Kekristenan dan Tradisi Reformed
Kekristenan mempunyai banyak warna dan tradisi. Jika kita bertanya kepada seseorang, “Apa agamamu?” di Indonesia, maka kemungkinan jawaban yang kita dengar adalah “Islam, Budha, Hindu, Kristen”. Bagi seorang non-Kristen yang tidak terlalu mengenal ragam warna dalam tradisi kekristenan, mungkin mendengar kata “Kristen” sudah cukup. Definisi dari “Kristen” sebagaimana diartikan dalam Kitab Kisah Para Rasul 11:26 adalah “Kristus kecil” atau “pengikut Yesus”. Dalam identitas iman yang paling mendasar dan sederhana, siapa pun yang percaya kepada Allah Trinitas dan menerima anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus adalah seorang Kristen (christian).
Akan tetapi, ketika kita menelisik lebih lanjut tentang kekristenan (Christianity), kita akan menemukan ragam warna di dalamnya. Secara umum, kekristenan dapat dibagi menjadi beberapa golongan tradisi utama: Katolik Roma (Roman Catholicism), Ortodoks Timur dan Koptik Oriental (Eastern Orthodoxy and Coptic Oriental), dan Protestan (Protestanism). Secara lebih spesifik lagi, dalam Protestanisme yang memiliki puluhan ribu sinode, ada beberapa aliran utama yang memberikan warna di dalamnya: Luteranisme, Calvinisme, Anglikanisme, Anabaptis, Baptis, Metodis, Pentakosta, dan Karismatik.
Ketika saya duduk bersama dalam sebuah cafe di universitas, di mana saya bertemu dengan beragam orang Kristen, biasanya ada sebuah pertanyaan: “Kamu gereja di mana?” Kira-kira, akan ada banyak jawaban. Ada yang membalas bahwa dia adalah seorang Kristen berdasarkan organisasi sinode yang diikutinya, dan dalam konteks Indonesia, kita akan banyak mendengar banyak gereja suku yang menjadi komunitas bergereja bagi para pengikut Yesus di Indonesia. Lalu, kalau ditanya lebih lanjut “Apa aliran atau tradisi yang menjadi dasar ajaran gerejamu?” Maka di situ, kita akan banyak mendengar nama-nama tokoh teolog ataupun konsep-konsep teologis yang menjadi muatan di balik brand di balik suatu aliran.
Kita sudah sering mendengar kata “Reformed”. “Aku adalah seorang Kristen Reformed” atau “Aku adalah seorang Protestan-Calvinis”, demikian ucapan yang sering kita dengar dalam sebuah pembicaraan antara umat Kristiani. Saat kita tanya lagi, “kamu Reformed yang mana?” Biasanya akan muncul beberapa tanggapan. “Aku sering mendengar Tim Keller yang adalah seorang Reformed di Amerika”, “Aku mendengar R.C Sproul yang adalah seorang teologi sistematik Reformed di Amerika”, “Aku mengikuti John Macarthur dan John Piper yang adalah Reformed-Baptis, yaitu mereka mengikuti tradisi Reformed tetapi menolak pembaptisan bayi”. Itu adalah penjelasan “Aku Reformed berdasarkan pengkhotbah yang diikuti oleh pendengar” – biasanya jawaban seperti demikian adalah hal yang diberikan oleh jemaat awam.
Lalu ada juga pertanyaan lain, “Teolog Reformed mana yang kamu ikuti atau baca karyanya?” Bagi yang berada di kalangan GRII, ada sebuah kedekatan dengan beberapa apologet, filsuf, dan pemikir yang muncul dalam buku-buku di perpustakaan. “Louis Berkhof”, “Herman Bavinck”, “Abraham Kuyper”, “Cornelius Van Til” yang sebagian besar adalah pemikir Reformed asal Belanda. “Charles Hodge”, “Jonathan Edwards”, “John Frame dan Vern Poythress” yang adalah pemikir Reformed asal Amerika. Ada juga yang membalas “George Whitefield”, “John Owen”, “Richard Baxter”, “John Bunyan” yang rata-rata adalah pemikir Puritan, yang orang Reformed yang mengkritik tradisi Anglicanisme.
Saya kira para pembaca artikel ini sudah banyak mendengar nama-nama pengkhotbah, penulis, dan para pemikir raksasa yang bergulat dalam bidang teologi Reformed. Bahkan mungkin sekali, di antara Anda sudah pernah membaca karya-karya tersebut. Bagi para pemikir Belanda, penekanan teologi Reformed terletak pada kedaulatan Allah (sovereignty of God). Pada pemikir Puritan-Inggris dan Amerika, pietisme atau menarik doktrin Reformed ke dalam kehidupan praktis dan kerohanian sehari-hari adalah hal yang cukup kuat. Akan tetapi, setelah mengetahui semuanya ini, jika kita bertanya kepada akar dari seluruh perkembangan tradisi tersebut, “Apa yang menjadi ciri khas teologi Reformed yang dirumuskan oleh John Calvin sendiri?” Kira-kira, apa jawaban kita?
Konteks Kehidupan orang Kristen pada abad ke-16
Mari kita bayangkan sebuah kehidupan orang Kristen pada masa abad pertengahan dan renaisans yang tampaknya “terlihat kristen”. Semua orang pergi ke gereja, mengikuti misa tiap minggu, hadir dalam sebuah pengakuan dosa, dan mendengarkan para rohaniawan berkhotbah dalam bahasa yang tidak dimengerti. Para jemaat yang hadir dalam gedung gereja hanya dapat mengenal kisah-kisah Alkitab melalui lukisan yang terlihat pada jendela bewarna, yaitu sebuah karya seni yang indah, dan mereka ingin untuk dekat dengan “Allah yang tidak mereka kenal”. Para jemaat itu pernah mendengar nama-nama tokoh Alkitab seperti “Musa”, “Daud”, tetapi yang paling penting di antara semuanya adalah “Yesus”. Ya, itu adalah nama-nama terkenal yang sering diucapkan dalam gereja seperti mendengar nama raja, tetapi belum tentu bisa dikenal dengan dekat. Seperti kita hari ini yang mendengar nama-nama artis luar negeri atau seorang politikus yang berkuasa, tetapi terkesannya dia adalah pribadi yang jauh di luar sana dan tidak terlalu relate.
Hanya saja, para jemaat merasa bahwa mereka didorong untuk memberikan persembahan. Barulah, mereka dapat menerima roti dari para imam. Dengan harapan bahwa keluarga mereka dapat segera dilepaskan dari api purgatori di tengah alam maut, maka mereka perlu ke gereja untuk melepaskan orang yang mereka kasihi dari situ. Dan mungkin saja, itu juga menjadi sarana bagi jemaat untuk tidak lagi terikat dalam api yang perlu dilalui dengan sangat lama sebelum mereka bisa ke surga. Ada banyak desas-desus bagaimana seseorang bisa pergi ke surga. Namun yang pasti, gereja adalah satu-satunya tempat di mana para pengikut memperoleh harapan. Di luar gereja yang terlihat, tidak ada keselamatan.
Gereja Katolik Roma pada saat itu dipenuhi dengan transaksi gelap. Surat penebusan dosa menjadi “jimat” yang dijual kepada jemaat, di mana mereka bisa “membeli” boarding pass versi express untuk berangkat ke surga atau mempercepat proses di api penyucian. Mungkin saja, bapak gereja seperti Agustinus mengajarkan bahwa keselamatan adalah semata-mata karena anugerah, tetapi setelah seribu tahun, ajaran tentang keselamatan menjadi tidak jelas. Katanya imam ini dan itu, katanya uskup ini dan itu, katanya Paus ini dan itu – itulah yang menjadi pegangan bagi jemaat yang dipenuhi oleh kecemasan. Gereja yang sudah sebesar kekaisaran (empire) sudah tidak lagi menjadi sebuah gereja, yaitu komunitas orang percaya. Iman Katolik (iman universal) yang mengundang semua orang dari ras dan batas-batas geografis mana pun sebagaimana disebut oleh Ignatius dari Antioch, ternyata mulai luntur di gereja Barat. Pada saat itu, gereja Barat dipenuhi dengan korupsi finansial dan kepentingan kekuasaan sebagaimana terjadi dalam kekasiaran Romawi. Gereja menjadi lebih Roma daripada Katolik, dan iman Kristen ditinggalkan sehingga organisasi gereja menjadi sebuah Kristendom, yang lebih mengedepankan kepentingan suatu golongan tertentu.
Korupsi dalam gereja sudah terjadi sejak abad ke-12. Fransiskus Asisi (1182-1226) dan Thomas Aquinas (1225-1274) meletakan prinsip pelayanan dan doktrin untuk “membersihkan” gereja dari ajaran yang tidak baik. Akan tetapi, hal itu masih tidak mengurangi permasalahan dalam gereja. Pada abad ke-15, John Huss dan John Wycliffe menjadi martir dan menuliskan Alkitab dalam bahasa lokal (bahasa Inggris) sebagai bentuk kritik terhadap gereja Barat. Dan tiba-tiba, pada abad ke-16, muncullah seorang imam Katolik yang taat kepada ajaran Katolik menurut Kitab Suci. Imam ini hanyalah “seorang romo biasa” seperti Fransiskus Asisi dan Thomas Aquinas pada zamannya, dan seorang Jerman pula, yaitu suatu kelompok etnis yang dipandang sebagai kelompok “barbar” menurut mereka yang duduk di Roma, Italia. Ternyata, protes yang dilakukan Martin Luter disetujui oleh banyak raja Jerman, yaitu “gubernur-gubernur” yang selama ini juga muak dengan korupsi yang dilakukan dari Roma, dan semangat Reformasi gereja terjadi. Kekaisaran Roma melawan “kelompok-kelompok Barbar”, dan pertaruhan gerakan reformasi itu terletak pada satu permasalahan: “Siapakah Tuhan dan bagaimana manusia dapat diselamatkan?”
Permasalahan Reformasi tidak terletak pada persoalan Bunda Maria (Mariologi) ataupun pada masalah Perang Salib yang menyebabkan gereja Barat membutuhkan uang dari jemaat (indulgensia). Gerakan Reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther dan John Calvin adalah persoalan keselamatan (Soteriologi), yaitu doktrin inti yang membahas apakah manusia selamat karena Tuhan yang menyelamatkan diri mereka (by faith through grace alone) atau karena pekerjaan manusia kepada suatu organisasi religius (human works). Kritik ini juga ditujukan kepada bapak gereja Agustinus yang mencetuskan proto-konsep (ide awal) tentang “api penyucian” di gereja Barat yang kemudian disahkan dalam Konsili Lyons kedua pada tahun 1274 (sekitar 1000 tahun kemudian), yang justru melemahkan anugerah dalam karya penebusan Kristus. Konsili ini muncul bersamaan dengan deklarasi Perang Salib di Timur Tengah. Di situ, para reformator mengkritik keras dan tetap menegaskan bahwa keselamatan bukanlah sebuah karya yang dikerjakan oleh manusia, dan karya keselamatan Kristus adalah sebuah finalitas yang menjamin keselamatan sehingga manusia dapat bertobat dan berbuah perbuatan baik yang mengasihi Allah (relasional) – bukan karena dia takut masuk neraka atau kabur dari proses purgatorial sehingga manusia “berdagang perbuatan baik” dengan Allah (transaksional). Keselamatan adalah karya Kristus semata-mata, dan darah-Nya yang sangat berharga dicurahkan dengan cuma-cuma kepada manusia yang berdosa (relasional).
Catatan Awal Karya The Christian Intitutes oleh John Calvin
John Calvin adalah seorang Katolik awam yang baru saja lulus sekolah hukum. Dulunya, dia sering menulis paper-paper filsafat dan sosial-humaniora, mendalami pemikiran Cicero, dan dia mendengar tentang seorang imam asal Jerman yang “ngajak ribut” kardinal dan Paus. Dia melihat bahwa apa yang dilakukan oleh imam tersebut benar dan memikirkan untuk mendalami apa yang menjadi inti iman Kristen. Pada saat itu, perlu dipahami bahwa gereja Barat (Katolik Roma) belum merumuskan dengan jelas tentang doktrin keselamatan sampai selesainya Konsili Trent pada tahun 1563. Konsili Trent adalah gerakan Counter-Reformation yang muncul sebagai sebuah kritik terhadap perkembangan Protestanisme dan Reformasi. Adapun demikian, Augsburg Confession yang ditulis pada tahun 1530 oleh Philip Melanchton, seorang penulis sistematik di bawah bimbingan Martin Luther, merupakan sebuah kritik terhadap tradisi gereja Katolik Roma dan penegasan ulang tentang doktrin-doktrin inti dalam kekristenan. Luther menuliskan 95 tesis untuk dibaca oleh kaum rohaniawan, Melanchton menulis Augsburg Confession untuk dibaca oleh Emperor Charles V.
Jadi, pada zaman itu, hanya ada dua dokumen teologis yang bersifat non-sistematik yang menjadi dasar iman Kristen Protestan. Karya sistematik dari golongan Lutheran termuat dalam Book of Concord yang terbit pada tahun 1580, yaitu setelah selesainya konsili Tren yang dilakukan oleh gereja Katolik Roma. Di tengah situasi tersebut, John Calvin yang masih berusia 27 tahun menulis edisi pertama dari The Christian Institutes pada tahun 1536 sebagai sebuah “manual” dan ajaran sistematik untuk dibagikan kepada orang Kristen awam. Edisi ini memuat 200 halaman. Pada tahun-tahun selanjutnya, tulisan ini terus menerus direvisi sampai pada tahun 1559 dengan edisi final yang disusun oleh John Calvin sendiri.
Selama 23 tahun sejak edisi pertama dimuat, Calvin diakui menjadi salah satu teolog dan pengajar raksasa, dan dia terus menerus menulis. Tulisan The Christian Institutes yang kita terima hari ini dengan sekitar 1200 halaman adalah hasil revisi selama dua abad dari kehidupan Calvin sendiri untuk melakukan “re-format” (reformasi) atau penyusunan ulang terhadap nilai kekristenan dari berbagai tradisi yang diwariskan dalam sebuah gereja. Selain Agustinus yang menulis City of God (sekitar 1000 halaman) dan Aquinas yang menulis Summa Theologica (sekitar 5000 halaman) yang adalah dokumen terpenting dalam sejarah gereja, tulisan John Calvin menjadi sebuah kontribusi bagi kekristenan, khususnya bagi gereja di Barat. Perlu diingat juga, John Calvin bukanlah seorang rohaniawan seperti Agustinus, Fransiskus, Aquinas, atau Luther. Dia bukan seorang “romo biasa”, melainkan seorang awam yang tidak pernah belajar teologi, tetapi merenungkan Firman Tuhan dan menuliskan isi renungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya perkembangan teologi dan suara Firman Allah juga dapat disalurkan melalui kaum awam, dan tidak selalu rohaniawan (dalam sejarah pemikiran Kristen juga menunjukkan bahwa kaum awam seperti Blaise Pascal, Kierkegaard, Dostoevsky, Leibniz, J.R.R Tolkien, C.S Lewis, Herman Dooyewerd, Alvin Platinga adalah beberapa contoh non-rohaniawan yang berkontribusi besar terhadap kekristenan).
Secara mendasar, struktur dari buku The Christian Institutes, disusun menurut struktur “Pengakuan Iman Rasuli” yang bersifat Trinitarian. Bermula dari pengetahuan akan Allah Bapa, pengetahuan akan Allah Putra yaitu Yesus Kristus, penerimaan akan anugerah Kristus melalui Roh Kudus, dan peran gereja, sistem pemerintahan dalam gereja (church governance) dan dunia. Di antara seluruh buku itu, saya menemukan bahwa bab yang paling komprehensif dapat ditemukan pada pembahasan Allah Trinitas, mengasihi sesama manusia, Doa, dan Sakramen Perjamuan Kudus. Menariknya, tema mengenai “predestinasi” yang seringkali menjadi sebuah pembahasan dan perdebatan di antara kalangan Kristiani dalam mengkritik Calvinisme atau teologi Reformed (Calvinisme dan ajaran yang diwariskan oleh penerusnya seperti “TULIP”) justru menjadi suatu “catatan kaki” yang tidak terlalu signifikan. Pembahasan mengenai predestinasi juga dibahas oleh Agustinus dan diafirmasi oleh Thomas Aquinas walaupun ditolak sebagai bagian dari ajaran inti oleh magisterium Katolik Roma ketika dikaitkan pada doktrin keselamatan. Sedikit catatan, Katekismus Gereja Katolik Roma yang diterbitkan dan divalidasikan oleh Yohanes Paulus II pada tahun 1992 juga mengikuti struktur Pengakuan Iman Rasuli; penyusunan bab dalam katekismus tersebut mengikuti struktur yang termuat dalam The Christian Institutes. Susunan Pengakuan Iman Rasuli sebagai struktur sistematis yang dipilih oleh John Calvin memang menjadi acuan dasar untuk membangun ajaran iman Kristen yang kokoh.
Salah satu hal yang cukup membuat saya kaget adalah dalam karya The Christian Institutes, Calvin hampir tidak pernah menyebut nama “Luther” sebagai kutipan. John Calvin mengutip Agustinus (354-430) sebanyak 385 kali; Agustinus adalah bapak gereja yang memang adalah teolog raksasa dalam tradisi Barat. Kemudian, Calvin juga mengutip John Chrysostom (349-398) sebanyak 55 kali yang adalah seorang teolog dari tradisi Timur. Chrysostom dapat dipandang sebagai “Agustinusnya versi Timur”. Terakhir, Calvin mengutip Bernard dari Clairvoux (1090-1153) sebanyak 70 kali; Bernard adalah seorang rohaniawan Katolik dari Ordo Cistercian, seorang “reformer” pada masa itu sekaligus tokoh yang memelopori Perang Salib. Calvin mengutip sekali dari Thomas Aquinas (1225-1274) dan tiga kali dari Origen (185-254) dalam membahas kehendak bebas manusia (freewill). Calvin mengutip Paulus sebanyak 902 kali, yaitu sang Rasul dan juga seorang Yahudi yang percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Mesias (Juruselamat). Saya tidak perlu menghitung berapa kali Calvin mengutip Yesus Kristus dengan segala “nama julukan” lainnya (sang penggembala, sang guru, dll) sebab jumlahnya akan sangat banyak.
Maksud dari menghitung nama dan jumlah yang dikutip adalah kita dapat melihat kepada siapa John Calvin belajar tentang nilai kekristenan dari para pendahulu. Calvin belajar dari Paulus, darinya dia mendapatkan konsep tentang janji Allah (convenantal theology), Calvin belajar dari Agustinus, doctor of grace yang menyatakan bahwa keselamatan adalah semata-mata karya Allah dalam memenuhi janjinya (grace alone), Calvin belajar dari Chrysostom yang menyatakan bahwa titik awal dan tujuan akhir dari iman kristen adalah kerendahan hati (humility), dan Calvin belajar dari Bernard yang membahas tentang pertobatan dan manusia kembali kepada kehendak Allah (repentance). John Calvin melihat kembali kepada tulisan Paulus mengenai janji Allah kepada Abraham, Ishak, Yakub, dan para nabi, kepada ajaran para rasul bapak-bapak gereja, tradisi gereja Barat dan Timur, dan mencoba untuk meramukan semuanya dalam sebuah kesatuan. “Meramukan semuanya” dalam sebuah kesatuan – itulah yang dimengerti sebagai sebuah teologi Reformed.
John Calvin sendiri tidak mencetuskan istilah “Reformed” itu sendiri. Jadi, andaikan saja John Calvin duduk bersama dengan orang Kristen, yaitu kita yang percaya kepada Yesus. Lalu kita tanyakan kepadanya, “Permisi tanya Pak Calvin, Anda itu Kristen yang apa ya?”
“Katolik Roma?”
“Bukan”
“Ortodoks Timur?”
“Bukan”
“Luteran Protestan”
“Saya belajar darinya, tetapi bukan”
“Mungkin Reformed atau Calvinis? Mungkin Anda Kristen Reformed Belanda? Puritan? Amerika? Anglikan?”
“Saya bukan pencetus teologi baru, apalagi teologi yang menggunakan nama saya sendiri, saya tidak tahu tentang ajaran yang Anda sebutkan.”
“Jadi, Anda itu Kristen apa?”
Kira-kira, apa yang menjadi jawaban John Calvin terhadap pertanyaan tersebut? Saya kira John Calvin akan menjawab pertanyaan itu dengan sebuah sikap seperti ini:
“Saya hanyalah pengikut Yesus. Dan saya mencoba untuk mengingat pekerjaan Allah dan karya keselamatan-Nya, dari janji-Nya kepada Abraham, Ishak, Yakub. Dinubuatkan oleh para nabi, digenapkan dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dinyatakan oleh para rasul. Diteruskan oleh Roh Kudus dalam diri orang percaya, dalam gereja Barat dan Timur, yang menyimpan kekayaan ajaran dan bijaksana Allah untuk melengkapi orang Kristen sampai hari ini – dan mungkin untuk Anda sekalian yang menerima berkat Allah.”
John Calvin merasa bahwa dia tidak pernah mencetuskan suatu novelty atau kebaruan dalam teologinya. Calvin hanya merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk menemukan “titik temu” dari Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, tradisi gereja Barat dan Timur, sehingga warna kekristenan asali (mere Christianity) yang ekumenis dapat ditawarkan dengan segala kekayaannya kepada orang Kristen awam untuk menikmati berkat Allah dalam gereja-Nya. Jadi karya The Christian Institutes sendiri adalah sebuah karya yang memuat warna keyahudian (janji Allah akan keselamatan), kekatolikan (dosa asali dan pertobatan), tradisi ortodoks (penyatuan dengan Allah melalui penderitaan dan kerendahan hati), dan juga yang paling penting, tentang Tuhan Yesus sendiri yang memberikan Diri-Nya sebagai Juruselamat bagi yang percaya kepada-Nya.
Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam tradisi Reformed, saya banyak belajar tentang Calvinisme yang diwariskan oleh pemikir Reformed, dan itu memang membantuku untuk memahami ajaran kekristenan secara sistematik. Akan tetapi, setelah saya membaca karya John Calvin, The Christian Institutes, dari halaman pertama sampai halaman terakhir, saya menemukan rasa cinta yang lebih dalam akan Firman Tuhan, dan juga kekayaan tradisi gereja dari Barat (Katolik) dan Timur (Ortodoks), dan juga dari Perjanjian Lama (Yahudi) dalam mendefinisikan siapa diri orang Kristen dengan lebih lengkap. Tulisan Calvin bukan sebuah “kritik saja” terhadap Katolik Roma, tetapi lebih dari itu, tulisannya adalah sebuah Biblical & Historical Reinterpretation of Christianity dalam sebuah moderasi dan kesatuan yang menyeluruh. Sekarang, sebagai seorang “Kristen Reformed” yang sudah berkenalan dengan Calvin itu sendiri, saya dapat menyatakan bahwa dalam banyak hal, tulisan The Christian Institutes bisa memberikan sebuah wawasan. Barangkali kita akan menemukan bahwa pemikiran teologis yang berbau “Calvinis” atau “Reformed” maupun sistem pemerintahan gereja (church governance) yang kita kenal, sebetulnya belum sungguh-sungguh mencerminkan cita-cita asali yang termuat dalam The Christian Institutes (saya tidak dapat menyatakan bahwa itu adalah cita-cita John Calvin sebab apa yang dicita-citakan olehnya adalah untuk kembali kepada Firman Allah).
Intisari dari The Christian Institutes
Istilah Institutes dapat dimengerti sebagai sebuah “instruksi” atau pedoman. Dan untuk memahami intisari dari karya ini, dalam segala keringkasan yang dapat dilakukan, kita bisa memungut kalimat pertama yang ditulis oleh John Calvin. “Hampir seluruh dari hikmat yang kita miliki, yaitu yang benar dan bijak, terdiri dari dua bagian: pengetahuan tentang Allah dan diri manusia” (Nearly all the wisdom we possess, that is to say, true and sound wisdom, consists of two parts: the knowledge of God and of ourselves). Istilah “mengenal” atau “mengetahui” dalam bahasa Ibrani adalah yada (יָדַע). Yang dimaksud dengan pengenalan akan Allah adalah berelasi dan bersatu dengan-Nya melalui Yesus Kristus. Inilah intisari dari seluruh ajaran Reformed yang ingin ditawarkan oleh John Calvin. Dan untuk mengenal Tuhan, kita perlu kembali kepada-Nya, percaya akan janji-janji-Nya (covenantal theology), dan berbuah untuk menyatakan kasih Allah, yaitu kemuliaan-Nya. Inilah ajaran Reformed yang termuat dalam karya The Christian Institutes. Janji Allah adalah dasar dan jaminan bagi manusia untuk menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya.
Bagi seorang Katolik, perziarahan batin seperti yang dikisahkan dalam The Pilgrim’s Progress adalah inti dari ajaran gereja Barat, yaitu ketika manusia mengalami transformasi dan menjadi semakin dekat dengan Allah dalam pengudusan (sanctification). Bagi seorang Ortodoks Timur, misteri persatuan dengan Kristus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya dalam penderitaan dan kebangkitan-Nya (theosis). Bagi seorang Luteran, warna teologis yang ditawarkan adalah kesadaran bahwa diri adalah pendosa yang telah dibenarkan oleh Allah (saint and sinner) dan hidup dengan kejujuran di hadapan-Nya (coram Deo, before God). Bagi seorang Calvinis atau seorang Kristen yang mengikuti teologi Reformed, intisari dari ajaran kita bukan tentang predestinasi, bukan tentang kedaulatan Allah, bukan tentang akronisme “TULIP” (Total Depravity, Unconditional Election, Limited Atonement, Irresistable Grace, Perseverance of the Saints) sebab itu semua hanyalah “printilan sekunder”. Akan tetapi, intisari dari teologi Reformed adalah “untuk menemukan siapa diriku menurut janji dan karya Allah, dan menemukan anugerah Kristus yang menjadikanku sebagai milik-Nya”, yaitu hubungan antara manusia yang sudah ditebus dan Allah yang menebus kita. Tuhan adalah Allahku dan aku adalah umat-Nya.
Kalau teologi Reformed hanya berhenti pada kedaulatan Allah (sovereignty of God), itu tidak akan berbeda dengan teologi yang ditawarkan oleh agama Islam di mana Allah adalah penguasa semata (sovereigntism). Kalau teologi Reformed hanya berbicara tentang predestinasi, yaitu siapa yang selamat dan tidak selamat, maka itu tidak jauh berbeda dengan Thanos yang menjentikan jarinya secara unconditional dan akhirnya setengah dari umat manusia tewas menjadi abu. Predestinasi yang dicetuskan oleh Agustinus, Aquinas, dan Calvin jika diberhentikan sebagai sebuah “lotere ilahi”, itu adalah sebuah ekspresi yang dingin dan tidak memuat isi hati Allah yang semestinya. Gambaran ini melukiskan bahwa manusia dijadikan sebuah objek yang mati (bukan hanya pasif), dan bukan sebagai subjek peta teladan-Nya yang berharga.
Ketika “kedaulatanisme” menggeser “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:16), di mana atribut Allah menutupi identitas Allah Trinitas sendiri, maka Allah seperti demikian bukanlah Allah yang mengingat akan perjanjian-Nya untuk berelasi dengan umat-Nya. Tuhan seperti demikian bisa ditakuti, dan kita bisa bersyukur kepada-Nya jikalau Dia melepaskan kita dari hukuman ilahi – tetapi kita tidak dapat mengasihi-Nya. Hubungan seperti ini adalah hubungan antara seorang pelanggar hukum dan polisi lalu lintas, bukan sebuah hubungan antara seorang anak dengan Bapa. Kasih hanyalah mungkin jika diposisikan dalam hubungan perjanjian yang relasional (sebab Allah Trinitas yang relasional adalah kasih), bukan antara penguasa dan yang dikuasai (walaupun memang Allah adalah Mahakuasa). Jika Allah hanyalah penguasa yang berdaulat, maka satu-satunya jalan keselamatan adalah jika kita telah “memberhasilkan diri” dalam perbuatan baik yang menyelamatkan (my works), dan bukan karena iman semata (faith alone), yaitu menerima perjanjian-Nya. Pandangan seperti demikian tidak jauh berbeda dengan korupsi doktrinal dan iman yang dialami oleh gereja Katolik Roma pada masa Martin Luther dan John Calvin, dan itulah sebabnya reformasi senantiasa terjadi (semper reformanda) untuk mengingatkan kita akan makna iman yang sesungguhnya.
Teologi Reformed juga bukan soal mengenang Reformasi saja. Penekanan akan the five solas saja (sola scriptura, sola gracia, sola fide, solus christus, soli deo gloria), yang adalah “Pancasila Protestanisme” atau “kelima sila Reformasi”, memang menjadi dasar bagi teologi Reformed. Akan tetapi, kita perlu mengingat bahwa teologi Reformed bukan soal anti-Katolik dan anti-Luteran supaya mempunyai distingsi tersendiri sebagai sebuah “teologi yang lebih canggih” pasca terjadinya Reformasi Protestan. Teologi Reformed juga bukan sebuah anti-liberalisme atau anti-karismatikisme yang terjadi pada abad ke-20. Hal seperti demikian adalah sebuah sikap anti-tesis terhadap gerakan pencerahan Eropa Barat dan gerakan posmodernisme Amerika.
Kita perlu ingat bahwa sekadar menyuarakan “anti-tesis” tidak menghasilkan sebuah tesis untuk membangun sebuah ajaran yang sehat. Seandainya seluruh antitesis “diagregatkan” menjadi teologi “Reformed” yang kita kenal, maka kita sudah sangat jauh dari makna iman yang direnungkan oleh John Calvin. Ada yang beranggapan bahwa menjadi “anti” bisa seseorang bisa menjadi unik dan istimewa seperti yang diungkapkan oleh kaum posmodernis ekstrem. Akan tetapi, hal itu malah membuatnya menjadi semakin tersendiri sehingga sulit bersekutu dengan orang Kristen lainnya dalam tubuh Kristus. Sebaliknya, jika kita berasumsi bahwa teologi Reformed hanyalah sebuah sistem teologis, dan bukan sebagai sebuah renungan meditatif akan Firman Allah seperti yang diinginkan, maka itu tidak jauh berbeda dengan modernisme Eropa Barat yang menolak pribadi Tuhan yang hidup dan ditukar dengan sebuah ide tentang “tuhan” sebagai sebuah sistem yang mati.
Itu bukanlah teologi perjanjian, melainkan sebuah teologi yang mengobjekan. Dan sejauh kita membaca Kitab Suci, sepertinya Tuhan tidak ingin disembah sebagai sebuah fantasi (proyeksi imajiner) atau sebuah sistem (konstruksi rasionalistik) yang hanya dimiliki oleh segelintir orang layaknya sebuah berhala simpanan yang diwariskan secara tradisionalistik saja. Sebagaimana Pascal menyatakan, “Allah yang kusembah adalah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub – bukan Allah para filsuf”, demikian juga kita perlu mengingat bahwa Allah yang diajarkan dalam teologi Reformed bukanlah Allah yang impersonal. Dia memperkenalkan Diri kepada umat-Nya dan kepada dunia sebagai Allah yang hidup dan personal, yaitu sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub – yang kepada para nenek moyang Dia mengikat suatu perjanjian kasih yang kekal.
Dengan membaca The Christian Institutes, seharusnya itu akan membawa kita lebih mendalami maksud dan benang merah dari Firman Tuhan, yaitu berelasi dengan Allah. Bukan mengagumi nama “Calvin” atau para penerusnya – sebab itu juga bukan hal yang dinginkan oleh John Calvin. Poin inti yang menjadi “jantung” dari teologi Reformed adalah me-reform-kan atau merajut kembali hubungan “aku dan Tuhanku” (I and Eternal Thou). Seperti seorang anak terhilang yang kembali kepada Bapa, yang mengenal identitas asali, identitas yang dikembalikan, identitas yang dijanjikan Tuhan kepada anak-Nya: “Aku berjanji untuk mengasihi engkau, sebab engkau adalah anak-Ku, dan Aku adalah Bapamu”. Seandainya kita sungguh-sungguh memahami apa yang dimaksud dengan “rumusan perjanjian” yang dimaksud itu bahwa Allah mengasihi kita karena Dia adalah kasih dan memilih untuk memberikan Diri-Nya kepada kita, maka cara kita memandang Alkitab juga akan menjadi sangat berbeda.
Perhatikan, “Aku adalah Allahmu, dan engkau adalah umat-Ku”, bukan “kamu menjadi umat-Ku dulu dengan melewati batas minimal kerohanian, baru Aku bisa diyakinkan untuk menjadi Allahmu”. Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah memilih untuk memberikan Diri-Nya kepada kita terlebih dahulu (unconditional election), barulah setelah itu kita yang berdosa (total depravity) dipungut, diselamatkan, dan terus dipelihara secara kekal oleh-Nya (perseverance of God’s grace in His saints).
Allah mengasihi kita bukan karena kita sudah rohani, sudah “Kristen duluan”, sudah menguasai segala kedoktrinan, kereforman, sudah mencapai titik pengudusan yang luar biasa, atau apa pun itu. Sebab kalau memang itu adalah ukurannya, maka kita akan sulit untuk membayangkan bagaimana Allah tetap setia akan janji-Nya untuk menyelamatkan dan memelihara ketika kita mengalami kegagalan. Ketika kita merasa bahwa Allah mengasihi kita karena ada sesuatu yang kita kerjakan, maka dalam hati kecil, terdapat sebuah suara yang berbunyi bahwa dia mengasihi kita bukan karena dia ingin mengasihi kitanya, tetapi karena dia ingin “mengekstrak” sesuatu itu dari kita. Seolah-olah “Tuhan” seperti ini bergantung kepada ciptaan-Nya supaya dapat dipuja, dan jika memang ada “tuhan” seperti demikian, maka pastinya dia tidak berdaulat (sovereign) dan bukanlah kasih (Trinity). Tidak ada anugerah (grace) yang diterima dalam sikap percaya yang berserah (faith), melainkan sebuah “manipulasi ilahi” yang menuntut manusia untuk bekerja dengan kekuatan etis yang egois seperti yang dikisahkan dalam Pelagianisme (perbuatan baik tanpa anugerah), Arianisme (monoteisme mutlak), Deisme (tuhan mencipta tetapi tidak peduli akan ciptaannya), dan Gnostisisme (tuhan yang jauh di luar sana dan tidak dapat dikenal).
Ketika kita bertanya, “Mengapa Allah memilih untuk mengasihi kita?” Kita dapat membayangkan pertanyaan itu ditujukan kepada ayah kita. “Kenapa ayah mau mengasihi aku?” Satu-satunya jawaban yang memuaskan adalah karena “Allah mengasihi kita semata-mata Dia adalah Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya”. Dan kita adalah anak yang sudah ditebus dan dimiliki dalam Putra-Nya, Yesus Kristus. Darah yang dialirkan di kayu salib menjadi darah perjanjian kasih yang kekal sehingga hubungan konvenantal itu direstorasi. Inilah yang dikenal sebagai kemuliaan Allah, yaitu perjanjian kasih yang kekal, di mana Allah menyatakan, memberikan, dan mengikatkan Diri-Nya kepada manusia berdosa yang ditebus oleh-Nya. Inilah benang merah dari Kitab Kejadian sampai Wahyu, intisari dari The Christian Institutes, dan semoga bisa menjadi sebuah inspirasi untuk membangun hubungan kita dengan TUHAN Allah yang dikenal dalam nama Tuhan Yesus Kristus.
“Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” (Kejadian 17:7)
‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.” (Wahyu 21:1–3)
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat