Paulus, Galatia, dan Karunia (6)

Setelah membedah Kitab Galatia, kita dapat melihat bagaimana Paulus memberikan gambaran tentang karunia yang besar. Peristiwa kehadiran Kristus digambarkan sebagai puncak dari karunia Allah. Allah Bapa, dalam kesempurnaan kasih-Nya, menganugerahkan Kristus—Anak-Nya yang tunggal—kepada kita yang tidak layak menerima-Nya, kepada yang “fasik” dan “lalim”. Akibatnya, karena kelahiran Anak ini, seluruh dunia diubahkan secara permanen oleh Allah tanpa memandang tatanan sosial yang ada. Bukan kelas sosial, ras, atau capaian manusia apa pun yang dapat membuat manusia layak di hadapan Allah. Allah membawa sebuah narasi tandingan dari narasi dunia: Dia menghadirkan komunitas tandingan yang berdiri di atas Kristus dan bukannya di atas Taurat ataupun nilai-nilai lain yang dikonfigurasi oleh dunia.

Antitesis antara Daging dan Roh

“Kamu telah dipanggil untuk merdeka” (5:13), kata Paulus mengingatkan jemaat di Galatia akan “panggilan kasih karunia Kristus” yang disorot di bagian awal surat (1:6). Kemerdekaan ini adalah produk dari karya kreatif Tuhan dalam kehadiran Kristus di dunia, namun uniknya kemerdekaan ini bukanlah kemerdekaan yang “mutlak”, “tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam daging” (5:13). Ketika Paulus menyatakan bahwa dirinya dibebaskan oleh Kristus dari sistem penilaian manusia, dia secara bersamaan mengumumkan dirinya sebagai “hamba Kristus” yang hadir nyata dalam dunia (1:10). Jika karunia kehadiran Kristus yang tidak bersyarat menyentak orang percaya dari harapan dan standar nilai mereka, karunia itu pula secara simultan membentuk harapan dan nilai standar baru bagi setiap orang percaya.

Karunia atas kehadiran Kristus lebih jauh memetakan semesta ke dalam antitesis antara “daging” dan “Roh” (3:3; 4:29). Setiap orang Kristen dihadapkan oleh Paulus pada realitas peperangan ini. Di sini, “daging” yang kita lawan tidaklah terbatas pada keinginan fisik semata, namun juga mencakup fenomena sosial dan “religius” (5:19-21). Pada akhirnya, Paulus memberikan label “daging” untuk seluruh ranah aktivitas, kuasa, dan makna di luar peristiwa Kristus dan konsekuensinya yang diciptakan oleh Roh.

Uniknya, di tengah pembahasan mengenai “daging”, Paulus menegaskan bahwa kita tidak lagi “hidup di bawah hukum Taurat” (5:18), dan mengaitkan Taurat ini dengan “daging” (3:3). Di sini Paulus memberikan klaim radikal bagi seseorang dengan latar belakang Yahudi yang kental. Dengan melabeli Taurat sebagai “daging”, Paulus menegaskan letak Taurat dalam lingkup yang belum ditata ulang oleh peristiwa Kristus. Sebagai tandingan Taurat, orang Kristen dituntut untuk memiliki orientasi yang penuh dan eksklusif kepada Kristus; seperti yang ia katakan dalam 6:2, tujuan setiap orang Kristen adalah untuk “memenuhi hukum Kristus”. Orang Kristen dipanggil untuk melihat kehadiran Kristus serta pengaruh-Nya sebagai sumber otoritas yang unik dan nonkontingen. Ketika identitas dan tujuan orang percaya dibentuk ulang oleh kasih yang diwujudkan dalam karunia Kristus, setiap orang percaya dapat “memenuhi” apa yang ada di dalam Taurat. Dengan kata lain, mereka yang disebut Paulus sebagai “orang-orang rohani” (6:1) dibentuk kembali oleh Roh, yang melahirkan kasih dalam bentuknya yang paling penuh sebagai yang pertama dari buah-buah yang dihasilkan oleh Roh (5:22).

Melawan Daging

Antitesis antara “daging” dan “Roh” ini kemudian dikaitkan dengan dunia yang sibuk dengan persaingan, permusuhan, iri hati, dan balas dendam. Sebagai antitesisnya, Paulus memberikan peringatan keras atas kondisi sosial pada masanya, “Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan” (5:15). Peringatan ini bukanlah omong kosong belaka: nafsu akan hormat dapat dengan mudah menghancurkan seluruh komunitas.

Antitesis ini dinyatakan Paulus dengan memberikan penawar atas racun sosial ini. Di satu sisi, orang percaya yang telah direkonstruksi oleh peristiwa Kristus tidak lagi terarah kepada bentuk-bentuk “modal” dunia. Dengan demikian, dasar utama dari persaingan telah kehilangan signifikansinya. Etnis, status, dan jenis kelamin tidak lagi menjadi kriteria nilai yang lebih tinggi (3:28) bagi orang percaya; dan karena “Allah tidak memandang muka” (2:6), maka tidak ada pencapaian tertentu yang membuat seseorang beroleh karunia. Nilai sejati dan satu-satunya bagi orang percaya ditentukan oleh identitasnya “di dalam Kristus”, sebuah pemberian yang diterima, bukan status yang diwarisi atau dicapai. Selain itu, Paulus menegaskan bahwa untuk menghancurkan dominasi racun dunia di dalam komunitas baru ini, etos kerja baru yang diciptakan oleh karunia ini harus ditegakkan. Sebagai contoh, mereka yang “rohani” diberi tanggung jawab sejauh mereka selaras dengan Roh (6:1). Etos kerja baru menjadi sebuah sistem nilai alternatif yang secara khusus ditujukan untuk melawan persaingan dunia: kehormatan terbesar disediakan bagi mereka yang bekerja melawan semangat persaingan dalam pencarian kehormatan! Lebih jauh, Paulus merangkum etos baru ini dalam seluruh ciri “buah Roh” (5:22-23), dan semuanya diarahkan kepada pembangunan komunitas.

Apa yang tertulis dalam daftar panjang “buah Roh” (5:22-23) bukanlah kebajikan individu semata, melainkan karakteristik sosial yang menjaga dan memelihara komunitas orang percaya. Praktik “buah Roh” ini dijabarkan dalam 6:1-10. “Kelemahlembutan” (5:23) diperlukan dalam pemulihan anggota yang melakukan suatu pelanggaran (6:1). “Kasih” (5:22) harus diungkapkan dalam “bertolong-tolongan menanggung beban” (6:2). Setiap orang harus berhati-hati untuk tidak memegahkan pekerjaan mereka di hadapan orang lain (6:3-4), di sini Paulus menekankan “pengendalian diri” (5:23) untuk kepentingan orang lain. “Kebaikan” (5:22) bukanlah kualitas abstrak, melainkan sebuah anjuran konkret untuk “berbuat baik kepada semua orang” (6:10), termasuk bersolidaritas dengan mereka yang mengajarkan firman (6:6). Di mana praktik-praktik ini tampaknya tidak berbalas atau tidak efektif, orang percaya harus bertahan dengan “sabar” (5:22), tidak jemu atau menyerah (6:9). Jadi, buah yang muncul dari kehidupan Roh bekerja dalam negosiasi yang rumit dari hubungan komunal, dalam kualitas perilaku yang dipupuk dari waktu ke waktu. Jika iman bekerja dalam kasih yang demikian (5:6), pastilah iman memiliki implikasi yang lebih luas daripada hubungan individu dengan Kristus.

Roh: Penuhilah Hukum Kristus

Ungkapan mencolok Paulus “jadi penuhilah hukum Kristus” (6:2) telah menyebabkan diskusi yang cukup panjang. Bahasanya menggemakan pembicaraan tentang “menggenapi” Taurat dalam 5:14. Jadi apakah Paulus memikirkan beberapa redefinisi kristologis dari hukum Musa? Atau apakah dia memikirkan hukum baru yang didasarkan pada ajaran Yesus? Ungkapan tersebut mencerminkan kreativitas linguistik Paulus dan kemampuannya untuk menciptakan ekspresi baru. Hubungannya dengan 5:13-14 menunjukkan bahwa apa yang dia maksud dengan “hukum Kristus”, terutama, adalah kasih. Definisi Paulus ini seharusnya tidak mengejutkan kita. Kisah kabar baik adalah kisah tentang seseorang yang “telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita” (1:4) dan yang “mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (2:20). Momentum pemberian Kristus adalah momentum kasih, yang masuk ke kedalaman situasi manusia (3:13; 4:4-5) untuk menyelamatkan dan menebus. Momentum itu diwakili dan dilanjutkan oleh “Roh Anak [Allah]” (4:6), yang buah utamanya adalah kasih (5:22). Dengan kata lain, hidup oleh iman berarti “Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (4:19), dan semua ini memiliki bentuk etika dan sosial tertentu. Orang percaya tidak hanya meniru pemberian Kristus, mengagumi-Nya dari kejauhan sebagai contoh eksternal. Diri dan identitas baru mereka diciptakan oleh-Nya, dan dalam “mengenakan Kristus” (3:27), mereka mendiami tujuan pemberian diri-Nya dalam bentuk kasih yang praktis.

Di sini, seperti di bagian lain dalam surat-suratnya, Paulus memahami bahwa kasih yang paling baik diungkapkan bukan sebagai pelayanan satu arah (memberi tetapi tidak menerima kembali) melainkan dalam hubungan timbal balik: “Karena kasih, jadilah hamba satu sama lain”(5:13) “bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (6:2). Paulus membayangkan komunitas di mana tidak ada seorang pun yang mandiri. Dalam komunitas ini, orang percaya tidak diharapkan untuk menanggung beban mereka sendiri dan juga untuk memikul beban orang lain. Sebaliknya, para anggota akan dengan bebas menanggung satu sama lain dan juga saling menerima tanggungan, sehingga setiap orang saling membantu memikul beban mereka. “Beban” sering kali memiliki, bagi Paulus, nuansa ekonomi (lih. 1Tes. 2:7; 2Kor. 11:9), dan motifnya di sini tidak terbatas pada kesulitan psikologis atau emosional, melainkan juga secara materi di saat krisis. Tujuannya adalah apa yang Paulus sebut “kemitraan” atau “solidaritas” (koinōnia ; lih. Flp. 2:1; 2Kor. 8:4), yang digambarkan di sini dengan pelajar dan pengajar firman yang saling memberi dan menerima, yang “berbagi” dalam segala hal yang baik (6:6). Dalam kondisi saling ketergantungan seperti itu, gesekan pasti akan muncul, dan kasih yang besar diperlukan untuk menjaga agar kebaikan tetap mengalir ke segala arah. Kasih dengan demikian bukan berarti pengorbanan diri dalam arti meniadakan diri sendiri demi orang lain dan tidak mengharapkan apa pun kembali; seperti Kristus, yang pada akhirnya tidak dilenyapkan dalam pemberian diri-Nya: Dia menyerahkan diri-Nya kepada kedalaman kondisi manusia sehingga setiap manusia dapat menikmati berkat dan hidup, bukan sebagai ganti Dia atau tanpa Dia, melainkan di dalam Dia dan bersama Dia (2:20; 3:14).

Karunia Kristus dengan demikian masuk ke dalam hubungan manusia, melalui pekerjaan Roh, melengkapi pola-pola baru hubungan sosial di mana orang tidak lagi diperlakukan dengan mengacu pada hierarki nilai lama (yang telah dilampaui oleh karunia Kristus), atau dengan persaingan memperebutkan kehormatan. Komunitas yang baru ini adalah komunitas yang bertentangan dengan konfigurasi normal, karena mereka dilepaskan dari kriteria tipikal di mana nilai didistribusikan dan diakui secara berbeda. Meskipun instruksi Paulus hanya memberikan garis besar etos komunal baru, semua instruksi ini berguna dalam pembentukan komunitas di mana peristiwa Kristus memiliki efek transformatif.

Hidup sebagai Ciptaan Baru

Paragraf terakhir Surat Galatia ditulis Paulus dengan penekanan yang sangat personal (6:11), merangkum tantangannya dengan sekali lagi menghadirkan peristiwa Kristus sebagai peristiwa subversif dari sistem nilai normatif. Di sini menjadi jelas bahwa Paulus menempatkan krisis Galatia yang partikular di atas kanvas yang sangat luas, di mana peristiwa Kristus menghancurkan sistem makna yang membentuk “dunia” (6:14). Yang dipermasalahkan bukan hanya penerapan praktik Yahudi ini atau itu, tetapi kapasitas karunia Kristus untuk menata ulang dan mengarahkan kembali seluruh kehidupan dengan logika yang menantang setiap atribusi nilai lainnya.

Paulus memperingatkan jemaat Galatia “yang secara lahiriah suka menonjolkan diri” (6:12) atau yang “bermegah atas keadaan yang lahiriah (daging)” (6:13). Dia menghardik mereka dengan mempertanyakan “modal simbolis” mereka. Bagi Paulus, mereka yang bersikeras dengan sunat sedang berinvestasi dalam hal yang salah. Mereka dianggap memberi arti penting kepada sesuatu yang, dalam terang peristiwa Kristus, “tidak ada artinya”. Keadaan yang tidak disunat tidak secara inheren lebih baik: tidak ada keadaan lahiriah yang diperhitungkan pada akhirnya (6:15; lih. 5:6). Apa yang telah meruntuhkan nilai-nilai yang diberikan oleh orang Yahudi dan orang Yunani adalah peristiwa yang telah mengalibrasi ulang setiap norma budaya.

Kita perlu berhenti sejenak di sini untuk menekankan bahwa Paulus tampaknya tidak menyerang “sunat”, seolah-olah hak pilihan setiap pribadi adalah masalah baginya. Dia mengharapkan orang percaya untuk “berjalan” dengan “hukum” ciptaan baru. Dia tidak sedang berbicara mengenai upaya manusia untuk memperoleh keselamatan dengan mengandalkan diri sendiri, karena Paulus mendiskontokan baik sunat dan tidak disunat (5:6; 6:15). Paulus juga bukan membicarakan permasalahan “imperialisme nasionalistis” yang “membatasi” perjanjian hanya untuk orang Yahudi, seperti yang disarankan oleh beberapa orang dalam “Perspektif Baru”. Sekali lagi, mengapa Paulus mengabaikan sunat juga? Tampaknya sasaran Paulus bukanlah etnosentrisme atau pendapat yang salah bahwa perbuatan baik dapat memperoleh manfaat dari Tuhan. Menurutnya, kekuatan kabar baik adalah untuk menumbangkan segala bentuk modal simbolis yang beroperasi secara independen dari Kristus: “Aku [telah disalibkan] bagi dunia” (6:14).

Disalibkan bagi dunia bukanlah untuk menjelek-jelekkan alam atau merendahkan ciptaan (seperti yang dipikirkan Marcion), tetapi untuk menyatakan bahwa tidak ada apa pun di dunia ini, baik yang dibangun secara alami maupun oleh peradaban tertentu, yang nilainya dapat dibandingkan dengan peristiwa Yesus Kristus, yang merupakan asal dari semua makna dan nilai. Bahasa “penyaliban” (lih. 3:1) merupakan istilah brutal (lih. 1Kor. 1:18-25) yang sengaja dipilih oleh Paulus. Penyaliban adalah bentuk kematian yang melambangkan kebalikan dari apa yang dianggap bermartabat dan mulia. Dalam bentuk (sebagai hadiah tanpa syarat), dalam konten (sebagai kematian), dan dalam mode (dalam rasa malu penyaliban), salib Kristus mematahkan kesetiaan orang-orang percaya pada gagasan yang sudah ada sebelumnya tentang apa yang terhormat, beradab, dan pantas. Peristiwa tunggal dan khusus ini memiliki signifikansi universal karena tidak terikat pada sistem pembedaan yang telah diperhitungkan sebelumnya. Ini adalah peristiwa radikal tanpa syarat.

Kebanggaan dalam pengumuman kematian Kristus (6:14) akan menjadi paradoks yang tak tertahankan jika bukan karena fakta bahwa justru dalam kematian inilah muncul kreativitas Tuhan. “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (6:15). Para ahli terus memperdebatkan apa yang dimaksud Paulus di sini dengan “ciptaan baru” (lih. 2Kor. 5:17). Apakah dia berbicara tentang pemulihan individu, seperti yang dia katakan sebelumnya mengenai dirinya sendiri, “Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (2:20)? Atau apakah yang dia maksudkan adalah “ciptaan baru” dalam skala kosmis, sebagai pengaturan ulang dan penciptaan kembali semua realitas oleh Allah, yang berbeda dengan “dunia jahat yang sekarang ini” (1:4)? Ungkapan Paulus mungkin dapat bergema di seluruh spektrum ini. Namun yang lebih pasti, Paulus mencoba menekankan komunitas baru yang diatur oleh “aturan” ini (6:16). Jika ciptaan baru itu acuh tak acuh terhadap norma-norma regulatif tradisional, ia menghasilkan pola-pola baru dari keberadaan sosial, komunitas-komunitas baru yang memetakan arah “secara diagonal” dari evaluasi nilai yang normal (tidak selaras atau bertentangan karena diatur ulang dalam orientasi yang sama sekali berbeda). Guncangan ciptaan baru ini dimulai dengan kebangkitan kembali setiap individu orang percaya, dan juga mengarahkan kembali setiap individu ini dalam sebuah komunitas orang percaya, yang dituntut untuk menemukan pola perilaku baru yang sejalan dengan kebenaran kabar baik (2:14).

Berkat dan Panggilan

Paulus menutup surat ini dengan berkat “kasih karunia” (6:18). Berkat ini membentuk padanan simetris dengan berkat yang dia letakkan pada pembukaan Surat Galatia (1:3). Namun berkat ini bukan sembarang berkat. Berkat ini mengajak kita untuk melihat kembali surat ini sebagai refleksi Paulus mengenai situasi Galatia pascakarunia-Kristus—peristiwa yang telah mengubah kondisi setiap realitas.

Bagi Paulus, berkat yang dia berikan hanya diperoleh atas dasar inkongruensi karunia dalam peristiwa Kristus dan dialami dalam Roh. Berkat ini pula mensyaratkan “panggilan” bagi setiap orang percaya. Setiap orang percaya akan dimampukan dan dikuatkan oleh kehadiran dan kuasa Roh, namun kuasa ini berkondisi. Kondisinya bukan terletak pada kriteria si penerima, karena tidak ada kriteria yang membatasi anugerah, baik negatif maupun positif. Namun dikatakan berkondisi karena karunia ini hanya diberikan di dalam Kristus, dan memanggil setiap orang yang ditransformasikan oleh karunia ini untuk berbagian aktif dalam mengonfigurasi nilai sebelumnya, dan menumbangkan norma-norma budaya lama sebagai pola-pola misi baru. Lebih jauh, berkat ini memanggil kita untuk mengonfigurasi ulang sejarah, dengan menyelaraskannya kembali dengan suara Kitab Suci, dan menciptakan komunitas baru di lanskap dunia tempat kita berada.

Keseluruhan seri artikel ini ingin menunjukkan bahwa Surat Galatia telah berulang kali mencengkeram imajinasi radikal Kristen karena suatu alasan: iman kita mengharuskan kita menyelaraskan segala realitas dengan peristiwa tunggal Kristus dan karunia yang menciptakan dan memberikan nilai-nilai yang baru. Dengan semua ini, Paulus menyatakan dengan gamblang bahwa karunia Kristus telah membentuk suatu rezim baru yang tidak bisa tidak diekspresikan dalam pembentukan komunitas-komunitas tandingan untuk menyebarkan karunia Kristus lebih jauh. Tugas kitalah selanjutnya untuk membawa karunia ini dalam komunitas-komunitas tandingan dan mengonfrontasi dunia yang hidup dalam daging dengan kasih dan setiap buah Roh Sang Anak. “Kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus menyertai roh kamu, Saudara-saudara! Amin” (Gal. 6:18).

Robin Gui

Pemuda FIRES