Pada suatu hari, seorang laki-laki sedang berjalan bersama dengan seekor singa di tengah-tengah hutan. Sambil berjalan, mereka saling menyombongkan kehebatan kelompok mereka masing-masing. Kemudian tibalah mereka pada sebuah patung yang menunjukkan seekor singa sedang dililit lehernya oleh seorang manusia. Laki-laki itu dengan bangga berkata, “Lihatlah! Betapa kuatnya kami. Bahkan raja binatang pun takluk di bawah kami.” Singa itu menjawab, “Jika kami para singa tahu cara memahat batu, kamu akan melihat patung seorang manusia tidak berdaya di bawah cakar singa.”
Moral cerita di atas menurut pengarangnya, Aesop, adalah bahwa sebuah cerita bagus akan kehilangan bagusnya ketika cerita bagus lainnya diceritakan. Saya tidak akan membahas tema cerita di atas di dalam artikel ini. Yang ingin saya tunjukkan dengan mengutip cerita di atas adalah Aesop membuat dua karakter yang berbeda tingkat ciptaan saling berkomunikasi dengan sebuah bahasa. Kita mengetahui bahwa hal ini tidak mungkin terjadi di dalam realitas dunia ini. Bagaimana mungkin singa dapat berbicara dengan manusia? Kita mengetahui bahwa singa tidak dapat berbahasa.
Hal demikian juga pernah dipikirkan oleh para theolog. Bagaimana manusia dapat berbicara dengan Tuhan, dan sebaliknya? Bukankah perbedaan kualitas antara Pencipta dan ciptaan begitu jauh? Terlebih lagi, bagaimana manusia dapat berbicara tentang Tuhan sama sekali? Di dalam ilmu bahasa, bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berbicara tentang Tuhan dan agama disebut bahasa religius (religious language).
Di dalam artikel ini, kita akan melihat apa sumbangsih dan pengaruh John Calvin terhadap pengertian kita tentang bahasa religius. Sebelumnya, kita akan melihat dahulu pandangan-pandangan yang berbeda dengan pandangan Calvin, kemudian kita juga akan melihat penerus-penerus Calvin yang mengembangkan lebih jauh pandangan Calvin tentang bahasa religius.
Pandangan yang pertama adalah pandangan univokal. Pandangan ini mengatakan bahwa bahasa manusia tentang Tuhan selalu bersifat harafiah dan itu cukup. Orang yang membaca Alkitab dengan pandangan ini akan menafsirkan Alkitab sesuai dengan arti harafiah setiap kalimat yang mereka baca. Tidak dapat disangkal bahwa ada banyak contoh di dalam Alkitab yang mengandung arti harafiah. Misalnya, ketika Alkitab berkata bahwa Allah “mengacaubalaukan” bahasa manusia, Alkitab sedang bermaksud harafiah, yaitu Allah benar-benar mengacaukan bahasa manusia. Sejak saat itu, bahasa manusia benar-benar menjadi kacau, bukan seolah-olah menjadi kacau. Namun demikian, tidak semua bagian di dalam Alkitab dapat ditafsirkan secara harafiah. Jika semua bagian Alkitab harus ditafsirkan secara harafiah, bagaimana caranya kita menafsirkan Yesus yang adalah “Anak Domba Allah”? Selain itu, Yesus sendiri jelas-jelas menggunakan banyak metafora di dalam ajaran-Nya. Kita disebut “domba-domba”-Nya, dan orang Farisi disebut “keturunan ular beludak.” Apakah orang-orang Farisi tersebut benar-benar ular beludak yang berevolusi menjadi manusia?
Pandangan kedua adalah pandangan equivokal. Ini adalah ekstrem yang berseberangan dengan pandangan sebelumnya. Menurut pandangan ini, semua pembahasan tentang Tuhan tidak dapat diartikan secara harafiah. Setiap pernyataan afirmatif selalu mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti harafiahnya. Misalnya, kata “baik” dalam pernyataan “Allah itu baik” mempunyai arti yang sama sekali berbeda dengan “Anto itu baik”. Dengan demikian, setiap pernyataan afirmatif tentang Allah selalu bersifat kiasan dan mustahil dimengerti oleh manusia. Hal ini memang terdengar masuk akal karena bahasa manusia terlalu terbatas untuk berbicara tentang Tuhan yang tak terbatas. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, Allah hanya dapat dideskripsikan secara tepat dengan kalimat negatif, misalnya “Allah tidak jahat” dan sebagainya. Ini berarti kita dapat lebih mengandalkan kalimat negatif daripada kalimat afirmatif. Namun ini bukanlah yang diajarkan Alkitab. Alkitab sendiri banyak menggunakan pernyataan afirmatif. Asaf berkata, “Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya” (Mzm. 73:1). Asaf dan kita tentu saja dapat mengerti kalimat tersebut meskipun mungkin dengan kedalaman yang berbeda-beda.
Pandangan yang ketiga adalah pandangan analogis. Pandangan ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas.[i] Belakangan, Cornelius Van Til juga menggunakan istilah yang sama tetapi dengan pengertian yang berbeda. Pandangan analogis Aquinas mengatakan bahwa istilah “baik” untuk Allah dan manusia mempunyai pengertian yang sama tetapi dengan cara pemaknaan yang berbeda.
Menurut Aquinas, ada dua macam bentuk (form) yang membentuk keberadaan sesuatu: bentuk substansial dan bentuk aksidental. Bentuk substansial mengacu pada esensi dari substansi tersebut, sedangkan bentuk aksidental adalah properti yang non-esensial, namun menentukan kesempurnaan (perfection) atau kualitas substansi tersebut. Menurut Aquinas, ketika kata “baik” ditujukan kepada Allah, kita sedang merujuk kepada esensi Allah. Hanya Allah yang baik di dalam esensinya. Jika kita melepaskan “baik” dari Allah, Ia berhenti menjadi Allah. Ini berbeda dengan manusia. Jika “baik” dilepaskan dari manusia, ia tetap adalah manusia. Inilah sebabnya ketika kata “baik” ditujukan untuk manusia, kita sedang merujuk pada bentuk aksidentalnya, yaitu properti yang dilekatkan kepada esensi manusia untuk kesempurnaan manusia. Di sini kita melihat adanya hubungan analogi antara sifat “baik” yang ada pada Allah dengan manusia, tidak seluruhnya berbeda, juga tidak seluruhnya sama.
Sebelum kita membahas konsep analogis Van Til, yang sangat berbeda dengan pandangan Aquinas, kita terlebih dahulu melihat apa pandangan Calvin, bapa reformator yang sangat mempengaruhi pemikiran Van Til. Di dalam ‘Institutes of Christian Religion’, Buku I, Bab 8 Bagian 1,[ii] ia berbicara tentang wahyu dan bahasa. Pertama-tama, ia mengukuhkan dahulu bahwa otoritas Alkitab lebih tinggi dari segala hikmat manusia yang harus diakui kebenaran dan keabsahannya tanpa ada semacam bantuan penjelasan atau pembuktian dari luar, misalnya yang bergantung pada rasio. “For unless this foundation is laid, its authority will always remain in doubt.” katanya. Ini adalah presuposisi yang harus kita terima dulu sebelum berbicara lebih lanjut tentang Alkitab, “For truth is cleared of all doubt when, not sustained by external props, it serves as its own support.” Jika Alkitab adalah kebenaran yang paling tinggi, ia tidak perlu pembuktian yang otoritasnya lebih rendah untuk membenarkan dirinya. Setelah kita menerima otoritas Alkitab ini, menurutnya, kita baru akan mendapatkan konfirmasi akan keyakinan kita. Dan ketika kita meneliti Alkitab dengan lebih mendalam, kita akan menemukan konfirmasi tentang betapa rasionalnya Alkitab, tentang indahnya jalinan-jalinan kebijaksanaan yang terdapat di dalamnya. Kemudian Calvin menghubungkan wahyu dengan bahasa manusia. Kita terkagum-kagum dengan Alkitab bukan karena kehebatan bahasanya, tetapi karena “grandeur of subjects,” yaitu konten yang diwadahi oleh bahasa itu. Di sini jelas bahwa Calvin membedakan antara konten dan style. Bagi Calvin, bahasa manusia yang terbatas dapat menampung firman Tuhan hanya karena providensi Allah.
For it was also not without God’s extraordinary providence that the sublime mysteries of the Kingdom of Heaven came to be expressed largely in mean and lowly words, lest, if they had been adorned with more shining eloquence, the impious would scoffingly have claimed that its power is in the realm of eloquence alone. (I.8.1)
Bahasa manusia hanyalah “lowly words” yang dipakai oleh Allah untuk mengekspresikan misteri Kerajaan Sorga. Allah tidak memakai bahasa khusus tetapi bahasa manusia biasa. Jika Allah memakai bahasa khusus, maka orang yang tidak percaya akan berpikir bahwa yang membuat Alkitab berkuasa mengubah hidup manusia adalah bahasanya bukan isinya. Calvin kemudian mengutip Paulus, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1Kor. 2:4).
Hal ini menyatakan dengan cukup jelas bahwa bahasa manusia yang “rendah” dapat digunakan untuk berbicara tentang Tuhan karena providensi Allah. Perbedaan Calvin dengan Aquinas adalah bahwa Calvin menjelaskan hal ini dengan komitmen terhadap supremasi Alkitab, sedangkan Aquinas mencoba memecahkan masalah bahasa religius ini dengan komitmen terhadap filsafat Aristoteles.
Van Til juga mengembangkan pendekatan analogis tetapi dalam pengertian yang sangat berbeda dengan Aquinas. Di dalam konsep analogis Van Til, pengetahuan manusia adalah “finite replica”[iii] dari pengetahuan Allah. Memang pengetahuan manusia bukanlah pengetahuan Allah itu sendiri, maka manusia tidak mungkin mengetahui secara sempurna persis seperti Allah mengetahui. Tapi bagaimanapun juga, pengetahuan manusia tetaplah replika yang terbatas dari pengetahuan Allah. Jadi manusia dapat berpikir mirip seperti Tuhan berpikir, dalam batasan ciptaan. Menurut Van Til, bahasa manusia tentang Tuhan adalah “anthropomorphic”.[iv] Menurut Frame, Van Til mengikuti tradisi doktrin Reformed tentang akomodasi, yaitu: Allah berbicara kepada manusia dengan bahasa yang dapat dimengerti manusia, bukan dengan bahasa intratrinitarian-Nya. Saya kira pendapat Van Til sangat terpengaruh oleh Calvin yang berkata bahwa Allah menggunakan “lowly words” dari manusia untuk menyatakan diri-Nya. Ini artinya bahasa manusia baik yang harafiah maupun kiasan dapat digunakan untuk berbicara tentang Tuhan. Konsep “finite replica” juga berlandaskan pada doktrin manusia yang diajarkan Alkitab, yang mewahyukan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah.
John Frame, murid Van Til, meneruskan lebih lanjut diskusi tentang bahasa religius. Menurut Frame, bahasa Alkitab mempunyai karakter yang sama dengan atribut Allah yang adalah transenden dan imanen.[v] Karena itu bahasa Alkitab mempunyai karakter “oddness” dan “ordinariness”. Karena bersifat transenden dan “odd”, sering kali kita menemukan bagian Alkitab yang tidak dapat kita mengerti sepenuhnya. Demikian juga karena bersifat imanen dan “ordinary”, maka kita dimungkinkan untuk mengerti apa yang dikatakan Alkitab. Masih terpengaruh oleh Calvin, Frame berkata bahwa bahasa dalam Alkitab adalah kata-kata Allah dan manusia dalam waktu yang sama. Jika bahasa manusia yang terbatas dapat digunakan oleh Tuhan dalam Alkitab, maka kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa manusia dapat digunakan untuk membicarakan tentang Tuhan dalam theologi juga.
Jika dihubungkan dengan cerita manusia dan singa di atas, kita tidak seperti singa yang berbicara dengan manusia dengan menggunakan bahasa manusia, kita tidak berbicara dengan dan tentang Tuhan dengan bahasa intratrinitarian Allah, melainkan dengan bahasa kita yang sudah diprovidensi oleh Allah.
Erwan
Redaksi Umum PILLAR
[i] Sumber: http://www.iep.utm.edu/r/rel-lang.htm#H1
[ii] Battles Translation (1960)
[iii] Frame dalam Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought (h.92) mengutip buku Van Til Introduction to Systematic Theology (h.206).
[iv] Frame dalam Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought (h.93) mengutip buku Van Til Introduction to Systematic Theology (h.205), Common Grace and the Gospel (h. 73), Christian Theory of Knowledge (h.37).
[v] Frame, God and Biblical Language: Transcendence and Immanence. Sumber: www.frame-poythress.org/ frame_articles/1974BiblicalLanguage.html