Paul’s Writing on Preexistence of Christ

Tanpa kepercayaan dan iman kepada preexistence Kristus, maka kekristenan tidak akan dikenal seperti yang kita kenal hari ini. Doktrin ini merupakan salah satu fondasi dasar bagi iman Kristen. Sebab, tanpa pemahaman yang benar dalam doktrin ini, seluruh pengajaran yang lain pun akan menjadi tidak ada bedanya dengan pemikiran lainnya di dunia ini. Terlebih lagi, pengertian seseorang mengenai hal ini akan memengaruhi relasi mereka kepada Pribadi kedua Allah Tritunggal – baik secara ontologis maupun karya-Nya dalam sejarah keselamatan, dan juga worldview mereka – baik yang Kristen maupun bukan.

Secara umum, doktrin pra-eksistensi Kristus mengajarkan tentang keberadaan Kristus sebelum inkarnasi ke dalam dunia. Siapakah Yesus dari Nazaret itu? Anak Allah, yaitu Pribadi kedua dari Allah Tritunggal-kah? Ataukah sebenarnya Yesus adalah seorang manusia yang berada dalam rencana Allah, yang ditetapkan untuk menjadi penyelamat sesamanya? Mungkinkah sebenarnya Yesus Kristus bukan Allah sehingga Dia bisa menjadi manusia?

The Setting
Doktrin pra-eksistensi Kristus merupakan iman dasar dari sebagian besar Kristen ortodoks. Namun, seiring berkembangnya waktu, para theolog kembali mulai mempertanyakan akan kebenaran dari pengajaran ini. Banyak pendapat yang mulai dikemukakan oleh para theolog mengenai pra-eksistensi Kristus. Salah satunya seperti, ideal preexistence. Pengajaran ini berkata bahwa Kristus memiliki eksistensi di dalam pikiran Tuhan sebelum inkarnasi, namun tidak benar–benar ada sebagai sebuah entitas. Pandangan ini mengklaim bahwa tidak ada satu waktu pun ketika Kristus tidak berada dalam rencana Bapa. Kristus sama tuanya dengan rencana keselamatan Tuhan: yaitu rencana-Nya yang menyatakan kemenangan-Nya atas kematian dan direncanakan sejak dalam kekekalan sebagai bagian dari kehendak Tuhan yang agung. Sepertinya hal ini kelihatan benar, tetapi jika demikian apa bedanya dengan engkau dan saya. Kita juga sudah berada dalam rencana Bapa sejak kekekalan. Banyak lagi interpretasi mengenai pra-eksistensi Kristus yang berkembang mulai abad-abad terakhir. Hal ini sangat disebabkan oleh worldview kita.

Dalam sekitar 3-4 abad terakhir ini, perkembangan theologi terutama di Barat sangat dipengaruhi oleh rasionalisme Abad Pencerahan. Theologi menjadi pengertian yang berpusat kepada manusia, rasionalistik, naturalistik, dan antiotoritas. Pengaruh yang mungkin masih dirasakan sampai saat ini adalah seperti cara mengetahui kebenaran adalah melalui metode sains. Worldview yang mendasari hal tersebut adalah melihat alam semesta sebagai sebuah mesin yang besar dan setiap bagian menjalankan fungsinya agar keseluruhan mesin dapat bekerja dengan baik. Sehingga, metode sains yang dipopulerkan oleh Francis Bacon menjadi normatif dan mencetak pikiran kita dengan 2 konklusi demikian. Yang pertama bahwa jika sesuatu yang tidak bisa dibuktikan oleh metode sains, sesuatu tersebut tidak nyata atau tidak rasional. Melalui pengertian ini, muncullah kepercayaan yang dikenal dengan deism. Yang kedua, bahwa adanya pengagungan kepada rasio manusia, secara sadar atau tidak sadar. Hampir dalam setiap aspek kehidupan kita, kita menjalaninya dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah pengukur dari segala sesuatu. Segala hal harus tunduk di bawah pengertian kita bukan di bawah kaki Tuhan. Alhasil, mulailah berkembang menjadi theologi liberal. Tetapi, yang sangat menyedihkan adalah banyak gereja Injili Protestan yang juga terpengaruh hingga taraf tertentu. Bahkan, banyak gereja Injili mempertahankan worldview Abad Pencerahan sedangkan theologi modern sedang beralih kepada postmodern. Postmodern pun tidak lebih baik dari modernisme karena anggapan dasar mengenai ketidakberadaan sesuatu yang absolut. Dampaknya adalah mulai berkembangnya semangat skeptisisme maupun pragmatisme sebagai epistemologi sebagian besar orang. Pengaruh yang dibawa ketika seseorang memegang sebuah worldview atau presuposisi adalah setiap kepercayaan tersebut akan menyediakan batasan dan arah kepada pikiran kita untuk menerima informasi. Setiap informasi yang datang kepada pikiran kita akan difilter terlebih dahulu melalui presuposisi yang kita punya sehingga informasi yang bersifat kompatibel dengan pikiran barulah kita terima, namun yang tidak sesuai akan secara tidak sadar kita buang. Dengan demikian, setiap tindak-tanduk kita, pikiran kita, nilai-nilai yang kita yakini, pasti ditentukan oleh presuposisi yang kita miliki.

Demikian juga halnya, pengaruh dari presuposisi dan worldview kita sangat nyata ketika kita mulai memikirkan mengenai pra-eksistensi Kristus. Jika kita memercayai adanya alam semesta yang bergerak dengan sendiri tanpa ada intervensi dari kuasa supranatural, kita akan sulit menerima berbagai bukti maupun argumen mengenai doktrin ini. Begitu pun sebaliknya, doktrin ini harus dibuktikan tidak koheren dengan seluruh worldview Kristen yang sejati sebelum mengklaim bahwa pengertian ini salah. Sebagai orang Kristen, saya mengajak rekan-rekan sekalian kembali memikirkan Alkitab sebagai dasar fondasi kebenaran kita dan setiap pengetahuan harus berdasarkan otoritas Alkitab sebagai firman Tuhan.

Paul’s Writing
Paulus adalah seseorang yang memiliki pengertian Kristologi sangat mendalam. Hal ini bisa dilihat karena Paulus sangat sedikit menjelaskan dalam surat-suratnya mengenai kelahiran dan pelayanan Yesus waktu di bumi. Dia fokus kepada kematian Kristus dan kebangkitan-Nya. Pengertian theologi yang mendalam tidak menjadi penghalang baginya untuk membawa pembaca merefleksikan segala segi kehidupannya. Begitu juga bahasa yang Paulus gunakan ketika menjelaskan mengenai pre-eksistensi dari Kristus. Paulus menjabarkannya dalam konteks yang menjelaskan hal-hal dengan sangat praktis.

Filipi 2:5-11
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah , tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Lincoln Hurst menyatakan bagian ini adalah salah satu bagian yang memiliki banyak interpretasi dalam sejarah Perjanjian Baru. Hal ini benar karena setiap presuposisi theologis yang dianut seseorang akan mengarahkannya kepada interpretasi dan konklusi dari pembacaan bagian ini. Yang pertama kali harus ditekankan adalah bagian ini ditulis oleh Paulus sebagai teks pastoral bukan sebagai penjelasan sistematis. Terlepas dari hal itu, teks ini menjadi salah satu bagian penting untuk mengerti pra-eksistensi dari Kristus meskipun Paulus memfokuskan pembahasannya kepada karya penebusan-Nya, bukan ke pra-eksistensi-Nya. Paulus menjelaskan mengenai teladan yang Kristus kerjakan akan kerendahan hati dan pengorbanan diri untuk relasi dengan sesama. Pra-eksistensi Kristus secara implisit dinyatakan karena inkarnasi dari Anak Allah ke dalam sejarah umat manusia untuk menyelamatkan manusia dari dosa adalah teladan yang paling agung mengenai kerendahhatian maupun pengorbanan diri. Sebagai argumen dari teladan yang harus diikuti oleh jemaat-Nya, kekuatan terbesarnya nyata karena mempresentasikan Kristus sebagai Anak Allah yang memiliki eksistensi sebelum Dia berinkarnasi.

Kristus bermula di dalam sorga turun ke dalam dunia dan mengerjakan karya salib-Nya dan diakhiri dengan kembali-Nya ke sorga. Ayat ini tidak secara eksplisit menyatakan Kristus yang berada dalam kekekalan, tetapi dengan mengatakan bahwa Kristus bersama dengan Allah sebelum inkarnasi ke dunia adalah hal yang sama menyatakan bahwa Kristus sudah ada sebelum kelahiran-Nya di dunia. Hal ini sangat umum dalam Perjanjian Baru. Selain itu, mengenai dua kata yang dipakai dalam bahasa aslinya yaitu morphe dan harpagmos. Morphe dapat diterjemahkan sebagai natur, bentuk, rupa, atau esensi. Kristus dijelaskan sebagai rupa (morphe) Allah dan dikatakan Dia mengosongkan diri-Nya untuk mengambil rupa (morphe) seorang manusia. Kata morphe muncul dua kali dalam bagian pertama dari kutipan ini dan dimengerti dengan 2 cara yang sangat berbeda. Permasalahan ini menjadi rumit karena penempatan dua kata tersebut sangat dekat sehingga seakan–akan satu pengertian harus berlaku ke dua-duanya. Secara umum, dalam tulisan Yunani kuno, morphe cenderung berarti status, esensi, atau natur dan tidak berarti keadaan yang artifisial ataupun hanya bayang-bayang saja.

Menurut O’Brien, morphe merujuk kepada sebuah rupa di mana menyatakan secara utuh entitas yang sedang dibicarakan. Dengan pengertian ini, kita bisa menafsirkan bahwa Kristus memiliki natur sebagai Allah dan setelah itu memiliki natur sebagai manusia. Akan tetapi, ada pandangan lain menentang, yang menyatakan bahwa Kristus tidak memerlukan natur pra-eksistensi-Nya. Argumen yang dibangun diambil dari Kejadian 1 untuk mengerti kata morphe, yaitu berarti gambar dan rupa seperti Adam. Oleh sebab itu, kesimpulan yang diambil adalah bahwa Kristus dari dahulu sepenuhnya manusia seperti Adam. Kristus mengambil rupa hamba diartikan sebagai hamba yang telah kehilangan posisi manusia yang sejati karena telah berbuat dosa. Jika diartikan sebagai demikian, tentu akan menimbulkan pertanyaan mengenai keselamatan kita. Jika Adam kedua hanyalah manusia sama seperti kita yang berdosa, apakah nilai dari salib yang ditanggung-Nya? Bisakah Adam yang kedua mendapat pujian yang disetarakan dengan Tuhan? Bagaimana dengan kaitan keselamatan yang dibicarakan dalam Roma ataupun Galatia? Bukankah Paulus jarang membahas mengenai pelayanan Yesus ketika di dunia, karena itu mengapa harus ditekankan di bagian ini? Pengertian yang kedua tentu tidak koheren dengan bagian surat Paulus yang lain, apalagi dengan keutuhan kepercayaan iman kita. Dengan demikian, perlulah ditarik konklusi bahwa morphe yang dibahas adalah mengenai esensi itu sendiri, bahwa Kristus sudah ada bersama-sama dengan Allah sebelum Dia berinkarnasi.

Yang kedua, yaitu “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan (harpagmos).” Yang menjadi perdebatan di bagian ini adalah apakah harpagmos berarti mempertahakan hak yang seharusnya tidak dimiliki oleh individu tersebut (seperti Adam yang berusaha mempertahankan kesamaannya dengan Tuhan, yang padahal bukan haknya) atau artinya adalah untuk tidak mempertahankan sesuatu yang sebenarnya individu tersebut memiliki hak penuh atasnya (seperti Kristus yang “melepaskan” kemuliaan ilahi-Nya untuk menjadi manusia). Sulitnya menerjemahkan kata harpagmos adalah karena kata ini hanya muncul sekali di Perjanjian Baru dan jarang sekali ada dalam literatur di luar Alkitab. Jika Yesus adalah Anak Allah yang berinkarnasi, maka Ia tidak perlu untuk mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah sebab hal tersebut adalah natur dan hak-Nya. Jika Yesus hanyalah seorang nabi besar atau guru, maka untuk mempertahankan kesetaraan tersebut berarti mencari sesuatu yang bukan hak-Nya. Jika pengertian yang kedua yang benar, apakah kelakuan tersebut bisa dianggap sebagai guru besar? Roy Hoover mengatakan bahwa terjemahan yang benar seharusnya harpagmos mengacu kepada sesuatu yang sudah ada dan dalam kendali subjek tersebut. Pertanyaannya seharusnya bukan ‘apakah sesuatu memiliki atau tidak mengenai suatu hal’ melainkan ‘bagaimana perlakukan subjek tersebut terhadap sesuatu’. Dalam ayat 6 dan 7 dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki eksistensi sebagai Allah tetapi tidak memakainya sebagai alasan untuk menjadi sama seperti Allah; melainkan untuk hidup dalam hukuman yang seharusnya jatuh kepada manusia yang mencari kesetaraan dengan Allah.

Dan yang terakhir, kriteria terakhir untuk menginterpretasi bagian ini adalah dengan pembukaan dari Paulus. Paulus memanggil jemaat di Filipi untuk secara tidak egois menyerahkan segala hal yang layak mereka klaim untuk orang lain. Oleh karena itu, membaca bagian ini harus dengan melihat bahwa Kristus yang terlebih dahulu bertindak secara tidak egois untuk orang lain ketika seharusnya Dia bisa menggunakan status ilahi-Nya untuk pribadi-Nya. Gordon D. Fee mengatakan bahwa kesetaraan-Nya dengan Allah dinyatakan secara sempurna ketika Dia mengosongkan diri-Nya. Dan teladan ini mendapatkan kuasa yang dahsyat ketika kita mengingat bahwa Anak Allah yang sudah berada bersama dengan Bapa sejak kekekalan rela berinkarnasi dan menderita di atas kayu salib untuk diri kita dengan harga nyawa-Nya sendiri.

Kolose 1:15-20
Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.
Bagian ini, Paulus menjabarkan Kristus dalam keagungan-Nya. Kristus tidak berada sebagai hasil dari gambar dan rupa Allah, melainkan Dia sendiri adalah gambar dan rupa Allah yang utama. Hanya Kristus satu-satunya yang secara sempurna merepresentasikan Tuhan. Dia menciptakan dunia dan menopang segala ciptaan. Dia menciptakan segala yang diciptakan. Hal ini penting ditekankan karena memisahkan antara Pencipta dan ciptaan. Kristus adalah Sang Pencipta bukan ciptaan yang lebih tinggi dari ciptaan yang lain. Bagian ini juga memiliki pengertian yang sama dengan Injil Yohanes 1 bahwa kedua bagian ini menyatakan keilahian Kristus yang sempurna termasuk pra-eksistensi-Nya, peran-Nya sebagai Pencipta dalam penciptaan segala sesuatu.

Secara khusus, kita bisa mendapatkan pengertian mengenai pra-eksistensi Kristus dalam dua cara. Kita bisa mencoba memeriksa bahasa yang digunakan untuk menunjukkan keilahian Kristus atau melalui implikasi kalimat yang menyatakan peran-Nya dalam penciptaan. Jika benar bahwa segala sesuatu telah diciptakan di dalam Dia, berarti tidak ada kemungkinan lain bahwa Kristus ada sebelum ciptaan. Jika tidak, maka Paulus sedang mengatakan hal yang tidak masuk akal. Dan sebagai Allah yang ada sebelum segala sesuatu ada, maka Dia pulalah Tuhan atas ciptaan. Inilah yang Paulus tekankan mengenai Kristus sebagai yang Sulung sebelum segala ciptaan sehingga Kristus memiliki kedudukan sebagai Tuhan. Yang Sulung bukan berarti yang pertama kali diciptakan, tetapi yang sudah ada sebelum segala sesuatu itu ada. Dan fokus di sini bukan kepada status ciptaan melainkan kepada Kristus yang memiliki supremasi di atas ciptaan. W. L. Knox memercayai bahwa Paulus sedang menggunakan model Hikmat dalam Perjanjian Lama untuk menjelaskan tentang kebenaran metafisika dari Kristus. Selain itu, penjelasan mengenai Kristus sebagai gambar Allah yang tidak kelihatan (visible image of invisible God) merujuk kepada theophany yang terjadi dalam Perjanjian Lama. Paulus dalam bagian ini juga tidak secara eksplisit mengatakan mengenai keadaan pra-eksistensi dari Kristus melainkan dia menjadikannya sebagai presuposisi. Dalam surat ini, Paulus mempresentasikan Kristus sebagai satu-satunya gambar dan rupa Allah yang sejati dan mengenakan atribut yang seharusnya dalam Perjanjian Lama berlaku kepada Allah, menjadi berlaku juga kepada Kristus.

Roma 1:1-4
Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita.”

Inilah bagian dari surat Paulus yang saat dibaca secara sepintas, sepertinya Paulus menolak mengenai pra-eksistensi Kristus. Banyak orang yang mengerti bagian ini sebagai pengajaran tentang Kristus yang menjadi Anak Allah setelah kebangkitan-Nya. Kristus sebagai keturunan dari Daud, karena pelayanan-Nya yang setia dalam dunia, lalu diangkat menjadi Anak Allah melalui Roh Kudus. Sebenarnya hal yang pertama kali perlu dipahami adalah Paulus tidak punya niat untuk mengartikan penulisan ini sebagai demikian. Jika kita lihat, pengertian ini akan berkontradiksi tidak hanya kepada surat-suratnya yang lain, tetapi juga kepada bagian dari surat Roma sendiri. Sebab itu, haruslah dengan hati-hati mempertimbangkan alternatif interpretasi dari bagian ini. Jika ayat-ayat ini diinterpretasikan konsisten dengan apa yang Paulus ajarkan di surat-surat lainnya, dapat disimpulkan bahwa interpretasi tersebut lebih mendekati kebenaran. Jika hal itu mungkin, berarti dalam ayat ini pun Paulus tidak mengesampingkan doktrin pra-eksistensi Kristus dan keberatan mengenai ajaran Paulus tentang pra-eksistensi akan runtuh.

Penulis Kristen di abad mula-mula, sama seperti kita yang percaya akan iman yang ortodoks, secara umum akan mengerti bahwa ayat ini membuktikan akan natur kemanusiaan Kristus serta natur keilahian-Nya. Dalam hal ini pun, kita harus mengasumsikan terlebih dahulu mengenai pra-eksistensi dari Kristus. Origen mengatakan bahwa tanpa keraguan, Yesus menjadi manusia yang sebelumnya tidak ada dalam Dia. Tetapi melalui Roh Kudus, Dia sudah ada sebelumnya, dan tidak ada waktu ketika Dia tidak ada. C. E. B. Cranfield berkata Paulus secara kokoh percaya kepada pre-eksistensi Kristus. Dia sebagai Anak Allah yang memiliki kehidupan dari kekal sampai kekal hingga suatu titik dalam waktu mengambil natur manusia. Cranfield juga percaya bahwa pemikiran Paulus dalam Roma memiliki Trinitarian framework yang kental. Banyak bagian yang menjelaskan karya Kristus dan Roh Kudus yang disetarakan dengan Allah. Oleh sebab itu, cara yang paling baik untuk mengerti bagian ini adalah dengan fokus kepada kata declared dan power (dalam terjemahan LAI tidak dicantumkan). Paulus tidak mengatakan Yesus menjadi Anak Allah pada waktu kebangkitan-Nya, namun melalui kebangkitan-Nya, sebuah deklarasi mengenai realitas Anak Allah yang sudah ada. Deklarasi ini menyatakan kebenaran tentang Yesus yaitu kuasa ilahi-Nya yang berbeda kontras dengan kemanusiaan-Nya yang kelihatan hina. Paulus sedang mengatakan apa yang kekristenan terus katakan selama 2.000 tahun yaitu bahwa hanya melalui kebangkitan Kristus, orang akan mengenal siapa Dia sesungguhnya. Dan bukan hanya Paulus yang mengatakan hal ini namun seluruh kitab Injil pun mengklarifikasinya. Yesus adalah 100% manusia, namun juga hanya sebagian dari keseluruhan cerita hidup-Nya. O’Collins mengatakan apa yang ada pada-Nya (keilahian Kristus) sekarang dinyatakan, dikonfirmasikan, dan diberikan definisi secara tepat dan jelas melalui kehidupan-Nya di dunia sampai keadaan kebangkitan-Nya. Jadi, bukan hanya bagian ini menentang adoptionist Christology, tetapi juga mendukung mengenai pra-eksistensi Kristus. Yesus tidak menjadi Anak Allah karena dibangkitkan dari antara orang mati melainkan karena Dia adalah Anak Allah sehingga Dia bangkit dari antara orang mati.

Modern Interpretation
Surat–surat Paulus banyak yang mendukung kepercayaan akan pra-eksistensi Kristus. Eksegesis dari tradisi-tradisi gereja pun sampai pada konklusi yang sama. Namun, banyak sarjana biblika modern menentang akan Paulus yang mengajarkan doktrin demikian. Beberapa orang melihatnya hanya sebagai ideal preexistence yang diajarkannya. Seperti contoh, John Knox mengatakan bahwa pra-eksistensi menjelaskan bagaimana gereja mula-mula membenarkan eksistensi dirinya sendiri. Gereja mula-mula yang memercayai pra-eksistensi sebagai pengajaran dari Paulus, dikatakan sebagai gabungan antara kepercayaan kaum Hellenistic dan spekulasi orang Yahudi kepada Logos dan Hikmat. Dengan demikian, gereja mula-mula dapat berkembang dan memiliki signifikansi dalam sejarah. Frances Young juga percaya Paulus melihat Yesus bukan sebagai inkarnasi Tuhan tetapi Adam yang terakhir. Pengertian ini bersifat eskatologis, bukan inkarnasi. James Dunn juga mengajarkan hal yang sama meskipun menentang Paulus yang mengajarkannya. Helmut Thielicke mencapai konklusi bahwa Kristologi dari Paulus hanyalah sebuah perkembangan intelektual dari kepercayaan yang sebenarnya universalisme yang terdapat dalam Injil sinoptik. A. T. Hanson bahkan percaya bahwa tidak ada bukti yang jelas, bahkan dari Injil sinoptik sekalipun, yang memegang doktrin pra-eksistensi Kristus. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa di kalangan modern pun tidak bisa mencapai sebuah kesepakatan mengenai apa yang Paulus percayai mengenai pra-eksistensi Kristus, apalagi mengenai keseluruhan Perjanjian Baru. Hal ini disebabkan karena begitu dalamnya diskusi Paulus mengenai Kristus. Begitu kaya, mengombinasikan beberapa gelar Kristologi, menggabungkan fungsi dan natur, dan menarik dari kebudayaan Yahudi dalam berbagai cara baru. Kesulitan ini bisa muncul karena Paulus tidak pernah menyajikan doktrin sistematis mengenai pra-eksistensi Kristus. Meskipun demikian, banyak theolog yang masih menemukan bahwa Paulus mengajarkan mengenai pra-eksistensi dari Kristus dan kesamaan-Nya dengan Allah. Dan seperti yang sudah kita bahas tadi, Alkitab menyatakan bahwa Paulus percaya kepada-pra eksistensi dari Kristus.

Conclusion
Pengertian mengenai Anak Allah yang datang ke dalam ke dunia adalah pengertian yang transformatif. Jika memang benar, kita yang percaya seharusnya tidak lagi menjadi sama seperti kondisi kita sebelumnya. Pengertian ini tidak hanya dalam ranah intelektual tetapi juga memengaruhi pikiran, perkataan, dan perbuatan kita juga. Bahwa pra-eksistensi dari Kristus adalah dasar dari kasih Tuhan kepada manusia. Dia yang dari surga datang dengan segala kasih-Nya untuk memberikan diri-Nya menggantikan kita, manusia yang berdosa, agar di dalam Dia kita bisa kembali diperdamaikan dengan Allah Bapa. Oleh sebab itu, pembelajaran kita mengenai theologi, terutama pra-eksistensi dari Kristus, jauh lebih besar dari pengertian akademis karena hal ini yang menjamin inkarnasi Yesus Kristus, akan menjamin kebangkitan-Nya pula. Terlebih lagi, meniadakan doktrin pra-eksistensi ini akan membuang seluruh kepercayaan iman kita, justru bukan membuatnya menjadi realistik dan relevan, malah menjadikannya tidak relevan. Karena kemuliaan kasih Allah, jaminan akan pembenaran hidup kita berdasar kepada pengertian bahwa Kristus yang berinkarnasi adalah Pribadi kedua Allah Trintunggal yang benar-benar nyata, dan sebenar-benarnya mengasihi engkau dan saya. Kiranya pengertian ini menumbuhkan rasa kagum, pengagungan, dan komitmen untuk hidup menjadi serupa dengan Dia.

Howard Louis
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
McCready, Douglas. He Came Down From Heaven. IVP