person reading book

The Nature of Reformed Dogmatics

Doktrin atau dogma atau pengajaran firman Tuhan, sering kali dipandang sebelah mata. Kegiatan atau seminar pembinaan doktrin, dan juga kelas-kelas theologi, tidak terlalu diminati. Sehingga terjadi perbedaan yang kontras antara kelas atau seminar pembinaan iman dibanding dengan acara seperti perayaan Natal, acara kebersamaan, outing, “kepang” (kebaktian padang), dan sebagainya. Demi perayaan Natal atau acara kebersamaan, kita rela sibuk berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mempersiapkannya. Bahkan kalau perlu bergadang sekalipun, kita akan jalani. Tetapi giliran kelas pembinaan, secara mendadak kita tidak rela memberikan waktu kita untuk belajar. Di satu sisi kita begitu rindu berbagian dalam pelayanan (entah karena mengerti anugerah Tuhan dalam pelayanan, atau hanya sekadar aktualisasi diri), tapi di sisi lain kita begitu malas belajar firman Tuhan. Berbagai alasan muncul berkaitan dengan hal ini. Mulai dari anggapan bahwa theologi terlalu berat dipelajari dan tidak relevan, hingga anggapan bahwa kesalehan hidup tidak ada hubungannya dengan doktrin yang hanya memenuhi otak saja. Mungkin juga membaca PILLAR termasuk di dalamnya.

Di situasi yang lain, di dalam kelompok yang memiliki niat belajar, doktrin atau theologi pun sering disalah mengerti. Mereka mungkin sangat antusias untuk belajar theologi, bahkan karena begitu giat, pengertian mereka akan firman Tuhan dapat mengalahkan pengertian firman Tuhan para hamba Tuhan yang malas belajar. Sungguh luar biasa, bukan? Tetapi kelompok ini pun tetap memiliki bahaya – yang mungkin sekali lebih berbahaya dibanding yang malas belajar. Kebahayaannya adalah mengerti theologi sebagai hal yang deskriptif dan tidak menjadi pembelajaran yang transformatif atau tepatnya redemptive. Sederhananya hidup menjadi seperti orang Farisi dan ahli Taurat yang munafik.

Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Menghindari pembelajaran theologi atau harus giat belajar? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu kembali mengerti natur theologi itu sendiri. Dalam rangka memperingati 500 tahun Reformasi, penulis mencoba membahas kembali natur dari theologi yang seharusnya menjadi dasar kita mengenal Allah dengan benar. Pada pembahasan kali ini, theologi yang dimaksud adalah systematic theology atau juga disebut dogmatics (kedua istilah memiliki perbedaan tetapi penulis tidak membahasnya kali ini), khususnya dalam aliran Reformed. Melalui pembahasan ini, kiranya Roh Kudus – yang adalah Roh Kebenaran yang diutus Kristus – diam dan menyertai kita (Yoh. 14:17), serta mengingatkan kembali seluruh ajaran Kristus sebagai kebenaran yang mutlak dari Allah.

Etymology
Dogmatics/dogmatika berasal dari kata dasar “dogma”, yang diambil dari bahasa Yunani “dokein”, memiliki arti “ajaran yang pasti dan sudah ditentukan, sehingga bersifat mutlak”. Penggunaan istilah ini dapat ditelusuri hingga abad sebelum Masehi. Contohnya, Cicero di dalam bukunya Academica menjelaskan dogma sebagai sesuatu yang stabil, tetap, masuk akal, dan tidak ada argumen yang dapat membantahnya. Sedangkan sejarawan Josephus meneliti bahwa orang Yahudi melihat Taurat/Perjanjian Lama sebagai dogmata yang diberikan Tuhan. Dalam arti yang sama, Bapa-bapa Gereja juga melihat doktrin Kristen sebagai dogma dari Tuhan, inkarnasi Kristus sebagai dogma theology, kebenaran akan iman yang bersifat otoritatif bagi gereja sebagai dogma gereja, dan seterusnya. Penggunaan kata ini menjelaskan bahwa dogma adalah pengajaran yang berisi tentang perintah, keputusan, kebenaran, dan aturan untuk hidup yang telah dibangun secara mapan dan kuat untuk dipercayai sebagai kebenaran. Berdasarkan pengertian ini, kita coba untuk mengerti akan natur dari dogmatika Reformed.

Natur Dogmatika
Kemapanan dan kekukuhan sebuah dogma bergantung pada dasar otoritatif dogma tersebut. Contohnya, dogma politik berdiri di atas otoritas dan keabsahan kedaulatan sebuah pemerintah, sedangkan dogma filosofis mendapat kekuatan dari argumentasi dan validitas logika yang membangunnya. Dasar otoritas ini yang membedakan dogma theologis dengan dogma-dogma lainnya. Dogma theologis/religius berdiri hanya di atas otoritas penyataan ilahi atau wahyu. Konsep wahyu ini adalah konsep yang ada di dalam beberapa agama di dunia. Dalam kekristenan, khususnya Reformed, menempatkan otoritas Alkitab – yang adalah wahyu Allah – dengan otoritas yang tertinggi. Hammurabi menuliskan hukumnya sebagai wahyu dari dewa matahari Tamas. Zarathustra dipanggil menjadi nabi dalam mimpinya, lalu diangkat ke sorga oleh malaikat dan bertemu dengan Ormazd atau Ahura Mazda. Muhammad menerima wahyu pertama ketika berumur 40 tahun yang isinya tercatat dalam Qur’an. Sedangkan dogma Reformed memercayai bahwa tidak ada kebenaran selain dari wahyu yang diberikan oleh otoritas Tuhan di dalam Alkitab. Alkitab sajalah yang menjadi dasar dari iman yang harus dipercayai. Dengan demikian, dogma diterima sebagai pengajaran yang benar karena didasarkan kepada Alkitab sebagai otoritas Allah yang disampaikan kepada manusia.

Perkembangan Dogmatika Kristen
Sejak kekristenan mula-mula, para theolog sudah merumuskan materi dogma yang diajarkan oleh Alkitab. Mereka menganggap doktrin Allah sebagai dogma yang utama dan tentang ciptaan, khususnya dalam relasi kepada Allah (Sang Sumber dan Akhir) sebagai dogma sekunder. Agustinus kemudian membagi doktrin menjadi dua area theologi yang besar yaitu tentang things seperti Tuhan, dunia, manusia; dan tentang signs (tanda) seperti sakramen. Tetapi penentuan materi dogma seperti ini terlalu sederhana dan kurang lengkap. Masih ada doktrin lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Bonaventura, yakni dogmatika berkaitan dengan Kristus dan tubuh-Nya, yaitu gereja. Perubahan konten dogmatika ini terjadi hingga periode Reformasi dan pasca-Reformasi. Beberapa theolog Lutheran maupun Calvin menolak menjadikan Allah sebagai objek dari dogma/theologi. Mereka mengatakan bahwa objek dari dogma adalah manusia, karena manusialah yang harus diselamatkan dari dosa. Ada juga yang berkata bahwa dogma adalah hidup untuk Tuhan melalui Kristus dan penyembahan kepada Tuhan.

Dari contoh di atas, kita mulai melihat bahwa konten dogma mulai bergeser dari Allah menjadi manusia, lebih spesifik lagi, berkait dengan aspek praktika. Tendensi ini mendapat pengaruh kuat dari filosofi Immanuel Kant. Kant menyatakan bahwa hal-hal yang supernatural sebenarnya tidak mungkin dicapai oleh rasio manusia sehingga kapasitas pengetahuan kita terbatas dalam ranah pengalaman. Tetapi di samping rasio, ada ruang lain untuk iman kepada Tuhan yang didasarkan oleh kebebasan moral yang dijamin melalui categorical imperatives. Akan tetapi, kepercayaan ini tidak bersifat ilmiah yang dapat dibuktikan, melainkan didasarkan pada motif personal dan praktis. Di sini, Kant mulai memisahkan antara percaya dan pengetahuan, keduanya terpisah dalam prinsip dan memiliki wilayah masing-masing. Ilmu alam menjadi mungkin diketahui karena berkait langsung dengan pengalaman indra, sedangkan hal yang bersifat supraalami, yang tidak berkait dengan pengalaman indra, harus puas dengan iman. Iman yang didasarkan pada kepercayaan pribadi dengan motif moral belaka.

Selain Kant, Schleiermacher juga memiliki andil dalam filsafatnya yang memengaruhi theologi bahkan sampai zaman sekarang. Schleiermacher menentang Kant dalam definisinya tentang agama sebagai pengetahuan atau perbuatan. Dia memberikan pernyataan bahwa agama sebagai sebuah perasaan. Kedua pemikiran filsuf ini melanda Eropa pada abad ke-18 yang memengaruhi theolog dalam merumuskan dogma. Dogma menjadi penjelasan tentang keadaan mental subjektif, emosi religius, kesalehan yang subjektif. Jadi, jika theologi, lebih spesifik dogma, ingin diakui sebagai kebenaran yang benar (truth), bukan hanya bersifat subjektif atau pendapat personal saja, maka theologi harus dimurnikan dari segala praanggapan atau prejudices dan didasarkan pada fakta yang tak terbantahkan, yaitu bahwa agama ada. Agama menjadi objek dari theologi. Agama dianalisis sebagai fakta historis, psikologis, dan saling dibandingkan antara satu dan yang lain sehingga menghasilkan kesimpulan berupa esensi dari agama. Kesimpulan ini akan menjadi kriteria dan pembenaran akan nilai yang dipercayai oleh agama-agama yang berbeda, dalam ilmu dogmatika. Hal ini dapat dilihat dari upaya-upaya pemikir untuk memisahkan agama dengan suatu kekuatan supranatural dan melihat agama sebagai relasi manusia dengan dirinya (Feuerbach), relasi manusia dengan kemanusiaan secara utuh (Comte), relasi dengan alam secara utuh (Strauss), relasi dengan arwah yang ada di dalam setiap objek di dunia (animisme), dan lain-lain. Jika dogma dilihat dengan pengertian seperti ini, khususnya kekristenan, dogma hanya menjadi fenomena historis yang terlepas dari kebenaran yang coba diklaim. Dogma bukan lagi menjadi dogma namun hanya menjadi catatan dari sekelompok pemikiran yang spesifik, yang dianggap sebagai kebenaran.

Dogmatika yang Sejati
Dogmatika seharusnya dilihat sebagai ilmu yang memperjuangkan kebenaran. Ilmu tidak cukup dengan deskripsi tentang realitas tetapi juga harus mengandung kebenaran. Ilmu ini tidak dapat dibangun dari pengertian yang ditawarkan oleh Kant maupun Schleiermacher, karena ilmu tidak lagi menjadi dogma yang didasarkan pada kebenaran, melainkan hanya sistem yang dibentuk oleh pemikiran yang religius. Jika dogmatika Kristen ingin mengklaim kebenaran yang ditawarkan oleh Alkitab, maka dogmatika harus menjadi ilmu yang unik. Ilmu ini harus dimulai dengan presuposisi bahwa Allah itu ada, Allah itu menyatakan diri-Nya, dan manusia dapat mengenal Allah. Dari presuposisi inilah dogmatika menjadi ilmu yang signifikan dalam mengklaim kebenaran.

Jika agama hanya fakta psikologis dan historis, maka apa yang diklaim darinya tidak dapat diakui sebagai kebenaran universal. Namun, jika agama ingin diakui memiliki nilai absolut dan universal, maka agama itu harus mempresuposisikan adanya Tuhan dan Dia menyatakan diri-Nya kepada manusia. Jika Tuhan tidak dapat diketahui, atau tidak menyatakan diri, maka agama pun tidak memiliki pijakan kukuh. Sehingga, jika kita mengakui fakta bahwa agama ada, secara spesifik Kristen, maka dogma tentang Allah harus dipandang sebagai kebenaran. Dogmatika adalah pengetahuan tentang Allah yang telah menyatakan diri-Nya dan seluruh ciptaan yang berpusat kepada Dia, melalui firman-Nya kepada gereja. Kita bersyukur bahwa kebenaran yang ditawarkan bukanlah kebenaran yang kaku dan dingin seperti konsep para filsuf Gerika, melainkan kebenaran yang bersifat pribadi yaitu Allah sendiri. Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa Tuhanlah subjektivitas kebenaran dalam pribadi. Sehingga justifikasi kebenaran bukan hanya dalam ilmu melainkan pada diri Allah yang setia. Juga, khususnya Roh Kudus sebagai Roh Kebenaran yang menjadi kunci utama dari seluruh kebenaran yang disingkapkan melalui wahyu Tuhan.

Wahyu Allah sebagai Dasar Dogmatika Reformed
Wahyu yang diberikan Tuhan memiliki dua jenis yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum dapat dimengerti sebagai penyataan Tuhan melalui hal yang bersifat natural atau alami. Melalui alam, manusia dapat mengenal sebagian dari sifat-sifat Allah yang tercermin dalam ciptaan-Nya (Mzm. 19:2; Mat. 5:45; Rm. 1:20). Meskipun wahyu umum dinyatakan melalui alam, wahyu ini tetap bersifat supranatural. Wahyu umum adalah kebenaran yang harus diterima melalui rasio yang berdasarkan iman kepada Allah, sehingga tidak ada kebenaran yang dapat terpisah dari komitmen religius yang dimiliki seseorang. Sedangkan wahyu khusus adalah pengenalan akan Tuhan yang diberikan melalui cara yang supranatural. Wahyu khusus memiliki bentuk yang beragam dalam Alkitab seperti theofani, nubuat, mujizat, dan lain-lain. Dan puncak wahyu khusus adalah kehadiran Sang Allah Anak, yaitu Yesus Kristus.

Dogma Reformed seharusnya tidak mengenal pemisahan yang ketat antara wahyu umum dan wahyu khusus. Sepanjang sejarah, banyak theolog mencoba menegakkan garis pemisah antara kedua jenis wahyu ini. Namun, sejak Reformasi, para Reformator menegaskan jalinan yang erat antara kedua wahyu ini, berdasarkan Alkitab. Tuhan yang telah menyatakan diri-Nya melalui alam, tidak dapat dikenal secara benar oleh manusia yang pikirannya telah dicemarkan oleh dosa. Jadi, setelah manusia jatuh dalam dosa, agar manusia dapat mengenal wahyu umum yang diberikan Tuhan, manusia memerlukan wahyu khusus yang Tuhan nyatakan dalam Alkitab serta iluminasi dari Roh Kudus.

Poin ini juga dibahas oleh Calvin dalam buku pertama Institutes of the Christian Religion, bab 6 yang berbunyi: “Scripture is needed as guide and teacher for anyone who would come to God the Creator.” Dalam subbabnya, Calvin menjelaskan bahwa Tuhan memberikan pengetahuan yang sebenar-benarnya (actual) tentang diri-Nya hanya melalui Alkitab. Calvin melanjutkan bahwa baik Adam, Nuh, Abraham, dan patriarch yang lain dapat memiliki pengenalan akan Tuhan yang intim dari alam hanya melalui terang firman. Agar dilewatkan dari maut, mereka perlu mengenal Tuhan bukan hanya sebagai Sang Pencipta tetapi juga sebagai Sang Penebus, yang mereka dapatkan hanya melalui firman. “First in order came that kind of knowledge by which one is permitted to grasp who that God is who founded and governs the universe. Then that other inner knowledge was added, which alone quickens dead souls, whereby God is known not only as the Founder of the universe and the sole Author and Ruler of all that is made, but also in the person of the Mediator as the Redeemer.”

Pengertian ini akan membuat kita melihat segala sesuatu berdasarkan terang firman. Dalam berbisnis, studi, bekerja, edukasi, bahkan hingga menggunakan waktu luang sekalipun dapat dikaitkan menjadi keutuhan hidup yang terus mengenal Tuhan. Tetapi tidak berhenti di sini saja, selain firman yang menolong kita menafsirkan wahyu umum, firman pun dapat semakin diperjelas melalui wahyu umum. John Frame menjelaskan dengan sangat baik dalam bukunya The Doctrine of the Knowledge of God tentang poin ini. John Frame menggunakan tiga perspektif yang dibuatnya dalam mendapatkan pengetahuan tentang Allah. Perspektif pertama yaitu bersifat normative yang melihat Alkitab sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang otoritatif dalam mengenal Allah secara tepat. Perspektif kedua yaitu bersifat situational yang menggunakan fakta dan “alat” di luar Alkitab untuk menolong penafsir mendapatkan fakta yang terkandung dalam Alkitab. Frame menjelaskan ilmu yang dipelajari dengan benar, seperti sains, linguistik, sejarah, logika, filosofi, dan lain-lain, dapat menjadi alat untuk semakin memahami Alkitab. Dengan ini kita melihat bahwa seluruh kebenaran yang diwahyukan adalah kebenaran Allah. All truth is God’s truth, demikian yang dinyatakan Agustinus dan Aquinas, juga dikutip oleh Calvin. Perspektif ketiga yaitu bersifat existential. Perspektif ini melihat pengenalan kepada Tuhan harus didasarkan dengan kualifikasi seorang theolog dalam menafsirkan Alkitab, bahwa kesalehan dan hati yang takut akan Tuhan menjadi syarat dalam mengenal Tuhan.

Salah satu atribut dari Alkitab yang ditegakkan para Reformator dalam melawan Katolik Roma adalah kecukupan Alkitab (Scripture’s Sufficiency). Mengapa atribut ini perlu ditekankan? Karena kekristenan dalam beberapa dekade terakhir mengalami serangan yang secara esensi sama, namun memakai bentuk berbeda. Katolik Roma pada zaman itu menganggap Alkitab dalam sense tertentu tidak cukup pada dirinya sendiri, sehingga perlu ditambahkan tradisi-tradisi gereja yang diangkat dan diberikan otoritas oleh manusia untuk menjadi sejajar dengan firman Allah. Pada zaman ini, aliran Karismatik mencoba menambahkan hal-hal yang bersifat mistis untuk disejajarkan dengan otoritas Alkitab. Meskipun banyak yang berkata sebenarnya praktik sedemikian masih memiliki otoritas walaupun lebih rendah dari Alkitab. Faktanya, Alkitab tidak lagi dikhotbahkan secara dalam, tepat, dan berkuasa dan diganti dengan praktik yang mistis tersebut. Akar permasalahan dari Katolik Roma Abad Pertengahan dan Karismatik zaman ini sama, yaitu tidak mengakui Alkitab sebagai wahyu yang cukup dan sempurna dalam dirinya sendiri. Reformasi dan Theologi Reformed mengakui kesempurnaan dan kecukupan Alkitab setelah proses kanonisasi selesai. Tidak ada firman Allah yang lain dalam bentuk apa pun yang menyamai otoritas Alkitab sebagai firman Allah. Sehingga theologi atau dogma gereja harus berdasarkan Alkitab sebagai kebenaran. Alkitab dianggap sebagai selesai karena pekerjaan Kristus dalam kaitan keselamatan sudah digenapkan oleh Allah melalui kedatangan-Nya yang pertama. Dalam masa ini, Roh Kudus tidak lagi memberikan wahyu yang baru, melainkan Ia mengaplikasikan pekerjaan Kristus di dalam hidup setiap orang yang percaya. Karya ini tidak membutuhkan wahyu baru untuk menambahkan firman yang sudah lengkap. Dengan demikian, ketergantungan kita pada Alkitab dan Alkitab saja menjadi mutlak sampai waktunya kita diajar langsung oleh Tuhan ketika bertemu dengan-Nya muka dengan muka.

Elemen Sosial dalam Dogma
Natur lain dalam konsep mengenai dogma adalah dogma harus memiliki elemen sosial yaitu diakui oleh kalangan tertentu. Jika sebuah kebenaran tidak diakui, kebenaran itu hanya akan menjadi opini relatif yang memiliki makna secara privat saja. Jika kebenaran diakui secara sedemikian, kebenaran tidak lagi memiliki otoritas mengikat dalam suatu kelompok tertentu. Dengan demikian, kebenaran akan kehilangan kekuatan dan esensinya sebagai kebenaran. Tetapi dogma dimaksudkan untuk diakui oleh orang-orang yang percaya. “Truth always seeks to be honored as truth and can never be at peace with error and deception.” Setiap orang percaya harus mengetahui kebenaran seperti apa yang ditawarkan oleh Alkitab, dengan pimpinan dari Roh Kudus, dan membawanya kepada pengakuan dari gereja Tuhan. Melalui hal ini, gereja diloloskan dari pendapat pribadi terhadap kebenaran Allah, dan kembali kepada pengajaran yang sejati yang dinyatakan oleh Alkitab. Oleh sebab itu, pentingnya pengakuan iman atau confession sebuah gereja sebagai kebenaran Allah yang telah diakui oleh gereja dan dinyatakan melalui bahasanya sendiri. Hal ini berarti gereja memiliki tugas di dalam sejarah untuk mengerti, menjelaskan, dan mempertahankan kebenaran Tuhan yang telah dipercayakan kepadanya. Gereja harus memurnikan segala dogma yang mungkin belum sepenuhnya berdasar dalam Alkitab dan meneruskannya bagi gereja Tuhan di zaman yang akan datang. Gereja juga dipanggil untuk memproklamasikan kebenaran Tuhan di tengah dunia.

Sekali lagi, otoritas dan kredibilitas Alkitab bukan bergantung pada pengakuan gereja melainkan pada kesaksian Roh Kudus dalam umat Tuhan. Calvin menjelaskan bahwa Alkitab memiliki otoritasnya langsung dari Tuhan, khususnya pekerjaan Roh Kudus, bukan dari gereja. Bagaimana mungkin kebenaran Allah yang kekal dan tidak bersalah ditentukan dari keputusan manusia, apalagi manusia berdosa? Calvin menentang gereja Katolik Roma pada zamannya sebab mereka menghina Roh Kudus ketika mencoba mengganti otoritas Alkitab dengan keputusan gereja. Lalu, Calvin menambahkan bahwa gereja sendiri memiliki dasar dalam Alkitab. Adalah kesia-siaan untuk menilai bahwa otoritas menghakimi Alkitab berdasar pada gereja yang pengertiannya diambil dari Alkitab. Lebih baik biarkan Alkitab menyatakan kebenarannya sendiri. Dengan demikian, gereja memiliki kekuatan untuk memaparkan dogma bukan secara berdaulat dan legislatif melainkan sebagai pelayan dan deklaratif apa yang dinyatakan Alkitab. Lagi pula, kata Calvin, kesaksian dari Roh Kudus adalah bukti yang paling kuat dari segala bukti. Karena, dalam membuktikan kebenaran Alkitab, kita dapat dengan mudah membangun kerangka pemikiran yang kukuh dengan argumen yang kuat tentang adanya Tuhan, hukum Taurat, nabi, Kristus, dan lain-lain, akan tetapi, jika seseorang sudah dikeraskan sampai ke titik yang tak lagi berpengharapan, maka argumen dan logika sebaik apa pun tidak akan diterima pola pikir mereka. Dari sini, jelaslah bahwa Alkitab adalah pengajaran yang berasal dari Tuhan, dan dipahami melalui kesaksian dari Roh Kudus yang bekerja dalam hati manusia, sehingga kita dapat pengetahuan yang benar akan Allah.

Implikasi pertama dari poin di atas, menunjukkan bahwa dogma dan pengakuan gereja tidaklah identik dengan kebenaran Tuhan yang absolut. Dogma memiliki kombinasi dari dua elemen yaitu otoritas ilahi dan pengakuan gereja. Jika dogma yang dinyatakan sebenarnya tidak berdasar pada otoritas ilahi, maka dogma tersebut harus dihilangkan. Begitu pula sebaliknya, jika kebenaran dalam Alkitab masih tersembunyi dan belum diakui oleh gereja, maka dogma itu tetap dogma pada dirinya sendiri namun belum dinyatakan oleh gereja. Karena itu, gereja sepanjang sejarah memiliki tanggung jawab yang besar dalam menggali kebenaran yang dinyatakan dalam Alkitab dan menyatakan kepada dunia akan kebenaran Tuhan.

Di setiap zaman, gereja dituntut untuk semakin mengerti dan memahami kebenaran dalam Alkitab. Meskipun, dalam proses waktu dan keterbatasan manusia, ada kemungkinan kesalahan dalam menafsirkan dogma yang ditawarkan oleh Alkitab. Namun, kembali ke poin sebelumnya, bahwa kebenaran bertumpu pada pribadi Allah sendiri yaitu Roh Kudus. Melalui pimpinan Roh Kuduslah gereja dapat mengerti kembali firman kebenaran yang telah Kristus sampaikan. Penyertaan Roh Kudus tidak menghilangkan kemungkinan manusia melakukan kesalahan, tetapi penyertaan Roh Kudus yang menjadi jaminan bahwa kebenaran Tuhan diiluminasikan sedikit demi sedikit hingga genap waktunya.

Implikasi kedua, dalam pengenalan kepada Allah dan membangun dogma adalah kita tidak bisa melupakan pengakuan iman yang telah dicetuskan oleh gereja Tuhan sepanjang zaman. Dengan melupakan pengakuan iman gereja Tuhan sebelum kita, berarti kita sedang melecehkan pergumulan dan beban yang dihadapi oleh gereja pada zamannya dalam memformulasikan kebenaran Tuhan. Juga, berarti kita tidak menghargai pekerjaan Roh Kudus yang mengiluminasikan kebenaran Alkitab secara bertahap sejak gereja pertama kali berdiri hingga saat ini. Melupakan pergumulan orang Kristen sebelum kita, sama dengan mencabut identitas kita yang telah berakar selama ribuan tahun dan menggantinya dengan akar yang begitu rapuh dan lemah. Tidak heran kekristenan zaman ini banyak yang kehilangan arah dan tulang punggung sebab pengajaran atau dogma serta pengakuan gereja yang sudah diproklamasikan dipotong dari gereja lalu mencangkokkan dogma hasil asimilasi dengan kepercayaan dunia atau kafir. Gereja harus kembali kepada tradisi yang benar melalui doktrin dan pengajaran yang telah diwariskan sepanjang zaman. Dengan begitu, gereja mendapatkan fondasi iman yang kukuh untuk menahan tantangan zaman.

Implikasi yang terakhir, konfesi yang dinyatakan oleh gereja tidak cukup untuk mengekspresikan kehidupan dan iman Kristen yang dihidupi hari demi hari. Iman dan kehidupan Kristen tidak dapat disempitkan hanya melalui konfesi gereja. Hal ini tidak dapat dipungkiri sebab konfesi gereja biasanya muncul sebagai respons dari suatu kejadian pada masa historis tertentu untuk menyatakan kebenaran yang dipaparkan Alkitab. Berbeda dengan dogma. Dogma harus terus diteliti, dikoreksi agar semakin dekat dengan Alkitab. Dogma harus terus dikembangkan dan diperkaya oleh gereja. Oleh karena itu, dogma tidak diterima sebagai sesuatu yang bersifat intelektual. Melainkan, dogma harus diterima sebagai kebenaran atau pengetahuan yang menumbuhkan iman Injili. Menurut Kaftan, “Revelation is said to bear a religious-ethical character and is appropriated, not intellectualistically by the mind but voluntaristically by the will. Kebenaran Tuhan bukan hanya diterima di ranah kognitif, melainkan harus masuk ke dalam hati, mengubah kehendak kita agar selaras dengan kehendak Tuhan. Bukan hanya rasio yang menjadikan manusia itu manusia, melainkan seluruh kehidupan personal dalam menilai, dalam memberi pertimbangan, dalam melakukan sesuatu, dalam merenungkan kebenaran, dan lain-lain. Sehingga, pengetahuan didasarkan melalui kehendak, kehendak melalui iman, dan iman serta perbuatan adalah satu. Pengenalan akan Allah yang sejati, mustahil terjadi tanpa kesalehan. Calvin mengatakan, “Piety is requisite for the knowledge of God.” Dengan demikian, kesalehan adalah hasil dari iman sehingga pengetahuan, rasio, dan kognitif, muncul melalui iman. Apakah dasar iman itu? Atau lebih tepat, siapakah yang menjadi dasar iman itu? Sang Kebenaran, yaitu Kristus yang diiluminasikan oleh Roh Kudus ke dalam hati manusia agar mereka dapat menerima kebenaran. Roh Kudus juga terus memimpin dan menolong orang percaya menghidupi kebenaran yang telah diberikan.

Melalui artikel ini, penulis berharap agar pembaca dapat melihat signifikansi semua orang Kristen belajar theologi dan mengagumi pekerjaan Roh Kudus yang integral dalam pengenalan akan Allah dan hidup di dalamnya. Jika dapat diringkas bagian ini berkait tentang karya Roh Kudus, ayat yang menurut penulis sangat mewakili adalah Yohanes 14:15-17, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.”

Howard Louis
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
Reformed Dogmatics Volume 1: Prolegomena, Herman Bavinck.
Institutes of the Christian Religion, John Calvin.
The Doctrine of The Knowledge of God, John Frame.