God in the Fall of Man, Suffering, and Evil

Problem of evil adalah salah satu permasalahan theologis yang paling susah di dalam kekristenan. Secara umum, problem of evil dijelaskan di dalam silogisme demikian:

1. Kalau Allah Mahakuasa, Dia dapat mencegah/menyelesaikan kejahatan.

2. Kalau Allah Mahabaik, Dia mau mencegah/menyelesaikan kejahatan.

3. Tetapi kejahatan tetap ada.

4. Konklusinya adalah: Allah tidak Mahakuasa atau Allah tidak Mahabaik.

Menurut perspektif problem of evil ini, ketika kekristenan memegang ide bahwa Allah itu Mahakuasa dan Mahabaik, maka kekristenan tidak konsisten di dalam logika. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan kekristenan percaya bahwa Allah adalah Allah yang Mahabaik dan penuh kasih juga adalah Allah yang berdaulat dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Atas dasar kerumitan inilah, banyak orang menganggap bahwa problem of evil merupakan Achilles’ heel kekristenan. Problema ini sudah dibahas oleh para theolog sepanjang sejarah dari berbagai denominasi dan tidak ada yang mampu memberikan jawaban yang tuntas dan komprehensif. Dengan kesadaran demikian, maka artikel ini tidak pernah ditujukan untuk membahas dan memberikan jawaban tuntas dari problema tersebut melainkan hanya bertujuan untuk mengajak pembaca merenungkan bersama-sama apa yang Tuhan nyatakan di dalam firman-Nya.

Beberapa Penekanan dan Pembedaan yang Harus Dibuat

Pertama-tama, penulis merasa penting untuk menekankan bahwa fakta adanya kejahatan selalu memiliki unsur misteri yang tak terbantahkan. Herman Bavinck di dalam bukunya Reformed Dogmatics menyatakan, “Mystery is the lifeblood of dogmatics.” Ketika kita masuk ke dalam diskusi theologis, maka tidak mungkin tidak ada unsur misteri. Mengapa demikian? (1) Karena manusia terbatas dan (2) karena Allah memang tidak menyatakan segala sesuatu kepada kita. Meski demikian, misteri bukan berarti mematikan pengetahuan atau sesuatu yang bersifat irasional. Inilah yang membedakan mystery dengan mysticismMysticism merupakan paham yang mematikan pengetahuan dan meninggikan aspek pengalaman dan perasaan, sedangkan mystery justru berelasi dengan pengetahuan tersebut meskipun ada keterbatasan. Sebagai contoh, Alkitab merupakan firman Tuhan yang menyatakan pribadi Allah kepada manusia, sehingga di dalam pernyataan tersebut ada aspek pengenalan dan pengetahuan akan pribadi Allah yang dinyatakan. Namun, pengetahuan tersebut tidak pernah bersifat comprehensive dan exhaustive. Alkitab tidak menjelaskan segala sesuatu kepada kita.

Ketika kita membaca ayat pertama dari Alkitab, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi,” di situ kita dapat langsung melihat unsur misteri. Ulangan 29:29 menyatakan, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.” Di sini, misteri seharusnya memunculkan suatu sikap hati di mana dengan rendah hati kita mengakui keterbatasan kita di dalam mengenal Allah dan belajar untuk dengan iman memegang apa yang ada di dalam Alkitab. Berkenaan tentang hal ini, Scott Oliphint menuliskannya dengan sangat indah, “We confess that we cannot comprehend what we must acknowledge.” Di sisi lain, usaha untuk mengerti misteri dianalogikan oleh Agustinus seperti berusaha untuk melihat kegelapan dan mendengarkan kesunyian (to see darkness or to hear silence).

Selain penekanan di atas, ada dua perbedaan yang dapat dibuat untuk memudahkan pemahaman kita semua. Perbedaan yang pertama adalah perbedaan mengenai natural evil dan moral evilNatural evil sering kali dimengerti sebagai segala keburukan yang menghasilkan penderitaan bagi manusia, misalnya segala jenis bencana alam, penyakit, kematian, kecelakaan, dan sebagainya. Di sisi lain, moral evil adalah kejahatan atau dosa yang diperbuat oleh ciptaan yang rasional (malaikat dan manusia). Jikalau kita melihat relasi antara moral evil dan natural evil di dalam Alkitab, jelas bahwa moral evil muncul pertama kali. Di dalam Kejadian 3, ketika Adam dan Hawa berdosa dan tidak taat kepada Tuhan (moral evil), Ia mengutuk tanah dan karena itu segala ciptaan-Nya (Kej. 3:17-19). Akibat dari ketidaktaatan Adam dan Hawa, natural evil masuk ke dalam dunia ini dan memengaruhi seluruh ciptaan. Di dalam hal ini, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa natural evil merupakan kutuk yang diberikan oleh Tuhan kepada dunia ini sebagai akibat dari ketidaktaatan Adam dan Hawa (moral evil) dan bertindak sebagai hukuman bagi orang-orang jahat serta sebagai sarana untuk mendisiplinkan umat Tuhan. Selain itu, natural evil juga membawa manusia untuk menyadari luasnya dampak dari dosa bagi seluruh ciptaan dan, secara tidak langsung, dampak dari penebusan bagi seluruh ciptaan juga. Melalui natural evil, Allah seolah-olah sedang menetapkan bahwa alam semesta akan terus ada di dalam perlawanan dengan manusia sebagai penguasanya sampai manusia berhenti untuk melawan Allah sebagai Penciptanya. Di dalam terang penjelasan mengenai natural evil yang Alkitab telah berikan, maka kita akan lebih fokus untuk menjelaskan tentang moral evil.

Perbedaan yang kedua adalah perbedaan antara defense dan theodicy yang dikemukakan oleh Alvin Plantinga, di dalam bukunya God, Freedom, and EvilDefense bertujuan untuk menunjukkan bahwa keberadaan evil tidaklah menyangkal atau menolak keberadaan Allah Alkitab, sedangkan theodicy yang diambil dari kata theos (Allah) dan dike (keadilan/kebenaran) bertujuan untuk menyatakan kebaikan Allah dalam terang keberadaan evil. Melalui perbedaan yang demikian, maka kita dapat melihat paling tidak ada dua lapisan dari problem of evil yang akan kita bahas di dalam tulisan ini, yaitu: (1) bagaimana Alkitab menyatakan bahwa Allah tetap adalah Allah yang sejati meskipun ada fakta kejahatan (defense), (2) bagaimana Alkitab menyatakan bahwa Allah tetap adalah Allah yang baik meskipun ada fakta kejahatan (theodicy).

Defenses Against the Problem of Evil

Di sepanjang sejarah, para filsuf dan theolog berusaha untuk memberikan jawaban atas problema kejahatan ini, dan bagian berikut akan membahas beberapa dari solusi tersebut.

The Best Possible World Defense

Argumen ini menyatakan bahwa dunia ini meskipun penuh dengan segala macam kejahatan merupakan dunia yang terbaik yang Tuhan dapat ciptakan. Mengapa demikian? Argumen ini memberikan dua macam alasan yang diambil dari sudut pandang logical necessity of evil dan kesempurnaan Allah (the perfection of God). Alasan yang pertama menjelaskan bahwa berbagai macam kejahatan harus ada supaya kebaikan yang sempurna bisa ada. Pendukung gagasan ini memberikan contoh bahwa pengampunan hanya bisa terjadi dan ada jikalau ada kesalahan atau kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Tanpa keberadaan kejahatan itu, individu tersebut tidak mungkin memberikan pengampunan karena tidak adanya kesalahan yang dilakukan. Sekilas argumen tersebut cukup masuk akal, tetapi sebenarnya salah jikalau kita membandingkannya dengan apa yang Alkitab nyatakan. Alkitab menyatakan bahwa Allah itu sempurna dan tidak ada kejahatan di dalam-Nya. Allah tetap baik secara kekekalan meskipun tidak ada kejahatan. Kejadian 1-3 juga menyatakan bahwa manusia dan dunia ini diciptakan dengan baik dan tidak ada kejahatan di dalamnya. Bukan hanya itu, langit dan bumi yang baru nanti, yang disempurnakan itu, juga tidak akan ada kejahatan di dalamnya.

Alasan yang kedua adalah, bahwa Allah adalah Allah yang sempurna, oleh karena itu Allah hanya boleh/bisa menciptakan ciptaan yang sempurna juga. Sekali lagi, Alkitab menyatakan hal yang berbeda. Penciptaan Adam meskipun dikatakan sangat baik tetaplah tidak sempurna. Iman Adam belumlah sempurna karena harus diuji dengan berbagai macam ujian (Kej. 2-3), keberadaan Adam juga tidaklah sempurna karena dia seorang diri dan membutuhkan penolong yang sepadan. Dari sini, argumen ini tidak memberikan jawaban alkitabiah dari problem of evil.

The Free Will Defense

Ini merupakan salah satu argumen paling populer saat ini. Secara umum, argumennya adalah bahwa kejahatan datang dari makhluk rasional yang menggunakan kehendak bebasnya untuk melakukan kejahatan. Oleh karena manusia sendiri yang melakukan kejahatan dan bukan Allah, maka Allah tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kejahatan yang terjadi. Alkitab memang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang diberikan kehendak bebas untuk melakukan apa yang dia inginkan, entah itu kudus ataupun berdosa. Meski demikian, kemampuan manusia untuk memilih melakukan hal yang kudus atau berdosa hanya ada sebelum Adam jatuh ke dalam dosa atau setelah manusia mengalami penebusan Kristus. Adam memiliki kemampuan untuk memilih benar atau salah sebelum jatuh dalam dosa, dan kejatuhan Adam mengambil kebebasan tersebut sehingga manusia di dalam dosa hanya dapat memilih kejahatan. Selain itu, Alkitab juga menyatakan bahwa ketika kita berbicara tentang dosa, maka pertanggungjawabannya ada pada manusia yang melakukan dosa tersebut dan bukan Tuhan (Kis. 2:23, 4:27). Meski demikian, pendukung argumen ini menggunakan definisi kehendak bebas di dalam pengertian libertarian, di mana kehendak bebas manusia merupakan penentu absolut akan terjadinya sesuatu. Alkitab justru menyatakan sebaliknya! Penetapan Allah merupakan penentu absolut akan terjadinya sesuatu dan bahkan kehendak bebas manusia pun ada dan terjadi di dalam penetapan Allah (Kej. 5:20; Kis. 2:23, 4:27; 2Sam. 24:1; Yoh. 6:44, 65; Flp. 1:29). Jadi meskipun manusia harus bertanggung jawab atas segala keputusan jahat yang dibuatnya, tetaplah hal itu tidak terjadi di luar dari kedaulatan dan penetapan Allah. Maka, tidak dapat dikatakan bahwa kejahatan yang terjadi itu secara absolut terjadi karena kehendak manusia dan terjadi di luar dari penetapan atau kehendak Allah.

The Indirect Cause Defense

Argumen ini adalah argumen yang paling banyak digunakan di kalangan orang Reformed dan cukup banyak dipakai di dalam Reformed Theology. Argumen ini menyatakan bahwa Allah adalah penyebab tidak langsung (indirect cause) dan bukanlah penyebab langsung (direct cause) dari kejahatan. Saya akan menggunakan contoh biliar untuk memudahkan kita mengerti argumen ini. Jikalau saya memukul bola A, dan bola A mengenai bola B, dan bola B mengenai bola C sehingga bola C berpindah posisi, dapat dikatakan bahwa bola C berpindah posisi ultimately karena saya memulai rantaian pergerakan bola A hingga bola C. Tetapi pada umumnya kita akan mengatakan bahwa bola B yang mengenai bola C-lah yang memindahkan posisi bola C. Di dalam contoh ini, maka saya adalah penyebab tidak langsung (indirect cause) dan bola B adalah penyebab langsung (direct cause) dari pergerakan bola C. Begitu pula di dalam kasus kejahatan. Allah betul menetapkan dosa dan kejahatan namun Allah bukanlah penyebab langsung (direct cause) dari dosa tersebut. Allah tidak mencobai Adam dan Hawa, Allah tidak melakukan dosa, dan Allah tidak “memaksa” manusia untuk berdosa. Meski argumen ini tidaklah salah, namun apakah ketidaklangsungan (indirect cause) tersebut membuat penyebab tidak langsung (misalnya saya) tersebut menjadi tidak ada hubungannya dengan kejadian tersebut (misalnya pergerakan bola C)? John Frame memberikan sebuah analogi untuk menjelaskan hal tersebut. Jikalau dia menyewa jasa seorang pembunuh bayaran untuk membunuh A, apakah dia (sebagai penyewa pembunuh bayaran) menjadi tidak bersalah atas kematian A? Tentu saja sang penyewa tersebut juga bertanggung jawab atas kematian A. Meski demikian, argumen ini memberikan perspektif yang baik bahwa kedaulatan Allah menjadi dasar bagi kehendak manusia untuk dapat berfungsi, di mana kejahatan yang dilakukan oleh manusia pun terjadi di dalam ketetapan Allah. Namun, argumen ini tetap tidak menyelesaikan problem of evil.

Alkitab dan Problem of Evil

Problem of Evil sendiri sebenarnya tidak banyak muncul di dalam Alkitab meskipun ada cuplikan ayat yang berbicara tentang ini. Dari sini, ada dua bagian yang berbicara tentang problem of evil. Yang pertama adalah Kitab Ayub dan yang kedua adalah Surat Roma pasal 9.

Ayub percaya bahwa dia sedang menderita secara tidak adil. Oleh karena itu, ia meminta Tuhan untuk menyatakan alasan dari penderitaan dia dan membenarkannya (vindication). Tentu kita dapat membayangkan bagaimana Ayub sudah siap untuk melemparkan berbagai pertanyaan kepada Allah berkenaan dengan penderitaannya dan berharap Allah akan membenarkan Ayub. Namun, di pasal 38-41 justru Allahlah yang memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang tajam kepada Ayub mengenai rahasia dan “keagungan” dari dunia ciptaan. Sebagai respons dari pertanyaan Allah tersebut, Ayub justru mengakui kebodohannya dan melakukan tindakan menutup mulutnya dan merendahkan dirinya sendiri (Ayb. 40:3-5, 42:2-6). Perhatikan bagaimana Kitab Ayub ditutup dengan Allah memulihkan keadaan Ayub dan bukan dengan penjelasan atau jawaban atas penderitaan Ayub. Ayub tidak pernah mendapatkan jawaban atas penderitaannya sendiri. Apa yang Alkitab ingin nyatakan di sini? Mari kita melihat Roma 9 yang memiliki konteks dan jawaban yang serupa dengan Kitab Ayub. Di Roma 9:14, muncul pertanyaan apakah Allah tidak adil dengan membenci Esau sebelum ia dilahirkan. Dan jawaban yang diberikan oleh Paulus adalah bahwa hal tersebut adalah mustahil karena Allah menaruh belas kasihan kepada siapa Ia mau menaruh belas kasihan dan bermurah hati kepada siapa Ia mau bermurah hati (ay. 15). Dari jawaban Paulus yang mengutip Keluaran 33:19, jelas terlihat bahwa kedaulatan Allah menjadi titik sentral untuk melihat problem of evil. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut ketika Allah membangkitkan Firaun, yang merupakan penyebab utama mengapa bangsa Israel sangat menderita. Semua ini dilakukan untuk menyatakan kuasa-Nya dan supaya nama-Nya dimasyhurkan di muka bumi (ay. 17). Lalu Paulus melanjutkan dengan menuliskan bahwa seperti tukang periuk yang memiliki hak absolut dan otoritas penuh atas tanah liatnya, demikianlah Tuhan sebagai Pencipta memiliki kedaulatan penuh atas ciptaan-Nya. Namun, perhatikan sekali lagi bagaimana Paulus tidak menjawab mengapa Tuhan memilih untuk membenci Esau atau memakai Firaun untuk memperlihatkan kuasa dan kemuliaan-Nya.

Dari kedua perikop Alkitab di atas, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

(1) Allah tidak harus memberikan jawaban yang memuaskan intelek atas problem of evil.

(2) Kedaulatan atau kemahakuasaan Allah tidak dapat dibenturkan dengan problem of evil, melainkan harus dipresuposisikan.

(3) Kita sebagai ciptaan tidak memiliki hak untuk menyerang Allah dengan problem of evil, dan ketika kita melakukannya maka kita sedang tidak taat.

Dari kesimpulan di atas, kita dapat melihat bahwa sebagai Allah yang berdaulat dan Mahakuasa, Allah berhak untuk melakukan hal-hal yang di dalam pikiran kita (yang sangat terbatas ini) seolah-olah berkontradiksi dengan kebaikan-Nya. Dan ketika itu terjadi, maka Alkitab mengajarkan kita bukan untuk menuntut penjelasan dan jawaban, melainkan belajar untuk percaya dan tunduk kepada rencana Allah.

Theodicy and the Problem of Evil

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, theodicy berbicara tentang bagaimana Allah tetap adalah Allah yang baik meskipun ada kejahatan. Herman Bavinck menjelaskan bahwa justru karena Allah adalah Allah yang kudus dan berkuasa secara absolut, maka Allah dapat menggunakan dosa sebagai alat di tangan-Nya. Berikut merupakan kutipan Bavinck, “But God is so infinitely far removed from wickedness that He can make sin, as an unresisting instrument, subservient to His glorification.” Alkitab berulang kali menyatakan bagaimana Allah menggunakan dosa sebagai penghakiman (Ul. 2:30; Hak. 9:23-24; Yoh. 12:40; Rm. 1:21-28), sebagai alat untuk menyelamatkan umat-Nya (Kej. 45:5, 50:20), untuk menguji dan mendisiplinkan umat-Nya (Ayb. 1:11-12; 2Sam. 24:1; 1Kor. 10:13, 11:19; 2Kor. 12:7), dan untuk kemuliaan nama-Nya (Kel. 7:3; Rm. 9:17). Contoh yang lain adalah bagaimana Tuhan menggunakan Mesir untuk mengingatkan Israel bahwa Mesir bukanlah “rumah” mereka dan Mesir bukanlah Tanah Perjanjian. Bagi bangsa Israel, Mesir merupakan tempat kejahatan dan penderitaan, dan itu dipakai Tuhan untuk membawa bangsa Israel menantikan tempat/rumah yang merupakan Tanah Perjanjian yang berlimpah susu dan madu. Demikian juga, dunia yang berdosa dan penuh penderitaan ini dipakai oleh Tuhan untuk mengingatkan umat Tuhan bahwa dunia ini bukanlah “rumah” dan kita harus belajar untuk menantikan akan “rumah” yang kekal, langit dan bumi yang baru di mana tidak akan lagi ada baik dosa maupun penderitaan (Why. 21:4). Di dalam contoh ayat Alkitab ini, kita dapat melihat bahwa Allah menggunakan kejahatan hanya dengan motivasi, maksud, dan tujuan untuk kekudusan. Atas dasar inilah, Bavinck mengatakan bahwa Allah mengizinkan dosa untuk masuk ke dalam ciptaan. Jikalau Allah tidak sanggup untuk “menguasai” (rule over) dosa di dalam cara yang kudus dan berdaulat untuk maksud dan tujuan yang kudus, tentu Allah tidak akan membiarkan dosa untuk masuk ke dalam ciptaan. Tetapi justru karena Allah berdaulat dan kudus secara absolut, maka Allah menggunakan kejahatan untuk menyatakan kehendak dan pribadi-Nya sendiri. Herman Bavinck juga menjelaskan bahwa kalimat pertama di dalam Pengakuan Iman Rasuli, “Aku percaya kepada Allah yang Mahakuasa,” memiliki pengertian bahwa Allah bukan hanya sanggup untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya, tetapi juga sanggup untuk tidak mengizinkan apa yang tidak dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, ketika Allah membiarkan/menetapkan kejahatan untuk ada di dalam ciptaan, maka Allah menyatakan bahwa Allah sanggup dan sudah memakai kejahatan tersebut untuk menghasilkan kebaikan dan maksud yang kudus. Jadi, keberadaan kejahatan tidak menyangkal keberadaan Allah, melainkan menyatakan Allah yang berkuasa melampaui kejahatan itu sendiri. Allah menggunakan kejahatan untuk mendatangkan kebaikan seturut dengan rencana dan kehendak-Nya.

Respons Orang Kristen terhadap Problem of Evil

Setelah kita membahas problem of evil secara singkat di atas, pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan kepada diri kita sendiri adalah bagaimana seharusnya kita, sebagai orang Kristen, berespons terhadap masalah tersebut? Tentu ada banyak respons yang harus kita ambil, tetapi penulis ingin mengajak pembaca untuk fokus memikirkan satu respons yang jarang kita lakukan.

Ketika kita membaca Alkitab, kita akan tahu bahwa solusi atas problem of evil ini hanya ada satu, yaitu ketika Kristus datang untuk kedua kalinya (Yes. 24-27; 2Tes. 2:1-12; 2Ptr. 3:7; Why. 20:7-10, 11-15, 21:4-5). Ini adalah solusi yang bersifat final, akhir, dan juga futuristik. Tentu kita sebagai orang Kristen percaya hal tersebut secara dogmatik sebagai bagian dari iman Kristen. Tetapi pertanyaannya adalah apakah fakta Alkitab ini memiliki dampak bagi kehidupan kita di saat ini? Apakah kita menantikan kedatangan Kristus yang kedua kalinya? Saya berharap setiap orang Kristen sungguh sangat menantikan ini. Alkitab mengajarkan prinsip bagaimana kita hidup di dalam dunia yang berdosa dan penuh penderitaan dengan satu kesadaran bahwa kita bukanlah dari dunia ini. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa setiap orang percaya bukanlah dari dunia ini (not of the world; Yoh. 17:14,16) melainkan orang percaya diutus ke dalam dunia ini (sent into the world; Yoh. 17:18).

Jadi, kita harus hidup di dalam dunia dengan mata iman yang memandang kepada langit dan bumi yang baru, kepada kemuliaan yang dijanjikan, kepada kehidupan yang mulia di mana tidak akan lagi ada kejahatan dan penderitaan. Dari sini, saya ingin mengembangkan lebih lanjut dengan memunculkan satu pertanyaan, apa sebenarnya yang paling dicari di saat ada kejahatan atau penderitaan? Apakah itu kelepasan? Kenyamanan? Penghiburan? Atau apa? Tentu hal ini tidaklah salah dan merupakan respons natural kita, namun apakah hanya hal tersebut yang kita cari? Jikalau demikian, ketika kita menantikan kedatangan Kristus yang kedua, semua harapan ini hanyalah pelepasan dari penderitaan saja. Tetapi Alkitab dengan jelas tidak hanya memberikan perspektif pelepasan dan penghiburan saja, melainkan juga perspektif lain. Di dalam Kolose 1:27, Paulus mengajarkan bahwa Kristus adalah pengharapan akan kemuliaan. Apa artinya? Kristus adalah kemuliaan itu sendiri! Pribadi Kristus itulah yang seharusnya dinantikan oleh orang percaya. Dapat melihat Kristus muka dengan muka di dalam kekekalan seharusnya menjadi hak istimewa yang sangat dinantikan oleh umat percaya. Ketika merenungkan bagian ini, saya teringat satu himne yang ditulis oleh Charles Gabriel berjudul O That Will be Glory, di mana dituliskan bahwa kemuliaan itu adalah ketika aku dapat melihat wajah Kristus di dalam sorga. Meski demikian, Alkitab juga mengajarkan bahwa hak istimewa ini bukan hanya terjadi nanti ketika Kristus datang kedua kali, melainkan dapat dicicipi oleh setiap orang percaya saat ini, di dunia berdosa ini. Bagaimana caranya? Yaitu ketika kita masuk ke dalam persekutuan dengan Tuhan di dalam doa dan firman, ketika kita hidup bergaul dengan Allah, dan ketika kita masuk ke dalam persekutuan orang percaya, bersama-sama melayani Tuhan.

Kiranya melalui tulisan ini, orang percaya dapat makin belajar merendahkan diri, percaya kepada kedaulatan Tuhan, dan berespons terhadap dunia yang berdosa ini dengan satu pengharapan akan Kristus yang akan datang kedua kali. Biarlah dengan iman dan pengharapan kita dapat berkata bersama dengan Rasul Yohanes, “Amin, datanglah, Tuhan Yesus!”

Kenneth Hartanto

Pemuda GRII Melbourne