Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas bahwa wahyu umum menyediakan dasar bagi agama-agama lain di luar agama Kristen.[1] Namun, kesamaan antara agama Kristen dan agama-agama lain ini bukan hanya terletak pada ide mengenai adanya wahyu, tetapi juga pada sarana wahyu, yaitu cara yang melaluinya wahyu sampai kepada manusia.[2]
Kita telah membahas bahwa wahyu adalah pernyataan diri Allah.[3] Di dalam Alkitab, ada berbagai istilah yang dipakai untuk menjelaskan konsep wahyu. Berbagai istilah ini dapat kita kelompokkan ke dalam dua pengertian. Pengertian pertama menekankan tindakan menyingkirkan suatu penghalang yang menghalangi kita untuk melihat atau mengenal sesuatu. Pengertian kedua menekankan tindakan menyatakan atau memperkenalkan sesuatu kepada publik. Maka, menurut penjelasan dari Kitab Suci, wahyu berarti Allah telah membuka tabir yang menutupi-Nya dan telah menyatakan diri-Nya untuk dilihat. Dengan kata lain, Allah telah menyampaikan pengetahuan tentang diri-Nya kepada manusia dalam beberapa cara dan dengan demikian membuka jalan bagi manusia untuk mengenal-Nya, untuk menyembah-Nya dan hidup dalam persekutuan dengan-Nya.[4] Kedua hal ini selalu terjadi setiap kali kita memperkenalkan diri kita kepada orang lain. Bagi orang lain, sebelum kita memperkenalkan diri, kita “tersembunyi” atau “terhalang” bagi mereka. Tetapi ketika kita mulai memperkenalkan diri, penghalang tersebut seolah-olah seperti menghilang, dan diri kita yang sebelumnya tersembunyi itu sekarang dikenal oleh orang-orang lain atau dalam kondisi tertentu oleh publik.
Sebagaimana kita dapat memperkenalkan diri kita melalui satu dan lain cara, demikian halnya Allah dapat menyatakan diri-Nya juga dengan berbagai cara. Dari berbagai cara ini, kita dapat mereduksinya menjadi tiga. Pada artikel ini, kita akan melihat bahwa ketiga cara ini ada di dalam setiap agama, termasuk di dalam kekristenan. Dan pada artikelnya berikutnya kita akan melihat bagaimana ketiga cara ini memuncak dan terjawab dengan penuh di dalam karya dan pribadi Kristus.
Theofani atau Manifestasi
Pertama, setiap agama meyakini bahwa para ilah atau dewa menyatakan diri melalui kehadirannya. Setiap agama menginginkan ilah atau dewa yang bukan hanya jauh (transenden) tetapi juga dekat (imanen). Itulah sebabnya, setiap agama meyakini bahwa ilah atau dewa mereka muncul dalam cara dan tanda tertentu, pada suatu tempat tertentu. Setiap agama memiliki tempat khusus, waktu khusus, dan gambar (ikon) khusus. Mereka meyakini bahwa para dewa dan ilah tidak sama seperti manusia dan tidak hidup bersama mereka dalam level yang sama (setara). Dunia Ilahi berbeda dari yang manusiawi, yang sementara berbeda dari yang kekal, yang di atas berbeda dari yang di bawah. Namun, mereka juga meyakini bahwa para dewa dan ilah ini tinggal, dekat, dan diam di antara manusia pada tempat-tempat tertentu, di dalam objek-objek tertentu, dan memberikan berkat bagi mereka pada waktu-waktu tertentu. Itulah sebabnya, penyembahan berhala, di dalam arti yang luas, lahir dari kebutuhan manusia akan Allah yang dekat dengan mereka.[5]
Komunikasi/Nubuat/Prediksi
Kedua, setiap agama meyakini bahwa para dewa dan ilah mengungkapkan pikiran dan kehendak mereka dalam beberapa cara, baik melalui manusia seperti peramal, pemimpi, ahli nujum, dll., maupun secara artifisial dan eksternal, misalnya melalui bintang-bintang, penerbangan burung, isi perut hewan kurban, permainan api, garis tangan, dll. “Tidak ada manusia yang pernah menjadi hebat tanpa semacam ilham Ilahi.”[6]
Mujizat
Terakhir, setiap agama meyakini akan campur tangan dan bantuan khusus dari para ilah dan dewa pada saat-saat yang sulit. Itulah sebabnya di mana-mana kita menemukan praktik sihir, yaitu suatu tindakan untuk membuat kekuatan Ilahi tunduk kepada manusia atau menghasilkan efek-efek yang luar biasa melalui cara-cara yang misterius, kata-kata yang khusus, jimat, minuman keras, dll.[7]
Keyakinan setiap agama terhadap manifestasi, prediksi, dan mujizat ini tidak secara eksklusif dikaitkan dengan penipuan, efek setan/Iblis, atau ketidaktahuan akan tatanan alam (seperti yang diyakini oleh banyak orang modern yang “anti-agama”), tetapi merupakan elemen-elemen penting di dalam setiap agama. Setiap kebutuhan pasti mencari kepuasan, termasuk kebutuhan religius; dan ketika kebutuhan ini tidak ditemukan dan terpuaskan di dalam wahyu sejati dari Allah sejati, kebutuhan ini akan mencari penjelasan dan kepuasan di dalam cara-cara lain yang berpusat kepada manusia. Adanya kekuatan misterius yang melekat pada diri manusia atau pada alam ini membawa manusia untuk mendapatkan penjelasan dan kepuasan di dalam dunia supernatural. Dengan demikian, tidaklah sah untuk mengatakan bahwa setiap agama adalah takhayul, atau menjadikan takhayul sebagai karikatur terhadap iman Kristen. Fenomena kontemporer seperti spiritisme, teosofi, telepati, hipnosis, dll. serta belum punahnya agama di tengah era yang katanya sudah sangat modern dan katanya “Tuhan sudah mati” ini membuktikan bahwa kebutuhan manusia akan hal yang bersifat supernatural tetap ada, dan dengan demikian sarana untuk memuaskannya juga akan tetap ada. “Ada lebih banyak hal di langit dan bumi daripada yang diimpikan dalam filosofi Anda,” demikian kata Shakespeare.
Alkitab tampaknya tidak menyangkal kenyataan dari fenomena-fenomena ini (Kej. 41:8; Kel. 7:8-12; Ul. 13:1-2; Mat. 7:22; 24:24; 2Tes. 2:9; 2Tim. 3:8; Why. 13:13-15). Tetapi pada saat yang sama, agama yang diajarkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menolak untuk memiliki kesamaan dengan semua fenomena keagamaan ini. Kekristenan bertentangan dengan serta tidak mengakui atau menoleransi fenomena-fenomena ini (Im. 19:26, 31; 20:27; Bil. 23:23; Ul. 18:10-11; Kis. 8:9; 13:6; 16:16; 19:13 dst.; Gal. 5:20; Why. 21:8; 22:15). Para nabi dan rasul sama-sama menentang untuk disejajarkan dengan para peramal dan penyihir kafir. Mungkin ada korespondensi dalam bentuk, tetapi tidak ada korespondensi dalam substansi. Theofani, mantik, sihir, persembahan, imam, kuil, pemujaan, dll. adalah elemen-elemen penting di dalam agama dan dengan demikian berarti juga ada di Israel dan di dalam kekristenan. Agama Kristen memiliki sistem pengorbanan (Ef. 5:2), imam (Ibr. 7), kuil (1Kor. 3:16 dst.). Dengan demikian, perbedaan antara kekristenan dan agama-agama lain tidak berarti bahwa elemen-elemen penting dari agama ini tidak ada di dalam kekristenan; perbedaannya terletak pada fakta bahwa semua elemen yang ada dalam agama-agama lain dalam bentuk karikatur telah menjadi pola, gambar, dan bayang-bayang dalam Israel dan menjadi realitas spiritual yang autentik di dalam agama Kristen. Inilah sebabnya mengapa dalam sunat, sistem pengorbanan, tabernakel, imamat, dll., agama Israel di satu sisi memiliki begitu banyak kemiripan dengan agama-agama pagan, tetapi di sisi lain berbeda dari mereka secara fundamental.
Perbedaan mendasar ini muncul dari fakta bahwa dalam Kitab Suci, inisiatif dalam agama tidak terletak pada manusia tetapi pada Allah. Dalam agama pagan, manusialah yang mencari Allah (Kis. 17:27). Dengan segala cara, manusia berusaha untuk menurunkan Allah kepada diri mereka sendiri dan ke dalam debu (Rm. 1:23), dan dengan segala macam cara, manusia mencoba untuk mencapai kekuasaan atas Allah. Di sinilah tepatnya seluruh manusia (yang diwakili oleh kepala mereka, yaitu Adam) telah jatuh (Kej. 3:1-24). Tetapi dalam Kitab Suci, Allahlah yang selalu mencari manusia. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya dan memanggil mereka kembali setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Allah menyelamatkan Nuh, memilih Abraham, membentuk dan memberikan hukum-Nya kepada Israel. Allah memanggil dan memperlengkapi para nabi. Allah mengutus Putra-Nya yang Tunggal dan mengkhususkan para rasul. Pada suatu hari nanti, Allah akan datang kembali untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. Agama-agama lain, sebaliknya, mengajarkan kita untuk mengenal manusia dalam kegelisahan, kesengsaraan, dan ketidakpuasan mereka, tetapi juga dalam aspirasi mereka yang mulia dan kebutuhan abadi mereka, baik dalam kemiskinan maupun kekayaannya, baik dalam kelemahan maupun kekuatannya. Itulah sebabnya, buah yang paling mulia yang dapat dihasilkan dari agama-agama ini adalah humanisme. Namun Kitab Suci mengajarkan kepada kita untuk mengenal Allah dalam kedatangan dan pencarian-Nya akan manusia, dalam kasih sayang dan rahmat-Nya, serta dalam keadilan dan cinta-Nya. Dan di sini juga, ketiga sarana pewahyuan di atas—theofani, nubuat, dan mujizat—adalah sarana yang dengannya Allah menyatakan, memperkenalkan dan memberikan diri-Nya kepada manusia.[8]
Marthin Rynaldo
Pemuda FIRES
Referensi:
[1] Baca Artikel PILLAR No. 226: Mei 2022 “Bavinck on Revelation (4): Wahyu Umum (3)”.
[2] Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics Vol. 1: Prolegomena. Grand Rapids (USA): Baker Publishing Group.
[3] Baca Artikel PILLAR No. 223: Feb 2022 “Bavinck on Revelation (1): Mari Kita Memulai”.
[4] Berkhof, Louis. 2022. Panduan tentang Doktrin Kristen. Surabaya (ID): Momentum.
[5] P. D. Chantepie de la Saussaye, Lehrbuch der Religionsgeschichte, 2 vols. (Tübingen: J. C. B. Mohr [Paul Siebeck], 1905), I, 54ff., 114ff.
[6] Cicero, De Natura Deorum, II, 66 [modern English edition, The Nature of the Gods, trans. P. G. Walsh (New York: Clarendon Press, 1997)]; cf. concerning divination and oracles Auguste Bouché-Leclercq, Histoire de la divination dans l’antiquité, 4 vols. (Paris: E. Leroux, 1879–82); de la Saussaye, Lehrbuch, I, 93ff.
[7] Joseph Ennemoser, Geschichte der Magie, 2nd ed. (Leipzig: F. A. Brockhaus, 1844); in English translation as The History of Magic, trans. William Howitt (London and New York: George Bell & Sons, 1893); Alfred Wiedeman, Magie und Zauberei im alten Ägypten (Leipzig: J. C. Hinrichs, 1905); A. G. L. Lehmann, Aberglaube und Zauberei von den ältesten Zeiten an bis in die Gegenwart (Stuttgart: F. Enke, 1898); de la Saussaye, Lehrbuch, I; Zöckler, “Magier, Magie,” PRE3, XII, 55–70.
[8] *G. F. Oehler, Über Verhältniss der alttestamentische Prophetie zur Heiden (Mantik: 1861); idem, Theologie des Alten Testaments, 2 vols. (Stuttgart: J. F. Steinkopf, 1882), I, 29ff.; in English: Theology of the Old Testament, trans. Ellen D. Smith and Sophia Taylor (Edinburgh: T. & T. Clark, 1892–93), §8, II, 28ff.; August Tholuck, Die Propheten und ihre Weissagungen (Gotha: F. A. Perthes, 1860), §1; F. A. Staudenmaier, Encyklopädie der theologischen Wissenschaften als System der gesammten Theologie (Mainz; Wien: F. Kupferberg; K. Gerold, 1834); §231ff., §271ff. H. Schulz, Alttestamentliche Theologie, 4th ed., 2 vols. (Frankfurt a.M: von Heyder & Zimmer, 1889), 226ff.