“Siapakah manusia?” merupakan pertanyaan yang terus digumulkan oleh manusia di sepanjang sejarah. Pertanyaan ini muncul karena manusia sadar bahwa dirinya ada dan sadar bahwa dirinya adalah manusia. Namun, makhluk apa sesungguhnya manusia itu? Setiap zaman memiliki pertanyaan dan jawaban yang berbeda. Dalam artikel ini kita akan menilik bagaimana perkembangan pemikiran manusia tentang manusia itu sendiri. Pemikiran humanisme modern, dengan penafsiran rasionalnya, sebenarnya dimulai sejak abad ke-14, namun dalam artikel ini penulis akan memulai pembahasan dari Abad Pencerahan (abad ke-18) yang dianggap sebagai puncak dari humanisme modern, sampai postmodern hari ini.
Di zaman sebelum Abad Pencerahan, gagasan tentang apakah atau siapakah manusia itu secara dominan dipengaruhi oleh theologi atau agama yang memiliki gagasan eksklusif mengenai humanisme. Namun, memasuki abad ke-18, gagasan humanisme dari agama bersama dengan negara dianggap terlalu eksklusif dan memonopoli kebenaran, sehingga saat itu humanisme sekuler mulai menarik perhatian dan mulai mengambil tempat agama sebagai pijakan untuk membangun pemikiran mengenai humanisme.
Dalam artikel singkat ini, kita akan meninjau apa yang menyebabkan memuncaknya pemikiran humanisme di Zaman Pencerahan (Aufklärung dalam bahasa Jerman atau Enlightenment dalam bahasa Inggris), apa yang menjadi gagasan besar tentang manusia zaman itu, dan bagaimana humanisme yang dibangun atas agama itu runtuh. Kemudian, kita akan melihat kelemahan dan kegagalan pemikiran humanisme modern dan bagaimana humanisme terus berkembang dan berubah sampai abad ke-20 dan 21. Pada bagian terakhir, penulis akan mencoba menjawab kesulitan humanisme sekuler dengan menawarkan gagasan Kristen mengenai humanisme.
Sejarah Singkat Perkembangan Humanisme Sekuler
Zaman Pencerahan (Enlightenment) di Eropa abad ke-18 merupakan zaman bangkitnya kembali pemikiran Yunani-Romawi, termasuk bangkitnya humanisme universal khas Yunani-Romawi. Fondasi humanisme universal tersebut dibangun oleh filsuf besar Yunani, yaitu Aristoteles yang menggagaskan bahwa manusia adalah binatang rasional (rational animal). Bagi Aristoteles, hal yang membedakan manusia dengan binatang, yaitu rasionalitasnya. Dengan demikian, yang paling penting dalam diri seorang manusia adalah rasionalitasnya. Kembali ke Zaman Pencerahan, bersama dengan bertumbuhnya humanisme sekuler yang mementingkan rasionalitas manusia dan kebebasan berpikir, lahir juga ilmu pengetahuan modern yang dianggap sebagai kemajuan yang berguna bagi kemanusiaan.
Di sisi lain, agama bersama dengan negara mendominasi masyarakat dengan doktrin-doktrin dan otoritas wahyu Ilahi yang menitikberatkan kepada kehidupan setelah kematian. Oleh sebab itu, agama mulai dianggap tidak lagi relevan dan cenderung mengekang dan menakut-nakuti masyarakat dengan sorga dan neraka. Sebaliknya, humanisme sekuler bersama kemajuan ilmu pengetahuan menghasilkan banyak penemuan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia di dunia. Misalnya, perkembangan ilmu kedokteran di abad ke-18 melahirkan ilmu patologi dan anatomi modern yang mulai mensistematiskan diagnosis, prognosis, dan perlakuan pengobatan berdasarkan anatomi yang komprehensif. Selain itu, ilmu bedah dan vaksinasi juga berkembang dengan pesat, sehingga penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak bisa disembuhkan, seperti cacar, kini bisa disembuhkan. Perkembangan ilmu fisika saat itu melahirkan penemuan-penemuan baru dalam kelistrikan dan menghasilkan teknologi-teknologi seperti lampu dan telegraf yang sangat berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Dengan dukungan ilmu pengetahuan ini, humanisme sekuler mencoba untuk menarik manusia melihat realitas dunia di sini, bukan di sana. Mereka mereduksi realitas pada hukum-hukum alam yang materialistis, mekanistik, dan naturalistik. Tidak hanya sampai di sana, saat itu humanisme sekuler yang dibentuk oleh kaum deis, agnostik, dan atheis mulai menjelajah wilayah-wilayah yang dahulunya dikuasai oleh agama, yaitu moralitas. Sehingga, moralitas tidak harus dibangun dari agama atau ketakutan terhadap sorga dan neraka, melainkan dapat dibangun di atas dasar hukum alam dan hukum akal budi.[1] Dengan demikian, signifikansi agama dalam kehidupan masyarakat makin tersingkir.
Abad Pencerahan, yang mencerahkan akal budi manusia dengan humanismenya, menawarkan definisi baru tentang manusia dan menjadi alternatif dari humanisme yang dibangun di atas dasar doktrin agama. Jika agama mengatakan bahwa manusia telah berdosa dan membutuhkan keselamatan dari Tuhan, humanisme sekuler melihat manusia sebagai makhluk otonom yang berakal budi. Namun, kepercayaan akan keberadaan Tuhan belum hilang sama sekali, seperti yang kemudian dikerjakan oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900), melainkan telah terjadi pergeseran fokus yang menjadikan rasionalitas dan kesadaran manusia (subjektivisme) sebagai titik tolak dari seluruh realitas. Pemikiran ini dimulai oleh seorang filsuf dari Prancis, René Descartes (1596-1650) dengan kalimat terkenalnya “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir, maka aku ada”. Pemikiran Descartes ini disebut sebagai antroposentrisme. Pemikiran humanisme-antroposentrisme tersebut terus berkembang dan makin mengesampingkan keterlibatan Tuhan dalam hidup manusia, seperti pada pemikiran filsuf yang berasal dari sebuah kampung bernama Königsberg di Jerman, yaitu Immanuel Kant (1724-1804). Terkait dengan humanisme, pemikiran Kant menjadikan keberadaan Tuhan tidak mungkin untuk diketahui secara objektif, melainkan Tuhan sudah “terprogram” dalam pikiran manusia. Akibatnya, humanisme-atheistik menempuh jalur pemikiran Kant dan memarginalkan Tuhan dari kesadaran manusia. Pemikiran Kant dilanjutkan oleh Ludwig Feuerbach (1804-1872), yang juga berasal dari Jerman, yang mengatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi dari pemikiran manusia, bukan Tuhan yang menciptakan manusia.
Pemikiran para filsuf yang revolusioner selalu menjadi akar pohon yang terus bertumbuh menjadi pohon-pohon yang menghasilkan buah. Buah dari humanisme sekuler yang berkembang di abad ke-18 dapat kita lihat di abad ke-19. Abad ke-19 dikatakan sebagai post-Christian era atau era pasca-Kristen. Saat itu, kekristenan atau agama telah lumpuh di Eropa dan masyarakat telah memasuki tatanan peradaban yang baru, yaitu peradaban tanpa Tuhan. Ketika manusia membuang Tuhan, maka manusia akan cenderung mengisi ruang kosong itu dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia menjadikan dirinya Tuhan. Hal ini tentu bukan hal baru, ini merupakan gema dari Kejadian pasal 3 di mana manusia memberontak kepada Tuhan dan menjadikan dirinya penentu ultimat bagi dirinya sendiri. Namun, humanisme di abad ke-19 menyatakan kejatuhan manusia yang lebih dalam. Friedrich Nietzsche menggantikan otoritas Ilahi dengan otoritas rasional manusia dan membuang Tuhan jauh-jauh, bahkan menggagaskan bahwa Tuhan telah mati (Gott ist tot). Hal ini membuka jalan lebar bagi manusia untuk hidup otonom secara autentik tanpa adanya otoritas apa pun di atas manusia. Bagi Nietzsche, tidak ada dunia setelah kematian, oleh karena itu kita tidak perlu takut dan bebas menuangkan baik segala kreativitas maupun bakat-bakat manusia yang didorong oleh will to power atau kehendak untuk berkuasa.
Bukti Historis Kegagalan Humanisme Sekuler
Gerakan humanisme modern tentu diperjuangkan dengan harapan dapat mengoreksi pandangan yang salah dari agama tentang manusia dan membawa kemanusiaan yang universal menuju konsep yang lebih baik. Namun, pada kenyataannya buah dari gerakan humanisme modern ini justru menyatakan yang sebaliknya. Gerakan humanisme modern menghasilkan kolonialisme di abad ke-15 sampai 18 dan totalitarianisme di abad ke-19. Konsep humanisme yang dibangun di Eropa terjebak di dalam kritiknya sendiri terhadap agama. Mereka menganggap bahwa agama memonopoli kebenaran dan mengekang manusia dengan doktrinnya, tetapi humanisme baru yang mereka bangun juga bersifat sangat eksklusif dengan ciri Eropanya. Dengan kata lain, manusia-manusia pada bagian bumi yang lain atau yang tidak memenuhi definisi kemanusiaan yang mereka bangun adalah manusia inferior, sehingga pada abad-abad itu bangsa Eropa melakukan penjajahan atas bangsa-bangsa lain, termasuk kita, Indonesia, pun mengalaminya.
Bentuk kemanusiaan baru itu ditawarkan, atau lebih tepat dipaksakan, melalui penaklukan dan perbudakan bangsa-bangsa lain. Lebih lanjut, kolonialisme ini merupakan bibit dari totalitarianisme yang menyempitkan definisi kemanusiaan hanya dalam ras atau kelas sosial tertentu, sehingga ras atau kelas sosial di luar kategori yang telah mereka tetapkan, mereka taklukkan bahkan musnahkan. Seperti Nazisme yang menaklukkan dan memusnahkan bangsa/ras Yahudi. Alih-alih memajukan kemanusiaan dengan menarik fokus pada dunia di sini, justru pada perkembangannya mereka meradikalkan konsep dunia di sini dan mereduksi kemanusiaan sampai tingkat materi atau yang alamiah saja, sehingga secara alamiah hanya yang kuat yang dapat bertahan.
Gerakan humanisme ini awalnya terlihat cerah dengan memperjuangkan kebebasan, rasionalitas yang tinggi, dan kemanusiaan universal, bahkan secara konkret menghasilkan penemuan yang bermanfaat bagi manusia. Namun, buah atau efek samping dari gerakan tersebut begitu suram, manusia telah didehumanisasi dan kemanusiaan yang diperjuangkan bersifat abstrak. Kenyataannya, humanisme ini menjadi tidak manusiawi.
Merespons pembunuhan massal yang terjadi di abad ke-20, para pemikir di abad itu menggerakkan bandul ke arah sebaliknya. Mereka meninggalkan pencarian-pencarian akan “kemanusiaan” secara metafisika yang menghasilkan dominasi atas manusia-manusia di luar definisi “kemanusiaan” yang mereka bangun. Jika sebelumnya esensi manusia yang menentukan eksistensinya, mulai pertengahan ke abad ke-20, Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filsuf asal Prancis ini mengemukakan gagasan yang radikal bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya. Tidak ada lagi cetak biru (metafisika) untuk mendefinisikan apa itu manusia, melainkan eksistensinya yang mendefinisikan siapa manusia. Dengan demikian, gerakan humanisme abad ke-20 menjadi bersifat pluralis dan melihat kesetaraan setiap manusia.
Dengan membuang metafisika, humanisme yang baru ini berusaha menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia dari penjajahan tafsiran yang eksklusif akan kemanusiaan. Oleh karena itu, kemanusiaan menjadi sangat toleran dan melihat perbedaan dalam diri manusia sebagai kekayaan perspektif dalam menafsirkan siapa sesungguhnya manusia itu. Akan tetapi, toleransi yang dibangun bersifat semu, seperti gelembung sabun yang berdampingan namun tidak sungguh-sungguh berinteraksi.
Padahal sesungguhnya, agama tidak hilang. Humanisme modern yang dibangun di atas rasio meninggalkan ruang kosong dalam diri manusia, sehingga menjelang akhir abad ke-20 (1970-1980), muncul Gerakan Zaman Baru (New Age Movement), di mana manusia mencari hal-hal yang berbau spiritual untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun spiritualitas yang mereka temukan hanyalah bentuk-bentuk eskapis yang membawa manusia lari dari realitas. Selain itu, kepercayaan/agama yang selama ini ditaruh dalam ranah privat, ditantang oleh gerakan agama yang radikal dan fideisme. Kejadian 9/11 pada tahun 2001 mendorong humanisme sekuler untuk membuka dialog dengan agama. Dialog humanisme sekuler dengan agama ini masih berlangsung hingga hari ini, yang menjadikan humanisme sekuler yang lebih terbuka terhadap agama dan agama yang mengintegrasikan imannya dengan rasionalitas.
Secara overview kita dapat melihat bagaimana humanisme zaman modern (abad ke-15 sampai ke-18) yang membangun tafsirannya dengan metafisika, bergerak sampai ke zaman postmodern (mulai abad ke-20) yang mendekonstruksi tafsiran-tafsiran yang bersifat universal, absolut, dan homogen yang menindas kemajemukan. Kita dapat melihat pergeseran pertanyaan yang ditanyakan humanisme abad ke-18 yang bertanya “apa itu manusia?” menjadi “siapa itu manusia?” di abad ke-20 dan 21. Pergerakan zaman seperti ini bagaikan bandul yang bergerak dari satu kutub ke kutub yang lain. Pertanyaannya, siapa yang menggerakkan siapa? Manusia yang menggerakkan sejarah atau sejarah yang menggerakkan manusia? Saat kita menilik sejarah pergerakan humanisme ini, manusia seperti diombang-ambingkan di tengah samudra tanpa arah yang jelas. Jadi, bagaimana manusia seharusnya mengenal dirinya sebagai manusia?
Kekristenan: Framework yang Utuh untuk Melihat Manusia
Di tengah diskursus ini, kekristenan menawarkan jawaban untuk melihat manusia secara utuh, bukan hanya sekadar proposisi melainkan juga menempatkan manusia dalam narasi besar dan apa yang harus dikerjakan oleh mereka. Kekristenan tidak meninggalkan diskursus dengan aporia (kebingungan/tanpa jawaban) seperti yang dilakukan oleh Jacques Derrida (1930-2004), seorang filsuf postmodern dari Prancis. Namun ada beberapa hal yang menjadi keunikan cara pandang kekristenan mengenai manusia. Pertama, kekristenan meletakkan dasar keberadaan manusia bukan pada dirinya sendiri atau rasionya seperti pemikiran di Zaman Pencerahan, melainkan pada diri Allah yang menciptakan manusia menurut peta dan teladan Allah sendiri (imago Dei). Di sinilah letak kemuliaan manusia dan dasar dari segala apresiasi terhadap manusia, termasuk rasionalitas manusia yang diperjuangkan oleh humanisme modern dan personalitas, spiritualitas, serta aspek emosional manusia yang diperjuangkan oleh humanisme postmodern. Dapat dikatakan bahwa diri Allah merupakan principium essendi atau dasar/fondasi dari segala sesuatu, sehingga manusia bukan makhluk otonom, dan untuk mengenal manusia kita harus mengenal Allah. Salah mengenal Allah, maka pasti salah mengenal manusia. Gagasan mengenal Allah dan mengenal diri ini dicetuskan oleh sang reformator, John Calvin (1509-1564) yang sejak muda bergumul dengan pemikiran humanisme dari filsuf Katolik humanis yang sangat terkenal saat itu, yaitu Desiderius Erasmus.
Kedua, selain melihat fakta bahwa manusia diciptakan dengan segala kemuliaan yang ada padanya sebagai imago Dei, kekristenan juga menyatakan fakta bahwa manusia jatuh di dalam dosa. Fakta kejatuhan manusia ke dalam dosa, mengharuskan kita mengubah cara pandang terhadap manusia. Manusia bukan seperti kertas putih atau tabula rasa seperti yang dikatakan oleh John Locke, melainkan segala aspek dalam diri manusia sudah rusak oleh dosa, termasuk rasionalitas manusia serta spiritualitasnya. Hal ini karena putusnya relasi antara manusia dan Allah. Dengan kata lain, rasio yang diperjuangkan oleh humanisme modern tidak mungkin membuahkan sesuatu yang stabil, begitu juga dengan spiritualitas yang dicari oleh humanisme postmodern. Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa setiap pemikiran dari filsafat dunia yang tidak berdasarkan firman Tuhan adalah bom waktu yang akan “meledak” pada waktunya. Hal ini terbukti di dalam sejarah bahwa rasionalitas humanisme modern berujung pada diskriminasi, perang, bahkan genosida. Di sisi yang lain, spiritualitas humanisme postmodern berujung pada radikalisme, fideisme, bahkan terorisme berbasis agama. Perkembangan humanisme sekuler sampai hari ini menjadi sangat toleran terhadap perbedaan yang makin tinggi di tengah kemajemukan yang ada, khususnya terhadap kaum minoritas baik secara ras, gender, maupun orientasi seksual. Hak kaum minoritas sangat diperjuangkan hari ini tanpa standar kebenaran yang absolut sebagai kacamata untuk menilai dengan adil dan benar. Misalnya, kasus rasisme terhadap George Floyd yang sangat heboh beberapa waktu lalu, mengakibatkan cara pandang yang jatuh ke ekstrem lain. Hal ini terlihat dengan munculnya stigma dalam kasus lain, bahwa menangkap orang kulit hitam artinya kriminal dan memicu kemarahan publik, terlepas dari apa yang dilakukan oleh tersangka benar atau salah.
Ketiga, kekristenan bukan hanya menyatakan bahwa manusia jatuh ke dalam dosa, namun kekristenan percaya bahwa Allah telah menyediakan jalan keluar dari kuasa dosa itu. Kristus yang berinkarnasi telah menjadi satu-satunya perwakilan manusia yang sempurna bagi manusia berdosa. Karya penebusan Kristus memungkinkan manusia yang telah jatuh dalam dosa kembali menyatakan kemuliaan Allah melalui hidupnya. Semua ini diperoleh manusia hanya karena anugerah Allah, sehingga di satu sisi menyatakan bahwa betapa berharga dan mulianya manusia, sampai Allah rela datang untuk mati bagi manusia. Di sisi lain, penebusan Kristus juga menyatakan betapa rusak dan bobroknya keberdosaan manusia, sehingga Kristus harus dipermalukan, menderita, bahkan mati dengan begitu bengisnya saat menanggung dosa manusia. Oleh karena itu, hanya melalui penebusan Kristus, manusia dapat menjadi manusia yang sesungguhnya, yaitu saat manusia dapat kembali memancarkan kemuliaan Allah dan menjadi wakil Allah di tengah-tengah dunia ini. Berita kabar baik inilah yang kekristenan tawarkan kepada dunia, suatu bentuk humanisme yang membebaskan manusia dari ketersesatan arah di dalam pergerakan sejarah.
Kesimpulan
Perkembangan humanisme di dalam sejarah menjadi kelas untuk menguji dan mempertumbuhkan gereja. Dengan pemikiran humanisme sekuler ini, gereja harus memikirkan lebih jauh apa yang Allah telah nyatakan melalui firman-Nya mengenai manusia, dan puncaknya di dalam kedatangan Allah sendiri yang menjadi manusia ke dalam dunia. Kehadiran Kristus di tengah-tengah dunia menjadi reference point bagi manusia untuk belajar menjadi manusia sejati yang menaklukkan diri dan taat kepada Allah. Bagaimana kita melihat diri kita dan sesama kita sebagai manusia di tengah-tengah zaman seperti ini? Dunia dengan sekularitasnya akan terus membujuk kita untuk memakai kacamata dan cara hidup yang mayoritas orang sedang pakai dan hidupi, sehingga kita boleh saja mengaku bahwa kita beragama Kristen dan rajin ke gereja bahkan pelayanan, tetapi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita kejar sama seperti dunia ini, seperti yang dikatakan dalam 2 Timotius 3:2-5[2]. Kiranya Tuhan berbelaskasihan kepada kita sebagai gereja-Nya, supaya kita dapat lulus di dalam ujian yang Tuhan hadirkan di dalam sejarah ini. Kiranya Tuhan memberikan kita hikmat untuk menjadi manusia yang sejati dan membawa manusia-manusia lain untuk menghidupi kemanusiaan yang sejati di dalam Kristus, bukan sebaliknya.
Evan Jordan
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Hardiman, F. Budi, Humanisme dan Sesudahnya, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2020.
[2] 2 Timotius 3:1-5: Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak memedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!