Bavinck on Revelation (1): Mari Kita Memulai

Dalam satu tahun ke depan, Buletin PILLAR akan membahas mengenai wahyu. Doktrin wahyu adalah tema yang kompleks. Karena itu, di dalam artikel ini kita akan membahas tema ini hanya melalui satu sudut pandang, yaitu dari seorang theolog yang bernama Herman Bavinck. 

Kita akan memulai pembahasan dengan sebuah pertanyaan sederhana: Apa itu wahyu?

Tanpa Wahyu, Tidak Ada Agama

Bavinck memulai penjelasannya mengenai wahyu dengan menyatakan kaitan yang erat antara wahyu dan agama. Dengan mengutip orang-orang yang melakukan survei terhadap agama-agama di dunia, Bavinck menulis: 

“Kitab Weda India, yang berisi hukum-hukum suci, tidak berasal dari manusia tetapi bersandar pada wahyu dan dalam arti yang paling ketat berasal dari yang Ilahi. Zarathustra menerima panggilannya untuk menjadi seorang nabi dalam mimpi dan sering dibawa oleh para malaikat ke sorga, di mana dia melakukan percakapan dengan Ormazd. Hammurabi menuliskan hukum-hukumnya sebagai wahyu dari dewa matahari Tamas. Muhammad menerima wahyu pertamanya ketika dia sudah berusia empat puluh tahun dan kemudian berulang kali diberkati dengan berbagai wahyu yang isinya tercatat dalam Alquran. Di antara orang Yunani dan Romawi terdapat kepercayaan umum bahwa para dewa adalah penyelamat, penolong, dan penasihat bagi manusia dan bahwa atas kemauan mereka sendiri mereka memberikan wahyu atau membiarkan keinginan mereka ditemukan melalui pengamatan atau tindakan khusus, misalnya dari terbangnya burung, isi perut binatang, atau fenomena langit.”

Di sini, Bavinck menyatakan bahwa agama bukanlah suatu hasil imajinasi liar, takhayul, atau ilusi manusia, seperti yang dituduhkan oleh beberapa filsuf. Agama memiliki konten atau isi yang objektif, yaitu suatu relasi antara manusia dan Allah (atau makhluk Ilahi apa pun yang dalam setiap agama sebutannya dapat berbeda-beda) yang bersifat supernatural, tidak terlihat, dan secara level lebih tinggi dari manusia atau makhluk lain apa pun yang ada di alam semesta ini. Hal ini membuat agama berbeda dengan sains, seni, dan moralitas karena ketiga hal ini membahas relasi antara manusia dan makhluk yang lebih rendah dari dirinya (alam) atau yang selevel dengannya (sesama manusia). Karena itu, kita tidak bisa menerapkan metode investigasi yang biasa diterapkan dalam sains kepada agama, sehingga sains tidak memiliki hak untuk menentukan isi atau konten dari agama.  

Jika demikian, siapakah yang berhak menentukan konten dari setiap agama? Bagaimana sesuatu mengenai Allah atau makhluk Ilahi ini diketahui? Bagi Bavinck, satu-satunya cara adalah jika Allah mau merendahkan diri-Nya dan kemudian memperkenalkan atau menyatakan diri-Nya kepada kita; pernyataan inilah yang kemudian disebut sebagai wahyu. Allah hanya dapat diketahui melalui Allah itu sendiri. Manusia sebagai pihak yang lebih rendah bergantung pada sejauh mana Allah rela menyatakan diri-Nya; sebagaimana jika kita bertemu presiden, pengenalan kita terhadapnya lebih tergantung pada sejauh mana kerelaannya untuk membuka diri kepada kita daripada besarnya usaha kita untuk mengenalnya.

Wahyu adalah Pernyataan Diri Allah

Dengan demikian, dalam arti yang paling luas, wahyu adalah seluruh tindakan yang berasal dari Allah untuk membawa umat manusia ke dalam relasi yang khusus dengan-Nya, sebagaimana relasi ini diajarkan di dalam setiap agama; suatu relasi yang bersifat etis atau moral, dalam arti manusia dituntut untuk mengenal dan mengasihi Allah. Di sini, kita perlu mengingat bahwa wahyu—di mana pun, dan selalu—adalah tindakan Allah. Allah tidak pernah melakukan sesuatu secara tidak sadar; Allah melakukan segala sesuatu sesuai dengan rencana-Nya dan memiliki tujuan dalam segala hal. Wahyu tidak pernah merupakan pernyataan yang tidak disadari dan tidak disengaja, tetapi selalu merupakan pernyataan diri Allah yang sadar, bebas, dan aktif untuk membuat diri-Nya dikenal umat manusia. Bavinck menyimpulkan bahwa wahyu bergantung kepada tiga hal ini: (1) Allah harus ada; (2) Allah harus menyatakan diri-Nya, jika tidak, kita tidak mempunyai cara lain untuk mengenal-Nya; dan (3) Allah, sampai taraf tertentu, harus dapat dikenal oleh manusia.

Wahyu: Natural atau Supernatural?

Cara yang Allah pakai untuk menyatakan diri-Nya dapat berbeda-beda, sama seperti manusia yang dapat memperkenalkan dirinya kepada orang lain dengan cara yang berbeda. Allah dapat menyatakan diri-Nya secara langsung dan segera; Allah dapat melakukannya dengan cara biasa (natural) atau luar biasa (supernatural); Allah dapat menggunakan karya-Nya atau perkataan-Nya. Namun cara-cara ini dalam arti tertentu adalah persoalan sekunder. Apa pun cara yang Allah pakai, wahyu selalu adalah pernyataan diri Allah. 

Dengan demikian, pada prinsipnya wahyu bersifat supernatural. Masalah naturalisme-supernaturalisme tidak pertama kali dibahas dalam topik wahyu umum atau wahyu khusus, melainkan menjadi pembahasan dalam pengertian wahyu yang paling umum. Apakah kita percaya peristiwa yang bersifat supernatural (misalnya mujizat) juga bukan persoalan yang penting di sini. Wahyu secara otomatis bersifat supernatural karena menyadari keberadaan yang sedang bekerja di luar dunia yang kita tinggali ini (dunia natural).

Wahyu: Pernyataan Doktrin (Saja)?

Tujuan dari wahyu tidak lain adalah untuk membangkitkan dan memupuk agama (relasi antara manusia dan Allah) di dalam diri manusia. Dengan demikian, segala sesuatu yang melayani tujuan ini adalah wahyu dalam arti yang sebenarnya. Wahyu berkait dengan seluruh anugerah Allah dan karya-Nya di dalam alam ciptaan-Nya. Segala sesuatu yang ada dan terjadi merupakan sarana untuk membawa manusia kepada Allah. Definisi umum yang menyatakan bahwa wahyu hanya terdiri dari komunikasi doktrin, kehidupan, atau lain-lain, sangat mempersempit definisi wahyu. Allah mewahyukan diri-Nya untuk menempatkan manusia dalam hubungan dengan-Nya dan relasi ini mencakup manusia di dalam seluruh aspek hidupnya. Wahyu tidak bertujuan untuk menempatkan manusia dalam hubungan religius (dalam arti sempit) dengan Allah. Manusia adalah satu kesatuan, dan karena itu tujuan wahyu adalah menyatukan manusia secara utuh sebagai umat Allah dan agen Kerajaan-Nya. Wahyu bukanlah fakta sejarah yang terisolasi; wahyu mencakup seluruh peristiwa mulai dari penciptaan dan berakhir di langit baru dan bumi baru; wahyu adalah instruksi, didikan, bimbingan, pemerintahan, pembaruan, pengampunan, semua hal ini secara bersama-sama. Wahyu adalah segalanya yang Allah lakukan untuk menebus manusia, menciptakan mereka kembali menurut gambar dan rupa-Nya.

Tanpa Wahyu, Tidak Ada Penebusan

Bavinck mempertegas definisinya mengenai wahyu ini melalui ide penebusan, yang menurutnya ada pada setiap agama. Bagi Bavinck, seluruh agama berbicara mengenai bagaimana manusia dapat dilepaskan dari kejahatan dan memperoleh apa yang disebut sebagai suatu kebaikan tertinggi. Dalam agama, yang dicari bukanlah nafsu atau kesenangan sensual, bukan sains atau seni, bukan manusia, bukan malaikat, bahkan bukan yang seluruh dunia ini dapat berikan, melainkan kehidupan yang kekal, kesenangan yang tidak terganggu, dan persatuan dengan Allah. Jika apa yang dicari oleh manusia di dalam agama bukanlah yang seluruh dunia ini dapat berikan, jelas bahwa manusia dapat memperoleh kebutuhan ini melalui Allah yang melampaui dunia ini. Dan ini sekali lagi mengharuskan adanya wahyu.

Bavinck kemudian melanjutkan bahwa setiap agama memiliki tiga tema utama: Allah, manusia dalam relasinya dengan Allah, dan mekanisme untuk merestorasi serta menjaga relasi dengan Allah, atau dengan kata lain, theologi, antropologi, dan soteriologi. Ketiga hal ini membawa kita kembali kepada wahyu. Terhadap theologi (ilmu tentang Allah), jelas bahwa jika kita ingin mengenal Allah, Ia perlu menyatakan diri-Nya. Terhadap antropologi (ilmu tentang manusia), wahyu diperlukan karena di dalam agama, yang dibahas bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan anatomi, fisiologi, atau psikologi, tetapi asal dan tujuan manusia, relasinya dengan Allah, kemalangan kita akibat dosa, kebutuhan kita akan penebusan, ingatan akan sorga, dan harapan akan masa depan. Semua hal ini ada dalam lingkup yang tidak dapat digapai oleh sains, melainkan hanya dapat dinyatakan melalui wahyu. Dalam pengaruh yang lebih besar, hal ini berlaku untuk tema ketiga, soteriologi (doktrin keselamatan), karena bagian ini membahas cara agar relasi manusia dengan Allah, yang telah rusak oleh dosa, dapat dipulihkan; atau lebih tepat, menurut Bavinck, mengenai Penyelamat yang dapat memulihkan persekutuan yang rusak dengan Allah. Seluruh hal ini, tentu saja, tidak dapat diperoleh melalui sains, sehingga satu-satunya jawaban adalah melalui wahyu.

Penutup

Sampai di sini, kita baru membahas konsep wahyu secara gambaran besar. Kita akan melanjutkan pembahasan dengan membandingkan wahyu dengan paham-paham lain yang mencoba mengurangi atau bahkan mengganti konsep wahyu seperti yang sudah dijelaskan di sini. Karena itu, penting bagi kita untuk benar-benar memahami apa yang Bavinck sampaikan di sini, sebelum kita maju ke tema-tema berikutnya.

Marthin Rynaldo

Pemuda FIRES

Pustaka:

Bavinck, Herman. The Doctrine of Revelation: Principium externum. Monergism.

Bavinck, Herman. 2003. Reformed Dogmatics Vol. 1: Prolegomena. Baker Academics.