Pandemi COVID-19 menjadi catatan sejarah penting bagi kita di zaman ini. Tidak ada satu orang pun yang memprediksikan bahwa wabah ini akan secara begitu signifikan mengubah hidup manusia. Tidak ada yang menyangka bahwa virus sekecil ini dapat mengubah tatanan masyarakat dunia. Dibandingkan dengan berbagai peristiwa besar selama dua puluh tahun terakhir, mungkin pandemi ini adalah yang paling besar dampaknya kepada dunia. Tidak hanya bagi mereka yang menjadi pasien COVID-19. Banyak orang mengalami dampak secara ekonomi akibat kebijakan lockdown yang berlarut-larut. Gelombang PHK terus mewarnai pemberitaan media, pendapatan dari bisnis terus merosot hingga harus menutup bisnis tersebut. Pemerintah makin kewalahan dalam mengatasi pandemi ini. Masyarakat awam pun mulai khawatir dan harap-harap cemas kapan pandemi ini akan segera berakhir.
Sebagai orang Kristen, kita pun akhirnya bergumul di hadapan Tuhan bagaimana menghadapi kesulitan ini. Kita bertanya-tanya kenapa Tuhan menghadirkan pandemi di dalam zaman ini. Jika Allah sungguh Mahabaik, kenapa membiarkan pandemi seperti ini? Jika Allah sungguh-sungguh Mahakuasa, kenapa pandemi ini tidak kunjung selesai? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering kita gumulkan ketika menghadapi kesulitan. Kita bergumul bagaimana menyinkronkan antara dua konsep yang seolah-olah bertentangan. Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa dengan fakta kejahatan dan bencana alam yang masih terus membayangi sejarah umat manusia hingga saat ini.
Lalu, bagaimanakah seharusnya orang Kristen berespons terhadap permasalahan ini? Berbagai tokoh Kristen telah mengajukan prinsip bagaimana mengatasi permasalahan ini. Ada seorang theolog bernama Alvin Plantinga dengan teori free will defense, yang menganggap bahwa munculnya kejahatan sebagai konsekuensi logis dari kehendak bebas manusia. Ada juga teori The Best Possible World dari Leibniz yang mengatakan bahwa inilah dunia terbaik yang diciptakan oleh Allah, yang di mana kebaikan tetap dapat hadir walaupun ada kejahatan. Alkitab juga mempunyai cara pandang sendiri dalam membahas isu ini melalui kisah Ayub. Seorang yang tidak bercela dan takut akan Tuhan, tetapi justru harus mengalami penderitaan yang mungkin bagi kita sangatlah berat. Melalui artikel ini, penulis membahas cara pandang Alkitab dalam menghadirkan isu penderitaan, terutama bagi umat Tuhan. Sehingga ketika membahas baik isu kejahatan maupun penderitaan, kita tidak hanya menjawab dari sisi permasalahan intelektual saja, tetapi juga bagaimana pergumulan itu dapat membuat kita makin mengenal siapa Allah yang kita percayai.
Innocent Suffering
Pertanyaan “Mengapa Ayub menderita?” dapat dikatakan sebagai tema utama dari keseluruhan Kitab Ayub. Ia dan teman-temannya saling berdebat bagaimana memahami kondisi Ayub saat itu. Uniknya, kita sebagai pembaca sudah “diberi tahu” terlebih dahulu apa yang menyebabkan Ayub menderita. Awal Kitab Ayub dengan jelas menyatakan bahwa Tuhan mengizinkan Iblis untuk mencobai Ayub dengan berbagai macam penderitaan dan kesulitan. Sepanjang ayat berikutnya terjadi perdebatan antara Ayub dan teman-temannya, dan tidak ada satu pun yang memberikan jawaban seperti apa yang Allah nyatakan di pasal pertama. Kita sebagai pembaca akhirnya menyaksikan satu demi satu teman Ayub gagal untuk memahami apa yang Tuhan rencanakan di dalam hidup Ayub melalui penderitaan tersebut. Jadi, mengapa Ayub menderita?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita mencoba untuk memahami penderitaan apa saja yang dialami oleh Ayub. Menurut Lindsay Wilson di dalam buku tafsirannya mengenai Kitab Ayub, ia melihat ada empat jenis penderitaan yang dialami oleh Ayub (Ayb. 30), yaitu: penderitaan fisik, sosial, emosi, dan spiritual.[1] Secara fisik, Ayub mengalami kesakitan yang tak tertahankan dan digambarkan dengan cukup spesifik (Ayb. 30:16-17, 30). Secara sosial, ia pun diolok-olok dan ditolak oleh banyak orang, bahkan ia lebih diterima oleh binatang. Begitu juga dengan emosinya yang penuh dengan ratapan dan tangisan (Ayb. 30:31) hingga ia merasa hidup di dalam kebuntuan dan kosong. Terakhir, yang paling membuat Ayub menderita, tentu saja dari aspek spiritual. Bagaimana ia kesulitan memahami apa yang Allah kerjakan di dalam hidupnya saat ini. Seolah-olah keluh-kesahnya tidak dijawab oleh Allah (Ayb. 30:20). Lebih jauh lagi, Ayub bahkan merasa dirinya adalah target serangan dari Allah (Ayb. 6:4, 10:16-17), hingga ia merasa dijadikan musuh Allah (19:6-12). Walaupun demikian, Ayub tetap menunjukkan sikap takut akan Tuhan (23:15-16), dan berharap adanya relasi dengan Allah yang dipulihkan (14:14-17).
Hal inilah yang kemudian menjadi pergumulan utama Ayub sepanjang 30 pasal kitab tersebut. Ia bergumul mengapa Tuhan menghadirkan penderitaan ini di dalam hidupnya. Ditambah lagi teman-teman Ayub terus menuduh bahwa ada sesuatu di dalam diri Ayub yang menjadi penyebab datangnya penderitaan ini. Ayub sendiri merasa tidak bersalah (innocent) dan tidak ada satu pun tindakan dia yang membuat penderitaan itu sebagai konsekuensi atas kejahatan yang Ayub pernah lakukan. Secara umum, teman Ayub percaya bahwa setiap penderitaan itu pasti ada penyebabnya. Setiap tindakan manusia entah itu baik atau jahat, pasti ada konsekuensinya. Hal ini pun dapat kita temukan pada Kitab Amsal yang cukup banyak menyatakan bagaimana orang benar akan diberkati, sedangkan orang fasik akan dihukum (Ams. 2:20-22). Tetapi Amsal tersebut seolah-olah tidak berlaku bagi diri Ayub. Ia percaya bahwa tidak ada satu pun dalam hidupnya yang dapat menjadi alasan Tuhan menghukum dia melalui penderitaan tersebut. Jadi, mengapa Ayub menderita? Mari kita bahas terlebih dahulu secara lebih detail usaha teman Ayub untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Jawaban dari Teman Ayub
Alkitab menceritakan ketiga teman Ayub, yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar mengetahui kabar tentang kondisi Ayub dan segera pergi untuk menghibur dia (2:11). Sesampainya mereka di tempat Ayub, mereka menangis dengan suara nyaring. Seketika itu pula mereka hanya dapat meratap bersama Ayub selama tujuh hari tujuh malam, tanpa mengucapkan satu kata pun oleh karena beratnya penderitaan Ayub. Tetapi kesabaran mereka pun sudah mencapai batas. Mereka mulai memikirkan dan bertanya-tanya mengapa Ayub menderita sebegitu beratnya. Mereka coba membenturkan konsep mereka tentang penderitaan secara umum dengan kondisi yang Ayub alami. Menariknya, kita sebagai pembaca yang mengetahui premis awal dari Kitab Ayub memahami bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang dapat memberikan jawaban sesuai premis tersebut. Lalu apa yang salah dari jawaban ketiga teman Ayub?
Yang pertama, dari Elifas, yang mempunyai konsep bahwa orang benar (“innocent”) tidak mungkin terus mengalami penderitaan yang begitu berat hingga menghancurkan orang tersebut (4:7). Kalaupun orang benar harus mengalami penderitaan, suatu saat Tuhan akan memulihkan dan membebaskan dia dari penderitaan itu. Elifas sendiri masih menganggap Ayub sebagai orang benar (4:6), sehingga suatu hari nanti penderitaan Ayub pasti akan dihalau oleh Tuhan sendiri. Hal ini tercermin dari apa yang dikatakan Elifas kepada Ayub untuk belajar dari pengalaman orang lain di masa lampau (5:17) dan terus bersabar menantikan pemulihan dari Tuhan (5:18-26). Jika Elifas ditanya “mengapa Ayub menderita?”, ia akan menjawab penderitaan itu sebagai didikan dan teguran dari Tuhan, yang mana Tuhan sendiri juga yang akan menjanjikan pemulihan atas penderitaan itu.
Berikutnya, Bildad juga memakai prinsip yang senada dengan Elifas, bahwa penderitaan tersebut tidak perlu ditanggapi serius seperti yang dipikirkan oleh Ayub. Bildad meyakinkan Ayub bahwa jika dia sungguh-sungguh benar di hadapan Allah, Allah pasti akan memulihkan Ayub dari penderitaannya (8:6-7). Bildad mengucapkan hal demikian berdasarkan kasus kematian yang dialami oleh anak-anak Ayub. Bagi Bildad, Ayub yang masih hidup menunjukkan bahwa dosanya tidak lebih parah dibandingkan anak-anaknya, sehingga masih ada kesempatan pemulihan bagi Ayub. Asalkan Ayub tetap setia mencari Allah dan memohon belas kasihan-Nya (8:5). Terakhir Zofar justru mengambil pendekatan yang lebih ekstrem. Ia dengan sangat tegas menyatakan bahwa penderitaan adalah akibat dari perbuatan dosa (11:5-6). Ia tidak peduli dengan latar belakang ataupun konteks di dalam kehidupan Ayub. Jika Ayub menderita, jelas hal itu menunjukkan bahwa Ayub adalah pendosa besar di hadapan Tuhan. Bagi Zofar, yang harus dilakukan adalah pertobatan dan berbalik dari segala perbuatan yang fasik (11:13-14). Pertobatan adalah kunci terbukanya harapan akan pemulihan di akhir penderitaan Ayub (11:15-19).
Elihu dan Jawaban Allah
Jika kita tidak membaca Ayub 42:7, mungkin sebagian dari kita setuju dengan jawaban dari teman-teman Ayub, tetapi pada akhirnya pernyataan ketiga teman Ayub tidak membantu meringankan penderitaan Ayub. Justru masing-masing mempertahankan argumen mereka. Elifas terus meyakinkan Ayub untuk sabar dan berharap (5:8, 4:6). Bildad meminta Ayub mencari kepastian kepada Allah, bahwa ia tidak bersalah seperti yang dialami oleh anak-anaknya yang telah mati. Terakhir, Zofar menyuruh Ayub mengakui dan bertobat atas dosa yang pernah ia lakukan. Pada akhirnya, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu memberikan simpati dan kelegaan bagi Ayub, walaupun secara “theologis” argumentasi mereka benar.
Menjelang akhir kisah, muncullah seorang muda yang bernama Elihu. Ia memberikan jawaban dengan perspektif yang berbeda dari ketiga teman Ayub. Ia tidak setuju dengan pandangan bahwa penderitaan Ayub berasal dari dosa di masa lampau, melainkan menjadi peringatan supaya Ayub makin dekat kepada Allah. Melalui penderitaannya, Ayub perlu mengubah cara ia melihat Allah yang berkuasa atas ciptaan-Nya (33:19-20, 36:15). Tetapi pendekatan Elihu tetap tidak memberikan jawaban yang signifikan.
Terakhir, ketika Allah berbicara kepada Ayub, Allah pun tidak langsung menjawab mengapa Ayub menderita. Namun Allah menunjukkan identitas diri-Nya sebagai Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menopang seluruh kehidupan di alam ciptaan-Nya. Ayub sendiri tidak sanggup membantah jawaban dari Allah. Tangan kedaulatan Allah yang menghadirkan berbagai peristiwa di dunia ini, termasuk penderitaan Ayub. Tidak ada satu pun ciptaan lain atau Ayub sendiri yang dapat mengatur secara mutlak segala sesuatu di dunia ini.
Penderitaan sebagai Proses untuk Mengenal Allah
Ada satu hal yang menarik dari cara Kitab Ayub membahas baik masalah kejahatan maupun penderitaan. Tidak seperti para filsuf ataupun theolog yang lebih tertarik mengatasi masalah kejahatan dengan pendekatan filsafat, Kitab Ayub sepertinya tidak tertarik menyentuh ke arah tersebut. Kitab ini dengan unik membahas masalah penderitaan dan kejahatan secara spesifik kepada seorang pribadi bernama Ayub. Kisah yang menceritakan pergumulan seorang hamba Tuhan di dalam imannya kepada Allah berbanding dengan hidupnya yang mengalami kejahatan dan penderitaan. Sebuah pendekatan untuk melihat bagaimana ia mau setia beriman kepada Tuhan di tengah-tengah kesulitan dan penderitaan. Ayub bergumul dari mana datangnya penderitaan ini. Apakah hal itu terletak pada pemahamannya yang salah mengenai Allah, ataukah memang dunia ini bekerja dengan cara yang berbeda dengan pengertiannya selama ini?
Jadi apa yang bisa kita pelajari dari kisah Ayub ini? Mengapa Ayub menderita? Pada akhirnya sampai pasal terakhir dari kitab ini, kita tidak akan menemukan secara pasti jawaban atas pertanyaan itu. Kita hanya mengetahui bahwa Ayub pada akhirnya dipulihkan dari semua penderitaannya. Tuhan bahkan memberikan berkat berkali-kali lipat dibanding sebelumnya (Ayb. 42). Justru pergumulan Ayub seolah-olah terselesaikan di pasal 42 sebelum Tuhan memulihkan Ayub, dengan ayat 5 sebagai resolusi akhir dari pergumulan Ayub, “Hanya dari kata orang[2] saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Melalui penderitaan ini, Ayub kembali mengenal Allahnya bukan hanya dari omongan orang saja, melainkan ia sendiri melihat pimpinan Tuhan hadir di dalam hidupnya. Walaupun proses tersebut harus melalui kesulitan dan penderitaan yang tidak terbayangkan oleh kita yang tidak mengalaminya, tetapi hal itulah yang menjadi titik balik kehidupan Ayub di dalam percaya kepada Tuhan. Sebuah momen di mana Ayub makin takut akan Tuhan dan bersembah sujud di hadapan-Nya. Satu hal yang dapat kita pelajari dari kisah Ayub adalah bahwa walaupun berada di tengah kesulitan, ia tetap mencari Tuhan. Ayub tahu pasti bahwa hanya Allah yang berdaulat atas segala sesuatu, termasuk hidupnya saat ini. Walaupun beberapa saat Tuhan terkesan diam dan tidak menjawab doanya, Ayub sadar tidak ada tempat lain selain Allah yang mampu menjawab kerinduan Ayub yang terdalam.
Kiranya renungan kisah Ayub ini dapat menjadi kekuatan bagi kita menghadapi wabah COVID-19 yang seakan tidak berakhir. Kita pun bertanya-tanya kapan wabah ini akan segera berakhir. Hari demi hari pasien COVID-19 terus bertambah. Baik berita tentang PHK maupun kegiatan usaha yang mulai bangkrut juga mewarnai persebaran informasi di berbagai media. Apa yang akan terjadi di masa depan, tidak ada orang yang tahu. Orang sekaliber presiden pun tidak mampu memprediksi masa depan dunia akan seperti apa. Kita pun makin bertanya-tanya dan bergumul kenapa Tuhan menghadirkan wabah ini di tahun 2020.
Mari kita merenungkan kisah Ayub ini! Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berada di dalam tangan Tuhan yang berdaulat. Allah menghadirkan kesulitan dan penderitaan kepada Ayub supaya Ayub sadar kepada Siapa ia percaya dan beriman, kepada Allah yang bukan sekadar dari perkataan orang saja, tetapi kepada Allah yang hidup, jauh melampaui apa yang Ayub sanggup pikirkan. Kiranya kita sebagai orang Kristen yang menghadapi kesulitan dalam wabah ini, bukan berharap kepada apa yang ada di dunia ini, melainkan kembali kepada Allah. Allah sanggup memberikan kekuatan dan penghiburan sejati kepada kita karena hanya Dialah yang mengatur sejarah dunia ini. Justru melalui penderitaan, kita dapat mengenal Allah bukan hanya melalui pembelajaran theologi ataupun mendengarkan khotbah saja, melainkan menyadari pimpinan Tuhan hari demi hari di dalam hidup kita.
“Those who understand God’s sovereignty have joy even in the midst of suffering, a joy reflected on their very faces, for they see that their suffering is not without purpose.”
– R. C. Sproul[3]
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Wilson, Lindsay. 2015. Job: The Two Horizons Old Testament Commentary. Wm. B. Eerdmans Publishing Co. USA. Hal 301.
[2] Pernyataan “kata orang saja” di ayat ini dapat juga merujuk kepada perdebatan ketiga teman Ayub sebelumnya.
[3]Sproul, R. C. Surprised by Suffering: The Role of Pain and Death in the Christian Life.