Predestinasi

Dalam kisah Acong dan Bohuat di edisi sebelumnya, saya pernah menemukan diri saya di posisi Acong. Waktu itu saya berumur sekitar 12, dan untuk pertama kalinya mendengar bahwa Allah memilih orang yang diselamatkan dan ada yang tidak diselamatkan. Suatu “pengalaman pertama” yang mungkin tidak pernah dialami oleh kebanyakan penulis artikel di Buletin PILLAR, yang dari bayi sudah mendengar suara Pdt. Dr. Stephen Tong (paling tidak, waktu menerima baptisan anak). Pada waktu itu, ibadah GRII diadakan di gedung Granadha, yang sekarang menjadi Mal Semanggi, tapi masih mempertahankan bundarannya yang khas. Saya mendengar pelajaran predestinasi itu di kelas Sekolah Minggu Pra-Remaja, yang terletak di luar gedung tetapi dinaungi atap ala piring terbang. Begitu kelas selesai, saya mulai menghadirkan api neraka di telinga guru Sekolah Minggu saya. “Kalau Tuhan pilih siapa yang diselamatkan, berarti Tuhan jahat dong? Benar? Tuhan jahat?” Guru saya berjalan berkeliling, memutari seluruh gedung itu, dan sepanjang rute itu saya ada di sebelahnya, menyodokkan suara cempreng nan melengking masuk ke telinganya, tanpa henti, tanpa memberi kesempatan untuk dia bicara, karena parah amat guru Sekolah Minggu saya ini, mengajarkan bahwa Tuhan itu jahat! Tidak usah ditanya lagi, saya tidak mau mendengarkan orang berdosa semacam ini. Saya tahu, Tuhan itu baik.

Perlu waktu yang sangat lama untuk saya berdamai dengan Doktrin Predestinasi. Saya tidak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi dengan guru tadi, sejujurnya saya juga tidak ingat lagi siapa dia (mohon maaf sebesar-besarnya, pak guru, dan saya harap ingatan saya benar bahwa engkau laki-laki). Hal yang berikutnya saya ingat, terjadi kira-kira 6-7 tahun kemudian di dalam sebuah grup Pendalaman Alkitab, di mana seorang perempuan bule bertanya kepada seorang mahasiswa berkumis tentang Predestinasi. Pertanyaannya adalah, “Jikalau kita sudah ditentukan untuk diselamatkan atau tidak, bukankah hal itu berarti kita sama saja seperti robot?” Pak kumis menjawab, “Anggap saja begitu. Coba bayangkan, engkau membuat robot. Kemudian robotmu error, tidak taat kepadamu, melawan engkau, sampai akhirnya robot itu berjalan dengan buta ke tengah jalan yang ramai. Sebuah mobil akan menabraknya sampai hancur. Maukah engkau mengorbankan nyawamu untuk menyelamatkan robot itu?” Si bule menggeleng. Pak kumis melanjutkan, “Pasti tidak. Tetapi itu yang Tuhan kerjakan untuk kita, robot-robot pemberontak. Ia melemparkan badan-Nya ke depan mobil itu dan menanggung kematian yang sepantasnya kita terima.” Penjelasan Predestinasi itu sangat mengena, dan saya mendengarkannya dengan terpesona. Predestinasi tidak mengurangi kebaikan Allah.

Ngomong-ngomong, terima predestinasi atau tidak, semua orang Kristen sejati tahu, keselamatan hanyalah oleh anugerah. Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa menyadari keberdosaannya,[1] betapa adil dan pantas ia dihukum selamanya, dan juga mengetahui betapa besarnya kemurahan hati dan belas kasihan Allah dalam Yesus Kristus (Jika Anda tidak tahu itu, silakan hubungi Alkitab Anda. Selain bagian daftar isi, kamus, dan peta, seluruh Alkitab banjir dengan anugerah). Anugerah memiliki dua sisi yang berlekatan, seperti sebuah koin dengan dua wajahnya. Tidak ada koin yang hanya memiliki satu sisi. Di satu sisi, kita sangat bersyukur jika ada orang yang diselamatkan. Malaikat-malaikat di sorga, yang saya bayangkan adalah makhluk-makhluk paling cool di seantero jagat raya, bersorak-sorai ketika ada satu orang berdosa bertobat.

Di sisi lain, anugerah bukan hak kita. Tidak ada seorang pun yang berhak menuntut keselamatan atas dasar apa pun. Seseorang yang sudah menjadi pengkhotbah KKR Regional, mengusir setan, dan membuat mujizat dari pagi sampai malam pun tidak berhak menuntut keselamatan. Mat. 7:22-23 mencatat hal ini. Banyak orang akan lebih bahagia seandainya Mat. 7:22-23 digunting saja dari Alkitab. Yaah, saya harus mengabarkan berita buruk ini kepada orang-orang itu: sekalian saja buang seluruh Alkitabmu.

Sekali lagi, anugerah memiliki dua sisi ini, bersama-sama. Saya kira di sinilah letak masalah kita: kita hanya mau sisi yang satu, tetapi tidak yang lain. Hal berikutnya yang saya pelajari dengan susah payah yang jauh lebih besar, adalah: Predestinasi tidak mengurangi kebebasan (baca: tanggung jawab) manusia. Ya, saya tahu, biasanya orang bermasalah dengan ide Predestinasi, karena menganggap Predestinasi mengurangi kebebasan manusia. Di sini saya akan meminta tolong pada seorang Reformator, John Calvin.

Calvin sangat menghargai kebebasan sejati manusia. Dalam mahakaryanya, Institutio, ia mengatakan, kebebasan itu telah dibayar Kristus dengan harga sangat tinggi, bukan emas atau perak, melainkan darah-Nya sendiri; oleh karena itu, janganlah kita memandang rendah sesuatu yang dihargai Kristus demikian besar.[2] Banyak orang mungkin heran membaca hal ini, karena mengecap Calvin sebagai tiran. Paling tidak, Predestinasi masuk ke pengakuan iman gereja-gereja Reformed karena pengaruh Calvin, menurut Herman Bavinck. Jadi, bagaimana Calvin yang sama mengajarkan Predestinasi sambil menjunjung tinggi kebebasan manusia? Hal ini dimungkinkan oleh sesuatu hal yang perlu kita pelajari dalam pemikiran Calvin, yang disebut Ford Lewis Battles sebagai Struktur Antitesis.
Struktur Antitesis ini menolong orang untuk menghindari dua ekstrem yang saling berseberangan tetapi sama-sama salah, dan menjalani apa yang disebut via media, jalan tengah. Jalan tengah ini bukanlah kompromi, melainkan suatu pergerakan menghindari kedua ekstrem tersebut. Via media bukan sesuatu yang mudah, seperti kompromi atau jalan pintas. Jauh lebih mudah untuk melompat dari satu ekstrem ke ekstrem berikutnya. Misalnya, seseorang yang sedang belajar masak, akan mengalami ekstrem memasukkan terlalu banyak garam. Pada kali berikutnya, ketika ia mencoba meninggalkan ekstrem tersebut, mungkin sekali ia akan jatuh ke ekstrem berikutnya, yaitu memasukkan kurang banyak garam. Tetapi begitulah cara kita belajar, yaitu dengan menghindari kedua ekstrem tersebut. Apakah terlalu asin atau terlalu tawar, asal kita terus belajar, semuanya jauh lebih baik daripada tidak pernah masuk dapur sama sekali. 

Nah, dalam berurusan dengan Predestinasi, apakah contoh pasangan ekstrem yang dapat kita temukan? Ekstrem pertama adalah hanya berpegang pada kedaulatan Tuhan, sehingga meniadakan tanggung jawab manusia. “Oh, orang itu baunya aja sudah bau neraka, sudah, jangan urusi dia lagi.” Atau, “Saya selalu gagal taat sama Tuhan. Pasti karena saya sudah dipredestinasikan untuk tidak selamat. Sudahlah, biar saya sekalian rusak saja. Capek ah! Tuhan jahat.” Atau, yang paling parah, “Saya mah sudah pasti selamat! Tidak usah kerja keras juga Jesus loves me.”

Ekstrem kedua adalah hanya berpegang pada kebebasan manusia, sehingga meniadakan kedaulatan Allah. Misalnya, “Orang seperti saya tidak mungkin bisa dipakai Tuhan dalam pelayanan. Tuhan sanggup melakukan banyak hal tetapi untuk hal ini saya yakin Dia tidak mampu melakukannya.” Atau, “Kamu bisa hidup baik-baik! Kamu cuma kurang tekad saja! Ayo, semangat! Pasti bisa kalau mau! Buktinya saya bisa kok!” Atau, waktu pelayanan, “Keselamatan orang itu tergantung pada saya. Jangan sampai orang itu tidak selamat gara-gara saya.” 

Seperti sedang belajar memasak, semua ekstrem itu mungkin sekali akan kita alami, jika kita belajar bertumbuh dalam Tuhan. Yang benar adalah, kedaulatan dan kebaikan Tuhan tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Dan hal itu bisa kita lihat dari hidup Calvin sendiri. Ia adalah seorang pekerja keras, tidak pernah punya banyak waktu untuk berbuat dosa. Untuk makan saja, ia sering hanya makan satu kali dalam sehari, karena begitu banyaknya tanggung jawabnya. Ia berkhotbah sepuluh kali setiap dua minggu, dalam Konsistori memerhatikan praktik kehidupan seluruh jemaat di Jenewa, membesuk mereka supaya mereka mengerti apa itu Perjamuan Kudus, berkorespondensi dengan orang kecil maupun penguasa, menolong Dewan Kota dalam formulasi Undang-Undang (misalnya berkaitan dengan usaha percetakan), keluar masuk berbagai konflik gereja, menghasilkan banyak tulisan yang memiliki signifikansi sampai hari ini. Tetapi ketika ia membicarakan mengenai anugerah Allah dalam Kristus, satu-satunya kesan yang muncul adalah kekaguman, betapa besarnya anugerah itu, betapa besarnya dosanya, seakan-akan ia adalah pemabuk, pezinah, pembunuh, bidat, dan koruptor dijadikan satu. Calvin mengajarkan pentingnya menyadari dosa, tetapi ia juga mengajarkan pergerakan dari hanya melihat dosa kepada melihat kepada Yesus Kristus. Ia katakan, pandanglah dengan kedua matamu kepada anugerah Allah. Tidak penting seberapa besarnya dosamu, seberapa sedihnya perasaanmu, seberapa banyak air mata yang engkau tumpahkan; yang penting, pandanglah kepada anugerah Allah. Predestinasi bukan hal ringan untuk dicerna. Mari kita terus belajar kebenaran, berusaha mengerti sejauh apa yang Tuhan sudah wahyukan kepada kita, dan tidak berpuas diri dengan apa yang sudah kita capai sejauh ini. Mari kita belajar dengan dua mata memandang kepada Tuhan yang sama, yang mengerjakan karya-Nya dalam hidup John Calvin.

Ev. Tirza Rachmadi
Pembina Remaja GRII Karawaci

Endnotes:
[1] Saya mengasumsikan pembaca saya tidak mencakup bayi atau yang tidak bisa membaca.
[2] The Institutes of Christian Religion 3.19.14.