Revelation of God in the Very General Way

Dalam edisi Pillar sebelumnya, kita telah membahas tentang wahyu khusus/special revelation. Dalam edisi kali ini, kita akan membahas tentang wahyu umum/general revelation. Wahyu merupakan dasar epistemologi bagi orang Kristen.

Mengapa kita harus membahas wahyu khusus terlebih dulu baru kemudian wahyu umum? Apakah karena level wahyu umum lebih rendah daripada wahyu khusus? Tidak. Kedua wahyu itu sama-sama dari Allah yang ada, hidup, berpribadi, dan berdaulat. Satu alasan Alkitabiah yang mendasarinya adalah wahyu khusus merupakan presuposisi (baca: kacamata) di dalam melihat wahyu umum. Wahyu khusus merupakan satpam dan pemakna wahyu umum. Maka di dalam pembahasan kita akan wahyu umum, kita akan sering bertemu dengan wahyu khusus yang sebagai satpamnya.

Sebelum kejatuhan manusia, di taman Eden, Allah menciptakan tumbuhan, Allah menciptakan pohon (termasuk pohon pengetahuan). Kenapa Allah menciptakan pohon pengetahuan di tengah-tengah pohon-pohon lainnya? Suatu tujuan yang Allah tetapkan adalah untuk menyatakan kekhususan perintah Allah di dalam dunia ciptaan-Nya. Kesamaan yang sekaligus berbeda dari wahyu umum dan wahyu khusus memang harus ada dan harus kita terima sebagai penyataan wahyu Allah di dunia ini. Kita harus melihat kedua definisi ini di dalam paradoks Kristus, Sang Wahyu Khusus yang mengambil rupa di dalam wahyu umum, yang terjun ke dalam sejarah, dan Ialah yang memaknai sekaligus memisahkan lalang di antara gandum di dalam sejarah. Redemption yang dijalankan oleh Kristus merupakan pemakna dari kehadiran Kristus di dalam ke”natural”an-Nya sebagai manusia.

Allah mencipta maka seluruh ciptaan bergantung pada Allah Sang Pencipta dan ciptaan juga terdefinisi ketika Allah memberikan definisi. Ciptaan tidak punya definisi pada dirinya sendiri. Wahyu umum menjadi wahyu umum ketika wahyu khusus didefinisikan menjadi wahyu khusus[1]. Wahyu khusus hadir di dalam wahyu umum, seperti Firman Tuhan yang adalah wahyu khusus dihadirkan di dalam sejarah yang adalah wahyu umum. Setelah kejatuhan manusia, manusia tetap bisa melihat wahyu umum, namun manusia sudah tidak bisa melihat wahyu umumnya di dalam keutuhannya. Oleh karena itu, wahyu khusus selalu menjadi fokus utama di dalam kita membongkar pengertian kita akan wahyu umum. Kenapa harus ada wahyu umum? Karena wahyu khusus merupakan platform hadirnya wahyu khusus. Hidup ini merupakan general revelation, tempat di mana kebenaran Firman Allah/wahyu khusus seharusnya hadir.

Saya akan mengajak kita membongkar dan membedah sebuah tema yang akan menjadi perdebatan hebat sepanjang masa. Ketika Anda baca, saya yakin hal ini akan menjadi tema yang mendiferensiasikan antara covenant keeper dan covenant breaker, tidak lain dan tidak bukan adalah GAME!!!! (terlalu berlebihan, namun yahhhh… boleh laaah mewakili remaja-pemuda saat ini…) Kita sadar maupun tidak sadar menerima bahwa yang namanya game sudah “mendarah daging” di dalam hidup kita. Game sudah kita posisikan sebagai “wahyu khusus“ di dalam hidup kita. Kalau tidak ada game, maka hidup kita pun serasa kosong, sumpek, bosan, atau bahkan serasa di neraka alias tidak selamat. Kita tentu menganggap orang-orang yang demikian adalah orang yang bodoh.

Namun sadarkah kita, bahwa kita juga jatuh ke dalam pemikiran seperti itu? Saya mengatakannya dengan serius, karena ketika kita memikirkan ulang, memang benar, kita sudah mendefinisikan game sebagai “pendefinisi“ hidup kita – pemberi hidup dalam hidup kita. Kita sudah tidak bisa membedakan lagi yang mana merupakan penyataan akan anugerah Allah (the revelation of the grace of God) dan yang mana yang merupakan penyataan Allah akan amarah-Nya (the revelation of the wrath of God). Hidup sebagai pemberian Allah yang harus kita jalankan sesuai dengan apa yang diinginkan Sang Pencipta sudah kita reduksi ke dalam game.

Di dalam retreat remaja GRII Pusat, Ev. Edward Oei mengatakan bahwa game merupakan suatu kebodohan yang dilakukan manusia. Karena di dalam game, manusia berusaha menarik sebagian kecil konteks sejarah, dan melepaskannya dari keutuhan sejarah itu sendiri, yang kemudian manusia membungkusnya dengan teknologi yang ada[2]. Dan yang lebih parahnya lagi adalah bahwa “seharusnya manusia didefinisikan oleh kebenaran Firman Tuhan, tetapi justru manusia yang didefinisikan oleh game”. Dan terkadang kita menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya untuk main game, dan merusak seluruh keutuhan hidup kita yang seharusnya kita kerjakan dengan baik. Mau ambil contoh game apa yang sering kita mainkan? Apakah itu Pointblank? Warcraft? Final Fantasy? Winning Eleven?

Tema-tema game yang terkenal apa sih?? Sebenarnya banyak sekali sebuah cuplikan hidup yang direduksi di dalam game. Ambil contoh: peperangan, baik itu pertempuran antar individu seperti Tekken sampai kepada peperangan antar klan seperti Pointblank, dll. Di antara segitu banyak game peperangan yang kita mainkan, ada ga sihgame” yang lebih seru dan lebih menantang daripada peperangan antara Kerajaan Allah dengan keturunan ular? (padahal ini merupakan pergumulan yang paling seru dan menantang loh bagi Gereja Tuhan sepanjang sejarah!).

Kenapa kita sering kali melupakan hal ini dan kita tetap main game yang akan mereduksi seluruh aspek di dalam hidup kita? Simpel saja sih jawabannya. Yah memang karena kita tidak mau berbagian di dalam Kerajaan Allah yang sesungguhnya menawarkan petualangan yang ultimat, petualangan yang di mana kita benar-benar harus mengerahkan seluruh hidup kita, tidak terbungkus dengan teknologi lagi, lebih canggih loh dari teknologi. Kita tahu kita salah, namun memang kita tidak memiliki niat dan kuasa yang cukup untuk menjalankan perintah Tuhan, yakni memberitakan Injil keselamatan kepada setiap orang.

Aktivitas sehari-hari seperti game, sekolah, ngeles, berkuliah, berkantor, bahkan ke gereja sudah menjadi tidak ada kaitannya satu dengan lainnya. “kan game sama ibadah itu bedaaa!! Jadi jangan coba disama-samain deh!! Memang Tuhan perintahkan kita untuk memuliakan Dia, tapi jangan lupa loh kita juga harus menikmati Dia!!“ Pragmatisme yang terjadi di dalam hidup kita menyebabkan kita menjadi orang yang dualisme. Orang yang dualisme adalah orang yang sebenarnya tidak mengerti akan kebenaran di dalam keluasan dan keutuhannya. Manusia cenderung untuk memberatsebelahkan entah (either) keluasan ataupun (or) keutuhan daripada wahyu Allah.

Ketika keluasan (dari game ini kita bisa belajar untuk mempererat teamwork) yang ditekankan, manusia kehilangan arah dan manusia tidak fokus kepada panggilannya yang spesifik pula. Dan ketika keutuhan yang ditekankan (manusia bermain game sebagai individu yang mempengaruhi seluruh cerita, seperti di dalam Dynasty Warrior, Musashi, Tekken, dll), manusia cenderung menjadi terhilang di dalam komunitas. Ujung-ujungnya hanya diri yang dipuaskan. Game menawarkan hal yang begitu merusak konsep tentang kehidupan. Game yang bersifat komunal juga bisa membuat orang menjadi autis di dalam kelompoknya, merasa sudah mendapatkan pengalaman yang begitu berharga, sehingga mereka menjadi kelompok yang eksklusif (kita dapat melihat orang demi sebuah permainan Warcraft, ada 5 orang yang benar-benar menghabiskan waktu mereka bersama hanya untuk latihan main DotA). Di sisi lain, game yang bersifat individual membuat orang menjadi seperti autis, memiliki dunianya sendiri, banyak sih orang-orang, khususnya orang Jepang yang saking terjerumusnya, bahkan ada orang yang membuat petisi online untuk minta pemerintah Jepang menyetujuinya menikah dengan KARAKTER ANIME!

Game tidak pernah menawarkan alternatif tengah di mana konsep komunal sekaligus personal ditekankan, karena game memang pada dasarnya memiliki sifat yang mereduksi hidup sampai kepada akar-akarnya pun menjadi kerdil. Game membuat fokus kita lepas dari hidup yang sebenarnya adalah wahyu/pemberian langsung dari Allah. Jelas hal ini tidaklah Kristen. Di dalam Firman-Nyalah kita mendapatkan jawaban yang sebenarnya, khususnya di dalam Doktrin Gereja. Gereja merupakan komunitas, namun tidak pernah lepas dari pribadi di dalam gereja tersebut. Gereja merupakan sebuah penyataan akan perjalanan hidup umat pilihan Allah (wahyu khusus) di dalam “playground”[3], yaitu sejarah (wahyu umum). Kedua wahyu ini tidak boleh dipisahkan. Maka seluruh aspek di dalam hidup kitapun harus juga terkait erat dengan wahyu khusus, karena memang itu yang menjadi kacamata kita di dalam melihat hidup ini (wahyu umum).

Banyak orang yang mengatakan “main game itu bagus kok, bisa membuat kita lebih memperluas wawasan dan memiliki pengalaman yang banyak, sehingga untuk hidup, kita memiliki sesuatu yang membuat kita memperkaya diri”. Sounds interesting, eh?? Di mana letak permasalahannya?? Ga masalah donk kalau kita memperkaya diri. Permasalahan justru terletak kepada fokusnya. Fokus yang berasal dari game, tidak mungkin berhubungan dan tidak mungkin berkaitan dengan pengenalan akan Allah (kalau adapun, kejauhan), dan juga bertentangan dengan prinsip para Reformator: Sola Scriptura, hanya Firman yang menjadi jawaban bagi segala permasalahan, Firman tidak tergantikan di dalam setiap aspek kehidupan orang Kristen.

Fokus yang tidak kembali kepada Tuhan Sang pewahyu adalah fokus yang salah, dapat kita sebut juga bidat. Bidat tidak muncul dari luar wahyu Allah. Namun bidat muncul dari wahyu Allah yang diselewengkan atau dapat kita sebut counterfeit. Allah memerintahkan Adam dan Hawa untuk jangan makan buah dari pengetahuan yang baik dan yang jahat, tapi Iblis menggoda mereka dengan memalsukan Firman yang keluar dari mulut Allah. Di sinilah kita bergulat dengan problem akan dosa. Bagaimana penyelesaiannya? Apa prinsip Firman Tuhan yang harus dinyatakan di dalam menjawab problematika game di sini?

Van Til memang mengatakan bahwa “All creation is revelational“. Namun ia juga meneruskannya bahwa penyataan/wahyu Allah juga terbagi menjadi dua, yaitu revelation of wrath (wahyu akan murka Allah) dan revelation of grace (penyataan kasih anugerah Allah). Fokus yang harus tertuju kepada Allah adalah satu-satunya jawaban yang memang harus menguasai kita, fokus yang di dalam kebenaranlah membebaskan kita. Kita bebas di dalam mengikat diri kepada kebenaran. Ketika fokus kita sudah tidak lagi pada kebenaran maka sebenarnya hidup kita sedang menyatakan revelation of wrath dari Allah. Kita yang sudah di-justified di dalam kebenaran, harus berimplikasi kepada apa yang selanjutnya kita lakukan, yaitu menebus lingkungan kita, membuat environment/lingkungan yang juga harus di-redeem, dan hiduplah di dalamnya sebagai suatu anugerah yang membawa kita terus dan tidak berhenti di dalam menikmati dan memuliakan Allah. Inilah bentuk sanctification yang dijalankan oleh John Calvin dan Jonathan Edwards (sudah dibahas perjalanan hidupnya di beberapa edisi sebelumnya). Kembali kepada pertanyaan di atas: game apa yang lebih seru daripada menjalankan hidup di dalam keutuhan Firman? Maka seperti pertanyaan yang dilontarkan pada awal artikel ini: Petualangan apa yang lebih seru dibandingkan dengan petualangan yang diberikan oleh Yesus, yaitu mengabarkan Injil sampai ke seluruh dunia? Peperangan manakah yang lebih seru dibandingkan memenangkan jiwa? Berperang dengan keinginan dunia dan hawa nafsu yang fana, dan kita memang sudah dijanjikan menang. Maka, saya ajak kita semua mengembalikan seluruh definisi hidup kita kepada definisi Tuhan!

“Iya, bener juga sih apa yang logika Alkitab tawarkan kepada kita, memang harus kita jalankan. Tapi tunggu dulu… Peperangan itu melelahkan, kita butuh liburan, man! Bayangkan saja, ketika kita berperang terus menerus, kita pasti akan lelah!! Kita butuh istirahat. Masih kurang rohani?? Kita butuh Sabat!! Kita butuh istirahat di dalam Tuhan.”

Eitttsss… Harusnya situuu yang tunggu duluu…“. Justru dengan ia berbicara tentang logika Alkitab, ia sebenarnya sedang melawan logika Alkitab. Sekali lagi: fokus yang lepas dari pada Allah, pasti membuat kita tidak mengerti makna hidup yang Tuhan berikan kepada kita. Inilah pemikiran bidat. Kebahayaan yang paling mengerikan adalah bidat yang menggunakan istilah yang sama dengan istilah yang ada di Firman Tuhan, namun menekankannya di dalam fokus yang berbeda, bahkan bertentangan. Van Til mengatakan bahwa apapun yang kita lakukan itu sebenarnya hanya menyatakan 2 wujud pewahyuan Allah, entah itu murka Allah ataupun anugerah Allah. Kekristenan dipanggil menjadi umat Allah adalah untuk menjalankan apa yang hanya diperintahkan oleh Tuhan. Konsep Sabat harus dilihat di dalam definisi dari Allah. Ketika manusia lepaskan segala definisi dari Allah maka sebenarnya ia membunuh Allah[4].

Hal ini sangat terkait erat dengan Matius 12. Di dalam Matius 12 dikisahkan ada ahli-ahli Taurat yang berencana untuk membunuh Yesus (baca: Tuhan atas Sabat)[5] dengan hukum yang Allah sendiri ciptakan untuk manusia. Kecenderungan manusia mau mematikan Allah dengan cara menjalankan hukum yang Allah berikan[6]. Kita harus sadar bahwa di sinilah letak kejatuhan manusia di dalam dosa. Di dalam konsep Sabat pun, jangan-jangan kita masih salah. Fokus Sabat adalah Kristus, Tuhan atas Sabat. Bukan kepada “berhentinya“. Dapat kita lihat bukti yang memang Tuhan berikan, yaitu Pdt. Dr. Stephen Tong. Kapan Pak Tong menikmati Sabat?? Nggak Reformed donk kalo ga nikmatin istirahat? Satu jawaban yang sederhana akan muncul, yaitu memang Pak Tong tidak berfokus kepada pemberhentiannya, melainkan ia berfokus kepada Allah. Definisi yang benar hanyalah berasal dari Kristus yang adalah Firman. Game-kah? Istirahatkah? Kiranya bisa membawa kita mendalami keutuhan dari wahyu umum Allah dan membawanya kepada pengenalan kita akan Allah Sang Pencipta.

Di dalam bukunya God Centered Biblical Interpretation, Dr. Poythress mengatakan bahwa setiap definisi harus ditarik kembali kepada Allah, sang pemberi definisi. Setiap istilah/meaning yang kita pakai, harus dapat dilihat di dalam pengertian Allah Tritunggal. Kita dimampukan untuk mengerti di dalam pengertian Allah karena pengetahuan manusia analog dengan pengetahuan Allah. Adalah dosa jika kita membuang definisi Allah, dan mendefinisikan setiap hidup kita di dalam otonomi manusia, inilah yang Van Til katakan manusia yang kreatif ingin lepas dari Allah, creatively constructive. Mari kita kembali terikat kepada definisi yang benar, yaitu definisi di mana yang sudah Allah tetapkan di dalam penyataan-Nya. Wahyu Allah cukup bagi kita, baik di dalam wahyu umum (God is the creator) maupun wahyu khusus (Redemption in Christ).[7]

Mari kita memikirkan ulang apakah kita di dalam wahyu yang telah Tuhan berikan (general dan special revelation), mengerti, menjalankan, dan memperjuangkan hidup yang benar-benar memuliakan Allah, sang pemberi hidup kita! Life is Fun!! Mari kita bergulir di dalam kebenaran Firman Tuhan! Selamat menikmati hidup dengan memperjuangkan hidup yang mewahyukan Allah.

Hans Yulizar Sebastian

Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] Nature and Scripture, Cornelius Van Til
[2] Retreat Remaja GRII Pusat 6 Juli 2010, Wisma Berkat
[3] Amsal 1:20-21 – Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya.
[4] Khotbah FIRES setiap hari Kamis yang dibawakan oleh Ev. Edward Oei
[5] Mat. 12:8
[6] Mat. 12:14
[7] God Centered Biblical Interpretation (Chapter 5: Meaning), Vern S. Poythress

Referensi:

Tong, Stephen: Dosa dan Kebudayaan.

Poythress, Vern S.: God Centered Biblical Interpretation

Johnston, Robert K.: The Christian at Play

Jr., Richard L. Pratt: Every Thought Captive: A Study Manual For The Defense Of Christian Truth

Jr., Richard L. Pratt: Common Misunderstandings of Van Til’s Apologetics