Hampir tidak diragukan lagi kalau setiap orang Kristen tahu bahwa hari Natal menjadi momen untuk mengenang kembali kedatangan dan kelahiran Yesus dalam dunia. Bukan sekadar perayaan belaka yang dilakukan oleh banyak negara maupun orang terlepas dari status keagamaan mereka. Mungkin tidak sedikit juga yang sadar bahwa tidak hanya di hari Natal saja kita perlu mengingat kembali peristiwa “Firman yang menjadi daging”, tetapi dalam setiap momen hidup kita. Meskipun demikian momen Natal ini seharusnya menjadi momen berharga yang membawa kita kepada pengenalan yang lebih dalam akan maksud dan tujuan Yesus datang ke dalam dunia.
Ada beberapa kecenderungan yang orang Kristen lakukan dalam merenungkan peristiwa Natal. Pertama, kita mengingat kembali bahwa jalan keselamatan disediakan bagi kita adalah melalui kedatangan Yesus, kemudian kita mensyukuri hal itu. Kedua, kita merenungkan kebaikan Yesus yang telah rela datang demi keselamatan umat manusia. Ketiga, kita merenungkan penderitaan-Nya menjadi manusia sampai mati di atas kayu salib. Keempat, kita merenungkan keberdosaan dan ketidaklayakan kita untuk menerima pengampunan dari-Nya. Kelima, kita membuat resolusi baru setelah merenungkan semua kisah Natal.
Semua kecenderungan ini tidak salah, tetapi tidak lengkap. Jika demikian cara kita merenungkan kedatangan Kristus, maka kita sedang mereduksi makna kedatangan-Nya. Ingat kembali Natal sebelumnya yang telah dilalui. Mungkin air mata mengalir mengingat kembali kedatangan Yesus. Pada waktu itu komitmen untuk memperbaiki diri pun diambil. Tetapi dengan berjalannya waktu, kita melupakan komitmen kita dan akhirnya tiba lagi Natal berikutnya dan mengulangi kejadian yang cukup serupa. Natal hanya menjadi momen pengenangan dan setelah dikenang ditinggalkan begitu saja. Kalau begini terus yang kita lalui di momen Natal, maka kita tidak akan bertumbuh. Seharusnya Natal membawa kita untuk mengenal Tuhan dengan lebih dalam. Tidak hanya sekadar mengenang kisah yang sudah sering kita ketahui dan bahkan mungkin dapat kita ceritakan ulang peristiwa tersebut dengan lancar. Di balik kisah Natal masih mengandung banyak sekali kelimpahan firman yang perlu kita pelajari. Semakin kita mengenal pribadi dan kehendak Tuhan seharusnya kita akan makin tunduk dengan penuh kekaguman dan makin hidup dengan fokus yang diarahkan hanya pada Tuhan dan bukan pada diri.
Mari sekarang kita melihat apa yang tidak lengkap dalam kecenderungan kita merenungkan kisah Natal dan kebahayaan yang dapat ditimbulkannya. Kecenderungan pertama membawa kita terlalu banyak melihat diri. Yang kita fokuskan adalah keselamatan pribadi kita. Kita melihat Yesus hanya sebatas jalan keselamatan belaka. Walaupun kita berdoa dengan penuh ucapan syukur, tetapi hati kita lebih mementingkan keselamatan pribadi. Di sini kita menempatkan ego kita lebih tinggi dibandingkan Tuhan.
Arah hati demikian biasanya membuahkan cara hidup yang tidak taat pada Tuhan karena yang diutamakan adalah berkat Tuhan atas kita, bukan kita yang menjadi saluran berkat bagi sesama demi kemuliaan Tuhan. Jika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dalam hidup ini, maka kita akan cenderung untuk mempertanyakan kebaikan dan kedaulatan Tuhan. Kita akan protes pada Tuhan atas segala kesulitan yang kita alami. Kita tidak mau menaati Tuhan dan berjalan dalam proses yang sulit sebagai ganti mengikut Tuhan. Sebagaimana firman Tuhan nyatakan pada kita bahwa mengikut Tuhan memerlukan penyangkalan diri dan memikul salib. Hati yang dibentuk adalah hati yang takut akan neraka dan bukan takut akan Tuhan. Itulah alasannya, mengapa kita bisa dengan berani protes pada Tuhan dan dengan berani melanggar perintah Tuhan. Hidup kita tidak bertumbuh dan terus jatuh dalam kesalahan yang sama.
Kecenderungan kedua memang membawa kita lebih berfokus pada Yesus. Kita mencoba merenungkan kasih-Nya yang begitu besar sehingga Dia rela datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan kita. Tetapi misi Yesus jauh lebih besar dari sekadar menyelamatkan manusia. Kecenderungan ini membawa kita melihat dengan sempit misi Yesus datang ke dalam dunia. Kita memahami misi-Nya hanya dalam kerangka keselamatan manusia. Di sini kita akan kehilangan esensi yang utama. Kita akan kehilangan arah dalam menjalani hidup. Kalau benar Yesus hanya datang untuk menyelamatkan manusia maka dunia ini seharusnya sudah berakhir. Dia telah menyelesaikan misi-Nya untuk hidup menaati seluruh Taurat. Dia telah berhasil untuk hidup tidak bercacat cela. Dia telah dengan setia menjalani misi-Nya sampai mati di atas kayu salib dan kemudian bangkit kembali. Kalau sebatas itu pengertian kita, maka tidak ada lagi tujuan kita hidup selain menunggu kedatangan-Nya kembali ke dunia. Dengan demikian, kita akan hidup hanya sekadar melewati waktu. Bahkan kalau bisa ingin cepat mati sehingga dapat bertemu dengan Tuhan. Cara hidup yang eskapis (lari dari persoalan) akan menjadi karakter kita. Kita tidak lagi peduli tentang segala hal yang terjadi dalam dunia. Apalagi dengan pengertian bahwa dunia telah jatuh ke dalam dosa dan Tuhan berdaulat atas segala sesuatu yang terjadi dalam dunia ini. Kita membiarkan dunia atau lingkungan sekitar kita hidup dengan cara yang bertentangan dengan firman Tuhan. Kita menjadi pasif dan hanya mementingkan perut sendiri. Sangat menyedihkan jika kita hidup demikian.
Tentu tidak selalu berujung pada kepasifan. Orang yang lebih dewasa tentu akan berpikir kalau kita harus memberitakan Injil karena itulah yang Yesus inginkan. Itulah misi-Nya datang dalam dunia dan kita akan melanjutkan misi-Nya dalam bentuk pemberitaan Injil. Tetapi tetap ada kebahayaan yang bisa muncul jika kita mereduksi misi Yesus datang dalam dunia. Pemberitaan Injil akhirnya hanya berfokus pada keselamatan orang lain. Akhirnya berbagai cara pun dapat digunakan selama itu dapat membawa orang diselamatkan melalui pengakuan iman pada Yesus sebagai Juruselamat mereka. Karena itu muncul kebaktian-kebaktian dalam bentuk penyembuhan ilahi, pengusiran setan, konser, undian berhadiah untuk membawa orang pada Injil. Makna Injil pun direduksi.
Kebahayaan lainnya adalah mandat budaya menjadi tidak berarti. Bekerja di bidang profesional dianggap sekuler. Yang berarti hanyalah memberitakan kabar keselamatan. Apakah akhirnya semua orang Kristen harus menjadi hamba Tuhan penuh waktu dalam pemberitaan Injil? Tidak adakah orang yang dipanggil untuk menggembalakan dunia profesional? Cara berpikir demikian membuat kita melalaikan tanggung jawab kita dalam pekerjaan. Kita bekerja hanya demi uang untuk menghidupi kebutuhan pribadi, keluarga, dan memberi persembahan kepada gereja. Injil seharusnya berbicara lebih dari sekadar keselamatan pribadi.
Kecenderungan ketiga dapat membawa kita tidak mengindahkan Yesus sebagai Tuhan. Yang kita perhatikan adalah penderitaan-Nya dan akhirnya menimbulkan hati yang mengasihani Yesus. Dia rela menanggalkan jubah kemuliaan-Nya dan mengenakan kain lampin. Dia rela meninggalkan takhta-Nya dan dilahirkan dalam palungan. Dia rela menanggalkan kemahakuasaan-Nya dan menjadi tidak berdaya sebagai manusia. Dia rela menanggalkan kebebasan-Nya dan berproses dalam perkembangan tubuh manusia mulai dari bayi. Dia rela menanggalkan kemahatahuan-Nya dan berproses dalam pembelajaran Taurat selama menjadi manusia. Cara pandang ini akhirnya membawa kita melihat Yesus sebagai manusia, tetapi tidak melihat Dia sebagai Tuhan. Sekalipun kita mengakui Dia dalam iman sebagai Tuhan, tetapi cara hidup kita tidak menunjukkan cara hidup yang mengenal Yesus sebagai Tuhan. Jangan-jangan kepercayaan kita hanya didasarkan pada rasa belas kasihan pada-Nya.
Ibarat ada seorang yang rela mati demi menolong kita dari tikaman pisau perampok. Tentu kejadian itu akan membuat kita merasa sangat terharu dan bahkan akan terus mengingat orang ini seumur hidup kita. Setiap tahun kita akan datang ke makamnya untuk merenungkan kisah kepahlawanan orang tersebut dan memberi hormat kepadanya. Tetapi bukan berarti kita akan hidup bagi orang ini bukan? Kita akan hidup untuk mengerjakan pekerjaan kita demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apakah seperti ini relasi kita dengan Tuhan? Hanya relasi yang didasarkan oleh perasaan belas kasihan dan haru akan apa yang sudah Dia kerjakan? Firman Tuhan berkata agar kita menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati kita. Pengosongan diri Yesus memberikan makna yang jauh lebih dalam yang sebetulnya tidak patut kita kasihani karena itu akan mereduksi makna kedatangan-Nya.
Kecenderungan keempat dapat membawa kita kehilangan makna salib. Di sini jangan sampai salah dimengerti bahwa kita tidak perlu menyadari ketidaklayakan dan keberdosaan kita. Semakin kita mengenal Tuhan seharusnya kita semakin peka terhadap dosa. Tetapi kecenderungan orang Kristen dalam merenungkan ini sering kali mereduksi makna salib Kristus. Salib telah menebus kita dan menghapus seluruh dosa kita. Darah Yesus membersihkan seluruh hidup kita. Manusia lama kita telah dimatikan dan manusia baru yang memancarkan terang Kristus lahir dalam jiwa kita. Pada waktu kita melakukan dosa, kita terintimidasi. Kita berpikir seharusnya kalau sudah percaya pada Yesus hidup kita pasti tidak akan lagi melakukan dosa. Itu benar, tetapi tidak lengkap. Itu yang setan inginkan agar kita tidak menghargai dan meninggikan salib Kristus. Ini juga yang membuat kita tidak bertumbuh karena fokus kita diarahkan pada dosa-dosa kita dan bukan pada salib Kristus. Akhirnya kita hanya menjadi orang yang terus hidup dalam penyesalan. Kita kehilangan sukacita dalam salib Kristus. Kemudian pada tahap selanjutnya kita berfokus pada moralitas pribadi agar diterima oleh Tuhan dan itu menjadi tujuan hidup kita. Waktu-waktu dalam hidup kita hanya kita gunakan untuk memperbaiki karakter kita sehingga makin bermoral. Akibatnya kita tidak lagi berfokus untuk makin mengenal Tuhan, menjalani panggilan hidup kita. Mungkin juga kita mundur dari pelayanan karena merasa diri tidak layak. Perasaan tidak layak ini menyebabkan kita hidup statis. Sedangkan hidup demikian tidak menunjukkan hidup sebagai orang yang sudah menerima Injil karena Injil dalam pengertian firman Tuhan memiliki sifat yang dinamis. Mengubahkan hidup kita secara dinamis.
Kecenderungan kelima tanpa pengertian yang mendalam akan makna kedatangan Yesus dapat membawa kita hidup dalam kemunafikan. Momen Natal merupakan penghujung tahun di mana tidak hanya orang Kristen, tetapi juga orang di luar Kristen membuat resolusi untuk Tahun Baru. Tidak jarang kita dengar orang lain berkata bahwa resolusi yang sudah dibuat akhirnya tidak dijalankan. Ini sudah menjadi gaya hidup banyak orang. Membuat resolusi hanya menjadi suatu formalitas yang akhirnya tidak disertai komitmen untuk menjalaninya, hanya sekadar keinginan. Betapa lemahnya resolusi kita karena tidak didasari dengan pengertian yang tepat. Sebetulnya saat kita merenungkan firman setiap hari kita pun perlu untuk beresolusi. Tidak hanya di momen Natal atau menjelang Tahun Baru saja. Ini membuat perenungan firman setiap hari tidak mengubah hidup kita, hanya menambah pengetahuan saja.
Saat ini kita akan melangkah pada pengertian yang lebih dalam dari makna Natal. Dalam Kitab Lukas kita menjumpai saat malaikat datang memberitakan kabar kelahiran Yesus pada gembala-gembala, datanglah sejumlah besar bala tentara sorga dan memuji Allah (Luk. 2:13-14). Kelahiran Yesus mendatangkan kemuliaan dan pujian bagi Allah. Hal ini yang hilang dalam momen Natal. Allah ditinggikan melalui kedatangan Yesus. Fokus kita pada waktu merenungkan Natal bukanlah di keselamatan pribadi, tetapi pada kemuliaan Allah yang ditinggikan. Apakah Allah ditinggikan saat kita merenungkan kembali kisah Natal? Memberikan kemuliaan tertinggi pada Allah dan bukan berfokus pada diri barulah Soli deo Gloria.
Agustinus dalam pembahasannya mengenai Trinitas membicarakan mengenai arti Yesus diutus oleh Allah Bapa ke dalam dunia. Diutus artinya dikenal berasal dari Bapa. Inilah misi Yesus dalam dunia. Dia datang untuk menyatakan ke-Rajaan-Nya (Kingship) dan Kerajaan-Nya (Kingdom). Dia tidak datang hanya untuk menyelamatkan manusia. Dia datang untuk menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan, sebagai Hakim yang akan menghakimi seluruh manusia di hari penghakiman nanti.
Kedatangan Yesus dalam keadaan yang hina tidak patut kita kasihani. Dia datang justru membawa kemuliaan yang begitu besar melalui pengosongan diri-Nya. Lampin dan palungan menggantikan jubah kemuliaan-Nya dan takhta-Nya. Tetapi keadaan demikian menghadirkan bala tentara sorga sambil memuji Allah dan memberi kemuliaan bagi-Nya. Pengosongan diri-Nya justru menyatakan karakter yang agung di dalam penderitaan dan kesulitan. Tidak ada yang mampu mengosongkan dirinya sedemikian seperti yang dilakukan oleh Yesus. Dia menunjukkan kepada kita teladan untuk memiliki karakter agung yang mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.
Yesus menyangkal diri-Nya dan taat sampai mati di atas kayu salib demi menebus dosa-dosa kita. Darah-Nya membawa kita boleh berbagian dalam Kerajaan-Nya. Darah-Nya membawa kita diakui sebagai umat Tuhan. Dia datang dan mengadopsi kita sebagai anak-anak Tuhan. Betapa mulianya apa yang telah Dia kerjakan. Mengapa masih melihat kepada diri? Akui saja dengan tulus bahwa kita adalah manusia gagal. Kita tidak mampu hidup taat. Kita selalu jatuh dalam dosa dan melakukan hal yang tidak berkenan di hadapan-Nya. Tetapi Dia mengampuni kita, Dia mengasihi kita tanpa memerhatikan perbuatan apa pun yang kita lakukan karena Yesuslah yang menggantikan kita. Saat kita melakukan dosa, salib Kristus telah menutupinya. Murka Tuhan sudah ditumpahkan atas Anak-Nya sendiri. Dosa seharusnya tidak memiliki tempat lagi dalam hati kita, tetapi Kristus semata karena salib-Nyalah tempat kita bersandar dan meletakkan seluruh hidup kita dengan penuh ketertundukan dan hormat.
Akhirnya setelah seluruh pengertian ini, kita mengambil komitmen dan bertekad dengan sepenuh hati untuk hidup sebagaimana Dia inginkan. Dia datang memberi kita teladan dan pergi dengan mengutus kita melanjutkan pekerjaan-Nya. Hal pertama yang harus kita pelajari adalah kita harus mengubah arah hati kita, fokus kita hanya pada kemuliaan Allah. Kita hidup dengan tujuan untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Sebagaimana Yesus datang menyatakan kemuliaan Bapa, demikian juga kita harus menyatakan kemuliaan-Nya di tempat di mana Tuhan menempatkan kita.
Selanjutnya, Yesus datang mencerminkan hidup dalam kebenaran, hidup melaksanakan seluruh kehendak Bapa dengan sempurna. Dia diutus berarti dikenal berasal dari Bapa. Saat ini kita diutus oleh Tuhan untuk menggenapi panggilan-Nya. Sudahkah kita hidup dikenal berasal dari Yesus? Jikalau kita hidup melaksanakan kehendak-Nya dan meneladani cara hidup Yesus, barulah kita dapat dikenal berasal dari-Nya.
Hal ketiga yang dapat kita pelajari yaitu mengenai pengosongan diri. Yesus berkata barang siapa yang menyangkal diri dan memikul salib barulah dapat menjadi murid-Nya. Inilah cara hidup sebagai murid Kristus, yaitu mengosongkan diri sebagaimana Dia pun telah menjalani hidup demikian saat datang dalam dunia. Karakter agung inilah yang akan mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.
Terakhir, arahkanlah seluruh pandangan kita pada salib Kristus. Hati yang taat akan muncul saat kita terlebih dahulu menerima kasih-Nya dan hidup penuh dengan sukacita dan ucapan syukur atas apa yang sudah Dia kerjakan. Saat dosa menghampiri kita dan menggoda kita, arahkanlah pandangan kita pada salib-Nya. Masihkah kita mau memenuhi seluruh keinginan dosa sedangkan Yesus telah datang dan mati untuk mematikannya? Masakan kita hidup untuk menghidupkan apa yang telah Yesus matikan?
Natal menceritakan kemuliaan Tuhan dan meninggikan Kristus. Misi kerajaan ini Tuhan serahkan untuk gereja lanjutkan. Mari kita semua bersama-sama berjuang untuk hidup memuliakan Tuhan. Soli deo Gloria.
Wilson Mario Pramudipta
Pemuda GRII Bandung