“Coba yah gua bisa punya Porsche mewah kaya gini, mobilku yang sekarang cuma BMW series 5”
Setiap orang mempunyai angan-angan yang selalu lebih tinggi.
“Gak semestinya Brazil kalah kemarin. It wasn’t supposed to happen like this! ”
Kenyataan berbeda dengan apa yang diharapkan.
“Asal gua dapat Tamara, udah deh gua gak minta apa-apa lagi.”
Tamara is my ultimate need.
Terdengar familiar bagi kita? Kita mungkin pernah mengalami kejadian yang sama atau kira-kira mirip dengan ketiga kasus di atas. Dalam buku “Perkembangan Pemikiran Ekonomi” yang ditulis oleh Deliarnov dicatat bahwa ilmu ekonomi disebabkan oleh usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia yang relatif tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang tidak terbatas. Perhatikan: kebutuhan manusia yang relatif tidak terbatas! Apakah ini suatu fakta atau suatu hipotesis? Kalau kita menganalisa sebentar saja kita akan lebih cenderung untuk mengambil kesimpulan dan percaya bahwa memang kebutuhan manusia relatif tidak terbatas. Tetapi apakah benar demikian?
Kemajuan ciptaan manusia di bidang teknologi, science, komunikasi, dan lain-lain tidak membuat manusia merasa terpuaskan kebutuhannya. Contohnya saja di bidang transportasi, manusia yang bosan naik kuda mulai menciptakan kereta yang ditarik oleh kuda alias delman. Lalu manusia tidak puas mungkin karena kuda bau, maka mulailah menciptakan mesin uap sampai kepada mobil yang menggunakan mesin, mulai dari model awal yang sederhana Ford Model T di 1927 tanpa CD player, airbag, atau GPS system, sampai sekarang model terbaru Toyota Estima yang bisa parkir sendiri setelah distel. Apakah manusia puas? Tidak! Manusia ingin mobil yang bisa “auto pilot” tinggal bilang tempat tujuan mobilnya jalan sendiri. Apakah manusia puas? Tentu tidak! karena Jakarta akan jadi lebih macet karena lebih banyak orang beli mobil “auto pilot”. Nanti mau mobil yang bisa memijit di kala macet atau bisa nyanyi menghibur, atau bahkan yang bisa terbang sekalian menghindari macet. Pokoknya tidak puas! *dalam segala hal*
Kenapa manusia selalu tidak puas dengan diri mereka sekarang atau apa yang ada pada mereka sekarang? Karena ide manusia mengatakan bahwa seharusnya mereka lebih dari apa yang terjadi pada realita atau fakta saat ini. Perasaan ideal and real ini adalah sesuatu yang universal dan dimiliki oleh semua orang di muka bumi ini. Kita semua sedang mengalami kenyataan tetapi kita tidak ingin mengakui bahwa apa yang kita alami atau miliki tersebut cukup untuk kita. Kita semua ingin lebih dari apa yang kita miliki. Pernahkah kita bertanya kenapa kita mempunyai double standard ini? Karena manusia mempunyai a sense of perfection. Sense of perfection inilah yang membedakan kita dari semua mahluk yang lain. Pdt. Stephen Tong pernah berkata babi puas hanya diberi makan dan nyonya, tetapi manusia? Setelah mendapatkan makan dan nyonya, mulai berpikir setelah ada nyonya, perlu rumah lebih besar dan perlu mobil. Setelah ada rumah besar dan mobil, perlu ada vila di puncak supaya akhir minggu bisa berlibur santai bersama nyonya dan anak dan seterusnya.
Kalau begitu manusia tidak puas-puasnya mencari yang lebih baik terus menerus, sampai kapan donk puasnya? Sampai dia menemukan yang sempurna, yang tidak bisa lagi lebih baik. Kata sempurna di dalam bahasa Inggris adalah “Perfect” yang akar katanya berasal dari bahasa Latin “Perfictio” berarti “to finish”, “to bring an end” – sudah selesai atau sudah mencapai garis akhir. Sedangkan akar kata dari Grika “teleos” berarti “perfect”, “completeness” – lengkap, genap, atau komplit. Ketika Matius 5:48 berkata, “Jadilah sempurna seperti BapaKu di sorga sempurna.” Kata Grika yang digunakan dalam kata sempurna itu adalah ”teleos“.
Pembahasan tentang istilah “perfection” atau “sempurna” adalah sesuatu yang paradox, karena kita manusia yang membahasnya adalah semuanya tidak sempurna dan tidak ada yang sudah menjadi sempurna. Sehingga pembahasannya selalu bersifat sebuah ideal “an idea” yang bersifat teoritis yang belum pernah dialami sebelumnya. Manusia dari abad –abad awal terus mencoba mengerti, menjelaskan, bahkan menjalani apakah yang dimaksud dengan istilah sempurna dan mengapa manusia mempunyai “a sense of perfection” in the first place.
Definisi yang jelas tentang “perfection” pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles dalam bukunya, “Delta of the Metaphysics”. Dia mengatakan, sempurna berarti:
- Sesuatu yang komplit – mencakup semua bagian yang diperlukan.
- Sesuatu yang sudah menjadi begitu bagus sehingga tidak bisa menjadi lebih bagus lagi.
- Sesuatu yang sudah mencapai tujuannya.
Melalui definisi Aritoteles, Thomas Aquinas dalam bukunya “Summa Theologiae” membagi “perfection” menjadi dua macam: sempurna dalam dirinya sendiri – in its substance dan sempurna ketika sudah mencapai tujuannya. Yang pertama adalah sempurna secara mutlak sedangkan yang kedua adalah sempurna setelah melalui suatu proses penyempurnaan.
Penjelasan Thomas Aquinas ini dapat membantu kita mengerti tentang perbedaan kesempurnaan antara Allah dan kita manusia. Allah adalah pada diri-Nya mutlak sempurna (Perfect Absolutely) yang tidak perlu melalui proses penyempurnaan, yang dari awal dan hingga akhir adalah sempurna kekal. Alkitab juga mencatat bahwa God is perfect in knowledge (Deu 32:4, Job 36:4, Job 37:16), His way is perfect (2 Sam 22:31, Psalm 18:30), His Word is flawless (2 Sam 22:31), perfect in beauty (Psalm 50:2), perfect in faithfulness (Isaah 25:1), His law is perfect (Psalm 19:7) dan masih banyak lagi. Di Alkitab beberapa kata yang dapat mewakili arti dari sempurna ini adalah sempurna, tidak bercela, tidak bercacat, suci, kudus, tidak bersalah, dan sebagainya.
Walau Aristoteles, Aquinas dan filsuf-filsuf dunia dapat mencoba mengerti istilah sempurna tetapi mereka masih tidak dapat menjelaskan mengapa manusia mempunyai a sense of perfection in the first place dan semua standard kesempurnaan yang mereka idamkan sangatlah berbeda dengan apa yang dituntut oleh Firman Tuhan. Manusia tidak akan mengerti konsep sempurna tanpa mengerti keempat point C-F-R-C dari teologi Reformed.
CREATION
Mengapa manusia mempunyai sense of perfection tersebut dan terus mencari perfection? Karena kita dicipta dalam peta dan teladan Allah yang diri-Nya adalah Kesempurnaan Absolut (the Absolutely Perfect). Dalam the Order of Creation, segala sesuatu ciptaan yang lain diciptakan di bawah manusia sedangkan manusia sendiri diciptakan untuk Tuhan. Manusia diciptakan untuk Tuhan oleh karena itu ia harus senantiasa bersama-sama dengan Allah, menikmati hubungan yang dekat dan akrab di taman Eden. Manusia diciptakan untuk hidup berelasi dengan The Absolute One.
Orang dunia yang tidak percaya kepada Allah menolak point Creation dan menggantikannya dengan konsep evolusi. Mereka memutarbalikkan bahwa dunia ini pada awalnya adalah sangat primitif yang kemudian berkembang perlahan-lahan menjadi lebih baik hingga sampai sekarang. Tetapi mereka tidak bisa menjawab secara tuntas tentang alasan kenapa manusia secara universal mempunyai sense of perfection, mereka menjawabnya dengan konsep idealisme manusia yang kosong dan menolak fakta bahwa mereka diciptakan untuk Tuhan.
Alkitab menjawab persoalan ini dengan tuntas, Alkitab berlawanan dengan konsep evolusi yang berkata bahwa manusia sudah dewasa dan disadarkan mengejar kesempurnaan, kesempurnaan adalah ending point. Sebaliknya Alkitab mencatat bahwa ada awalnya manusia sudah diciptakan secara sempurna. Satu-satunya ciptaan Allah yang diciptakan segambar dengan-Nya.
FALL
Manusia mempunyai relasi yang baik dengan Allah dan menikmati segala ciptaan lainnya di taman Eden, tetapi ada satu yang “tidak baik” yang juga berada di taman tersebut siap menarik manusia untuk gagal dalam ujian. Ketika kesempatan emas tiba, si ular Iblis langsung beraksi.
Ular : Hawa …. Kamu puas gak sih di taman ini?
Hawa : Puas donk.
Ular : Kenapa puas? Bukannya semua buah di taman ini tidak boleh kau makan?
Hawa : Ngaco kamu ah, semua boleh kecuali satu, kalo makan yang itu bisa mati kata-Nya.
Ular : Oohh semua boleh kecuali satu, mana puas kalo gitu. Justru yang satu itu yang bikin kamu seperti Allah. Makanya kamu gak boleh makan. Kalau makan itu kamu bisa sempurna seperti Allah! Tahu tentang yang baik dan yang jahat.
Hawa : Wah begitu yah, saya baru tau realita sebenarnya.
Adam : …. (diam seribu bahasa)
Hawa : (memetik buah dan memakannya) Nyam nyam nyam, wah enak. Papi coba ini.
Adam : (makan dengan lahap) nyam nyam nyam juga
Ular : Hihihi…. Kena dia!
Manusia gagal! Manusia jatuh karena tidak taat kepada Allah. Setan jatuh karena ingin menjadi Allah, karena alasan yang sama pulalah manusia juga jatuh. Manusia karena dosa terpisah dari Allah. Gambar dan rupa Allah kini terpisah dari Allah. Tetapi setelah kita jatuh ke dalam dosa, Peta dan teladan Allah tidak hilang tetapi rusak total. Dari situlah kita mengerti kenapa ada pergeseran antara apa yang kita idealkan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan dunia berdosa.
Kita mempunyai konsep sempurna tetapi kita hidup dalam dunia yang jauh dari sempurna, oleh karena itu jiwa kita merindukan idealisme yang tertanam di dalam hati kita dan terus mencari kesempurnaan. Tetapi celakanya ketika manusia terus mencari kesempurnaan, manusia mencarinya di dalam dirinya sendiri, di luar dirinya bahkan di dalam ciptaan (yang notabene lebih rendah darinya). Augustinus dalam bukunya “Confession” berkata, “for Thou madest us for Thyself, and our heart is restless, until it repose in Thee.” Di bagian awal artikel ini ada suatu analisa singkat bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas. Kita mungkin setuju dengan itu tetapi jikalau kita menganalisa lebih dalam, mungkin lebih cocok dikatakan bahwa keinginan manusia tidak terbatas sedangkan kebutuhan manusia yang terdalam hanya satu ”kembali kepada Tuhan”.
Firman Tuhan berkata setelah manusia jatuh ke dalam dosa, gambar dan rupa Allah yang ada pada diri manusia sudah rusak total. Roma 3:23 mengatakan “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Total depravity yang terjadi pada manusia sudah merusak semua sum-sum kehidupan bagai sel kanker ganas yang sudah merambah kepada setiap sel hidup. Tidak ada segi kehidupan manusia yang bebas darinya, segi rasio, budi, kehendak, moral, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Tetapi efek dosa bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada seluruh ciptaan yang lain termasuk lingkungan hidup, dan lain-lain. Rom 8:22 declares that “the whole creation has been groaning as in the pains of childbirth” while it awaits God’s final redemption.
Manusia yang sudah di dalam Fall tidak mempunyai jalan keluar, seperti orang-orang di zaman Nuh yang tidak mempunyai jalan pengharapan lepas dari air bah, selain Tuhan menyediakan jalan keluarnya yaitu Redemption.
REDEMPTION
Pemikiran manusia berdosa sepanjang sejarah tentang pencapaian kesempurnaan selalu ditandai dengan arah dari bawah menuju ke atas. Dari manusia mendongak ke atas dengan tangan terulur ke atas mencoba meraih kesempurnaan bagai manusia yang ingin menggapai bintang di langit di atas. Sejarah dalam ribuan tahun membuktikan bahwa kesempurnaan yang ingin dicapai manusia baik secara individu maupun secara bersama-sama sebagai masyarakat tidaklah menjadi kenyataan.
Sejarah mencatat lembaran hitam tentang ketidakberdayaan manusia dalam petualangannya mencari kesempurnaan tetapi sejarah juga mencatat dalam satu periode waktu lembaran hitam tersebut mendapatkan titik terang. Titik terang yang sudah dijanjikan sejak kejatuhan manusia (Kej.3:15). Penggenapan titik terang tersebut dicatat dalam lembaran sejarah 2000 tahun yang lalu ketika upaya demi upaya manusia mencapai ke atas, Tuhan sang Sempurna mengetahui bahwa segala upaya tersebut adalah sia-sia bagai usaha menjaring angin. Roma 3:10-12 mencatat “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. “
Seperti ditulis sebelumnya bahwa para filsuf dunia mungkin mencoba menyumbangkan konsep ideal tetapi gagal di dalam keutuhan ide dan prakteknya, sedangkan Kekristenan tidak menyodorkan suatu definisi abstrak tentang konsep ideal, tetapi sang Sempurna rela bersalut darah dan daging terpaku di kayu salib demi membuka jalan kembali bagi manusia berdosa dan hina kembali kepada Bapa di surga.
Orang yang belum bertobat menerima keselamatan dari Yesus Kristus tidak menyadari realita spiritual dan kekal yang di atas. Mereka tetap tidak mengerti konsep ideal yang sesungguhnya, dan hanya akan terus berkutat di Fall seperti prinsip garbage in-garbage out tanpa ada harapan. Setelah kita diperdamaikan, kita hidup di dalam dua realita sekaligus: berstatus suci dan dalam proses penyucian. Selain warga Negara dunia, kita juga sudah menjadi warga Negara Surgawi. Kita berada di tegangan Already and Not Yet.
Lalu apakah setelah Kristus mati di kayu salib menebus dosa-dosa kita, otomatis semua orang Kristen langsung menjadi sempurna? Orang Kristen langsung kebal terhadap dosa? Tubuh manusia yang lemah langsung digantikan dengan tubuh kemuliaan? Sekali-kali tidak! Orang Kristen tetap mempunyai tubuh yang sama yang terbatas, masih tetap bisa berdosa, masih sangat terbatas di dalam banyak hal. Mata yang mengeluarkan air mata ketika bertobat masih bisa melihat sesuatu yang najis dengan “lustfull desire”. Tangan yang biasa terlipat berdoa masih bisa dipakai sebagai alat kejahatan. Mulut yang memuji Tuhan masih bisa menjatuhkan orang lain. Telinga yang seharusnya cepat untuk mendengar Firman ternyata lebih cepat membuka untuk menerima gosip-gosip. Perkembangan teknologi yang makin canggih mampu menciptakan teknologi rain-proof, water-proof or weather-proof tetapi belum ada teknologi yang mampu membuat manusia sin-proof.
Tetapi bedanya dengan orang dunia adalah kita yang masih dalam Already but Not Yet tahu bahwa suatu saat kita akan benar-benar mencapai ideal tersebut, ketika kita disempurnakan pada kedatangan Kristus kedua kali. Sementara itu periode kita menunggu consummation setelah kita ditebus adalah suatu proses terus menerus yang kita sebut penyucian / progressive sanctification bagi diri kita. Dan bukan hanya diri kita saja yang di-redeem, tetapi seluruh aspek yang rusak dalam Fall akan di-restore kembali dalam Redemption hingga mencapai puncaknya Consummation. (Kis 3:21)
CONSUMMATION
Redemption reverses the effects of the Fall. But it does not merely return us to the pre-Fall situation with Adam (Vern Sheridan Poythress). Kaum Reformed berpendapat bahwa perfection adalah suatu state yang realisasinya hanya terjadi dalam consummation. Augustinus menjelaskan dengan gamblang konsep ini berkenaan dengan tema dosa yaitu:
Creation – Manusia bisa berdosa
Fall – Manusia tidak bisa tidak berdosa
Redemption – Manusia bisa tidak berdosa
Consummation – Manusia tidak bisa berdosa
Manusia di dalam tahap consummation yang mendapatkan kepastian tidak akan lagi jatuh di dalam dosa akan menikmati hubungan dengan Allah secara constant karena Allah adalah Allah Immanuel. Consummation membuat manusia mencapai perfection yang sudah ditetapkan Allah bagi manusia yang seharusnya manusia capai di Creation.
Framework C-F-R-C ini bermanfaat bagi kita dalam melihat secara jelas ketegangan yang terjadi di dalam dunia ini di mana kita yang menerima “justification by Jesus Christ” tetapi masih perlu menjalani “progressive sanctification”. We are living on 2 realm: being and becoming perfect.
So next time ketika kita di dalam pekerjaan ada yang berkata, “Eh kalo gak double accounting mana bisa hidup, ini fakta di Jakarta, Bung!” atau “mutu barang dagangan kita tidak terlalu penting, yang penting customer kita mempunyai persepsi ini barang yang bermutu, itu yang lebih penting, makanya branding and marketing lebih penting dibanding buang-buang uang research segala”. “Nak, kau harus belajar yang rajin yah, trus lulus nilai tinggi biar nanti gampang cari kerja dengan gaji tinggi.” Mari kita jangan langsung menelan mentah-mentah itu adalah realita yang seharusnya begitu. Di atas hanya contoh singkat, masih banyak fakta di dunia yang kita sudah terima secara biasa padahal mungkin sekali bertentangan dengan design awal yang ditetapkan oleh Tuhan Allah.
Mari kita melihat segala persoalan tersebut dalam kacamata C-F-R-C, Maka kita akan bisa melihat segala permasalahan dunia ini yang temporal dari kacamata kekekalan. What is God’s original design? What’s wrong now and what’s the effect? How am I to redeem it? How can I exercise my culture mandate here? Am I ready to pay the price?
Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR