaknya.

Hagai secara to-the-point memerintahkan bangsa Israel membangun Bait Allah untuk menyenangkan dan memuliakan Allah. Allah menghukum menurut kebijaksanaan-Nya kepada bangsa Israel. Ia menghukum untuk mendisiplinkan, sebagai peringatan, supaya mereka mau rendah hati di hadapan Allah dan bertobat dari dosa mereka. Demikian juga kita, jika kita dihukum Allah karena kesalahan yang kita perbuat, kita mesti bertobat. Sebab, Allah mendisiplinkan anak-anak-Nya dan memberi peringatan kepada anak-anak-Nya untuk bertobat dan kembali kepada-Nya (Luk. 13:1-5; 1Kor. 11:30; Ibr. 12:4-13; Yak. 5:14-15; Why. 2:22). Jika Allah tidak pernah menghukum atau mendisiplin kita, berdoalah supaya Allah memberikan belas kasihan-Nya kepada kita. Sebab, orang yang dikasihi Allah pasti dididik Allah, meskipun tidak semua hukuman atau kesengsaraan itu akibat dari dosa tertentu (Kitab Ayub; Yoh. 9:1-3). Namun, Allah kita bukanlah Allah yang dipercaya orang Deist, yaitu kepercayaan akan Allah yang mencipta lalu meninggalkan ciptaan-Nya melewati hari demi hari di luar topangan tangan dan kontrol Allah. Berdoalah supaya Allah melunakkan hati kita dan membimbing kita keluar dari dosa yang sudah menutup telinga kita dari teguran firman Tuhan dan membutakan kita dari murka Allah.

Hagai 1:12 mencatat, setelah bangsa Israel menyadari hukuman yang sedang menimpa mereka, Israel di saat itu juga langsung berbalik arah dan bertobat. Hal ini tidak biasa terjadi pada bangsa Israel, sebab bangsa Israel terkenal suka menolak teguran nabi-nabi dan mengeraskan hati. Namun, tidak pada peristiwa ini. Pembuangan di Babel begitu membuat mereka terpukul karena harus terpisah dengan Allah berpuluh-puluh tahun lamanya, hingga membuat mereka jera untuk mengabaikan Allah. Maka, ketika mendengar teguran, mereka tidak lagi berani melawan Allah mereka. Bagi bangsa Israel, Allahlah identitas mereka. Tidak ada allah lain selain Allah. Di tengah kegentaran dan kengerian (Hag. 1:13), Allah memberi janji yang paling melegakan yang pernah mereka terima, “I am with you”–“Aku ini menyertai kamu.” Allah bekerja di dalam hati orang-orang yang menaati Dia. Allah beserta mereka yang taat kepada-Nya. Di dalam ayat 14, bangsa Israel begitu diberkati dengan semangat dan sinkronisasi hati di antara mereka. Mengutip Pdt. Edward Oei di FIRES, meskipun rumah pribadi tidak dibangun terlebih dahulu, istri tidak boleh cerewet, tidak menghalangi suami di dalam melakukan pekerjaan Allah, melainkan hati mereka harus bisa sinkron. Keluarga hidup berdamai, musuh dari luar dihalau oleh Allah, para pria bisa sehati dan sinkron, dan berbagai berkat lainnya, sehingga pembangunan Rumah TUHAN semesta alam, Allah mereka, selesai.

Dua ribu tahun yang lalu, ketika Tuhan Yesus turun ke dalam dunia, tujuan ultimat Allah akan pendirian Bait Allah sudah dipenuhi. Kristus, Sang Imanuel, Allah beserta kita, hadir dalam dunia ini, bagi umat-Nya. Karena itu, Bait Allah bukan lagi bangunan, melainkan umat Allah, yaitu gereja-Nya (Ef. 2:21; 1Ptr. 2:4-5) dan ciptaan baru (Why. 21-22). Sebab itu, fokus prioritas orang Kristen dalam hidup ini bukanlah bangunan di Yerusalem, tetapi Yesus Kristus, pertumbuhan kesucian Gereja-Nya, dan penyambutan Yesus Kristus yang kedua kali. Karena kita sudah mempunyai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, pesan Hagai bukan lagi berupa pendirian bangunan fisik Bait Allah ataupun bangunan gereja, bukan juga membahas mengenai memberikan berapa banyak uang untuk membangun gereja, tetapi melakukan yang lebih besar dari itu, yakni menyerahkan diri untuk mencintai Allah sepenuhnya dengan mengenal Dia, melalui mempelajari firman-Nya sedalam mungkin dan seluas mungkin serta menjalankannya sesempurna mungkin, demikian juga rela pergi menginjili sampai ke ujung bumi. Secara logika dalam keberdosaan kita, pekerjaan ini sulit dan tidak masuk akal, atau bahkan terlalu sepihak. Tetapi, seperti orang-orang di zaman Nabi Hagai, orang Kristen diperintahkan untuk melakukannya dan kita akan dikuatkan dengan janji Allah, “I am with you”–“Aku menyertai kamu” (Mat. 28:20). Kiranya Tuhan menyertai dan memberkati kita!

Hanshen Jordan
Pemuda FIRES

Referensi:
Petterson, Anthony. 2015. Haggai, Zechariah & Malachi. InterVarsity Press.