Paulus, Galatia, dan Karunia (3)

Dalam dua pasal pembuka Surat Galatia, Paulus berusaha memaparkan dengan panjang lebar bagaimana karunia Allah teridentifikasi dengan apa yang Allah telah kerjakan di dalam Kristus. Dari sana terpancarlah manifestasi ganda dari karunia itu, yaitu panggilan sebagai ciptaan baru dan karunia Roh bagi orang percaya, sebagai rujukan kembali kepada perwujudan definitif dari “pemberian” ini dalam kematian (karunia atau pemberian diri) Kristus (1:4; 2:20). Atas dua manifestasi ini, penerima karunia dengan demikian “bebas” dari penilaian konvensional oleh setiap budaya yang mereka warisi sebelumnya, karena di dalam ciptaan baru, karunia tersebut diberikan “baik kepada orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi” tanpa memperhatikan kriteria nilai yang telah mereka pegang. Karunia ini, dalam istilah Paulus, “untuk disalibkan bersama dengan Kristus” (2:19), mengakhiri cara hidup kita yang lama; dan sebagai sumber kehidupan baru, ia menata kembali identitas dan kesetiaan kita sebagai orang percaya. Hal ini tercermin dalam kisah Paulus di Antiokhia di mana kapasitas Injil untuk mengesampingkan semua batasan budaya diuji dalam sebuah peristiwa diagnostik: pengembalian Taurat sebagai otoritas tertinggi berarti menyangkal esensi peristiwa Kristus sebagai karunia tanpa syarat. Dengan demikian, semuanya ini dibuktikan dalam pembentukan komunitas baru yang pola kehidupan sosialnya menantang sistem nilai yang berkuasa.

Dalam artikel kali ini, sejumlah bagian dari Surat Galatia akan ditinjau untuk membingkai diskusi kita dalam melihat bagaimana Paulus mengaitkan karunia Kristus dengan “janji” Allah. Kita akan melihat bagaimana Paulus menciptakan narasi akan kontinuitas dan konsistensi dalam level tujuan Ilahi, sekaligus menekankan diskontinuitas di dalam sejarah manusia. Bagian-bagian yang akan kita lihat akan menunjukkan ketidaksesuaian antara karunia Kristus dan sistem nilai yang memengaruhi Galatia, dan karena itu memperjelas “dinamika kreatif sosial” dari karunia itu, sehingga nantinya kita dapat melihat lebih jauh bagaimana Paulus merajut jalinan pengertian akan bagaimana karunia Kristus berkaitan dengan janji dan Taurat Allah di dalam artikel selanjutnya.

Galatia 3:1-5

“Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah menjampimu dengan mata jahat? Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depan matamu?”1

Di dalam bagian ini, Paulus memulai pembicaraan dengan langsung menusuk jantung dari permasalahan komunitas Galatia, dan bersikeras bahwa “hanya ini yang hendak kuketahui dari pada kamu” (3:2). Setelah sekian lama jemaat Galatia mengikuti Paulus, perubahan telah masuk ke dalam setiap dimensi kehidupan jemaat di Galatia. Paulus menyaksikan bagaimana hidup para jemaat telah terorientasi pada peristiwa Kristus yang tersalib sebagai χάρις Allah (2:21) dan pemberian diri Kristus (2:20) yang “dilukiskan dengan terang” (3:1) di hadapan mata mereka. Namun entah mengapa, perubahan besar terjadi di dalam jemaat Galatia sehingga membuat Paulus bertanya-tanya mengenai perubahan ini. Siapa yang menjampi jemaatnya sehingga mata mereka menjadi gelap dan jahat? Dia mempertanyakan jemaat Galatia yang selama ini mengaku telah mengalami dan dikuasai oleh karunia Allah (2:20) dalam bentuk Roh (3:2, 5), dan mengaku telah “menerima” (λαμβάνειν, 3:2, 14) karunia dan janji Allah bagi orang percaya di dalam hati mereka.2 Setelah semua yang mereka alami dan akui, Paulus memberikan pertanyaan retoris, “Apakah selama ini mereka berbagian di dalam karunia atas dasar kriteria nilai yang dinyatakan dalam praktik Taurat (ἐξ ἔργων νόμου, 3:2, 5), atau atas dasar kepercayaan terhadap pemberitaan Injil (ἐξ ἀκοῆς πίστεως)?” Jikalau selama ini mereka menerima karunia Roh bukan karena mendasarkan diri mereka pada praktik Taurat sebagai kualifikasi yang diperlukan untuk mendapatkan anugerah, atas dasar apa mereka mencoba memaksakan sistem nilai (“kebenaran”) yang didefinisikan oleh Taurat (2:21; 3:6)?

Paulus ingin jemaat di Galatia sadar bahwa selama ini tidak ada yang pernah membuat mereka layak menerima karunia itu. Yang mereka lakukan dahulu hanyalah menerima kabar pemberitaan Injil dalam iman, yaitu dalam pernyataan kebangkrutan diri yang mengakui bahwa hanya kasih Kristuslah satu-satunya sumber nilai mereka (2:20). Itu saja, tidak kurang, tidak lebih. Lalu apa yang membuat mereka berbalik?

Apa yang kita lihat di bagian ini tidaklah jauh berbeda jika dibandingkan dengan seruan Paulus terhadap Petrus dalam Galatia 2:15-21 dan yang akan diulang pada bagian-bagian selanjutnya (3:6 dst.): karunia Kristus bukanlah peristiwa Taurat; karunia itu tidak diberlakukan, didistribusikan, atau dialami dalam kriteria nilai yang telah ditetapkan oleh Taurat. Karunia dari Roh Kristus kepada orang bukan Yahudi yang tidak mempraktikkan Taurat adalah bukti fenomenal bahwa karunia Kristus tidak terletak dalam kerangka “hidup secara Yahudi” (2:14). Seperti dalam Kisah Para Rasul (Kis. 10:44-48; 11:17-18; 15:8-11), ketika mereka menyaksikan skandal karunia Roh pada orang-orang yang bukan Yahudi, para pengamat Yahudi dikejutkan dengan pengakuan bahwa peristiwa Kristus tidak dapat dibatasi oleh parameter tradisi mereka. Bagi Paulus, ungkapan ini adalah penegasan (dan juga alasan) keyakinannya bahwa peristiwa Kristus adalah pemberian yang inkongruen (tidak selaras)3.

Apa yang mengejutkan Paulus mengenai jemaat di Galatia bukanlah bahwa mereka percaya bahwa perbuatan baik seseorang (sebagai kesalahan subjektif atas pemahaman akan diri manusia) diletakkan di tempat di mana seharusnya pekerjaan Kristus diletakkan, seperti yang diamati oleh Luther, melainkan bahwa jemaat Galatia mengadopsi standar nilai yang diratifikasi secara sosial yang terkandung dalam Taurat, sehingga membatasi karunia dalam sistem nilai yang telah ditetapkan ketika mereka mengalami Roh itu. Roh ini diberikan ketika kabar baik diterima dalam iman—yaitu, di mana penerimanya telah dibentuk dan diorientasikan kembali kepada peristiwa Kristus (3:1) tanpa memperhatikan nilainya. Dengan membalut karunia yang mereka terima dengan praktik etnosentris Taurat, jemaat Galatia merendahkan Injil dan membatasi karunia ini sebagai karunia “Yahudi” (1:13, 14). Bagi Paulus, karunia salib Kristus tidak dapat dan tidak boleh dibatasi seperti ini; terima bulat-bulat atau tidak sama sekali (5:10; 6:12). Roh yang dikondisikan Taurat bukanlah Roh, melainkan daging semata (3:3).

Galatia 5:2-6

Saya akan mengajak kita melihat bingkai lain yang perlu kita pertimbangkan sebelum membahas kaitan antara hukum Taurat dan janji Allah. Bagian ini ditulis oleh Paulus dengan terus terang (5:2), “Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu….” Di sini sunat, fitur kunci dari praktik Taurat yang disodorkan kepada orang percaya di Galatia menjadi fokus dari perbincangannya (6:12-13). Dan seperti sebelumnya, Paulus menyajikan pilihan antara Injil atau sunat; terima semua karunia Injil atau tidak sama sekali. Dia bahkan menekankan pilihan ini dengan menegaskan bahwa sunat tidak akan menambah iman mereka kepada Kristus, malah mereka akan kehilangan semua manfaat yang telah diperoleh di dalam Kristus (5:2). Sunat, tegas Paulus, hanya akan menjadi tanda kepatuhan mereka dalam melakukan seluruh hukum Taurat (5:3). Dengan menerima Taurat sebagai kriteria kebenaran (“jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat”, οἵτινες ἐν νόμῳ δικαιοῦσθε), peristiwa Kristus hanya akan terbingkai sebagai karunia yang dikondisikan Taurat (5:4). Jelas bahwa dari sudut pandang Paulus, penerimaan semacam ini bukan saja membatasi karunia Kristus, malah membatalkan karunia ini secara total—atau lebih tepatnya, membatalkan manfaat yang mereka terima dari karunia itu, “Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia” (5:4).4

Logika eksklusi semacam ini ditegaskan pertama kali dalam 5:5 dan kemudian dijelaskan kembali dalam 5:6. Dalam 5:5, Paulus meringkas dengan sangat jelas seluruh Galatia 3-4, bahwa “oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan”. Di sini ia menekankan bahwa kebenaran tidak dapat dikaitkan dengan praktik Taurat, tetapi dengan status warisan yang diberikan oleh Roh kepada mereka yang percaya kepada Kristus (3:8, 14, 22). Tetapi timbul pertanyaan, mengapa karunia ini tidak sesuai dengan syarat-syarat sunat yang diberlakukan bagi orang percaya non-Yahudi? Paulus tidak menentang sunat sebagai ritus atau sebagai tanda fisik dari etnis Yahudi. Dia tidak membatalkan sunatnya sendiri, dia juga tidak mengharapkan orang Yahudi lain untuk membatalkan sunatnya (1Kor. 7:17-19). Tetapi mewajibkan sunat bagi orang percaya non-Yahudi berarti menempatkan peristiwa Kristus dalam parameter nilai yang ditentukan oleh tradisi Yahudi, dan penerimaan ini akan membuat karunia Kristus dikondisikan oleh sesuatu di luar karunia itu sendiri, dalam hal ini nilai-nilai etnisitas Yahudi dan Taurat. Bukannya Paulus menganggap tidak sunat itu lebih unggul daripada sunat, tetapi karunia Kristus diberikan tanpa memperhatikan pembeda fisik ini (atau pembeda fisik lainnya). “Di dalam Kristus Yesus,” Paulus menegaskan, “hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti” (5:6). Kedua kondisi tersebut ditolak nilai diferensialnya karena karunia diberikan dalam Kristus tanpa memperhatikan keduanya. Paulus tidak menganjurkan opsi ketiga di luar kedua pilihan ini, tetapi ia bersikeras bahwa tidak ada satu pun dari konfigurasi khusus tubuh laki-laki ini yang menentukan pembagian karunia Allah. Dia bersikeras bahwa menaruh sesuatu sebagai syarat yang lebih tinggi, apa pun itu, akan melepaskan status karunia sebagai “pemberian tanpa syarat”.

Jika masalah di sini dilihat dalam kerangka seseorang memperoleh keselamatan dengan karya kebaikan manusia itu sendiri, seperti yang digadang-gadang oleh Luther, sulit bagi kita untuk melihat mengapa Paulus pada akhirnya mengabaikan baik sunat maupun tidak sunat. Sunat dapat dianggap sebagai pekerjaan yang bertujuan untuk mendapatkan perkenanan Tuhan, tetapi tidak jelas bagaimana menyunatkan diri dianggap sebagai “karya mandiri” manusia. Demikian pula, jika masalah di sini dilihat sebagai masalah “imperialisme nasionalistis” atau “pembatasan” perjanjian semata untuk orang Yahudi, seperti kata Dunn, mengapa di sini sunat juga direndahkan? Tampaknya sasaran Paulus bukanlah etnosentrisme atau pendapat yang salah bahwa perbuatan baik merupakan syarat memperoleh perkenanan dari Tuhan. Akan lebih jelas jika kita melihat bahwa di sini Paulus menumbangkan segala bentuk modal simbolis yang beroperasi secara independen dari Kristus. Dalam hal ini, karunia Kristus tidak memedulikan sunat atau tidak sunat karena keduanya tidak relevan dengan pemberian karunia. Yang terpenting sekarang adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (5:6), karena karunia itu membangkitkan iman dalam tindakan kasih tanpa syarat (2:20), yang energi kreatifnya diteruskan dalam pola perilaku yang diatur oleh kasih (5:14; 6:2).

Galatia 6:11-16

Bagian terakhir yang ingin kita lihat sebelum kita melanjutkan ke artikel berikutnya mengenai relasi karunia, Taurat, dan janji, adalah paragraf terakhir dari surat ini. Di sini ia merangkum tantangannya dengan menghadirkan kembali peristiwa Kristus sebagai peristiwa subversif atas sistem nilai normatif yang berlaku pada saat itu. Dengan kuasa kerasulannya (6:11), Paulus memperingatkan orang-orang Galatia akan motivasi mereka dalam bersunat: untuk “menonjolkan dirinya secara lahiriah” (Ὅσοι θέλουσιν εὐπροσωπῆσαι, 6:12) atau untuk “bermegah atas keadaanmu yang lahiriah” (ὑμετέρᾳ σαρκὶ καυχήσωνται, 6:13). Ia dengan gamblang menyoroti sistem kehormatan di masa itu, di mana tanda-tanda superioritas lahiriah dijadikan objek kebanggaan publik. Dia bukannya memiliki masalah dengan tindakan “membanggakan diri” (Paulus pun “bermegah”, 6:14; lih. 6:4); masalahnya adalah atas dasar apa kita bermegah. Menurut Paulus, segala fenomena sekunder (6:15) bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan, baginya hanya ada satu titik Archimedean yang darinya segala sesuatu harus dinilai, “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (6:14).

Pernyataan luar biasa ini menggemakan pengumumannya akan pemutusan dirinya dari otoritas Taurat (“sebab aku telah mati oleh hukum Taurat”, 2:19). Salib Kristus menghancurkan setiap sistem norma yang teratur, meskipun nampaknya sistem itu tertanam dalam tatanan “dunia” yang tampaknya “alami” (4:3). Salib Kristus mematahkan kesetiaan orang percaya pada gagasan yang telah dibentuk sebelumnya tentang apa yang bernilai, apa yang lebih tinggi, dan apa yang benar. Paulus menjunjung tinggi salib sebagai standar yang dengannya setiap norma dinilai dan setiap nilai direlatifkan. Peristiwa tunggal dan khusus ini memiliki signifikansi universal bukan karena ia mengungkapkan beberapa prinsip kosmos yang abadi dan universal, tetapi karena ia tidak terikat pada sistem pembeda yang telah diperhitungkan sebelumnya.

Kesimpulan

Ketiga bagian di atas akan menjadi dasar ketika kita melanjutkan pembacaan kita akan surat ini, dan memberikan kita ruang untuk mendiskusikan hubungan antara karunia, Taurat, dan perjanjian Allah. Namun satu yang jelas di dalam ketiga bacaan kita di atas, kreativitas luar biasa yang dimungkinkan oleh visi yang diberikan oleh Paulus pada ketiga bagian di atas memampukan kita untuk berkata bersama dengannya, “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (6:15). Seperti dalam 5:6, Paulus mengumumkan ketidakrelevanan sistem taksonomi di mana masyarakat dibagi-bagi dalam istilah hierarkis yang halus. “Antinomi” lama di sini diabaikan setelah hadirnya realitas baru yang telah sepenuhnya menata kembali dunia. Konotasi frasa “ciptaan baru” membentang jauh melampaui pertobatan individu; ciptaan baru ini menunjuk kepada pembaruan kembali kosmik yang ditunggu-tunggu di masa yang akan datang (1:4). Tetapi dalam konteks jemaat Galatia, fokus utamanya adalah kebaruan sosial dalam komunitas yang mengabaikan batas-batas yang mereka miliki sebelumnya dengan mengabaikan sistem nilai lama. “Ciptaan baru” itu acuh tak acuh pada norma-norma regulatif tradisional dan menghasilkan pola-pola baru praktik sosial ketika diterapkan di antara “semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini” (6:16). Dalam konteks ini, komunitas yang baru terbentuk akan memetakan “secara diagonal” segala evaluasi normal akan nilai-nilai normatif. Sehingga, semua ini menunjukkan bahwa bagi mereka yang berbagian dalam “ciptaan baru”, norma yang otoritatif pada akhirnya bukanlah Taurat, melainkan “kebenaran kabar baik” (2:14), yaitu peristiwa Kristus itu sendiri (6:14).

Robin Gui

Pemuda FIRES

Endnotes:

1. Galatia 3:1, terjemahan penulis.

2. “Roh Anak-Nya di dalam hati kita”, 4:6.

3. Anugerah dipahami secara inkongruen berarti Allah selalu merupakan inisiator dan penggerak dalam anugerah ini; lebih lanjut silakan baca “Paulus, Karunia, dan Galatia” (PILLAR Edisi Mei 2021) dan “Paulus, Karunia, dan Galatia (2)” (PILLAR Edisi Juni 2021).

4. Di sini Paulus mengidentifikasikan “Kristus” dengan “karunia”, seakan-akan karunia itu bukanlah kategori yang berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh hubungannya dengan Kristus.