Make Your Calling and Election Sure

Make Your Calling and Election Sure

 Untuk apa kita mengerti doktrin pilihan dan panggilan (election and calling)?  Jikalau saya percaya Allah berdaulat penuh dalam segala hal, termasuk dalam pilihan dan panggilan-Nya, dan dalam hal urutan ketetapan Allah saya berpegang kepada Supralapsarianism[1], apa pengaruhnya bagi keseharian saya? Bila saya meyakini bahwa pilihan dan panggilan mendahului proses pertobatan (conversion) dan kelahiran kembali (regeneration) dan juga selain adanya orang pilihan Allah (the God elects), dalam kedaulatan-Nya Allah berkeputusan untuk tidak menyelamatkan sebagian dan menghukum mereka karena dosa-dosa mereka (the reprobated)[2], perbedaan apa yang akan terlihat dalam cara saya berelasi dan bertindak?

Apa pengaruh keyakinan dan pengetahuan itu bagi kehidupan saya? Apakah pengertian bahwa Tuhan telah memilih saya sebelum dunia dijadikan (dan pilihan itu tidak pernah gagal) mendorong saya untuk hidup lebih baik atau malah menjadikan saya hidup sesukanya saja karena pada akhirnya pun sebagai orang pilihan, saya tetap akan diselamatkan? Pilihan ditetapkan sebelum dunia dijadikan, tetapi menghidupi pilihan itu terjadi pada saat ini – bagaimana mengaitkan keduanya?

Menarik sekali dalam tulisan Rasul Paulus dan Petrus, berdampingan dengan pengajaran tentang pilihan Allah yang berdaulat sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:5, 1Pet. 1:2), ada banyak bagian yang mengajarkan apa konsekuensi yang harus muncul dalam kehidupan seorang yang terpilih. Dua di antaranya akan dipaparkan di sini.

1.      Berusahalah Sungguh-Sungguh

“…berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh” (2 Petrus 1:10)

Surat Petrus yang kedua ditulis kepada jemaat yang sama dengan suratnya yang pertama di mana di sana ia menggambarkan penerima suratnya sebagai “orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita” (1Ptr. 1:2). Di suratnya yang kedua ini pun ia menegaskan bahwa: “Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib” (2Ptr. 1:3b). Dengan kata lain, Rasul Petrus sedang menujukan tulisannya kepada umat pilihan Allah. Akan tetapi, menarik sekali, menyambung kenyataan ini Rasul Petrus kemudian kerap menggunakan frasa “berusahalah sungguh-sungguh” – dua kali, yaitu di ayat 5 dan ayat 10. Lebih dari itu, dengan gamblang ia berkata bahwa justru karena pengertian bahwa mereka orang pilihan Allahlah, maka mereka harus dengan sungguh-sungguh berusaha (perhatikan kata sambung di bagian awal kalimat ayat 5 dan 10).

Frasa “berusahalah sungguh-sungguh” seolah-olah memberi pengertian bahwa ada peran serta manusia untuk mengupayakan agar pilihan Allah itu terwujudkan, apalagi Rasul Petrus menggabungkan frasa ini dengan kata kerja “menambahkan” (ay. 5) dan frasa “makin teguh” (ay. 10) – seolah-olah akan ada hasil yang signifikan jika kita mengupayakan sesuatu.

Dalam terjemahan NIV, frasa ini diterjemahkan “make every effort” (ay. 5) dan “be all the more eager to make… sure” (ay. 10). Kata “make” berasal dari kata poieisthai yang artinya memberi penekanan pada tanggung jawab manusia.  Sedangkan kata “sure” memiliki nuansa legal – bebaios, secara literal berarti terbukti asli dan sah (ratified)[3], sebagaimana suatu dokumen legal yang telah diteliti dan kemudian dinyatakan asli/sah.

Apakah ini berarti bahwa pilihan dan panggilan Allah baru menjadi efektif dan akan makin teguh ketika manusia melakukan andilnya dengan berupaya sungguh-sungguh untuk menambahkan tujuh kualitas hidup (virtues) kepada iman (lihat ay. 5-7)? Jawabnya tentu tidak. Pertama, karena Rasul Petrus sedang berbicara kepada jemaat yang sudah menjadi pilihan Allah[4]. Kedua, di ayat-ayat berikutnya ia menjelaskan bahwa peringatannya kepada jemaat untuk berusaha dengan sungguh-sungguh adalah untuk “mengingatkan kamu akan semuanya itu, sekalipun kamu telah mengetahuinya dan telah teguh dalam kebenaran yang kamu terima” (2 Ptr. 1:12). Ada dua hal yang bisa kita pelajari di sini. Pertama, berusahalah sungguh-sungguh bukanlah untuk mengupayakan pilihan Allah menjadi efektif bagi kita, tetapi karena pilihan itu telah efektif milik kita. Kedua, berusahalah sungguh-sungguh adalah suatu hal yang sudah seyogyanya, sewajarnya terjadi dalam kehidupan seorang pilihan Allah.

Selanjutnya, mengupayakan agar panggilan dan pilihan kita makin teguh, bukan ditandai usaha menambah pengetahuan yang benar saja. Dari ketujuh hal yang ditulis Rasul Petrus, enam di antaranya berkaitan erat dengan karakter atau kualitas hidup (kebajikan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih kepada saudara, dan kasih kepada semua orang). Hanya satu yang berkaitan dengan intelektual (knowledge). Charles Spurgeon dalam salah satu khotbahnya “Particular Election” mengatakan: “Be diligent in your faith. Take care that your faith is of the right kind – that it is not a creed but a credence – that it is not a mere belief of doctrine, but a reception of doctrine into your heart, and the practical light of the doctrine in your soul.”

Boleh dikonklusikan bahwa pengertian yang benar akan doktrin pilihan seharusnya tidak berhenti di tataran pengetahuan, tetapi membawa perubahan dalam penampakan hidup kita. Rasul Petrus menggunakan kata “menambahkan” yang memberi konsekuensi bahwa ini adalah proses yang terjadi secara terus-menerus. Dengan demikian, pengetahuan dan karakter ada di dalam suatu arus proses yang sama dan mestinya tertampak secara simultan dalam kehidupan kita.

2.      Berpadanan dengan Panggilan

“…supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Efesus 4:1b)

Setelah mendoakan jemaat Efesus untuk dapat memahami betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya kasih Kristus, Rasul Paulus melanjutkan suratnya dengan menasihatkan mereka untuk hidup berpadanan dengan panggilan Allah. Terjemahan NIV memakai kata “worthy” untuk “berpadanan”. Kata yang sama juga digunakan oleh Rasul Paulus di Filipi 1:27 (berpadanan dengan Injil Kristus), Kolose 1:10 (hidupmu layak di hadapan-Nya), dan 1 Tesalonika 2:12 (supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah). Kata aslinya mengandung arti “bernilai sama, sepadan dengan nilai (sesuatu)”.

Kalau diparafrasakan, Rasul Paulus mengajarkan jemaat Efesus untuk menghidupi kehidupan yang bernilai sama sebagaimana nilai seorang yang dipilih dan dipanggil Allah. Nilai panggilan itu tinggi sekali karena supaya panggilan itu bisa menjadi mungkin, Anak Allah harus datang ke dunia dan mati disalib. Oleh karena itu, sebelumnya Paulus mendoakan mereka untuk terus mengingat betapa luar biasanya kasih Kristus.

Seperti halnya jam tangan Rolex, tas Gucci, ataupun mobil Rolls Royce, ketika barang-barang ini tidak menunjukkan kualitas fungsi yang sepadan dengan nama besar brand mereka, tentu orang akan mulai meragukan apakah barang-barang tersebut asli atau palsu. Mengutip kata Spurgeon sekali lagi: “…no man has any right to believe himself called, unless his life be in the main consistent with his calling, and he walks worthy of that whereunto he is called.” Penampakan hidup seseorang harus konsisten dengan panggilannya.

Senada dengan surat Petrus, menurut Paulus, hidup berpadanan dengan panggilan itu ditandai dengan inner life quality, yaitu kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, kasih, dan memelihara kesatuan Roh dengan ikatan damai sejahtera (Ef. 4:2-3). Mengapa tanda hidup berpadanan tidak digambarkan dengan berpengetahuan banyak, memiliki ketrampilan pelayanan dan keahlian tertentu, ataupun bahkan berkhotbah/mengajar? Jangan salah mengerti, bukan berarti semua hal itu tidak perlu. Akan tetapi, Rasul Paulus mengerti bahwa hidup berpadanan dengan panggilan itu dimulai dari dalam (inner life) yang memancar keluar, bukan sebaliknya.

Selain daripada itu, penampakan luar melalui pengetahuan, aktivitas rohani, dan ketrampilan pelayanan bisa menipu. Seorang tokoh Puritan, Christopher Love mengatakan bahwa banyaknya pengetahuan dan aktivitas rohani mungkin menimbulkan delusi rohani yang kuat (strong spiritual delusion)[5] bagi orang-orang yang menjalaninya – merasa sebenarnya merekalah orang pilihan tetapi sebenarnya tidak. Bagi Love, merekalah “the pitiful ignorant people”.

Kembali ke kualitas hidup yang berpadanan dengan panggilan. Dengan kerendahan hati, kita akan sungguh menghargai bahwa pilihan Tuhan atas kita semata-mata karena anugerah-Nya. Hidup kita pun beranjak dari anugerah ke anugerah. Kelemahlembutan bukan berarti kelemahan atau lunak/lembek, tetapi kekuatan dalam kendali (power in control). Kata kesabaran berasal dari kata makrothymia, kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan “steadfast endurance of suffering or misfortune”[6]. Demikian pula halnya tentang saling menanggung dalam kasih dan memelihara kesatuan Roh, semua ini merupakan kualitas yang berpendar dari dalam – lahir dari keyakinan yang teguh bahwa kita adalah umat pilihan Allah dan berproses keluar menjadi binar terang yang menyaksikan suatu kehidupan yang sepadan dengan panggilan Allah.

Dari pembahasan di atas, setidaknya tiga refleksi aplikasi bisa kita renungkan.

1.      Alangkah menyedihkan jikalau dengan pengetahuan dan melalui perkataan kita bisa berkoar panjang lebar mengenai pengetahuan tentang doktrin pilihan, tetapi dari karakter, pelayanan, dan hidup kita, sama sekali tidak mencerminkan penampakan yang sepadan selayaknya orang pilihan Allah. Kita tahu banyak, tetapi sulit mengampuni dan mengasihi. Kita mengerti banyak tetapi kurang sabar dan tetap pemarah. Kita yakin bahwa kita orang pilihan tetapi tetap hidup berkanjang dalam dosa.

Apakah orang seperti ini tetap diselamatkan? Kalau Ia memang orang pilihan Allah, jawabannya adalah ya. “Ia yang memulai pekerjaan baik di antara kita, akan meneruskan sampai pada akhirnya, pada hari Kristus Yesus” (Flp. 1:6). Walaupun demikian, ketidakberpadanan ini mungkin memberikan keraguan yang sah bagi orang di sekitarnya dan mungkin juga seharusnya bagi diri orang tersebut, apakah ia benar-benar orang pilihan, terlepas dari pengetahuan atau kegiatan pelayanannya yang banyak. Oleh karena itu, baiklah kita terus berkaca apakah pengetahuan dan kehidupan kita sudah berjalan dengan sepadan.

2.      Doktrin pilihan tidak bersifat fatalistik ataupun mekanistik. Doktrin pilihan juga tidak menjadikan manusia seperti boneka atau robot, tetapi tetap sebagai manusia utuh dengan kehendak dan upaya.[7] Walaupun Allah telah menetapkan dan memilih dalam kedaulatan-Nya, doktrin pilihan tetap menuntut bagian tanggung jawab manusia, umat pilihan-Nya, untuk berespon melalui hidup sepadan dengan panggilan-Nya. Proses ini dalam istilah theologi dikatakan oleh  Millard Erickson sebagai “the continuation of salvation”[8] atau lebih umum disebut sebagai proses pengudusan hidup (sanctification). 

Walaupun demikian, kemampuan manusia untuk bisa berespon dan mengupayakan hidup yang sepadan dengan panggilan dan pilihan Tuhan, juga merupakan, menurut istilah J. I. Packer, “Divine grace, Divine Power, Divine Sovereignty”[9]. Dengan kata lain, karunia dan kedaulatan Allah tidak berhenti bekerja di titik ketika panggilan efektif (effectual calling) terjadi tetapi juga terus memimpin sepanjang kehidupan seorang umat pilihan Allah sesudahnya dan bahkan memelihara orang tersebut sampai maranatha.

Hal ini mendorong kita menaikkan Doxologi dan pujian yang tidak habis-habisnya kepada Allah Tritunggal, yang bukan hanya kekal dan ajaib dalam ketetapan dan pilihan-Nya, tetapi juga dalam pemeliharaan-Nya bagi umat pilihan-Nya.

3.      Terakhir, nasihat dalam kedua perikop di atas diberikan Paulus dan Petrus dalam konteks jemaat. Grudem berkeyakinan bahwa dalam theologi Perjanjian Baru, proses pengudusan biasanya merupakan suatu proses korporat (corporate process)[10]. Kita dipanggil dan dipilih Allah menjadi umat-Nya – suatu komunitas, bukan hanya indvidu-individu pribadi. Oleh karena itu, baiklah kita saling memperhatikan, mengusahakan, dan membangun satu dengan yang lain, agar ‘hidup kita sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu’. Ini bukan suatu proses sendiri-sendiri, tetapi perjuangan jemaat bersama. Saling menanggung beban. Saling mengingatkan dan koreksi. Saling membangun kasih dalam ikatan damai sejahtera.

Bagaimana dengan jemaat kita; apakah kita sudah bersama-sama ‘berusaha dengan sungguh-sungguh supaya panggilan dan pilihan kita makin teguh’?

Lisman Komaladi

Pemuda GRII Singapura


[1]               Untuk diskusi tentang perbedaan antara supralapsarianism, infralapsarianism, dan sublapsarianism, bisa baca lebih lanjut di Erickson, Millard. Christian Theology, hlm. 930-931 dan Strong. Systematic Theology, hlm. 778-779.

[2]               Grudem mendefinisikan “Reprobation is the sovereign decision of God before creation to pass over some persons, in sorrow deciding not to save them, and to punish them for their sins, and thereby to manifest His justice”. Diskusi yang lebih tuntas berikut perikop Alkitab yang mendukung pengertian ini bisa dilihat di Grudem, <city w_st=”on”><place w_st=”on”>Wayne</place></city>. Systematic Theology – An Introduction to Biblical Doctrine, hlm. 684-687.

[3]               Lucas, Dick. Green, Christopher. The Message of 2 Peter and Jude (The Bible Speaks Today), hlm.63.

[4]               Kata “dipilih” dalam  1 Petrus 1:2 menggunakan kata sifat “ekkletos” dalam bentuk aorist tense, berarti ini sesuatu yang telah terjadi pada masa lampau dan masih terus terjadi sampai sekarang.

[5]               Love, Christopher. Effectual Calling and Election, hlm. 289-290.

[6]               Foulkes, Francis. Ephesians (Tyndale New Testament Commentaries), hlm. 117.

[7]               Beberapa kesalahpahaman dan keberatan tentang doktrin pilihan dibahas secara panjang lebar di Grudem, <city w_st=”on”><place w_st=”on”>Wayne</place></city>. Systematic Theology – An Introduction to Biblical Doctrine, hlm. 674-684.

[8]               Erickson, M. J. Christian Theology, hlm. 979-995.

[9]               Packer, J. I. Puritan Evangelism.

[10]             Grudem, Wayne. Systematic Theology – An Introduction to Biblical Doctrine, hlm. 756.