Apakah hubungan eskatologi dengan cinta pertama?
Periode eschatos ditandai sebagai periode di antara kedatangan pertama Kristus ke dunia untuk menebus suatu umat kepunyaan-Nya dan kedatangan-Nya yang kedua untuk membawa umat tersebut ke dalam langit dan bumi baru dan sekaligus penghakiman bagi mereka yang bukan umat-Nya. Periode ini sering kali juga disebut sebagai zaman akhir (yang dibedakan dengan akhir zaman, yaitu kedatangan Kristus kedua kali sebagai penutup dari zaman akhir).
Masa eschatos tersebut identik dengan masa penantian (baca artikel “Mendambakan Kristus” di edisi PILLAR bulan Februari 2012 untuk detail lebih lanjut). Setiap Gereja Tuhan yang setia menantikan kembalinya Sang Mempelai Pria, setiap hamba Tuhan menantikan Sang Tuan kembali, setiap domba milik Allah menantikan pulangnya Sang Gembala. Dalam masa penantian tersebut kita dituntut Tuhan untuk selalu berjaga-jaga seperti lima gadis yang bijaksana. Sikap kita menanti menentukan penilaian Tuhan atas kita, entah kita didapati setia atau lalai.
Dalam Matius 7:21-23, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Tuhan Yesus memberikan suatu shock-therapy kepada mereka yang berpikir bahwa mereka sudah mempunyai tiket masuk sorga. Di hari terakhir akan ada banyak orang yang terkaget-kaget, mereka mengira akan masuk ke perjamuan Anak Domba, malah diusir dengan keras, karena apa yang mereka pikir dan kira ternyata ditunggangbalikkan oleh Tuhan Yesus. Seramkah kita ketika membaca Matius 7 ini? Saya tidak bisa membayangkan ada orang yang bersiul riang gembira ketika mendengar perkataan Yesus di sini seolah-olah dia mendengarkan tabuhan musik Mozart yang menyegarkan jiwa. Bagian ini seharusnya menghentak kita dan membuat kita gentar dan bertanya dalam hati, “Akankah kita menjadi salah satu dari orang-orang terusir tersebut?”
Tetapi puji Tuhan, Tuhan tidak hanya memberikan hardikan dan penilaian ketika kita semua di ambang hari terakhir tersebut dan ketika tidak ada lagi kesempatan, ‘U-turn’ tersedia. Di Kitab Wahyu 2-3, Tuhan menginstruksikan rasul Yohanes untuk menulis surat kepada tujuh jemaat di Asia Minor. Di sini Tuhan memberikan penilaian kepada ketujuh jemaat dalam mereka menanti. Ada yang mendapatkan pujian, ada yang mendapatkan teguran, ada yang mendapatkan keduanya. Surat kepada tujuh jemaat ini, banyak ditafsirkan bahwa sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada ketujuh jemaat saja tetapi tujuh jemaat tersebut merupakan representasi dari keadaan jemaat di segala tempat di segala zaman.
Ketujuh jemaat ini mempunyai latar belakang, tantangan permasalahan, dan pergumulan iman yang berbeda-beda karena mereka mempunyai konteks yang berbeda-beda, seperti setiap gereja di tempat dan waktu berbeda mempunyai konteks yang berbeda-beda. Namun mereka semua juga seperti semua gereja Tuhan sekarang yang mempunyai suatu kesamaan yaitu mereka adalah jemaat yang ditebus oleh darah Yesus Kristus, Sang Saksi Setia.
Secara singkat semua variasi dari ketujuh jemaat tersebut dapat disimpulkan pada tabel berikut.
Gereja | Pujian | Teguran | Perintah | Konsekuensi | Janji |
Efesus | Bertekun dalam ajaran dan sabar menderita | Kehilangan kasih mula-mula | Ingat, bertobat, dan melakukan lagi apa yang semula dilakukan | Kaki dian akan diambil | Diberi makan dari pohon kehidupan di Taman Firdaus Allah |
Smirna | Kaya rohani dan tekun menderita | — | Setia sampai mati | — | Dikaruniakan mahkota kehidupan dan tidak akan menderita oleh kematian yang kedua |
Pergamus | Berpegang kepada nama-Nya dan tidak menyangkal iman | Ajaran sesat | Bertobat | Kristus akan memerangi dengan pedang yang di mulut-Nya | Diberikan manna yang tersembunyi; dan akan dikaruniakan batu putih dengan tertulis nama baru |
Tiatira | Kasih bertumbuh dan pekerjaan pelayanan | Menoleransi ajaran sesat | Memegang teguh ajaran Kristus | Membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya | Diberikan kuasa atas bangsa-bangsa dan diberikan bintang timur |
Sardis | Masih ada yang suci dan setia | Mati | Menyimpan firman dan bertobat | Kristus akan datang seperti pencuri | Dikenakan pakaian putih; nama mereka tidak akan dihapus dari kitab kehidupan dan diakui di hadapan Allah dan para malaikat-Nya |
Filadelfia | Menuruti firman dan tidak menyangkal nama Tuhan | — | Berpegang pada apa yang ada | — | Menjadi sokoguru di dalam Bait Suci Allah dan akan dituliskan nama Allah, Yerusalem baru dan nama baru Kristus |
Laodikia | — | Suam, miskin, telanjang, dan buta rohani | Membeli emas, baju putih, dan minyak dari Kristus; bertobat | Dimuntahkan dari mulut Kristus | Makan bersama-sama Kristus dan didudukkan di atas takhta Kristus |
Kira-kira apakah penilaian Tuhan atas gereja kita? Apakah banyak pujian ataukah banyak teguran? Ketujuh jemaat ini menjadi representasi keadaan gereja kita, gereja yang baik dan setia seperti Smirna dan Filadelfia mendapatkan pujian tanpa teguran, sedangkan Pergamus dan Tiatira berkompromi dengan ajaran sesat. Kita mungkin sekali mempunyai kombinasi dari beberapa kondisi di atas. Coba renungkan apakah yang menjadi karakteristik dan pekerjaan baik yang sudah dilakukan seperti misalnya teguh memegang firman, sabar menderita, dan lain-lain, dan apakah yang mungkin menjadi potensi kelalaian kita misalnya kita kehilangan kasih, kompromi dengan ajaran sesat, rohani mati, dan lain-lain. Mari jangan sampai kita mengira kita hidup ternyata kita mati seperti vonis Tuhan kepada jemaat Sardis.
Dari ketujuh jemaat ini saya sangat tertarik untuk mendalami lebih lanjut apa yang dituliskan kepada jemaat di Efesus. Mengapa? Karena untuk melengkapi gambaran yang utuh dari pembahasan eskatologi dari edisi-edisi PILLAR sebelumnya[1]. Sangat wajar kalau kita mendapatkan kesimpulan setelah membaca beberapa artikel di edisi PILLAR bulan Februari dan Maret bahwa dalam masa penantian menjelang kedatangan Tuhan Yesus kedua, kita harus berjaga-jaga dengan setia, jangan sampai lalai. Betul, Tuhan menuntut kesetiaan kita, tetapi bukan hanya itu yang diharapkan Tuhan dari kita, seperti yang bisa kita saksikan dari surat kepada jemaat Efesus. Tuhan juga meminta selain mempersiapkan minyak kesetiaan, Dia juga meminta api kasih kita jangan sampai redup melainkan terus berkobar.
Tetapi sebelumnya kita perlu mengerti apa latar belakang dari konteks jemaat atau kota Efesus sehingga disebut pertama di dalam ketujuh surat. Mungkin karena kota ini memainkan peranan penting dalam asal mula berdirinya gereja Kristen di wilayah kafir. Jemaat Efesus ini sebelumnya adalah pusat misi penginjilan Paulus yang akhirnya bertumbuh menjadi jemaat yang besar dan matang. Jemaat Efesus pernah digembalakan selama tiga tahun oleh rasul Paulus yang kemudian diteruskan oleh Timotius. Rasul Yohanes juga dikatakan di akhir masa tuanya tinggal di Efesus dan memimpin jemaat ini. Efesus juga memiliki prioritas geografis sebagai pelabuhan terbaik di Asia Kecil (misalnya, para gubernur Romawi yang berkunjung ke wilayah ini akan mendarat di Efesus).
Tuhan memuji jemaat ini di awal surat tentang jerih payah dan ketekunan mereka dalam menjaga orthodoxy dan melawan rasul palsu (ay. 2), serta kesabaran menderita demi nama Tuhan dan tidak mengenal lelah (ay. 3). Sungguh suatu pujian yang tidak mudah didapat, apalagi oleh Tuhan yang “berjalan di antara ketujuh kaki dian emas” (ketujuh kaki dian itu adalah ketujuh jemaat seperti dijelaskan di Wahyu 1:20 sehingga berjalan di antara ketujuh kaki dian berarti Tuhan ada di tengah-tengah jemaat-Nya dan Dia mengenal setiap jemaat-Nya dengan saksama).
Rasul Paulus juga ketika menulis surat Efesus, dia tidak memberikan banyak hardikan atau nasihat yang keras seperti ketika dia menulis kepada jemaat di Korintus. Surat Efesus lebih banyak membahas tentang Kristus dalam segala kemuliaan-Nya serta segala berkat rohani yang dilimpahkan oleh Kristus bagi kita. Sehingga kita bisa melihat bahwa jemaat Efesus merupakan jemaat yang relatif dewasa secara iman sehingga dalam suratnya Paulus memberikan makanan rohani yang lebih dalam bagi pertumbuhan rohani mereka. Demikian juga ketika Paulus menulis kepada Timotius yang melanjutkan pelayanannya di Efesus, ia memperingati Timotius untuk berhati-hati dalam menghadapi pengajar sesat berlatar belakang Yahudi yang bisa menyusup. Rupanya ketika Paulus dan Timotius menggembalakan mereka dan juga ketika Paulus absen, dia menulis surat kepada Efesus, semua yang diajarkan menjadi suatu fondasi iman yang kemudian kita lihat membuat jemaat Efesus mampu terus menjaga iman sejati yang diwariskan oleh tradisi Rasuli. Ini merupakan suatu pelajaran bagi kita semua bahwa setiap khotbah, sesi pendalaman Alkitab (PA), saat teduh, dan setiap kesempatan mendengar firman adalah saat untuk membangun suatu dasar iman yang kuat dan sejati untuk bisa membedakan kebenaran dari setiap usaha penyusupan kesesatan, dan akhirnya memampukan kita seperti jemaat Efesus untuk berjerih lelah dan bertekun demi Injil Yesus Kristus. Tidak ada firman Tuhan yang kembali dengan sia-sia.
Namun dalam segala “kehebatan” jemaat Efesus tersebut, Tuhan mencela mereka dengan teguran yang begitu keras: “Engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula!” Bayangkan apa yang akan dirasakan oleh seorang mempelai wanita ketika Sang Mempelai Pria yang begitu mengasihinya berkata kepadanya, “Engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula!” Ini suatu vonis yang begitu menyedihkan bagi kita, jemaat, sebagai mempelai wanita yang harus mempersiapkan diri menuju kepada hari besar yang dinantikan tetapi di dalam penantian kita kehilangan kasih yang semula – walaupun tetap melakukan segala kewajiban dengan teratur.
Tradisi Timur yang dipengaruhi Yin-Yang suka melihat suatu hal sebagai keseluruhan yang bercampur tanpa bisa membedakan dengan cermat. Misalnya tradisi Timur ketika menilai seseorang yang bersumbangsih sangat besar dan penting terhadap masyarakat tetapi juga di saat bersamaan mempunyai noda cacat yang cukup besar, kecenderungan masyarakat Timur adalah merelatifkan, “memaafkan”, atau menganggap tidak ada noda cacat tersebut dalam mengompensasikan sumbangsihnya yang besar. Sedangkan tradisi Barat yang dipengaruhi tradisi Judeo-Christian, melihat putih sebagai putih dan hitam sebagai hitam yang tidak bisa bercampur sehingga sebesar apa pun seseorang ketika dia bersalah tetap dalam kebersalahannya tersebut, ia harus mendapatkan keadilan dan ganjaran yang setimpal. Ketika rasul Paulus melihat rasul Petrus dalam suatu perjamuan tidak bersikap seharusnya, ia juga menegur Petrus walaupun pada saat itu Petrus adalah sokoguru jemaat. Cinta kasih dan penghormatan kita tidak menghilangkan rasa keadilan bahkan keadilan dan teguran yang kita berikan tersebut adalah ekspresi kasih kita.
Di sini kita melihat Tuhan walaupun memuji banyak sekali kelebihan jemaat Efesus, ia tetap menegur dengan keras juga kelemahan dan kesalahan jemaat Efesus karena Tuhan tetap mencintai jemaat Efesus dan mau mereka berubah dan kembali.
Meskipun kita mempunyai segala kelebihan lain yang begitu dibanggakan, misalnya di 1 Korintus 13: “Dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, karunia untuk bernubuat dan mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, – tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya.” Semua karunia fantastis tersebut tetapi kehilangan kasih, semua sia-sia. Allah menuntut kesempurnaan, sama seperti Allah adalah sempurna. Kesempurnaan dalam hal apa? Kesempurnaan dalam kasih, seperti Allah adalah kasih. Oleh dasar itu kehilangan kasih bukan sesuatu yang dianggap ringan oleh Allah karena selain Allah pada diri-Nya adalah kasih, Kasih itu sendiri adalah hukum yang terutama (Mat. 22:37-39). Walaupun jemaat Efesus menjaga ketat orthodoxy, ketika kasih yang semula hilang, mereka telah melalaikan yang terutama yang harus mereka jaga ketat. Tuhan menyuruh mereka untuk ingat betapa dalam mereka telah jatuh dan mereka harus bertobat dan melakukan apa yang semula dilakukan!
Ini juga merupakan suatu peringatan yang begitu relevan dengan kita di lingkungan Theologi Reformed yang dengan ketat menjaga orthodoxy, begitu gigih berjuang, dan tekun dalam mengabarkan Injil, namun apakah itu semua didasari oleh kasih Tuhan yang semula kita rasakan dengan begitu hangatnya, ketika kita menerima hadiah anugerah yang begitu melimpah – yang sebenarnya tidak layak kita terima? Saya khawatir semakin berjalannya waktu, semakin dalam pengetahuan theologis, dan semakin aktif terlibat dalam pelayanan, semua rutinitas tersebut bisa dijalani dengan begitu bersemangat, tetapi yang mendasari adalah semangat humanisme pribadi, bukan lagi kasih Tuhan yang mendorong. Jangan-jangan kita – atau paling tidak saya – bisa seperti orang muda kaya yang rajin menjalankan semua perintah eksternal Tuhan tetapi melalaikan perintah internal Tuhan yang mendasari semua perintah eksternal tersebut. Dia tidak sadar bahwa walaupun dia sangat giat dalam pelayanan dan hidup baik-baik menjalankan hukum Taurat tetapi dia telah menggeser posisi Tuhan dengan kekayaannya; relasi terpenting dalam hidupnya sudah bukan dengan Tuhannya.
Kaum penjaga doktrin yang kuat dalam masa Tuhan Yesus adalah orang-orang Farisi dan para ahli-ahli Taurat, tetapi untuk merekalah teguran dan hardikan terkeras dan “terkasar” Tuhan Yesus disimpan. Mengapa? Karena mereka hidup sangat “suci” tetapi kehilangan kasih semula. Hidup mereka bukan ditandai oleh kecintaan kepada Tuhan yang mereka layani tetapi ditandai oleh kemunafikan dan kepura-puraan mereka. Mereka mengabaikan yang terutama dan mementingkan yang lahiriah, padahal persembahan yang Allah kehendaki adalah hati yang hancur.
Tuhan Yesus tidak seperti para politisi atau konsultan yang pandai kritik sini dan kritik sono tapi tidak memberikan solusi konstruktif ataupun jalan keluar. Tuhan Yesus memerintahkan mereka di ayat ke-5: “Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan.” Di ayat yang pendek ini tercakup tiga perintah Tuhan yang harus mereka gumulkan dan jalankan:
1. INGAT betapa dalamnya engkau jatuh
2. BERTOBAT
3. LAKUKAN lagi apa yang semula dilakukan
Pertobatan sejati menuntut mata iman yang melihat ke belakang – pengertian dan penghayatan betapa kita telah jatuh di jalan yang salah dan menyimpang – dan juga mata iman yang menuju ke depan – melakukan lagi apa yang seharusnya dilakukan sesuai pertobatan tersebut.
Apakah konsekuensi yang menanti jemaat Efesus kalau mereka tidak memperbaiki diri?
Tuhan akan datang kepada mereka dan Dia akan mengambil kaki dian dari tempatnya jikalau mereka tidak bertobat. Dia akan datang bukan dengan belas kasihan tetapi dengan keadilan dan mengambil kaki dian mereka dari tempatnya. Tadi di atas dikatakan bahwa Tuhan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas yang berarti Dia hadir di tengah-tengah mereka, sehingga ketika Ia menarik kaki dian mereka dari tempatnya, ini merupakan suatu penghakiman dan konsekuensi yang berat bahwa Tuhan tidak lagi hadir bersama-sama dengan mereka. Kaki dian akan dicabut karena mereka sudah tidak dianggap lagi sebagai gereja Tuhan yang sejati dan Tuhan tidak ingin nama-Nya berdiam atau diwakilkan oleh jemaat yang demikian.
Tuhan menarik kehadiran-Nya merupakan penghakiman yang lebih menyeramkan daripada semua bentuk penganiayaan, bencana, kelaparan, perang, dan lain-lainnya. Karena kalau kita menoleh ke Perjanjian Lama, ketika bangsa Israel dan kemudian bangsa Yehuda murtad kepada Allah Yahweh dan menyembah Baal, penghakiman Tuhan yang datang dalam bentuk penindasan bangsa-bangsa lain, kelaparan, dan lain-lain tidak sedahsyat penghakiman Tuhan yang final: pembuangan bangsa Israel dari tanah perjanjian dan Bait Allah. Sehingga kalau kita tidak mengerti dan memisahkan pembacaan terhadap surat kepada jemaat Efesus ini dari konteks Perjanjian Lama, kita mungkin bisa menganggap remeh hukuman Tuhan yang sebenarnya sangat serius.
Selain contoh dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, pergerakan kaki dian dalam sejarah ini terus menerus terulang karena kita lihat sejarah terus mengulangi kesalahan yang sama. Ada gereja dan umat Tuhan yang setia lalu di kemudian hari menjadi suam dan murtad, lalu Tuhan menarik kaki dian mereka dan menempatkannya di jemaat dan gereja lain yang setia. Misalnya Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menjelaskan pergerakan kaki dian di abad pertengahan di mana waktu gereja Roma Katolik menyeleweng dengan memperjualbelikan surat indulgensia (penghapusan dosa), Tuhan menarik kaki dian mereka dan menaruhnya di Gerakan Reformasi. Demikian juga ketika gereja-gereja Tuhan di Amerika lalai menjalankan panggilan mereka untuk menginjili kaum muda di kampus-kampus, Tuhan membangkitkan gerakan interdenominasi seperti Christian Fellowship, Campus Crusade for Christ, dan the Navigators. Dan di konteks Indonesia yang lebih dekat dan akrab dengan kita, ketika banyak gereja-gereja Injili yang akhirnya kompromi menerima ajaran Liberal yang menolak semua doktrin penting kekristenan ataupun menerima ajaran Karismatik ekstrem yang memfokuskan kepada beberapa doktrin yang bukan sentral, Tuhan membangkitkan Gerakan Reformed Injili yang mau setia kepada ajaran Rasuli dan kembali kepada Alkitab.
Teguran keras tersebut diikuti lagi oleh sebuah pujian bahwa mereka membenci segala perbuatan pengikut-pengikut Nikolaus, yang juga Tuhan benci. Emosi yang kudus adalah mencintai apa yang Tuhan suka dan membenci apa yang Tuhan benci. Tapi apakah yang Tuhan benci di sini sebagai perbuatan pengikut-pengikut Nikolaus?
Beberapa ahli Alkitab menafsirkan ajaran Nikolaus adalah sejenis cult mirip Bileam. Ajaran Nikolaus ini dijelaskan di ayat 14 sebagai ajaran Bileam, yang memberi nasihat kepada Balak untuk menyesatkan orang Israel, supaya mereka makan persembahan berhala dan berbuat zinah. Bagi yang tidak familiar dengan Bileam, bisa membaca kisahnya di kitab Bilangan 22-24. Rupanya Bileam tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menyerang Israel karena ada Allah yang melindungi mereka. Sehingga satu-satunya jalan adalah ketika bangsa Israel tidak bisa diserang dari luar, berikan pencobaan (wanita-wanita kafir) supaya mereka hancur sendiri dari dalam karena Allah yang akan berbalik melawan umat-Nya. Allah sendiri yang akhirnya berbalik melawan mereka.
Jemaat Efesus dipuji karena mereka tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa mereka telah mencobai orang-orang yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, dan bahwa mereka telah mendapati mereka pendusta. Rupanya jemaat Efesus tidak sembarangan menerima penyusup dari dalam, mereka bisa menghalau musuh dalam selimut sehingga secara luar-dalam mereka cukup kuat dalam menangkal segala pencobaan.
Setiap surat ditutup dengan suatu janji: Barangsiapa menang, dia diberikan reward. Dan bagi jemaat Efesus – mereka akan Tuhan beri makan dari pohon kehidupan yang ada di Taman Firdaus Allah. Ketika Adam dan Hawa berdosa setelah mereka makan dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, mereka diusir dari Taman Eden dan ada malaikat Allah yang menjaga jalan kepada pohon kehidupan supaya mereka tidak bisa makan dari pohon kehidupan. Mereka yang tidak taat dihalau dari taman dan dihalangi untuk makan dari pohon kehidupan, namun jemaat Efesus dijanjikan suatu pengharapan bahwa mereka boleh menikmati apa yang Adam dan Hawa tidak bisa dapatkan.
Ancaman ketika jemaat Efesus tidak taat adalah kaki dian mereka akan dicabut dari tempatnya, yaitu Tuhan tidak lagi hadir bersama-sama dengan mereka. Namun di sini keindahannya, dalam janji Tuhan ketika mereka taat mereka dijanjikan boleh makan buah pohon kehidupan sehingga mereka bisa hidup selama-lamanya bersama-sama dengan Allah di kehidupan yang baru. Ancaman Tuhan berat konsekuensinya namun janji Tuhan mempunyai kebahagian yang jauh lebih besar. Kisah ini ditutup dengan happy ending – the groom and the bride, they live happily ever after.
Surat kepada jemaat Efesus adalah surat Allah juga kepada kita gereja di zaman abad ke-21 dalam kota metropolis ini. Kita mungkin setia dan tidak lalai dalam menjaga doktrin dan ajaran yang sehat seperti jemaat Efesus, namun apakah kita mempertahankan kasih kita yang semula kepada Allah? Mari kita gumulkan dengan jujur di hadapan Tuhan. Artikel ini dibuka dengan sebuah pertanyaan dan juga ditutup dengan sebuah pertanyaan refleksi bagi kita semua, “Apakah kamu sekarang kehilangan kasihmu yang semula?”
Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR
Endnote:
[1] Di PILLAR edisi 103 bulan Februari 2012 ada penulis lain yang mengulas tentang jemaat Laodikia.