Dosa, Manusia, dan Dunia
Kita hidup di dalam dunia yang telah tercemar, yang menunjukkan keberadaan evil dengan jelas. Tidak sulit untuk menemukan suatu kejadian di dalam surat kabar yang menunjukkan akan kebenaran kalimat di atas. Dengan mudah kita dapat membaca tentang sejumlah bencana alam yang terjadi hampir di mana-mana. Lebih dari sekedar dunia yang evil ini, Anda dan saya juga adalah pendosa-pendosa yang telah dicemari dengan berbagai perbuatan jahat. Beberapa tahun yang lalu, saya cukup terkejut ketika membaca sebuah artikel di dalam surat kabar lokal tentang seorang remaja yang membunuh seorang remaja yang lain, akibat sebuah pertengkaran yang memperebutkan uang sejumlah 100 rupiah. Insiden ini membuat saya berpikir mengenai adanya sesuatu yang sangat jahat di dalam hati manusia.
Sejumlah inisiatif telah ditempuh dalam usaha menjelaskan mengapa problema kejahatan moral (problem of moral evil) terjadi di dalam dunia ini. Tetapi apapun penjelasannya, seseorang tidak akan mendapatkan penjelasan yang menyeluruh mengenai akar kejahatan sampai mereka mengetahui apa yang Alkitab ajarkan mengenai hal ini. Karena hanya di dalam Alkitab, Allah, the Creator, membukakan fakta tentang penciptaan dunia, manusia, dan akar dari problem of evil. Sebelum Allah menciptakan manusia, Dia telah mempersiapkan dunia dan segala isinya sebagai tempat tinggal mereka. Semua ciptaan yang dicipta adalah baik, tidak tercemar, tidak terinfiltrasi oleh evil. Ketika manusia tidak menaati perintah Allah dengan memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat, mereka jatuh ke dalam dosa dan dunia dikutuk sampai sebelum akhirnya mereka dibebaskan dari kutukan dan ditransformasi ke dalam langit dan bumi yang baru[i].
Universalitas Dosa
Karena ketidaktaatan Adam, dosa telah masuk ke dalam dunia[ii]. Lebih jauh, dosa ini juga secara langsung menjadi natur dari semua manusia[iii], dan kemudian membuat semua manusia sesudahnya menjadi pendosa[iv]. ‘Dosa’ ini, disebut dengan istilah dosa asal, diwariskan kepada semua manusia sejak mereka ada – seperti Daud menyebut dirinya sebagai pendosa sejak dia dikandung di dalam rahim ibunya[v]. Dosa asal ini adalah natur dasar dari semua manusia yang berada di bawah hukuman Allah dan dinyatakan Paulus sebagai “by nature children of wrath”[vi]. Tetapi, bagaimana mungkin dosa pertama, yang dilakukan personally oleh Adam ribuan tahun yang lalu, dapat menjadi dosa semua manusia sesudah dia? Sebagian orang (mungkin termasuk Anda sendiri) akan merasa tidak adil dihukum karena kesalahan orang lain. Saya akan menjawab keberatan ini dengan melihat ke belakang, kepada sejarah dari negara kita yang tercinta. Pada tanggal 17 Februari 1947, di atas U.S.S. Renville, perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia, Amir Syarifudin, menandatangani Perjanjian Renville yang mengikat semua warga negara Republik Indonesia pada saat itu. Sebagai konsekuensi dari perjanjian ini, ratusan ribu tentara Indonesia, yang tidak mengenal Bapak Syarifudin secara personal, harus menempuh perjalanan sepanjang ratusan kilometer dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Meskipun ada sejumlah tentara yang tidak mau pergi, mereka tidak dapat menghapuskan efek yang mengikat dari perjanjian tersebut dengan penolakan mereka[vii].
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Allah menciptakan Adam tidak hanya sebagai bapa alamiah dari semua umat manusia, tetapi juga menunjuknya sebagai perwakilan federal dari semua manusia dalam perjanjian kerja (covenant of works). Apa yang Adam lakukan di dalam Taman Eden, mewakili apa yang dilakukan semua manusia di hadapan Allah. Jika Adam menaati perintah Allah, maka semua keturunannya juga akan mendapatkan bagian berkat Allah yang sama. Tetapi realita mengatakan kepada kita cerita yang berbeda ketika Adam tidak menaati perintah Allah, dan akibatnya, seluruh keturunannya mendapatkan bagian hukuman Allah yang sama. Pelanggaran dari dosa pertama, yang dilakukan oleh kepala federal dari perjanjian ini, telah menjadi bagian semua manusia dan membuat kita semua layak dihukum karena pelanggaran dosa[viii].
Hukuman atas Dosa
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa dosa itu memiliki konsekuensi yang sangat ringan, itu pun jika mereka percaya adanya dosa pertama dari manusia pertama, seperti tertulis di dalam Kejadian pasal 3. Dalam bukunya yang terkenal “Systematic Theology”, Louis Berkhof dengan akurat mendefinisikan dosa dan konsekuensinya terhadap Allah:
“Sin is a very serious matter, and is taken seriously by God, though men often make light of it. It is not only a transgression of the law of God, but an attack on the great lawgiver Himself, a revolt against God. It is an infringement in the inviolable righteousness of God, which is the very foundation of His throne (Ps. 97:2), and an affront to the spotless holiness of God, which requires of us that we be holy in all manner of living (1Ptr. 1:16).”
Untuk mengerti (to understand) pernyataan di atas, kita dapat mulai memahami (to comprehend) mengapa dosa harus diikuti oleh hukuman. Dia adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci-Nya[ix]. Dia adalah Allah yang absolut, Pencipta segala sesuatu, Penentu segala sesuatu dan kepada-Nya segala sesuatu harus tertuju. Sehingga segala yang melanggar kehendak-Nya sama dengan menantang keberadaan Allah sebagai Allah yang absolut. Karena itu dosa harus dihukum.
Alkitab mengajarkan bahwa konsekuensi dosa adalah kematian[x]. Allah juga memberikan peringatan yang sama ketika Dia menempatkan Adam pada ujian di Eden[xi]. Adam diperbolehkan untuk memakan semua buah berbiji dari pohon-pohon di dalam Eden, kecuali buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, sebab pada hari dia memakannya, pastilah dia mati. Hukuman mati ini tidak hanya sebatas kematian tubuh, tetapi jauh melampaui itu. Alkitab tidak pernah mengenal pembedaan antara kematian fisik, kematian rohani, dan kematian kekal, karena kematian oleh karena dosa di dalam konsep Alkitab berarti keterpisahan dari Allah[xii]. Dosa dan kekudusan Allah dinyatakan di Alkitab sebagai terang dan gelap yang tidak mungkin bersatu[xiii]. Seperti selembar daun yang dicabut dari dahannya dan perlahan-lahan akan layu dan mati, dosa yang memisahkan manusia dari Allah akan mengakibatkan kematian bagi manusia karena ia dipisahkan dari sumber hidupnya. Kondisi ini mungkin tidak dirasakan oleh kebanyakan orang, karena natur keberdosaan mereka menolak untuk mengakui bahwa mereka adalah pendosa, meskipun hati nurani mereka berteriak dan tubuh fisik mereka menua menuju kematian[xiv]. Tetapi akan ada hari penghakiman, ketika Kristus akan menjadi Hakim dan semua pendosa akan dibawa kepada pengadilan Ilahi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saat itu merupakan saat di mana kematian akan sepenuhnya digenapi. Semua pendosa akan terpisah selamanya dari sumber kehidupan dan kebahagiaan, dan akan dijatuhi hukuman kekal, seperti Alkitab mengatakan, “…maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya”[xv].
Keselamatan, Manusia, dan Dunia
Jalan manusia menuju keselamatan
Meskipun manusia jatuh ke dalam dosa, Calvin mengklaim bahwa masih ada kesadaran atau perasaan akan Allah (sensus divinitatis) yang tertanam di dalam hati manusia secara alamiah[xvi]. Karena terpisah dari Allah, manusia merindukan Penciptanya, sumber hidupnya, seperti Pascal menjelaskan: “There is a God shaped vacuum in the heart of every man which cannot be filled by any created thing, but only by God, the Creator, made known through Jesus.” Tetapi di dalam natur keberdosaannya, manusia menekan kebenaran dan mencari ilah-ilah lain untuk memuaskan keinginan berdosanya. Mereka menyembah matahari, bulan, bumi, dan semua yang ada di alam; mereka mengrajin ilah dari emas dan perak kemudian menyembahnya, mereka bahkan mengilahkan dirinya sendiri sambil merindukan keselamatan jiwanya dari perbudakan dosa.
Demikian, konsep keselamatan terkandung di dalam semua agama. Meskipun manusia mencoba untuk menekan fakta keberdosaan mereka, mereka tidak dapat lari dari realita kehidupan bahwa hati mereka merindukan Allah. Maka, mereka membuat seperangkat ritual-ritual keagamaan, perintah-perintah, larangan-larangan, dan prinsip-prinsip etika untuk diikuti, serta kemudian mengajarkan kepada yang lain bahwa jika manusia melakukan hal-hal tersebut, ia akan meredakan murka Allah dan kemudian dapat pergi ke sorga. Pendekatan terhadap keselamatan ini bersumber dari bawah (manusia) menuju ke atas (Allah) dengan melakukan perbuatan-perbuatan “baik” untuk menyenangkan Allah. Pada poin ini, mari kita berhenti sejenak dan memikirkan pertanyaan mendasar yang harus dipertanyakan: Apakah perbuatan “baik” dapat menyenangkan Allah?
Pertama-tama, kita harus mendefinisikan apa itu baik. Perbuatan baik adalah tindakan ketaatan yang dilakukan di dalam iman; selain hal ini, mereka tidak dapat diklasifikasikan sebagai “baik”, seperti Paulus berkata di dalam Surat Roma bahwa segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa[xvii]. Lebih jauh lagi, penulis surat Ibrani berkata bahwa tanpa iman, tidak mungkin seorang berkenan kepada Allah, sebab barangsiapa berpaling kepada Allah harus percaya Allah ada[xviii]. Apa yang kita anggap sebagai kesalehan adalah seperti kain kotor di hadapan Allah yang kudus[xix]. Oleh karena itu, perbuatan baik untuk memuaskan Allah harus dilakukan hanya oleh mereka yang sudah memiliki pengenalan dan iman yang benar di dalam Allah. Dengan mengenal Allah dengan benar, manusia dapat menghidupi kehendak-Nya, melakukan perbuatan baik yang Allah ingin manusia kerjakan, yang sudah dipersiapkan Allah bagi manusia untuk dikerjakan.[xx] Itulah perbuatan baik! Kedua, Alkitab mengajarkan bahwa semua manusia adalah hamba dosa dan tuan mereka adalah Si Jahat[xxi]. Bahkan keberdosaan manusia yang telah menyebar ke setiap aspek kehidupan manusia[xxii]. Oleh karena itu, adalah mustahil bagi pendosa untuk dapat hidup diperkenan di hadapan Allah melalui tuntutan taurat kudus-Nya. Semakin giat kita berusaha menaati perintah kudus-Nya dengan kekuatan kita sendiri, semakin kita mengkonfirmasi natur berdosa kita dengan mengulangi ketidaktaatan yang Adam lakukan di Eden. Simply, karena kita diikat dalam perhambaan dosa, apapun yang kita kerjakan tidak mungkin keluar dari perhambaan ini. Hidup seorang berdosa hanyalah menyatakan fakta dosa!
Yesus, Sang Domba Allah
Kita telah mempelajari bahwa adalah tidak mungkin untuk merekonsiliasi manusia dengan Allah, maka sudah sepatutnya kita menangisi keberdosaan kita bersama Rasul Paulus, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?[xxiii]” Tetapi, syukur kepada Allah, bahwa Kitab Suci tidak berhenti sampai pada poin ini saja. Di dalam ayat berikutnya, Roma pasal 7:25, Allah menyatakan jalan keselamatan-Nya sendiri yaitu melalui Yesus Kristus, Sang Anak Allah. Allah di dalam kekekalan-Nya telah mempersiapkan jalan keselamatan melalui pengaliran darah yang sangat berharga, darah Kristus, Sang Domba Allah, sebelum kejatuhan Adam, dan bahkan sebelum penciptaan dunia[xxiv]. Di dalam Hukum Musa, Allah memberlakukan berbagai macam korban bakaran yang berbeda di dalam ritual pendamaian antara Allah dan umat-Nya, sebagai penebusan akan kesalahan dan dosa. Menurut kitab Imamat, prosedur-prosedur tertentu harus dilakukan. Pertama, binatang yang dipersembahkan haruslah jantan dan tidak bercacat cela. Berikutnya, orang yang mempersembahkan korban harus meletakkan tangannya ke atas kepala korban bakaran itu dan menerima korban bakaran itu sebagai penebusan dosa baginya. Kemudian melalui pengaliran darah binatang korban, korban ini dianggap sebagai pengampunan bagi dosanya. Ritual pendamaian ini harus dilakukan secara berkala oleh bangsa Israel, karena persembahan “anak domba” ini hanyalah bayang-bayang dari Anak Domba yang sejati yang telah disediakan oleh Allah melalui inkarnasi Kristus dalam PB.
Ketika saat Allah (kairos) telah tiba, Allah mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, ke dalam dunia ini untuk menjadi penebusan yang final dan sempurna bagi dosa-dosa umat-Nya. Melito, seorang Bishop dari Sardis, menjelaskannya dengan sangat indah:
“It is he who was made man of the Virgin, he who was hung on the tree; it is he who was buried in the earth, raised from the dead, and taken up to the heights of heaven. He is the mute lamb, the slain lamb born of Mary, the fair ewe. He was seized from the flock, dragged off to be slaughtered, sacrificed in the evening, and buried at night. On the tree no bone of his was broken; in the earth his body knew no decay. He is the One who rose from the dead, and who raised man from the depths of the tomb. By giving his life on the cross, he is the One who covered death with shame and cast the devil into mourning, as Moses cast Pharaoh into mourning. He is the One that smote sin and robbed iniquity of offspring, as Moses robbed the Egyptians of their offspring. He is the One who brought us out of slavery into freedom, out of darkness into light, out of death into life, out of tyranny into an eternal kingdom; who made us a new priesthood, a people chosen to be his own for ever. He is the Passover that is our salvation”.[xxv]
Yesus adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia[xxvi]. Sebagaimana anak domba yang tidak bercacat cela untuk dipersembahkan di dalam ritual pendamaian Hukum Musa, Yesus adalah juga Anak Domba yang tidak berdosa, tetapi Ia dengan rela menyerahkan Diri-Nya untuk mati sebagai substitusi dari dosa umat-Nya[xxvii]. Sama seperti dosa pertama dari Adam, sebagai perwakilan federal kita, yang diturunkan kepada kita; Yesus, sebagai Adam kedua, memikul dosa-dosa kita, yang ditimpakan kepada Dia, di atas kayu salib. Oleh karena itu, melalui pengaliran darah-Nya sebagai penebusan dosa kita, dosa-dosa kita diampuni dan kita telah diperdamaikan dengan Allah[xxviii]. Melalui penebusan dosa satu kali dan bersifat kekal sampai selama-lamanya, kita telah dilepaskan dari kuasa belenggu dosa; oleh karena itu, Allahlah yang menjadi Tuan kita sekarang[xxix]. Lebih jauh, melalui ketaatan Yesus kepada hukum kudus Allah di dalam hidup-Nya sampai pada saat kematian-Nya, bahkan mati di atas kayu salib[xxx], bertolak belakang dengan ketidaktaatan Adam. Tindakan keadilan (righteousness) Yesus ditanamkan ke dalam status umat-Nya, yang memimpin kepada pembenaran (justification) menuju hidup yang kekal bagi semua umat pilihan di hadapan Allah[xxxi]. Seperti 2 Korintus 5:21 berkata, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Terakhir, melalui pengaliran darah dan ketaatan-Nya, Yesus menyediakan peredaan (propitiation) terhadap murka Allah[xxxii], oleh karena itu, barangsiapa meletakkan imannya di dalam Yesus, yang telah yang memuaskan murka Allah, tidak lagi berada di bawah murka Allah tetapi memiliki hidup yang kekal[xxxiii]. Oh… How great is thou art!
Penutup
Kristus telah memberikan hidup-Nya sebagai penebusan atas dosa-dosa kita sehingga kita tidak hanya dibebaskan dari hukuman Allah, tetapi juga memiliki hidup yang kekal sebagai anak-anak Allah. Oleh karena itu, kita bukanlah milik dunia lagi; diri kita bahkan bukanlah milik kita sendiri tetapi milik Dia saja yang telah menciptakan dan menyelamatkan kita. Maka tidak ada cara hidup lain bagi seorang percaya selain hidup menyatakan kepemilikan Kristus atas seluruh aspek hidup kita. Karya salib terlalu mahal untuk membuat kita tidak mempersembahkan seluruh hidup ini untuk digunakan menjadi persembahan yang kudus dan yang berkenan kepada-Nya. Adakah pengorbanan Kristus di dalam setiap aspek hidup kita? Di dalam intelektualitas kita? Di dalam kemauan kita? Dan di dalam emosi kita? Bercahayakah terang kebenaran Kristus, Anak Domba Allah itu di dalam setiap inci hidup kita? Marilah kita mengambil waktu untuk merenungkan apa yang telah Dia kerjakan bagi kita dengan memandang kepada salib Kristus di mana Kristus menggenapkan seluruh rencana kekal Allah di dalam Diri-Nya. Teladan Kristus hendaklah nyata dalam hidup kita, dan kita mempersembahkan seluruh hidup untuk menggenapkan rencana kekal Allah dalam diri kita yang sudah ditebus ini. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita semua. Amin.
When I Survey the Wondrous Cross
On which the Prince of glory died,
My richest gain I count but loss,
And pour contempt on all my pride.
Forbid it, Lord, that I should boast,
Save in the death of Christ my God!
All the vain things that charm me most,
I sacrifice them to His blood.
See from His head, His hands, His feet,
Sorrow and love flow mingled down!
Did e’er such love and sorrow meet,
Or thorns compose so rich a crown?
Were the whole realm of nature mine,
That were a present far too small;
Love so amazing, so divine,
Demands my soul, my life, my all.
(When I Survey the Wondrous Cross, by Isaac Watts)
Wiryi Aripin
Pemuda GRII Singapura
[i] Rm. 8:21; 2 Ptr. 3:13
[ii] Rm. 5:12
[iii] Rm. 5:12, 18
[iv] 1Raj. 8:46; Mzm. 143:2; Pkh. 7:20; Rm. 3:9-12,23; Gal. 3:22; Yak. 3:2; 1Yoh. 1:8-10.
[v] Mzm. 51:5
[vi] Ef. 2:3
[vii] http://www.info.dfat.gov.au/info/historical/HistDocs.nsf/(LookupVolNoNumber)/13~22
[viii] Untuk gambaran lebih utuh, anda dapat membaca Berkhof, Louis. Systematic Theology. hal. 242.
[ix] Kel. 20:5
[x] Rm. 6:23
[xi] Kej. 2:16-17
[xii] Berkhof, Louis. Systematic Theology. hal. 258-259.
[xiii] Yak. 2:17; 2Kor. 6:14
[xiv] Rm. 1:18-21
[xv] Why. 14:11
[xvi] Calvin, John. Institute of Christian Religion. Book I.
[xvii] Rm. 14:23
[xviii] Ibr. 11:6
[xix] Yes. 64:6
[xx] Ef. 2:10
[xxi] Yoh. 8:34
[xxii] Yoh. 5:42; Rm. 7:18, 23; Rm. 8:7; Ibr. 3:12
[xxiii] Rm. 7:24
[xxiv] Ef. 1:4; 1Ptr. 1:18-20
[xxv] Melito of Sardis. Easter Homily. 2nd century.
[xxvi] Yoh. 1:29
[xxvii] Mat. 20:28; 1Tim. 2:6
[xxviii] 1Tim. 2:5; 2Kor. 5:19; Ibr. 9:22
[xxix] Ibr. 9:12; Tit. 2:14
[xxx] Flp. 2:8
[xxxi] Rm. 5:18-21
[xxxii] Rm. 3:25; 1Yoh. 2:2; Rm. 5:19
[xxxiii] Yoh. 3:16