R.A. Kartini merupakan sosok wanita yang sangat berpengaruh di Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, Kartini telah menginspirasi wanita-wanita pada zaman setelahnya untuk tidak tunduk kepada tekanan tradisi yang tidak benar. Seorang wanita seharusnya tidak hanya dipingit, menikah, dan melahirkan anak saja, namun juga berhak mengenyam pendidikan dan mengekspresikan pendapatnya. Tulisan-tulisannya membuat dirinya dikenang sebagai role model dalam kesetaraan gender di Indonesia.
Sebagai orang Kristen, kita juga memiliki banyak role model yang Tuhan telah bangkitkan untuk memberikan pengaruh dalam zamannya. Mulai dari Hawa, para bidan di zaman Musa, Ratu Ester, hingga Maria, ibu Yesus. Alkitab menunjukkan bahwa Tuhan bisa memakai wanita, seperti halnya Ia memakai pria, dalam melaksanakan rencana-Nya. Salah satu contohnya, kemenangan Kristus dinubuatkan melalui “keturunan perempuan” (Kej. 3:15), dilanjutkan oleh bangsa Israel yang dipanggil oleh nabi yang diselamatkan dari pembunuhan (Kel. 1:16-21), yang terus dijaga dari antara bangsa-bangsa yang besar, hingga akhirnya seorang perawan muda melahirkan Yesus. Dalam menggenapi rencana-Nya, semua manusia setara di hadapan Tuhan.
Seperti halnya Tuhan menganggap wanita setara dengan pria, Paulus pun menganggap wanita sebagai rekan kerjanya yang setara. Sebagian kaum feminis menganggap Paulus sebagai misoginis, yaitu orang yang memiliki pandangan rendah terhadap wanita. Argumen ini mungkin muncul dari interpretasi tulisan Paulus di dalam 1 Korintus. Apakah benar demikian? Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca menelusuri pemikiran Paulus tentang wanita dan cara Paulus memperlakukan wanita.
Konteks Sejarah
Untuk mengetahui signifikansi peran wanita dalam pelayanan Paulus, kita akan melihat budaya dan pandangan sosial terhadap pria dan wanita pada zaman Paulus hidup.
Paulus (atau Saulus dalam bahasa Ibrani) hidup dalam zaman penjajahan Romawi terhadap bangsa Yahudi. Meskipun demikian, orang Yahudi diberikan kekhususan oleh Kerajaan Romawi. Di satu sisi, orang-orang Yahudi masih diizinkan untuk tinggal di daerah mereka sendiri (Yudea dan sekitarnya) dan melakukan ritual agamanya. Josephus, seorang sejarawan Yahudi mengatakan bahwa Kekaisaran Romawi membuat kebijakan yang mengecualikan orang-orang Yahudi dari ritual agama yang dianut orang Roma. Di sisi lain, banyak dari mereka tinggal tersebar di daerah jajahan Romawi (diaspora). Para orang Yahudi ini tinggal dalam kota-kota penting pada masa itu, yang sebagian dari mereka dikunjungi Paulus dalam pelayanannya.
Orang-orang Yahudi pada masa Paulus terpengaruh dengan budaya Helenistik. Meskipun mereka masih beribadah kepada Yahweh dan masih memegang teguh Taurat, penundukan Yerusalem di bawah Romawi mengakselerasi pertukaran budaya antara orang Romawi dan orang Yahudi. Gimnasium dan pertandingan gulat, yang merupakan salah satu kebiasaan orang Romawi, bahkan “diberkati” oleh imam Yahudi. Bangunan-bangunan baru yang dibangun di daerah Yudea pun mulai mengikuti corak Greco-Roman.
Bisa dikatakan, orang-orang Yahudi pada zaman Paulus memegang pandangan patriarkat terhadap perempuan. Secara tradisional, menurut Ilan (2007), para rabi membedakan strata antara pria Yahudi dan wanita Yahudi. Wanita dianggap sebagai kelompok “sampingan”, sementara laki-laki dewasa hanya “satu tingkat di bawah Yahweh”.1 Wanita dianggap berada dalam satu kelompok yang sama dengan para budak dan orang-orang Samaria, dan secara umum dianggap lebih rendah jika dibandingkan dengan pria. Tugas-tugas khusus untuk para wanita yang dijabarkan dalam Mishnah, seperti penyajian hallah (roti tak beragi), menjaga hukum yang terkait dengan siklus menstruasi, dan menyalakan lilin saat Sabat, dianggap sebagai “hukuman” kepada keturunan Hawa, bukan perintah dari Tuhan.
Selain itu, perintah Perjanjian Lama untuk tidak menikah dengan orang-orang Kanaan (Kel. 34:11-16; Ul. 7:1-3) diterjemahkan menjadi pelarangan pernikahan antara Yahudi dan non-Yahudi, apalagi jika pihak wanita adalah orang Yahudi. Ketika orang-orang Yahudi tunduk kepada Roma, terjadi pergeseran nilai ini. Menurut Josephus, seorang sejarawan Yahudi dari keturunan imam, orang Yahudi bisa menerima pria non-Yahudi masuk menjadi penganut Yudaisme melalui sunat. Namun, wanita non-Yahudi tidak bisa menjadi orang Yahudi, kecuali melalui pernikahan dengan pria Yahudi.
Pandangan dari para rabi ini agak mirip dengan pandangan sosial terhadap wanita dari perspektif Romawi. Seorang wanita Romawi pada zaman tersebut tidak boleh memegang jabatan publik. Selain itu, wanita lebih dipersiapkan untuk pernikahan dan menjadi ibu. Tidak heran, hukum Romawi sendiri mengizinkan pernikahan paling cepat dengan wanita berusia dua belas tahun. Setelah menikah, sang wanita diharapkan untuk tetap setia dan tunduk kepada suaminya, dan diharapkan hanya berhubungan badan dengan suaminya. Di sisi lain, adalah hal lumrah untuk sang suami berhubungan badan dengan wanita-wanita lain. Meskipun mereka dipandang agak lebih rendah dan lebih banyak mengurus rumah tangga, wanita di zaman Romawi bisa memiliki properti, menjalankan bisnis, menulis wasiat, dan berbicara dalam persidangan. Pandangan sosial tersebut memengaruhi posisi wanita dalam pelayanan Paulus.
Wanita sebagai Rekan Kerja dalam Pelayanan
Dalam semua tulisannya, Paulus menyebutkan tujuh belas wanita. Identitas dari sebagian nama-nama yang disebut Paulus, seperti Kloë (1Kor. 1:11) memang tidak terlalu jelas, karena tidak banyak informasi yang bisa digali dari tulisan Paulus. Di sisi lain, Paulus menyebutkan dua wanita dengan deskripsi yang cukup mendetail. Kedua wanita tersebut berperan sebagai rekan kerja penting dalam pelayanannya.
Priskila
Priskila adalah istri dari Akwila, salah satu jemaat Yahudi yang ditemui Paulus di Korintus ketika singgah di rumah mereka (Kis. 18:2-3). Pekerjaan mereka sama dengan Paulus (pembuat tenda), dan mereka terpaksa meninggalkan Italia (Roma) karena Kaisar Klaudius mengusir orang-orang Yahudi dari Roma. Mereka berperan signifikan dalam pelayanan Paulus. Mereka mengizinkan rumah mereka digunakan Paulus sebagai tempat tinggal ketika Paulus ada di Korintus, Roma, dan Efesus, hingga mempertaruhkan nyawa mereka (Rm. 16:3-4). Priskila dan Akwila juga berperan dalam mengoreksi ajaran Apolos di Efesus (Kis. 18:24), salah satu orang yang berpengaruh di gereja Efesus.
Yang menarik, ketika nama Priskila dicatat dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus, nama Priskila selalu mendahului nama Akwila (Kis. 18:18-19; Rm. 16:3; 2Tim. 4:19). Meskipun ada theolog-theolog tertentu yang berspekulasi bahwa Priskila memiliki status sosial yang lebih tinggi, atau pengaruh yang lebih dalam dalam pelayanan Paulus, hal-hal ini tidak dicatat secara eksplisit dalam Alkitab. Yang pasti, dengan menyebutkan Priskila dan Akwila dalam berbagai surat, Paulus menganggap mereka sebagai rekan kerja yang penting.
Febe
Paulus sendiri tidak “menanam” gereja di Roma. Meskipun demikian, Paulus pernah dibawa ke Roma untuk menjalani waktu sebagai tahanan (Kis. 27-28) dan berkhotbah di dalam tahanan. Hal ini dilakukannya sebelum melakukan perjalanan terakhir ke Roma, yang tercatat dalam 2 Timotius. Dalam Roma 16, tercatat beberapa nama yang ada dalam salamnya. Salah satu dari nama tersebut adalah Febe.
Febe adalah seorang pelayan (diaken) gereja di Kengkrea, sebuah desa yang dekat dengan Korintus. Paulus memperkenalkannya kepada jemaat di Roma dan mendorong jemaat untuk “menyambut dia dalam Tuhan, sebagaimana seharusnya bagi orang-orang kudus,” karena “ia sendiri telah memberikan bantuan kepada banyak orang, juga kepadaku sendiri.” Sebagai diaken, Febe tidak mengajar, berkhotbah, ataupun berperan sebagai pengambil keputusan di Gereja Mula-mula. Ia lebih banyak berperan dalam memperhatikan kebutuhan jemaat, khususnya bagi para wanita (janda), yang sakit dan miskin, serta para jemaat baru. Selain itu, ada kemungkinan Febe jugalah yang membawa surat Paulus ke jemaat di Roma. Dengan menggunakan statusnya sebagai wanita bajik (dari kata prostates yang digunakan pada Rm. 16:2), ia membantu jemaat-jemaat di Kengkrea, sebuah desa yang cukup sering dilalui oleh para pendatang.
Pelayan yang Sama, Bukan Inferior
Dari kedua contoh wanita di atas, terlihat bahwa Paulus menghormati wanita selayaknya ia menghormati pria. Dalam pelayanannya, ia menganggap wanita sebagai rekan kerja pelayanan yang penting. Paulus mengizinkan para wanita tersebut menggunakan talenta mereka dalam pelayanan Gereja Mula-mula. Ia juga tidak memandang wanita sebagai “kelompok yang lain”, selayaknya para rabi dan orang-orang Farisi, dan juga tidak “mengungkung” wanita dalam peran hanya dalam urusan dapur, seperti layaknya orang-orang Romawi. Walaupun Paulus memang lebih banyak berkorespondensi dan beraktivitas bersama dengan pelayan-pelayan pria, seperti Apolos, Petrus, dan Timotius, tidak terbayang kesulitan yang Paulus alami dalam menyebarkan Injil jika wanita seperti Priskila dan Febe tidak ditempatkan Tuhan dalam pelayanan Paulus.
Selain dari kedua contoh wanita tersebut, bagaimana dengan 1 Korintus 11:3-16? Sebagian feminis berpendapat bahwa ketika Paulus mengatakan batasan-batasan tentang penggunaan tudung dan “perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki” (1Kor. 11:7), ia bertindak sebagai misoginis. Dengan kata lain, Paulus seolah-olah mendorong wanita untuk tunduk kepada laki-laki.
Pembacaan perikop tersebut dengan pandangan “Paulus sebagai misoginis” sebenarnya bermasalah. Perlu diketahui bahwa dalam waktu Surat 1 Korintus ditulis, rambut memiliki simbol penting dalam ibadah dan dalam posisi seseorang dalam bermasyarakat. Pria Romawi yang berambut panjang membiarkan rambutnya tergerai ke depan ketika beribadah kepada dewa-dewa pagan. Di sisi lain, bagi wanita, rambut adalah sebuah mahkota keindahan (1Kor. 11:15). Penggunaan tudung menunjukkan penundukan wanita kepada seorang laki-laki, baik suami maupun ayahnya. Jika wanita membiarkan rambutnya yang panjang tergerai, itu menandakan bahwa ia tidak menikah. Hal ini lebih mirip dengan penggunaan cincin kawin sebagai tanda sudah menikah. Selain itu, budaya waktu itu juga menganggap wanita berambut pendek kurang indah. Oleh karena itu, Paulus lebih menekankan tentang norma grooming seorang wanita dan seorang pria pada waktu itu, dan seorang Kristen sudah selayaknya bertindak sedemikian rupa (1Kor. 11:14-16). Sulit untuk menyimpulkan bahwa Paulus adalah misoginis dari perikop tersebut, kecuali kita mereduksi konteks perikop tersebut dengan membacanya menggunakan kacamata feminis ekstrem abad ke-21.
Wanita, seperti pria, adalah pelayan yang sama di hadapan Allah. Memang Tuhan melakukan pembedaan peran pria dan wanita. Namun demikian, Tuhan tidak membedakan derajat pria dan wanita. Dalam pelayanannya, Paulus menunjukkan hal itu baik dalam pemikiran maupun tindakannya. Inilah bentuk emansipasi wanita pada Gereja Mula-mula. Semangat inilah yang diteruskan oleh orang-orang percaya kepada orang-orang Eropa, yang kemudian menginspirasi R.A. Kartini untuk memperjuangkan hal yang sama di abad ke-19.
Penutup
Melalui pembahasan ini, kita perlu sama-sama belajar bahwa pelayanan yang Tuhan berikan kepada gereja adalah pelayanan yang tidak memandang bulu. Gender seharusnya tidak menjadi pembatas di dalam seseorang melayani, begitu juga dengan hal-hal lahiriah seperti suku ataupun ras. Semua itu seharusnya kita pandang sebagai keberagaman yang Tuhan anugerahkan kepada manusia, bahkan sebagai aspek yang melengkapi kita di dalam menjalankan panggilan kita di dalam dunia ini. Walaupun tradisi Reformed lebih mengutamakan pria di dalam hal kepemimpinan, hal ini bukanlah merupakan sebuah diskriminasi. Hal ini dipegang berkaitan dengan natur atau ordo yang Tuhan sudah berikan sejak penciptaan manusia, di mana pria ditempatkan sebagai pemimpin keluarga. Namun seorang pria tidaklah dapat memimpin jikalau seorang wanita tidak hadir sebagai penolong yang sepadan baginya. Sehingga keberadaan pria dan wanita baik dalam keluarga maupun dalam pelayanan merupakan natur yang Tuhan sudah berikan untuk kita hargai dan kita berdayakan sebagai aspek yang penting di dalam keutuhan menjalankan panggilan Tuhan. Kiranya melalui artikel ini, kita semua dapat menghargai peranan baik pria maupun wanita di dalam Kerajaan Allah.
Alvin Natawiguna
Pemuda GRII Kebon Jeruk
Sumber:
- The Gospel to the Nations: Perspectives on Paul’s Mission. 2000. InterVarsity Press. Diakses melalui https://cbmw.org/2000/06/06/women-in-the-pauline-mission pada 30 April 2021.
- Ilan, Tal. The Woman as “Other” in Rabbinic Literature. Pada Jewish Identity in the Greco-Roman World: Ancient Judaism and Early Christianity. 1 Jan 2007. Brill. Diakses pada 30 April 2021.
- Schwartz, Daniel R. Doing Like Jews or Becoming a Jew? Josephus on Women Converts to Judaism. Pada Jewish Identity in the Greco-Roman World: Ancient Judaism and Early Christianity. 1 Jan 2007. Brill. Diakses pada 30 April 2021.
- ESV Study Bible. 2008. Crossway.
Endnotes:
- Perlu diperhatikan bahwa pandangan ini didasarkan pada interpretasi Perjanjian Lama, ditambah dengan interpretasi terhadap Mishnah dan Talmud.