Is There Any Place for Revelation in Modern Science?

Is There Any Place for Revelation in Modern Science?

It is often represented as if only the special science of theology concerned itself with God and divine things, and as if all the other sciences, particularly the natural sciences, have nothing whatever to do with God.” – Herman Bavinck[1]

Kutipan di atas adalah perkataan yang disampaikan oleh Herman Bavinck dalam rangka kuliah umum (Stone Lectures) di Princeton Theological Seminary pada tahun 1908-1909. Bavinck menyadari bahwa ada kecenderungan untuk memisahkan antara theologi dan sains, yang ia sebut sebagai dualisme. Seolah-olah kedua bidang ini terpisah dan tidak ada kaitan satu sama lain. Ada anggapan bahwa theologi hanya sekadar berurusan dengan Allah dan hal-hal yang berbau rohani saja, sedangkan sains, terutama ilmu pengetahuan alam, cukup berinteraksi dengan fenomena alam ini, tanpa perlu campur tangan dari Tuhan.

Pergumulan seperti ini tidak hanya terjadi di zaman Bavinck saja, tetapi terus berlanjut hingga ke zaman ini. Terutama bagi kita mahasiswa/i dan pemuda/i Kristen yang pernah mengenyam pendidikan di universitas pasti menemukan tantangan semacam demikian.

Boleh saja kita rajin beribadah di gereja hingga aktif terlibat dalam pelayanan baik di PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) maupun gereja. Tetapi, ketika beralih kepada kehidupan perkuliahan, kerap kali prinsip-prinsip yang kita pelajari dari Alkitab tidak dapat kita aplikasikan.

Kehidupan perkuliahan kita menjadi tidak ada bedanya dengan teman-teman kita yang belum percaya. Lebih jauh lagi, kita tidak mampu menghadirkan kebenaran Allah di dalam Alkitab kepada setiap bidang studi yang kita pelajari. Jadi, untuk apa kita menjadi orang Kristen? Menggembar-gemborkan semangat pelayanan kampus, tetapi tidak mampu melihat perkuliahan sebagai bagian dari kesaksian orang Kristen di tengah dunia yang tidak percaya Tuhan ini. Maka dari itu, melalui artikel singkat ini, penulis mencoba memaparkan bagaimana wahyu dari Allah seharusnya menjadi fondasi bagi pencarian akan kebenaran di setiap bidang studi yang kita pelajari.

Modern Science and Metaphysics

Sebelum membahas bagaimana wahyu Allah menjadi fondasi berkembangnya sains modern, ada baiknya kita membongkar terlebih dahulu asumsi yang salah dari para ilmuwan sekuler dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya. Salah satu asumsi yang mereka klaim adalah tidak perlunya iman sebagai fondasi sains modern. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pembahasan awal artikel ini bahwa ada stigma pemisahan antara theologi dan sains. Untuk urusan iman dan hal-hal yang berbau metafisika, serahkan kepada agama, theologi, dan filsafat. Tetapi jika berhubungan dengan alam semesta, hal-hal yang bersifat fisik dan mekanis, ilmu pengetahuan alam seharusnya berperan untuk memahami fenomena tersebut. Namun, apa yang disampaikan oleh Bavinck tidaklah demikian. Dualisme seperti itu tidak mungkin terjadi. Lalu di manakah letak kesalahan sains modern dalam memosisikan baik peran iman maupun aspek metafisika?

Harus diakui bahwa sains modern terlalu percaya diri. Mereka selalu mengklaim sains modern cukup pada dirinya sendiri untuk menjelaskan penyebab berbagai fenomena alam. Bagi mereka segala sesuatu yang ada di alam ini dapat dijelaskan dengan metode ilmiah. Misalnya, fenomena siang dan malam bisa dijelaskan karena bumi berotasi pada sumbunya. Bagi para ilmuwan sekuler, jawaban ini lebih terlihat menarik dibandingkan dengan jawaban Allah yang menciptakan siang dan malam. Apalagi kita telah memasuki abad ke-21 di mana sains dan teknologi telah berkembang dengan sangat pesat. Pernyataan yang terkesan ilmiah lebih terlihat populer dan menarik dibandingkan dengan jawaban bahwa Allah yang menghendaki demikian.

Jika kita telusuri lebih lanjut apa yang berada di belakang sains modern, banyak asumsi yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sains modern banyak memakai asumsi yang lebih bersifat metafisika. Suatu prinsip yang menjadi dasar sains modern itu dapat berkembang lebih lanjut. Prinsip-prinsip yang pada dasarnya tidak dapat dibuktikan dengan sains, melainkan mereka mengklaim prinsip itu benar pada dirinya sendiri (take it for granted). Lebih lanjut lagi, banyak istilah yang digunakan oleh sains modern tidak berasal dari proses eksperimen ataupun observasi. Hal ini dapat dengan mudah kita temukan pada ilmu fisika melalui penggunaan istilah-istilah seperti wujud (thing), sifat (property), materi (matter), atom, gaya (force), aether, waktu, ruang, dan gerak (movement). Semua istilah tersebut sangat diperlukan oleh ilmu-ilmu pengetahuan alam. Tetapi harus diakui istilah-istilah tersebut lebih sesuai dikategorikan sebagai aspek metafisika, dibandingkan sains itu sendiri.

Persoalan ini makin terlihat jelas ketika sains berupaya menjelaskan asal mula alam semesta, yang mana hal tersebut bukan ranah bagi sains. Hal ini dipertegas oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Haeckel. Ia mengatakan bahwa pertanyaan asal mula alam ini merupakan sesuatu yang di luar ranah ilmu pengetahuan alam. Terlebih lagi, ia memperkuat argumennya dengan melihat fakta bahwa ilmu pengetahuan alam menganggap materi sebagai sesuatu yang kekal. Hal ini dikarenakan asal mula seluruh materi alam ini bahkan hingga ukuran yang terkecil tidak dapat dibuktikan baik dengan pengamatan maupun eksperimen.[2]

Konsep tentang materi sebagai sesuatu yang kekal jelas menunjukkan bagaimana sains telah melampaui kapasitasnya. Pertanyaan tentang esensi dan asal mula materi lebih tepat dipelajari oleh para filsuf. Di sinilah iman itu berperan sebagai kepercayaan bahwa materi itu bersifat kekal. Pernyataan tersebut tidak dapat dibuktikan oleh metode ilmiah mana pun karena justru hal itu yang menjadi dasar kepercayaan para saintis sekuler. Dengan demikian, sains tidak hanya sekadar menjelaskan fenomena alam saja, tetapi di balik itu ada prinsip metafisika yang menaunginya.

Persoalan lainnya dapat kita temukan ketika sains berusaha menjelaskan natur ultimat dari suatu objek (thing) dan realitas. Hingga saat ini, belum ada satu pun yang dapat memberi gambaran yang jelas tentang persoalan ini. Faktanya, persoalan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui proses observasi saja, tetapi justru menyangkut persoalan metafisika. Bukan sains secara eksak, melainkan iman yang berperan. Misalnya, untuk menjelaskan fenomena cahaya dan listrik, mengasumsikan adanya keberadaan zat yang disebut aether. Suatu zat yang mengisi setiap tempat. Tetapi sampai saat ini aether belum pernah ditemukan, dan natur dari aether itu sendiri masih tidak diketahui. Begitu juga dengan hipotesis bahwa ada satu gaya (force) yang menjadi cikal bakal munculnya berbagai jenis gaya lainnya seperti gravitasi, elastisitas, Newtonian, dan lain-lain. Tetapi gaya itu sendiri pun masih merupakan fenomena yang bersifat misterius. Teori gaya gravitasi saja tidak dapat menjelaskan natur dari fenomena gravitasi itu sendiri, melainkan hanya memberikan nama atau julukan untuk fenomena tersebut. Pada akhirnya sains tidak dapat berdiri sendiri, akan ada prinsip metafisika yang menjadi batu pijakan bagaimana sains tersebut akan dikembangkan. Para ilmuwan sekuler pun perlu iman untuk percaya bahwa spekulasi atau teori mereka itu benar.

Modern Science and Revelation

Di atas sudah dibahas bagaimana sains tidak hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat fisik dan fenomena alam saja, melainkan ada prinsip metafisika dan iman yang berperan di belakangnya. Lalu, bagaimana dengan kekristenan? Jika sains tidak dapat lepas dari metafisika, seharusnya kekristenan dapat berbicara banyak ketika berhadapan dengan dunia sains. Lebih lanjut lagi, Allah seharusnya menjadi sumber dari segala ciptaan ini, termasuk sains modern. Allah adalah Pencipta langit dan bumi. Tidak ada satu pun dari ciptaan ini yang berada di luar dari kedaulatan penciptaan Allah. Begitu juga dengan sains, yang seharusnya dibangun atas dasar prinsip keberadaan Allah yang menopang seluruh ciptaan.

Revelation – God as Lawgiver. Bavinck menuliskan beberapa poin berkaitan dengan wahyu sebagai yang esensial dalam memahami ciptaan. Salah satunya adalah konsep hukum alam yang menjadi tonggak penting bagi perkembangan sains modern, seperti hukum gravitasi, hukum mekanika Newton, hukum keseimbangan asam basa, dan hukum alam lainnya yang menjadi warisan dari sains modern. Bagi Bavinck, hukum-hukum alam ini dapat berdiri tegak hanya dengan prinsip theisme sebagai titik acuannya.[3] Ketika berbicara mengenai hukum, tentu terkait dengan Sang Pemberi Hukum, yaitu Allah sendiri, yang menciptakan langit dan bumi. Tanpa Allah yang menyatakan wahyu umum di dalam ciptaan ini, manusia tidak dapat merumuskan hukum alam yang sedemikian baiknya. Wahyu umum sebagai pernyataan kebenaran dari Allah kepada manusia melalui alam semesta ini. Melalui wahyu umum Allah, manusia menyingkapkan kebenaran yang tersimpan di dalam alam ciptaan-Nya.

Revelation – Doctrine of Creation. Poin kedua mengenai wahyu yang patut diperhatikan adalah fakta bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Doktrin penciptaan memiliki implikasi yang sangat krusial dalam membaca alam ini. Sebagai bagian dari wahyu khusus Allah, ide penciptaan dapat menjadi pedoman dalam memahami wahyu umum Allah yang termanifestasi melalui ciptaan-Nya. Dengan demikian, manusia tidak perlu lagi berspekulasi soal asal mula alam semesta ini, seolah-olah alam ini dapat memberikan jawabannya sendiri kepada manusia bagaimana dia dapat muncul. Ini bukan berarti kita menolak mentah-mentah perkembangan sains yang begitu pesat melalui teori yang ada. Yang mau ditekankan adalah adanya paradigma yang berbeda ketika berhadapan dengan sains antara orang percaya dan yang tidak percaya. Sebagai orang percaya, kita tidak mengembangkan sains dengan paradigma seolah-olah alam ini muncul pada dirinya sendiri, tanpa keterlibatan Allah Sang Pencipta, seperti para ilmuwan sekuler memahami alam ini. Justru doktrin penciptaan membuat orang Kristen tidak lagi berkutat pada persoalan asal mula alam ini, melainkan terus maju ke depan bagaimana memahami hikmat Tuhan yang tertanam dalam alam ciptaan-Nya.

Seandainya teori para ilmuwan sekuler mengenai materi ultimat, atau asal muasal alam semesta tersebut ternyata benar, hal ini akan memicu persoalan lain, yaitu bagaimana dari satu materi dasar dapat memunculkan berbagai jenis materi lainnya. Bagaimana mungkin satu teori atau prinsip dapat melahirkan berbagai macam fenomena alam yang berbeda-beda. Dari satu jenis dapat menghasilkan banyak varian, tetapi di sisi lain dari varian yang banyak itu dapat ditarik kesimpulan yang menghasilkan teori atau rumus umum. Ini yang biasanya disebut sebagai persoalan one and many, yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan baik di antara para filsuf maupun ilmuwan.

Menariknya, Alkitab justru sudah memberikan jawaban atas persoalan one and many, yaitu melalui ide penciptaan. Implikasi pertama dari doktrin ini adalah adanya kesatuan di dalam perbedaan (unity in diversity), begitu pula sebaliknya. Ini karena adanya Sang Perancang, yaitu Allah Tritunggal, yang mendesain begitu rupa sehingga segala perbedaan di dunia ini dapat berjalan secara harmonis. Bavinck memberikan contoh huruf-huruf pada suatu novel bukanlah datang secara kebetulan, tetapi ada penulis yang menulis sedemikian sehingga terbentuk suatu cerita yang berkesinambungan melalui huruf-huruf itu. Begitu juga dengan kesempurnaan alam ini, karena ada Allah yang merancangnya sedemikian rupa. Bukan karena ada gaya atau materi utama yang menghasilkan alam semesta yang kita kenal saat ini.

Implikasi berikutnya tentang ide penciptaan adalah adanya relasi yang jelas antara Allah, manusia, dan alam. Manusia berada di tengah-tengah antara Allah dan alam. Ada perbedaan kualitatif antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Antara manusia dan alam juga ada perbedaan kualitatif. Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah, yang jelas berbeda dengan alam. Justru alam hadir untuk ditaklukkan oleh manusia, sebagaimana mandat yang diberikan Allah kepada manusia (Kej. 1:26-28). Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengeksplorasi dan menyingkapkan kebenaran Allah di dalam ciptaan ini. Tentu saja kebebasan ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah sebagai bagian dari ketaatan terhadap mandat yang sudah Allah nyatakan.

Kesimpulan

Kembali kepada judul artikel ini, adakah peran wahyu dalam sains modern? Melalui pembahasan artikel ini, tentu saja ada. Bukan hanya sekadar ada saja, melainkan justru wahyu Allah menjadi penyebab adanya sains modern. Tanpa wahyu dari Allah, tidak mungkin manusia dapat mengembangkan yang namanya sains modern. Melalui wahyu khusus, manusia dapat mengetahui bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Allah memberikan mandat kepada manusia untuk mengusahakan alam semesta ini. Oleh karena itu, ada wahyu umum yang tersimpan di dalam alam ini yang menunggu untuk disingkapkan oleh manusia. Inilah peran sains modern, yaitu menyingkapkan hikmat dan kebijaksanaan Ilahi di dalam alam ciptaan-Nya.

Pada akhirnya, persoalan dualisme adalah sesuatu yang tidak relevan. Alkitab dan alam ciptaan berasal dari Allah yang sama, sehingga tidak mungkin ada bentrok di antara keduanya. Perselisihan yang terjadi justru ada di ranah metafisika atau lebih tepatnya adalah iman yang berbeda. Iman kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi atau iman sekuler yang percaya bahwa alam ada pada dirinya sendiri. Sebagai mahasiswa/i Kristen, kita perlu sadar bahwa theologi dan sains tidak perlu dibenturkan. Justru yang perlu kita perhatikan adalah apa yang ada di balik itu. Seperti pada pembahasan artikel ini, bahwa sains tidak melulu soal bagaimana alam ini bekerja, tetapi ada aspek metafisika atau iman yang selama ini dianggap “benar”, tanpa perlu dibuktikan. Iman yang bukan kepada Allah Alkitab, melainkan iman kepada materi, sains, atau alam ini. Hal inilah yang patut kita waspadai agar kita tidak mudah terjerat oleh tipuan pemikiran sains yang antitheistik, melainkan kita boleh beriman kepada Allah yang sejati dan bertanggung jawab dengan mengembangkan sains untuk kemuliaan Tuhan.

Trisfianto Prasetio

Pemuda FIRES

Endnotes:

[1] Bavinck, Herman. 2018. The Philosophy of Revelation: A New Annotated Edition. Hendrickson Publishers: Massachusetts. Hal. 70.

[2] Ibid. Hal. 74.

[3] Ibid. Hal. 83.