Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Alkitab & Theologi

Imago Mundi – Imago Dei (Imago Christi): Menuju Antropologi Kristen yang Ramah Lingkungan

22 April 2025 | Aldo Christi 12 min read

“Jangan remehkan ras manusia, Meruem,” ujar Netero yang sedang sekarat melawan Meruem, si Raja Semut (mewakili makhluk non-manusia). Netero, sang hunter terkuat itu (mewakili manusia), berkata lagi, “Meruem, Raja Semut, kau tidak mengerti apa-apa tentang kekuatan tak terbatas dari manusia untuk berevolusi.” Netero kemudian meledakkan diri. Begitu dahsyat ledakannya hingga api dan asapnya membentuk bunga mawar (atau bisa dikatakan seperti ledakan bom atom pada perang dunia), membinasakan si Raja Semut juga hunter terkuat itu (diambil dari anime Hunter x Hunter). Ucapan Netero mengungkapkan sebuah ironi: kemampuan manusia untuk berevolusi, dengan segala kemajuan ilmu & teknologinya, pada akhirnya hanya memimpin pada kepunahan semua makhluk bumi (termasuk manusia). Sebuah cara pandang yang pesimistis namun bukan tanpa bukti. Kemajuan teknologi memang memberikan “kemudahan” dan “kecepatan” yang luar biasa bagi manusia, namun kita juga menyaksikan bahwa “kemajuan” ini telah menghasilkan revolusi industri yang merusak alam. Kerusakan alam akan berdampak buruk untuk segala makhluk, termasuk manusia itu sendiri.

Tidak bisa disangkal bahwa ada andil dari kekristenan terhadap kemajuan teknologi—beriringan dengan eksploitasi alam yang masif (saya akan sedikit membahasnya dalam pembahasan mengenai imago Dei). Teks-teks suci dari Kejadian 1 itu sepertinya melegalkan eksploitasi alam oleh manusia yang diberi mandat untuk berkuasa atas bumi. Apakah antropologi Kristen memang berwatak hostile terhadap alam? Untuk menjawab hal ini saya mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan kembali konsep Kristen mengenai manusia.

Alkitab tidak hanya membicarakan manusia sebagai imago Dei. Theolog Jürgen Moltmann menjelaskan bahwa manusia juga merupakan imago mundi, “citra bumi”[1]. Konsep imago mundi memang jarang sekali dibahas walaupun secara implisit terkandung dalam Alkitab. Selain itu, kedua konsep ini tidak bisa terlepas dari pribadi Yesus Kristus. Iman Kristen mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati sekaligus manusia sejati, maka membicarakan imago mundi dan imago Dei tidak boleh terlepas dari imago Christi. Penting bagi kita untuk mengangkat konsep-konsep ini di tengah krisis ekologi yang sedang melanda khususnya di negara berkembang.

Manusia sebagai imago mundi

Manusia sebagai “citra bumi” (imago mundi) terkandung dalam teks Kejadian 2:7 yang menyatakan bahwa asal manusia adalah dari debu tanah (bumi), sama seperti binatang lainnya (Kej. 2:19). Lalu, dikatakan juga bahwa manusia adalah “makhluk yang hidup”. Istilah “yang hidup” ini juga menghubungkan manusia dengan binatang, karena binatang juga digambarkan sebagai “yang bernyawa” (Kej. 1.30, dalam bahasa Ibrani menggunakan kata yang sama:נֶ֫פֶשׁ‎ nép̄eš)[2]. Baik manusia maupun ciptaan lainnya sama-sama bergantung kepada Roh, Sang Pemberi kehidupan (Mzm. 104:29-30). Bahkan dalam Kejadian 1 pun kita bisa melihat ketergantungan manusia terhadap ciptaan lainnya. Sebagai makhluk terakhir yang diciptakan, manusia bergantung pada keberadaan ciptaan lainnya (Kejadian 2 juga menjelaskan manusia diciptakan dari debu tanah atau bumi yang sudah ada atau diciptakan sebelumnya). Manusia akan memakan hasil bumi untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, tanpa ciptaan lainnya manusia tidak akan mungkin ada, apalagi bertahan hidup. Ini semua menggambarkan kedekatan, kekerabatan, dan ketergantungan manusia dengan ciptaan lainnya. Kata “adam” dalam bahasa Ibrani dapat diartikan sebagai “bumi”. Melalui komposisi tubuh manusia terkumpul unsur-unsur dunia material.

Iman Kristen mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati sekaligus manusia sejati, maka membicarakan imago mundi dan imago Dei tidak boleh terlepas dari imago Christi.

Kita juga bisa memahami konsep imago mundi melalui peristiwa inkarnasi. Antropologi Kristen terkait juga dengan Kristologi karena Yesus adalah Anak Manusia, Adam Kedua. Menarik untuk diperhatikan bahwa Injil Yohanes tidak mengatakan “Firman menjadi manusia”, tetapi “Firman menjadi daging” (Yoh. 1:14 versi bahasa Inggris). Kata “daging” dalam Alkitab tidak hanya dikenakan kepada manusia, namun dapat meliputi “seluruh makhluk di bawah matahari”—menunjukkan universalitas dari inkarnasi[3]. Namun demikian “daging” tersebut mewujud dalam rupa manusia. “Ecce homo” (Yoh. 19:5). Inkarnasi Yesus menegaskan bahwa manusia adalah imago mundi.

Selain itu, ada alasan penting lainnya mengapa manusia yang hanyalah makhluk kecil dari seluruh ciptaan ini dapat dikatakan sebagai imago mundi. Meminjam pemikiran Niels Henrik Gregersen: 1) hanya manusia yang mampu menyadari atau memikirkan tentang alam semesta secara luas, termasuk bintang-bintang dan kedalaman samudra; 2) hanya manusia yang mampu menumbuhkan kepedulian etis, yang secara sistematis menjangkau sesama makhluk di luar kelompok dan spesiesnya sendiri[4]. Apa yang diperbuat manusia dapat berdampak secara kosmik. Memahami manusia sebagai imago mundi merupakan langkah awal menuju sebuah antropologi Kristen yang ramah lingkungan.

Imago Dei: Menyerupai Allah yang mana?

Konsep yang lebih populer dalam antropologi Kristen adalah imago Dei, diambil dari Kejadian 1:26-27. Konsep imago Dei ini memiliki andil di dalam sejarah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa. Tokoh yang paling dikenal adalah Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Kristen & negarawan asal Inggris yang dikenal sebagai Bapak Sains Modern. Bacon beranggapan bahwa gambar dan rupa Allah pada manusia berbicara tentang kekuasaan. Menurut Moltmann, penekanan akan kekuasaan tersebut merupakan pandangan yang populer tentang Allah di Zaman Renaisans. “Tuhan itu mahakuasa, dan kemahakuasaan adalah atribut utama keilahian-Nya.” Manusia mendekati rupa dan gambar Allah dengan kekuasaan, dan kekuasaan manusia diperoleh melalui ilmu pengetahuan; knowledge is power.

Bacon juga mengatakan bahwa alam harus “diikat untuk melayani” dan dijadikan “budak”, “dibatasi” dan “dibentuk” oleh seni mekanik. Seni mekanik inilah yang kita kenal dengan istilah “teknologi”. Dampak dari deklarasi Bacon adalah perpaduan antara ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berujung pada revolusi industri. Alam betul-betul dijadikan budak untuk selalu memproduksi sesuatu demi memenuhi segala keinginan manusia. Manusia ibarat “allah” yang memiliki kekuasaan absolut, mengatur dan mengelola bumi seturut kehendaknya. 

Menjadi pertanyaan refleksi: apakah betul dengan demikian manusia makin menyerupai Allah? Allah mana yang sebetulnya sedang kita tiru? Yang jelas bukan Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab, karena Allah sejati tidak menghendaki kerusakan alam demi pemenuhan segala keinginan manusia. Itu sebabnya penting bagi kita, manusia yang dicipta menurut rupa dan gambar Allah, untuk terlebih dahulu merenungkan Allah yang seperti apa yang diwahyukan dalam Alkitab sebelum menemukan panggilan untuk menyerupai Allah.

Allah hari Sabat

Alkitab memperkenalkan Allah yang menciptakan semesta. Kontras dengan narasi penciptaan populer pada zaman Kitab Kejadian ditulis di mana ciptaan ada karena hasil kekerasan dan dominasi antar dewa/i, Kejadian 1 menarasikan penciptaan sebagai karya Allah Trinitas. Allah menciptakan dengan Firman di dalam kuasa Roh (Kej. 1:2, 3-26). Allah juga menopang dunia ciptaan-Nya dengan Firman (Ibr. 1:3) dalam kuasa Roh (Mzm. 104:29-30). Kita bisa melihat bahwa Allah sejati menggunakan kekuasaan-Nya bukan untuk mendominasi dan menghancurkan “yang lain”, melainkan untuk memberi ruang bagi “yang lain” itu, yakni ciptaan-Nya, untuk meng-”ada” dan menjaga keberlangsungannya.

Allah bekerja menciptakan dunia selama 6 hari penciptaan. Lalu Allah mengakhiri pekerjaan-Nya di hari ketujuh penciptaan, yang kemudian disebut sebagai hari Sabat. Menurut Moltmann, hari Sabat inilah yang menjadi “mahkota ciptaan”, bukan manusia[5]. Hal ini penting sebab jika manusia dipandang sebagai mahkota ciptaan, ini bisa berarti bahwa ciptaan lainnya ada untuk manusia. Sabat, sebagai mahkota ciptaan, menegaskan bahwa seluruh ciptaan, termasuk manusia, diciptakan untuk Allah. Allah bersuka akan keberadaan ciptaan-Nya. Dengan kata lain, Sabat adalah perayaan akan keberadaan seluruh komunitas ciptaan di hadirat Allah.

Kita bisa melihat bahwa Allah sejati menggunakan kekuasaan-Nya bukan untuk mendominasi dan menghancurkan “yang lain”, melainkan untuk memberi ruang bagi “yang lain” itu, yakni ciptaan-Nya, untuk meng-”ada” dan menjaga keberlangsungannya.

Sabat juga menegaskan bahwa ciptaan merupakan karunia Allah, bukan sumber daya ataupun komoditas untuk dieksploitasi. Kita bisa belajar akan hal ini dari penetapan hukum Sabat bagi Israel. Setelah dikeluarkan dari perbudakan, bangsa Israel akan melihat bahwa Sabat adalah tentang pembebasan seluruh golongan untuk menikmati dunia ciptaan sebagai karunia Allah. Allah hari Sabat, kontras dengan allah perbudakan, tidak hanya diperuntukkan bagi segelintir orang yang berkuasa. Rahmat Allah menjangkau ke seluruh komunitas kehidupan, bahkan kepada binatang (Kel. 20:10) dan tanah itu sendiri (Im. 25:1-7).

Melalui hukum Sabat, kita juga bisa melihat bahwa kepemilikan dan kekuasaan yang diberikan pada manusia tidak mutlak. Allah tidak menghendaki agar manusia memiliki kontrol penuh, yaitu dengan membiarkan unsur-unsur “liar” tetap ada (Im. 25:7). Ini menunjukkan bahwa Allah sajalah pemilik dan penguasa mutlak atas segala sesuatu. Itu juga dapat berarti “penaklukan” bumi yang dimandatkan Allah bagi manusia mencakup bagaimana manusia tetap menjaga area-area liar tersebut untuk dapat berlangsung secara berdampingan dengan area-area yang dikelola oleh manusia.

Imago Dei, imago Christi

Puncak dari pewahyuan Allah ada di dalam pribadi dan karya Yesus Kristus. Inkarnasi, Sang Firman menjadi daging, merupakan penegasan dari gerak kenosis Allah yang merengkuh seluruh ciptaan-Nya. Ia adalah gambar Allah (imago Dei) yang tidak kelihatan (Kol. 1:15). Dengan kata lain, pembahasan mengenai imago Dei tidak bisa terlepas dari Yesus Kristus, atau imago Dei harus didefinisikan melalui lensa imago Christi. 

Yesus kembali mengingatkan para murid-Nya untuk tidak meniru penguasa dunia, namun meniru Dia, Sang Imago Dei, “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu (Mat. 20:25-27).” Yesus sebagai “citra Allah” seharusnya mempertanyakan semua gagasan tentang kekuasaan sebagai dominasi dan eksploitasi, khususnya ketika kita menyadari bahwa ciri khas ketuhanan dan kekuasaan Yesus adalah dengan menjadi hamba bagi semua.

Seluruh pelayanan Yesus juga merupakan penggenapan dari hukum Sabat. Menurut Injil Lukas, Yesus mengawali pelayanan-Nya pada hari Sabat dengan membaca teks mesianik (Luk. 4:16-19) dari Yesaya 61:1-2. Banyak theolog mengatakan bahwa teks Yesaya tersebut berbicara tentang tahun Yobel, puncak dari hukum Sabat. Dalam pelayanan-Nya, Yesus menyembuhkan yang sakit, memberi makan yang lapar, membangkitkan orang mati, dan semua itu menegaskan kembali kebaikan dari dunia ciptaan. Mukjizat-mukjizat Yesus tidak memindahkan manusia ke dunia lain. Sebaliknya, menurut Norman Wirzba, mukjizat memanggil mereka untuk menjalani kehidupan di dunia ini dengan cara yang baru—karena setiap mukjizat menyingkapkan seperti apa kehidupan jika tidak lagi frustrasi, terdegradasi, atau terluka akibat kuasa dosa[6]. 

Manusia sebagai imago mundi dan imago Dei

Kita telah membahas secara theologis tentang manusia pertama-tama sebagai imago mundi. Sejak awal Alkitab menggambarkan manusia sebagai “makhluk dalam persekutuan ciptaan”, yang hanya dapat hidup dalam komunitas dengan semua makhluk ciptaan. Sebagai “citra bumi”, ia berdiri di hadapan Allah sebagai wakil semua makhluk ciptaan lainnya. Ia hidup, berbicara, dan bertindak atas nama mereka. Jadi ketika nyanyian mazmur ucapan syukur dipanjatkan untuk matahari dan bintang, untuk surga dan kesuburan bumi, manusia bersyukur tidak hanya atas namanya sendiri, tetapi juga atas nama surga dan bumi dan semua makhluk ciptaan di dalamnya. Melalui manusia, makhluk ciptaan lainnya juga memuliakan Allah[7].

Sebagai yang dicipta menurut imago Dei, manusia diberikan otoritas bukan untuk mengeksploitasi melainkan untuk menjadi pelayan bagi segenap ciptaan. Jika kita memahami tindakan kreatif Allah sebagai ekspresi kemurahan hati dan ketersediaan bagi yang lain atau jika kita memahami keberadaan Allah sebagai “keberadaan bagi yang lain”[8], maka hidup kita, yang dicipta menurut citra Allah, menjadi otentik sejauh kita meniru kemurahan hati tersebut dengan “memberi ruang” dan melayani makhluk ciptaan lainnya.

Manusia adalah imago mundi sekaligus imago Dei. Diciptakan pada hari keenam penciptaan, manusia sedang berdiri di hadapan hari ketujuh untuk mengantar semua makhluk masuk ke hari ketujuh tersebut, yakni Sabat Allah[9]. Sebagai imago Christi, kita pun dipanggil untuk melakukan pekerjaan baik yang mencerminkan pengharapan Sabat ini, yakni perayaan akan keberadaan seluruh komunitas ciptaan di hadirat Allah.

Pekerjaan baik tersebut termasuk dengan menjaga “keliaran” dari alam, membiarkannya untuk tidak dikelola oleh manusia. Ini menjadi tanda bahwa dunia ciptaan adalah karunia Allah, bukan komoditas manusia. Dunia ciptaan berlangsung bukan karena usaha-usaha manusia, melainkan karena Allah saja. Kita perlu terus-menerus diingatkan bahwa dunia ini bukan dunia manusia, melainkan ciptaan Allah, untuk kesejahteraan segenap komunitas ciptaan.

Kerusakan alam dan krisis iklim yang terjadi dapat menjadi cerminan dari kondisi manusia yang sudah jatuh. Manusia telah menjadi musuh alam. Nyanyian alam yang lebih terdengar bukanlah mazmur pujian syukur, namun keluhan, erangan, dan ratapan. Solusi bagi krisis ekologi bukanlah pindah ke planet lain, sebagaimana digagas oleh para elit dan peneliti belakangan ini. Kalaupun ada sebuah planet yang cukup hospitable untuk dihuni oleh manusia, dengan segera planet itu akan dirusak oleh ketamakan manusia. Yang dibutuhkan adalah transformasi manusia, bukan transportasi manusia ke tempat lain.

Syukur kepada Allah di dalam Yesus Kristus yang sudah mendamaikan segala sesuatu di kayu salib dan bangkit, membawa pengharapan akan transformasi dunia. Dalam Roma 8 dikatakan bahwa seluruh makhluk mengerang (groaning) menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan, karena mereka pun akan ikut dalam pembebasan anak-anak Allah di dalam kerajaan yang akan datang (ayat 19-23). Ayat itu memang berbicara tentang pengharapan eskatologis (dimensi “not yet”), namun kita juga percaya bahwa Kerajaan Allah sesungguhnya juga sudah hadir di antara kita (dimensi “already”). Dengan kata lain, anak-anak Allah sesungguhnya juga sudah dan sedang dinyatakan saat ini. Menjadi pertanyaan refleksi: apakah alam juga dapat mencicipi dan melihat pengharapan pembebasan tersebut ketika mereka melihat apa yang dilakukan anak-anak Allah saat ini?

Aldo Christi
Pemuda MRII Gading Serpong

—

Catatan kaki:

[1] Moltmann, God in Creation, 186

[2] Moltmann, God in Creation, 187

[3] Sembiring, Kristifikasi Dalam & Keselamatan Seluruh Ciptaan, 105. Sembiring menggunakan penjelasan tersebut untuk merelativisasi posisi manusia sebagai perantara antara ciptaan non-manusia dengan Allah, bahwa Kristus saja perantara tersebut. Saya menarik kesimpulan yang berbeda sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas, meskipun saya juga percaya bahwa Kristus adalah perantara ultimat antara dunia ciptaan (baik manusia maupun non-manusia) dengan Allah.

[4] Gregersen, 2015, seperti dikutip di Sembiring, Kristifikasi Dalam & Keselamatan Seluruh Ciptaan, 104

[5] Moltmann, God in Creation, 31

[6] Wirzba, “Created out of nothing means created out of love” (https://www.christiancentury.org/article/critical-essay/created-out-nothing-means-created-out-love)

[7] Ini tidak harus dipahami secara antroposentris, karena tanpa manusia pun makhluk lainnya bisa memuji Allah dengan caranya sendiri (bdk. Luk. 19:40). Penekanannya lebih kepada bagaimana konsep imago mundi dapat diterjemahkan ke dalam hubungan praktis manusia dengan alam.

[8] Frasa keberadaan Allah sebagai “keberadaan bagi yang lain” tidak sedang menyangkali aseitas Allah. Frasa ini dapat dihayati dari lensa imanensi Allah.

[9] Beberapa theolog menafsirkan hari ketujuh penciptaan sebagai Sabat eskatologis karena tidak disebutkan “jadilah petang dan jadilah pagi”, menandakan kekekalan. Lihat misalnya James W. Skillen, God’s Sabbath with Creation: Vocations Fulfilled, the Glory Unveiled (2019)

—

Buku referensi atau rekomendasi bacaan terkait isu ekologi:

Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (Minneapolis: Fortress Press, 1993)

Norman Wirzba, The Paradise of God: Renewing Religion in an Ecological Age (New York: Oxford University Press, 2003)

Tag: alam, Antropologi, Ekologi, Imago Christi, Imago Dei, penciptaan, Sabat

Baca ini juga yuk

The Paradise of God: Renewing Religion in an Ecological Age

Buku Norman Wirzba berjudul The Paradise of God: Renewing Religion in an Ecological Age membahas krisis lingkungan (environmental crisis) pada zaman modern. Krisis ini dianggap sebagai akibat ...

Resensi Buku - Aldo Christi 6 min read

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII