Pada bagian terakhir dari artikel sebelumnya, kita telah membahas bahwa pola pewahyuan Allah dimulai dari karya penciptaan.[1] Karena itu, penting bagi kita untuk memahami beberapa hal dalam kisah penciptaan yang tertulis dalam Kejadian 1.
Seluruh Wahyu Bersifat Supernatural (Lanjutan)
Dalam Kejadian 1, kita melihat bahwa Allah menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya bahkan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Allah berelasi dan berkomunikasi dengan manusia secara intim dan personal; Allah berbicara kepada manusia (Kej. 1:28-30) dan memberikan kepada mereka suatu perintah yang tidak dapat mereka peroleh dari alam (Kej. 2:16). Perintah dan kehendak Allah ini bukanlah hasil dari kecenderungan, usaha, dan kreativitas manusia ketika mengobservasi alam (wahyu umum), namun merupakan hasil dari pernyataan khusus Allah (wahyu khusus). Perintah ini kemudian menjadi salah satu elemen dari kovenan yang dibuat Allah dengan manusia (biasanya disebut kovenan kerja). Kovenan kerja ini, menurut Bavinck, tidak lain adalah bentuk dari agama, yang sesuai dengan keberadaan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Dalam kisah penciptaan, sesuatu yang supernatural tidaklah asing bagi natur manusia atau ciptaan lainnya yang bersifat natural. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa hal-hal supernatural justru adalah esensi dari keberadaan manusia. Manusia adalah gambar dan rupa Allah (mirip Allah) dan, melalui agama, memiliki interaksi dan relasi yang langsung dengan Allah. Natur dari relasi ini mengimplikasikan bahwa Allah dapat mewahyukan diri-Nya kepada manusia baik secara objektif maupun subjektif.
Setelah mengatakan bahwa melalui agama manusia berinteraksi dan berelasi dengan Allah, Bavinck melanjutkan dengan menyatakan sifat agama. Kita telah membahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap agama pasti memiliki tradisi, dogma, dan pemujaan kepada sesuatu yang bersifat supernatural dan ketiga hal ini berkaitan erat dengan wahyu.[2] Setiap agama bersandar bukan hanya kepada wahyu umum (natural) tetapi juga kepada wahyu khusus (supernatural). Bavinck kemudian mengatakan bahwa setiap manusia secara alamiah menyadari dan mengakui hal-hal yang bersifat supernatural. Naturalisme (yang percaya bahwa tidak ada tatanan lain selain tatanan alamiah yang ada di sini dan sekarang) adalah hasil penemuan filsafat, bukan natur dan kecenderungan alami dari manusia.
Selama agama berkait erat dengan natur manusia kita, selama itu pula manusia akan tetap dan terus menjadi supernaturalis. Setiap manusia, meskipun mungkin saja seorang naturalis di dalam kepalanya, adalah seorang supernaturalis di dalam hatinya. Jika kita berusaha untuk memisahkan hal-hal supernatural dari agama, kita sedang membunuh agama itu sendiri. Agama mengasumsikan adanya ikatan dan hubungan yang erat antara manusia dan Allah. Agama tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan bahwa Allah ada dan bahwa Ia berada di atas tatanan alam ini, sehingga Ia dapat melakukan apa pun yang Ia inginkan terhadap hal-hal natural yang ada di bawah-Nya; maka, Allah dapat saja menggunakan alam yang bersifat natural ini untuk sesuatu yang bersifat moral; Allah dapat saja menggunakan hal-hal yang bersifat natural untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat sorgawi. Tidak ada agama yang dapat puas hanya dengan kebenaran-kebenaran abstrak yang dihasilkan oleh agama natural.[3] Alternatif satu-satunya bagi penolakan terhadap hal-hal yang bersifat supernatural bukanlah deisme tetapi naturalisme, yang tidak lain adalah kepercayaan bahwa tidak ada kuasa yang lebih besar selain kuasa yang ada di dalam tatanan alam yang ada di sini dan sekarang.
Bavinck kemudian mengatakan bahwa paham naturalisme ini, jika terus dipegang, memiliki suatu konsekuensi yang serius. Jika kita percaya bahwa tidak ada tatanan lain yang lebih tinggi daripada tatanan alamiah, setiap manusia pasti akan kehilangan semua jaminan untuk percaya bahwa “yang baik akhirnya pasti akan menang”; atau bagi orang Kristen, “Kerajaan Allah pada akhirnya akan menang.” Naturalisme menjadikan kebaikan, kebenaran, tatanan dunia moral, dan Kerajaan Allah sebagai hal-hal yang tidak memiliki kekuatan untuk mewujudkan dirinya sendiri. Harapan bahwa umat manusia akan membawa kebaikan, kebenaran, moralitas yang baik, dan Kerajaan Allah kepada kemenangan akhir akan segera luntur dan pupus oleh kekecewaan, sebab kita melihat bahwa di dunia kita ini justru kejahatan, kesalahan, moralitas yang bobrok, serta kerajaan setanlah yang tampak menang. Kemenangan kebaikan, kebenaran, moralitas yang baik, dan Kerajaan Allah hanya dapat dijamin jika Allah adalah pribadi yang Mahakuasa, yang dapat mengatasi setiap musuh dan pertentangan, dan membawa seluruh ciptaan ke tujuan baik yang ada dalam pikiran-Nya. Agama, moralitas, pengakuan akan tujuan akhir umat manusia dan dunia, kepercayaan pada kemenangan kebaikan, pandangan dunia theistik, dan kepercayaan pada Tuhan yang berpribadi, semuanya terikat dan tak terpisahkan dengan supernaturalisme.[4]
Wahyu: Langsung atau Tidak Langsung?
Setelah memastikan bahwa seluruh wahyu bersifat supernatural, isu berikutnya adalah mengenai bagaimana wahyu ini sampai kepada manusia. Beberapa orang Kristen percaya bahwa wahyu khusus (supernatural) identik dengan wahyu langsung (immediate). Namun, bagi Bavinck, dalam pengertian yang paling ketat, tidak ada yang namanya wahyu langsung, entah itu dalam wahyu khusus ataupun dalam wahyu umum.[5] Allah selalu menggunakan alat, media, dan perantara, yang melaluinya Ia menyatakan diri-Nya kepada manusia. Melalui tanda dan mujizat, Allah membuat kehadiran-Nya dapat dirasakan; melalui karya dan tindakan-Nya, Allah menyatakan sifat dan atribut-Nya; melalui kata-kata dan bahasa manusia, Allah menyatakan pikiran dan kehendak-Nya. Jarak antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya terlalu jauh untuk manusia dapat melihat dan mendengar Allah secara langsung.
Tidak ada makhluk yang dapat melihat atau memahami Allah sebagaimana diri-Nya ada dan sebagaimana Ia berbicara dalam diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, wahyu selalu merupakan tindakan anugerah atau kasih karunia; Allah turun dan merendahkan diri-Nya untuk menemui manusia, yang Ia ciptakan menurut gambar-Nya. Dengan demikian, semua wahyu adalah antropomorfik (semacam humanisasi Allah). Dalam wahyu umum, keilahian, kekekalan, dan pikiran Allah ditempelkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh proses berpikir manusia; dalam wahyu supernatural, Allah membatasi dan mengikatkan diri-Nya pada ruang dan waktu dan menggunakan bahasa dan kata-kata yang dapat dimengerti oleh manusia (Kej. 1:28; 2:16; 3:8). Ini mirip seperti ketika orang dewasa berbicara kepada anak-anak. Sampai taraf tertentu, orang dewasa perlu membatasi dirinya dan berbicara kepada anak-anak dalam segala kesederhanaan dan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Melalui bahasa serta kata-kata Allah (wahyu supernatural), manusia memahami Allah sebaik dan sejelas orang yang saleh memahami wahyu Allah di dalam seluruh alam (wahyu natural).
Dengan demikian, wahyu umum (natural) dan khusus (supernatural) berjalan bersama-sama dan tidak berlawanan, namun saling melengkapi. Keduanya dinyatakan melalui perantara dan memiliki bentuk-bentuk tertentu. Keduanya didasarkan pada gagasan bahwa Allah, dalam kasih karunia-Nya, merendahkan diri-Nya untuk datang kepada manusia dan menyesuaikan diri-Nya dengan mereka. Melalui keduanya, Allah membuat kehadiran-Nya dirasakan, suara-Nya didengar, dan karya-karya-Nya terlihat. Sejak awal, Allah menyatakan diri-Nya melalui theofani (manifestasi Allah dalam bentuk yang terlihat), perkataan-Nya, dan karya atau perbuatan-Nya.
Dosa: Menghilangkan Wahyu?
Isu terakhir yang akan kita bahas dalam artikel ini adalah hubungan antara wahyu dan dosa. Apakah kehadiran dosa membatalkan wahyu Allah?
Bagi Bavinck, hal yang luar biasa dari pengajaran Kristen adalah ketika dosa masuk ke dalam dunia melalui pelanggaran manusia, dosa ini tidak membatalkan wahyu. Allah tidak menarik diri-Nya, namun terus melanjutkan proses pernyataan diri-Nya. Pertama-tama, wahyu umum terus berjalan. Allah terus memelihara dan menopang seluruh ciptaan-Nya, sama seperti yang Ia lakukan sebelum dosa masuk ke dalam ciptaan-Nya. Allah tetap menyatakan keilahian dan kuasa-Nya melalui alam di sekitar kita, dan melalui berkat serta penghakiman-Nya, Ia menyatakan kebaikan dan murka-Nya (Ayb. 36, 37; Mzm. 29; 33:5; 65; 67:7; 90; 104; 107; 145; 147; Yes. 59:17-19; Mat. 5:45; Rm. 1:18; Kis. 14:16-17). Ia menyatakan diri-Nya dalam sejarah bangsa-bangsa dan sejarah manusia (Ul. 32:8; Mzm. 33:10; 67:4; 115:16; Ams. 8:15, 16; Kis. 17:26; Rm. 13:1). Allah juga menyatakan diri-Nya di dalam hati nurani setiap individu (Ayb. 32:8; 33:4; Ams. 20:27; Yoh. 1:3-5, 9, 10; Rm. 2:14, 15; 8:16). Wahyu Allah ini bersifat umum dan dinyatakan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh setiap manusia. Alam dan sejarah adalah kitab yang menyatakan kemahakuasaan, kebijaksanaan, kebaikan, dan keadilan Allah. Semua orang, sampai batas tertentu, harus mengakui wahyu ini. Bahkan penyembahan berhala harus mengasumsikan bahwa Allah telah memanifestasikan kuasa, kekuatan, dan keilahian-Nya di dalam makhluk ciptaan-Nya. Para filsuf, ilmuwan, dan sejarawan telah sering berbicara dan mengakui wahyu Allah ini. Wahyu umum ini telah diterima dan dipertahankan dengan suara bulat dalam theologi Kristen sepanjang zaman. Wahyu ini secara khusus dijunjung tinggi dan sangat dihargai oleh para theolog Reformed.
Bavinck kemudian melanjutkan sifat universal wahyu umum ini dengan menekankan sifat supernaturalnya. Wahyu umum ini tidak murni bersifat alami, tetapi juga mengandung sifat supernatural. Segera setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, wahyu yang tiba kepada manusia memiliki sifat supernatural (Kej. 3:8 dst.), dan melalui tradisi, akhirnya menjadi milik manusia. Untuk waktu yang lama, pengetahuan akan Allah tetap utuh dan murni. Kain menerima kasih karunia dan bahkan menjadi bapak dari garis keturunan yang memberi kemajuan kepada budaya (Kej. 4). Alkitab berulang kali menyatakan mujizat yang dilakukan oleh Allah di depan mata dan bagi orang-orang kafir (Mesir, Kanaan, Babel, dll.) dan wahyu supernatural yang datang kepada orang non-Israel (Kej. 20; 31:24; 40; 41; Hak. 7; Dan. 2:4 dst.). Oleh karena itu, agama-agama kafir tidak hanya bersandar pada pengakuan akan wahyu Allah di dalam alam, tetapi juga pada unsur-unsur dari wahyu supernatural yang sejak zaman dahulu dilestarikan oleh tradisi, meskipun tradisi itu sering kali tidak lagi murni. Alkitab bahkan menyatakan bahwa operasi kekuatan supernatural di dunia kafir bukanlah hal yang mustahil. Itulah sebabnya, terdapat kebenaran mengenai konsep wahyu yang sama dan umum bagi setiap agama. Sebaliknya, tidak semua yang termasuk dalam wilayah anugerah khusus bersifat supernatural. Hal ini dibuktikan oleh periode panjang yang berlalu dalam sejarah Israel, bertahun-tahun dalam kehidupan Yesus, dan juga dalam kehidupan para rasul, di mana tidak ada wahyu supernatural yang terjadi, namun bagaimanapun merupakan bagian penting dalam sejarah wahyu. Kematian Yesus, yang tampaknya “alami” atau “natural”, tidak kalah penting dibandingkan dengan kelahiran-Nya yang bersifat supernatural. Oleh karena itu, perbedaan antara wahyu alam/natural dan supernatural tidak identik dengan perbedaan antara wahyu umum dan wahyu khusus. Dengan demikian, istilah yang lebih cocok untuk menggambarkan wahyu yang mendasari agama-agama kafir dan agama Kitab Suci adalah wahyu umum-khusus daripada wahyu natural-supernatural.
Penutup
Sampai di sini, kita telah membahas sifat supernatural dan sedikit mengenai universalitas dari wahyu umum. Pada artikel berikutnya, kita akan mengulas lebih lanjut mengenai sifat universalitas dari wahyu umum dan implikasi yang menyertainya.
Marthin Rynaldo
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Baca artikel PILLAR no. 224 “Bavinck on Revelation (2): Wahyu Umum (1)”.
[2] Baca artikel PILLAR no. 223 “Bavinck on Revelation (1): Mari Kita Memulai”.
[3] Secara umum, agama natural adalah agama yang dihasilkan dengan mematuhi standar penyelidikan rasional yang sama dengan upaya filosofis dan ilmiah lainnya, dan tunduk pada metode evaluasi dan kritik yang sama. Agama natural biasanya dikontraskan dengan “agama wahyu”, yang secara eksplisit mengacu pada wahyu khusus seperti mujizat, Kitab Suci, dan komentar dan rumusan kredo yang diawasi secara Ilahi. Sumber: Chignell, Andrew and Derk Pereboom, “Natural Theology and Natural Religion”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/natural-theology/>.
[4] Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics Vol. 1: Prolegomena. Grand Rapids (USA): Baker Publishing Group.
[5] Bavinck, Herman. The Doctrine of Revelation: Principium Externum. Monergism.