Reformasi, Luther, dan Anugerah: Pengertian Anugerah Sebelum dan Sesudah Reformasi

Pada zaman sebelum Reformasi Gereja abad ke-16, anugerah tidaklah dimengerti sebagaimana kita mengerti sekarang. Di zaman itu, selain anugerah Allah (prevenient grace), tanggung jawab manusia seakan diperlukan untuk membuat manusia layak diterima oleh Tuhan. Anugerah hanya diberikan Allah kepada orang yang menyesal dan insaf sehingga mereka berbalik melakukan perbuatan-perbuatan baik sesuai dengan hukum-hukum Allah dan layak untuk mendapatkan hidup yang kekal. Pandangan lain yang marak di zaman itu adalah anugerah dianggap sebagai suatu hal (substansi) yang dimasukkan ke dalam diri manusia. Ketika anugerah ini masuk, orang tersebut dapat menjadi benar dan mampu melakukan hukum-hukum Allah. Mereka yang bertekun dalam hukum-hukum ini akan mendapatkan keselamatan sebagai ganjarannya. Anugerah, atau iman, hanya dianggap sebagai titik awal perjalanan orang Kristen, selebihnya manusia harus berusaha melakukan hukum Allah agar layak mendapatkan hidup yang kekal. Semua pandangan ini menyejajarkan anugerah, iman, dan andil manusia di dalamnya.

Martin Luther menjadi salah satu orang yang menentang secara keras semua pandangan ini. Pembacaannya terhadap surat Paulus kepada jemaat di Roma dan Galatia membawa Luther ke dalam definisi iman yang jauh berbeda dari pembacaan sebelumnya. Luther mengartikan iman sebagai “kepercayaan yang menyerahkan diri sepenuhnya pada janji-janji dan manfaat-manfaat Allah di dalam Kristus”, dan iman ini merupakan anugerah yang diberikan secara cuma-cuma, bukan melalui perbuatan atau kesesuaian dengan hukum Allah. Dengan menggunakan definisi ini, Luther mempertanyakan ulang seluruh penafsiran Abad Pertengahan tentang anugerah sebagai suatu kualitas yang dimasukkan ke dalam jiwa manusia. Anugerah menurut Luther merupakan perkenanan Tuhan dalam menerima manusia, bukan sebagai kekuatan transformatif yang bekerja dalam jiwa manusia.

Luther juga menolak segala referensi tentang jasa dalam konteks penebusan­­—atau, jika istilah tersebut ingin digunakan, istilah jasa hanya dapat diterapkan pada Kristus dan bukannya pada orang percaya. Penolakan ini bukan hanya kekhasan linguistik semata. Penolakan ini mewakili desakan khas Lutheran. Bagi Luther, anugerah Allah tidak bergantung kepada kelayakan penerimanya, namun tetap merupakan karakteristik struktural dalam kehidupan Kristen. Dan lagi bagi Luther, kebenaran orang percaya (setidaknya kebenaran yang diperhitungkan di hadapan Allah) tidak pernah benar-benar milik mereka sendiri, melainkan tetap menjadi kebenaran Kristus; kebenaran itu pada dasarnya milik sosok lain (alienus) bahkan ketika orang percaya memilikinya di dalam Kristus.

Bukan karena Melakukan Hukum Taurat

Seperti Agustinus, Luther mengidentifikasi masalah “pelaksanaan hukum Taurat” itu bukan pada isi dari Taurat ataupun pada kapasitas manusia untuk melakukannya dalam kinerja yang dapat diamati secara eksternal, melainkan pada kerusakan hati manusia yang terdalam. Menurut pandangan dan pengalaman Luther sebagai seorang biarawan, ketaatan lahiriah yang sempurna terhadap perintah-perintah Allah dapat menyamarkan kebencian batin kita terhadap hukum Taurat. Lebih buruk lagi, penyamaran ini didasarkan pada keinginan manusia untuk menjadi Tuhan dan menggantikan satu-satunya karunia Tuhan yang cukup di dalam Kristus dengan pencapaian-pencapaian dirinya.

Dalam kerangka pemikiran ini, kritik Luther terhadap “pelaksanaan Taurat” berkutat pada pemahaman diri manusia yang beroperasi dalam kinerja “perbuatan baik”. Penekanannya diletakkan dalam sebuah hermeneutik yang tersusun dari tiga elemen: pemahaman yang salah tentang pelaksanaan hukum, motivasi yang rusak untuk melakukan Taurat, dan kecongkakan sebagai sikap dalam melakukan hukum. Pertama, kesesuaian dengan hukum Taurat dipahami sebagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, dengan kata lain perbuatan baik adalah penyebab (bukan akibat) dari pembenaran. Kedua, dan karenanya, perbuatan Taurat ini dilakukan dengan motivasi yang tidak religius melainkan egois, yakni untuk memperoleh keselamatan dan dengan demikian beroleh manfaat bagi diri sendiri. Ketiga, perbuatan Taurat dilakukan oleh mereka dalam semangat praduga atau kepercayaan pada kebenaran milik kita sendiri—atau, sebagai karakteristik korelatif dari kondisi bipolar ini, dalam kecemasan, ketakutan, atau keraguan. Dari tiga masalah di atas, Luther membawa pembacanya untuk mencermati definisi “iman” dan “rasa percaya” dalam tema iman milik Paulus. Menurutnya, setiap orang percaya kepada sesuatu. Masalahnya, apakah kita percaya pada diri kita sendiri atau pada manfaat yang diberikan kepada kita secara tidak wajar di dalam Kristus.

Namun dengan Iman kepada Yesus Kristus

Bagi Luther, kebenaran esensial dari Injil adalah Yesus sebagai Juruselamat kita satu-satunya yang telah melakukan semua yang diperlukan untuk pembenaran dan keselamatan kita. Ia dengan tegas menyatakan Yesus sebagai Juruselamat dan Perantara, bukan sebagai Legislator atau Hakim: Dia tidak menuntut kita, malahan memberi kita keselamatan, selama kita mendekap Kristus dalam iman. Luther di sini memutuskan ajarannya secara tegas dari kesan umum tentang Kristus pada zaman itu sebagai Cosmocrator yang keras, Pembuat Hukum Baru, serta Hakim terakhir (secara jelas digambarkan melalui lukisan-lukisan Katolik pada zaman itu). Menggemakan Paulus (Rm. 8:32-34), ia menegaskan bahwa Kristus selalu “bagi kita”, bukan menentang kita sebagai Hakim. Terlebih lagi, “kebenaran Allah” (iustitia Dei) tidak harus dipahami sebagai tindakan keadilan Ilahi yang menghukum orang berdosa dan memberi upah kepada orang benar, melainkan sebagai karunia yang diberikan dalam Kristus dan diterima dalam iman; karunia ini, yang telah diberikan sekali untuk selamanya, tidak menyisakan ruang untuk ketidakpastian atau ketakutan. Di sini anugerah mendahului segalanya dan diterima dalam iman, serta setiap perbuatan baik tidak dapat atau tidak dimaksudkan untuk memperoleh manfaat di masa depan.

Ketika Luther secara kontroversial bersikeras menegaskan bahwa orang percaya dibenarkan “oleh iman saja” (sola fide), ia bermaksud untuk mengecualikan gagasan bahwa iman perlu “dibentuk” atau ditambah dengan perbuatan baik. Semua ini dimengerti karena dia memahami iman bukan sebagai persetujuan intelektual terhadap informasi sejarah atau rumusan kredo tetapi sebagai penyerahan diri sepenuhnya kepada belas kasihan Allah di dalam Kristus: sehingga iman itu penting bukan dalam dirinya sendiri, seolah-olah itu adalah disposisi mental atau emosional yang lebih tinggi, melainkan karena hubungannya dengan Kristus. Dan di dalam hubungannya dengan Kristus, iman sejati akan mendekap Kristus sedemikian rupa sehingga Kristus adalah objek iman, sekaligus hadir dalam iman itu sendiri (in ipsa fide Christus adest). Di dalam kehadiran ini, semua milik Kristus adalah milik orang percaya dan semua milik orang percaya diambil oleh Kristus. Melalui “pertukaran bahagia” ini, orang percaya telah memiliki kebenaran, kekudusan, dan kebaikan Kristus (yang menanggung dosa, kesalahan, dan kenajisan orang percaya)­—“memiliki” sekaligus tidak “memiliki”, karena karunia-karunia ini tetap menjadi milik Kristus dan tidak “dimasukkan” ke dalam orang percaya. Untuk alasan ini, Luther bersikeras bahwa kebenaran Kristus tetap ekstrinsik bagi diri kita sendiri (extra nos); pada saat yang sama, anugerah itu benar-benar “milik kita” sejauh kita dipersatukan dengan Kristus oleh iman.

Paradoks dari “memiliki namun tidak memiliki” pada kenyataannya tertulis dalam berbagai fitur theologi Luther, dan dengan terampil ia menggabungkannya dengan theologi salib Paulus. Sejak awal, Luther mengambil penggambaran Paulus tentang “skandal salib” (Gal. 5:11; bdk. 1Kor. 1:18-25) untuk mewakili dinamika esensial dari kehidupan Kristen. Di tengah kelemahan dan kebodohan, dan dari ketidakbenaran dan penderitaan, Tuhan menciptakan apa yang sebaliknya. Ia memasuki kekosongan kita untuk mengisinya dengan karunia-Nya, dan menjadikan kita hanya milik-Nya. Penjajaran yang berlawanan ini tetap merupakan ciri permanen dari keberadaan orang percaya, sehingga setiap “theologi kemuliaan” pada saat yang sama, bagi Luther, adalah theologi pembenaran diri, dan sebaliknya: sampai akhir hidup kita, kita tetap “pengemis” di hadapan Tuhan, yang diubahkan dalam hubungan kita dengan Kristus. Rumusan terkenal Luther tentang paradoks ini—bahwa orang percaya adalah simul justus et peccator—tidak berbicara tentang adanya derajat kebenaran dalam dosa, tetapi tentang penjajaran kutub yang berlawanan secara simultan dan permanen. Di hadapan Allah, kita adalah “benar” karena kita adalah milik Kristus; dalam hak kita sendiri (pada tingkat terdalam kerusakan hati kita), kita tetap “orang berdosa”. Dengan bersikeras pada dialektika ini, Luther bermaksud untuk melestarikan ketidaksesuaian anugerah dalam bentuk yang total. Mengeklaim bahwa orang percaya menjadi tidak berdosa di dalam hidup ini (melalui kasih karunia) akan mengurangi ketidaksesuaian tersebut, dan dengan demikian, di mata Luther, membatalkan kasih karunia.

Kesempurnaan Anugerah menurut Luther

Dalam pengantarnya tentang Injil, Luther menegaskan bahwa “Injil” bukanlah standar kebenaran yang baru atau yang lebih tinggi daripada hukum Taurat, melainkan anugerah semata. Injil menyajikan perbuatan-perbuatan Kristus bukan agar kita dapat menirunya, tetapi agar kita dapat bergantung kepadanya, karena perbuatan-perbuatan itu mengungkapkan “kebaikan Allah yang luar biasa… bara kasih Allah yang besar bagi kita, yang dengannya hati dan nurani kita menjadi bahagia, tenteram, dan terpuaskan.” Atas dasar anugerah ini, segala sesuatu yang lain mengikuti.

Di dalam perjalanan anugerah ini, Luther menekankan paradoks ketidaksesuaian antara penerima anugerah dan anugerah itu sendiri. Karena secara umum Luther menyamakan “pembenaran” dengan “keselamatan”, segala dinamika keselamatan dari awal hingga akhir itu harus dipandang sebagai “pembenaran orang-orang fasik”. Dalam konteks ini, dia menekankan bahwa di dalam lika-liku dinamika ini orang Kristen tetaplah orang fasik yang dibenarkan, simul justus et peccator. Paradoks kehidupan dalam koeksistensi yang berlawanan ini sekaligus digunakan Luther untuk menegaskan bahwa kita ini pendosa dan apa yang kita miliki di dalam keselamatan hanyalah kita miliki sejauh kita hidup di dalam Kristus; dengan demikian dia mewaspadai anggapan bahwa segala sesuatu yang bernilai dalam keselamatan melekat pada diri orang-orang percaya itu sendiri.

Di dalam pemberian anugerah ini, Luther menekankan bagaimana karunia Allah diberikan secara cuma-cuma. Anugerah diberikan oleh Allah bukan dalam rangka memperoleh imbalan atau manfaat bagi Allah. Luther menegaskan bahwa perbuatan cinta kasih kita kepada sesama kita (di mana kita menjadi “Kristus” bagi mereka) harus sepenuhnya memodelkan anugerah Allah yang terbebas dari kepentingan pribadi. Kita melakukan perbuatan demikian di dalam Kristus bukan untuk mendapatkan balasan dari Tuhan tetapi murni demi orang lain itu, dengan demikian anugerah Allah tidak diubah menjadi “hukum” atau tuntutan jenis baru. Semuanya dilakukan sebagaimana Kristus merendahkan hati dan mengabdikan diri-Nya sepenuhnya untuk kita, karena Ia “tidak membutuhkan” apa pun (dari Allah atau sesama), karena segala sesuatu sudah ada di dalam diri-Nya.

Di dalam implementasi akan anugerah, Luther mencoba mencari gerakan non-sirkular dari Injil. Meskipun Luther masih berbicara tentang pelayanan Kristen dalam istilah timbal balik (dalam istilah Paulus, menjadi budak satu sama lain, Gal. 5:13), namun timbal balik tidak lagi memiliki makna struktural untuk sebuah pelayanan. Timbal balik itu idealnya dipahami sebagai pemberian kenotik dan non-sirkular dengan menganggap pelayanan kepada orang lain sebagai pemberian diri, dalam upaya untuk memurnikannya dari noda kepentingan pribadi, dan dalam mengidealkan pemberian yang tidak memperoleh imbalan. Di sini pula Luther mengartikulasikan gagasan pemberian anugerah “altruistik” yang berkontribusi terhadap definisi modernitas terhadap anugerah yang “murni”, yakni anugerah yang tidak menginginkan atau tidak mengharap kembali.

Dalam definisi anugerah dan panggilan Luther pula, pergeseran konsep mengenai “pekerjaan baik” ini memiliki efek yang sangat radikal. Jika Luther menghilangkan andil perbuatan baik (membuatnya tidak lagi menjadi bagian dari transaksi yang sedang berlangsung dengan Tuhan), dengan sengaja, Luther juga menjadikan semuanya (selain kebenaran Kristus), pada prinsipnya, memiliki nilai yang sama, bahkan lebih rendah dari perbuatan baik. Jika kesucian dan kemiskinan tidak menghasilkan manfaat Ilahi, baik sekarang maupun nanti di akhirat, dalam kerangka apa orang Kristen harus melihat kehidupan dan tugas-tugas kita sehari-hari? Luther menjawab, semua hal ini harus dilihat sebagai panggilan seorang pribadi. Setiap orang percaya dipanggil untuk menggunakan apa yang mereka miliki dalam hidup untuk memberi manfaat bagi orang lain, bukan lagi untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Pandangan ini mendorong revolusi luar biasa dalam sikap terhadap pekerjaan dan panggilan hidup yang dipengaruhi oleh Reformasi Protestan.

Singkat kata, inti dari Reformasi Lutheran adalah konfigurasi ulang theologi anugerah Paulus, dengan seperangkat kesempurnaan yang menempel pada anugerah ini. Luther tidak “menemukan kembali” kasih karunia yang hampir ada di setiap bentuk theologi Abad Pertengahan, juga bukan menghidupkan kembali tradisi Augustinian. Sola gratia yang digadang oleh Luther diredefinisi dan diberi rujukan penuh kepada solus Christus. Nuansa Kristologis yang tak henti-hentinya tentang kasih karunia memberikan alasan bagi setiap orang percaya untuk hidup terus-menerus bersandar kepada realitas di luar diri mereka sendiri, yaitu bersandar kepada status perkenanan Ilahi yang hanya dinikmati di dalam dan melalui Kristus. Setiap perbuatan yang orang Kristen lakukan juga tidak lagi perlu dikaitkan dengan keharusan untuk mendapatkan kelayakan Ilahi, melainkan sebagai pemodelan kasih karunia Kristus dan syukur atas iman dan jaminan keselamatan yang telah diberikan. Dalam pengertian ini, Luther tidak hanya mereformasi gereja. Dia menawarkan definisi theologis baru tentang anugerah yang nuansanya terus kita rasakan hingga saat ini.

Robin Gui

Pemuda FIRES