Theologi kepada Pemulihan Relasi

Sudah setahun lebih seluruh dunia berjuang melawan pandemi COVID-19 ini. Berbagai usaha dan strategi telah dilakukan, termasuk vaksin yang mulai dilaksanakan di banyak negara. Beberapa orang mulai menatap tahun 2021 dengan optimistis jika vaksin ini dapat berfungsi dengan efektif. Tetapi ada satu lagi permasalahan umat manusia yang di setiap zaman sulit diatasi, yaitu masalah relasi. Masalah ini pun turut hadir bersama dengan pandemi COVID-19 ini. Tidak sekadar soal penyakit saja, ada banyak hal di dalam kehidupan manusia yang terganggu akibat pandemi ini. Kita berbicara tentang roda perekonomian yang makin lesu, hingga persoalan relasi yang makin memburuk. Kita berpikir dengan kebijakan kerja di rumah, setiap keluarga dapat menjadi lebih harmonis. Faktanya tidaklah demikian. Jumlah kasus bunuh diri justru makin meningkat selama pandemi.1 Begitu juga kasus perceraian meningkat dibanding tahun 2019.2 Jika penyakit COVID-19 masih mungkin dapat disembuhkan, lain halnya dengan masalah relasi yang kerap kali sulit diselesaikan. Anak yang tidak taat kepada orang tuanya, pertengkaran antara suami dan istri, rekan dan sahabat yang tidak sengaja menyakiti hati kita, hingga yang paling rumit adalah rusaknya relasi manusia dengan Allah.

Tetapi kita patut bersyukur bahwa Allah Bapa telah mengutus Anak-Nya hadir di tengah-tengah dunia. Kristus Yesus menjadi satu-satunya jalan pendamaian antara Allah dan manusia. Relasi yang rusak akibat dosa dipulihkan melalui kematian Kristus di kayu salib. Inilah yang seharusnya menjadi landasan theologis kita ketika berbicara mengenai relasi yang dipulihkan. Prinsip ini dapat kita temui di berbagai tulisan Paulus, salah satunya adalah surat kepada Filemon. Surat yang paling pendek di antara surat lainnya (25 ayat dan hanya 335 kata dalam bahasa Yunani3), tetapi menyiratkan makna theologis yang begitu mendalam. Surat yang cukup spesifik kepada pribadi tertentu, tetapi dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang Kristen di sepanjang zaman. Artikel ini secara singkat membahas bagaimana pengenalan Allah yang benar dapat memberi jalan bagi pemulihan relasi.

Kisah yang Dihadirkan (Flm. 1:1-25)

Di dalam penafsiran surat-surat Perjanjian Baru, hal pertama yang biasanya ditelaah terlebih dahulu adalah bagian “pembuka” atau “salam”. Di bagian tersebut biasanya terdapat baik maksud, tujuan, maupun target pembaca dari surat tersebut. Terutama dalam surat-surat Paulus, ia cenderung memulai suratnya dengan menitikberatkan otoritas kerasulannya kepada jemaat di kota tersebut. Hal ini dapat kita temukan di beberapa ayat seperti: “Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul” (Rm. 1:1); “Dari Paulus, seorang rasul, bukan karena manusia, . . ., melainkan oleh Yesus Kristus” (Gal. 1:1). Menarik bahwa salam pembuka dari surat kepada Filemon ini dituliskan dengan gaya yang tidak seperti biasanya. Paulus tidak menunjukkan otoritasnya sebagai rasul, melainkan ia justru merendahkan dirinya sebagai seorang hamba Kristus Yesus. Seorang yang bahkan rela dipenjara bagi Tuhan Yesus (“Paul, a prisoner for Christ Jesus” – Flm. 1:1 ESV). Salam ini sangatlah penting karena ini terkait dengan bagaimana Paulus memberikan nasihat kepada Filemon. Suatu nasihat yang tidak dilakukan dengan paksaan atau otoriter, melainkan dengan cinta kasih.

Kemudian, kita masuk kepada isi Surat Filemon ini. Singkat cerita, ada seorang bernama Onesimus yang melayani Paulus yang berada di penjara. Paulus merasa sangat terbantu dengan kehadiran Onesimus. Tetapi, melalui surat tersebut, Paulus menginginkan Onesimus kembali kepada Filemon. Paulus melihat ini sebagai kesempatan adanya relasi yang dipulihkan. Ia berharap Filemon menerima Onesimus bukan lagi sebagai hamba atau budak, melainkan sebagai saudara seiman. Lebih jauh lagi, Paulus rela menanggung segala utang yang mungkin pernah dibuat oleh Onesimus. Ia bahkan percaya bahwa Filemon, dengan iman dan ketaatannya, dapat melakukan hal-hal yang mungkin melebihi ekspektasi Paulus. Dari keseluruhan cerita ini beserta salam pembuka sebelumnya, kita dapat menemukan nasihat yang begitu gigih agar relasi Onesimus dengan Filemon dapat dipulihkan. Sebagai rasul, sudah sewajarnya Paulus dapat menggunakan otoritas itu. Tetapi, Paulus tidak mengambil jalan demikian, ia menghidupi jalan yang lain.

Sekilas surat ini memang terlihat sangat sederhana dan menghadirkan isu yang cukup personal. Bandingkan dengan surat-surat lainnya yang banyak menekankan baik pengajaran, nasihat, maupun teguran yang cukup tegas! Tetapi, di balik kesederhanaan itu, surat tersebut tetap meninggalkan beberapa hal yang masih menjadi misteri. Misalnya, konflik seperti apa yang terjadi antara Onesimus dan Filemon; bagaimana dan untuk apa Onesimus menemui Paulus; dan tentu saja apa maksud utama Paulus menuliskan surat ini. Ada banyak penafsiran yang bervariasi terhadap misteri ini, yang tentu tidak dapat dianggap sepele juga karena menyangkut cara kita membaca surat ini. Bagi penulis sendiri, ketika Paulus tidak membahas secara rinci pertanyaan tersebut, ia pasti memiliki maksud tertentu, entah itu memang hal yang sudah diketahui oleh Filemon, atau ada sesuatu yang jauh lebih penting dibanding permasalahan itu. Penulis percaya bahwa Paulus ingin memberi tahu kita bahwa fokusnya bukan pada permasalahan itu saja. Yang harus kita perhatikan adalah bagaimana relasi di dalam Kristus dapat mengubah cara pandang kita di dalam berelasi dengan orang lain.

“In Christ” Theology

Bagi kita yang sering membaca surat Paulus, kita pasti sudah tidak asing dengan istilah “di dalam Kristus” [in Christ] di setiap isi suratnya. Misalnya pada Kolose 2:64, Paulus menghendaki setiap jemaat yang percaya kepada Kristus Yesus hidup di dalam Dia. Hidup bukan bagi diri sendiri, melainkan hidup bagi Kristus (Gal. 2:205). Masih banyak lagi ayat lainnya di surat-surat Paulus yang dapat kita temukan, termasuk salah satunya di dalam Surat Filemon. Walaupun tidak secara gamblang membicarakan konsep dan penerapan dari istilah “di dalam Kristus”, tetapi prinsip itu terlihat dengan sangat jelas di dalam nasihat Paulus kepada Filemon. Suatu nasihat yang bukan berhenti di kata-kata saja, melainkan nasihat yang ia jalani seolah-olah itu adalah natur dari hidupnya sendiri.

Ketika Paulus memberi nasihat kepada Filemon, ia mengesampingkan hak sebagai seorang rasul, dan mengambil jalan yang sama seperti yang Kristus lakukan. Mari kita kembali membaca Filemon 1:8-9a, “Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukantetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu”. Jika kita perhatikan dua ayat ini, ada kemiripan pola kalimat dengan yang dapat kita temukan di surat Paulus yang lain. Salah satunya ada di Filipi 2:6-7, ”yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Michael Gorman melihat adanya pola kalimat yang Paulus mau coba utarakan, yaitu “walaupun x, tidak melakukan y, tetapi melakukan z”6. Perhatikan pola tersebut dan perbandingannya pada tabel di bawah ini.

Kristus, yang walaupun adalah Allah yang Mahamulia, rela merendahkan diri-Nya sebagai manusia, yang adalah ciptaan-Nya sendiri. Seolah-olah Kristus rela dikenakan status “setara” dengan manusia, padahal Dia adalah Allah yang jauh melampaui manusia. Ia sudah ada sejak dari kekekalan, sebelum manusia ada. Tetapi Tuhan Yesus rela mengesampingkan hak itu demi menggenapkan rencana keselamatan bagi umat tebusan-Nya. Jalan hidup demikianlah yang akhirnya termanifestasi juga di dalam hidup Paulus. Sesuai dengan isi Surat Filemon ini, Paulus tidak menganggap hak atau jabatan rasul sebagai alat untuk memerintah orang lain secara otoriter, karena pada diri Filemon ia melihat ada harapan dan cinta kasih yang nyata (Flm. 1:5-7). Paulus percaya bahwa Filemon dengan imannya juga mampu melakukan seperti apa yang telah Paulus lakukan (Flm. 1:17, 21). Apa itu? Yaitu kembali menerima Onesimus bukan lagi sebagai hamba, melainkan sebagai rekan seiman di dalam Kristus (in Christ). Paulus menyadari bahwa ia tidak perlu menggunakan otoritas untuk memaksa Filemon melakukan hal yang benar. Ia percaya bahwa Filemon mampu melakukannya secara sukarela oleh karena iman itu sudah terlihat nyata di dalam kehidupannya sehari-hari.

Isi surat ini memang tidak menjelaskan secara rinci bagaimana theologi dapat mengubah hidup orang percaya. Tetapi prinsip ini dapat kita lihat pada gaya penulisan Paulus. Pola “walaupun x, tidak melakukan y, tetapi melakukan z” menyadarkan kita bahwa surat ini bukan sekadar perkataan basa-basi saja, melainkan gambaran kehidupan Paulus yang telah ditransformasi. Perkataan Paulus menjadi bukti nyata bahwa ia hidup di dalam Kristus, dan Kristus ada di dalam dia. Pengenalan akan Allah tidak boleh berhenti sampai di kata-kata saja, tetapi pengenalan itu seharusnya sanggup mentransformasi hidup kita, tidak lagi hidup di dalam dosa, melainkan hidup di dalam Kristus. Melalui surat ini, Paulus telah menjadi teladan bagi kita, bagaimana pengenalan akan Kristus sesungguhnya adalah fakta yang mampu membawa kita kepada hidup yang baru. Ia ingin semangat seperti ini juga tercermin di dalam hidup Filemon, terutama dalam menerima kembali Onesimus sebagai saudara seiman.

Theologi kepada Pemulihan Relasi

Tidak mudah memang untuk menghadirkan theologi yang nyata di dalam hidup sebagai orang Kristen. Ada saja kesulitan yang muncul di dalam perjalanan kerohanian kita, yang kalau mau jujur, kesulitannya bukan terletak pada ajaran itu sendiri. Kita merasa sulit karena memang kita belum sungguh-sungguh hidup di dalam Kristus. Kita justru masih hidup di dalam dosa. Walaupun kita sering mendengarkan firman dan kebenaran-Nya, hal tersebut tidak menyentuh sampai ke dalam hati kita yang terdalam. Kita hanya berfokus bagaimana kebenaran itu sampai kepada otak kita, tetapi lupa bahwa arah hidup kita masih terikat pada dosa. Kita tidak pernah memikirkan bagaimana theologi dan kebenaran-Nya mampu mengubahkan hati dan keseluruhan hidup kita.

Dengan demikian, theologi dan pengenalan Allah yang sejati seharusnya mampu mengubah seluruh hidup kita, termasuk di dalam hal relasi. Kita sebagai orang berdosa telah didamaikan dengan Allah melalui kematian Kristus di kayu salib. Jika kita sudah berdamai dengan Allah, bukankah kita seharusnya dapat juga berdamai dengan orang lain? Tuhan Yesus rela menderita, diolok, diludahi, dikhianati, hingga mati di kayu salib demi menggenapkan rencana keselamatan itu, demi pulihnya relasi manusia kepada Allah. Jika Tuhan Yesus telah terlebih dahulu mengambil jalan yang demikian, sebagai yang sulung di antara umat Tuhan, masak kita yang mengaku di dalam Krisus, tidak mau mengampuni kesalahan orang-orang di sekitar kita?

Adakah di antara kita yang masih bergumul di dalam permasalahan relasi ini? Orang tua yang selalu memarahi anaknya tanpa sebab; anak-anak yang sering memberontak kepada orang tuanya; sakit hati yang berkepanjangan karena sahabat yang tidak sengaja menyakiti hati kita; kesalahpahaman antara suami dan istri yang berujung pada perdebatan yang tidak habis-habisnya; hingga permasalahan relasi yang paling kompleks ketika manusia berdosa berhadapan dengan Allah yang Mahakudus. Momen di mana seharusnya manusia menunjukkan respons pertobatan, tetapi yang terjadi adalah manusia justru makin lari menjauh dari-Nya dan memberontak kepada-Nya.

Jika di antara kita ada yang masih bergumul dengan permasalahan ini, penulis menganjurkan untuk membaca kembali Surat Filemon. Terhadap permasalahanmu, Paulus mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti kepada Filemon. Maukah engkau sekali lagi mengampuni dan menerima sahabat yang pernah menyakitimu baik secara sengaja maupun tidak sengaja? Jika engkau sungguh-sunguh berada di dalam Kristus, nyatakanlah itu di dalam cara kamu berelasi. Kristus telah terlebih dahulu mati menggantikan kita, masak kita tidak mau mengampuni kesalahan teman-teman seiman? Untuk para orang tua, lihatlah teladan Paulus. Walaupun ia berhak memerintah Filemon dengan otoritas rasul, tetapi ia justru menyatakan itu dengan kasih dan kerendahan hati sebagai seorang hamba Kristus. Bagi anak-anak, lihatlah kepada Onesimus yang walaupun di dalam kesalahpahaman relasi, tidak menjadikan alasan tersebut untuk tidak berubah, melainkan mengusahakan adanya pemulihan relasi melalui hidupnya yang masih berguna bagi Paulus.

Akhir kata, maukah engkau meneladani Paulus, yang telah meneladani Kristus? Yang tidak menganggap haknya sebagai sesuatu yang utama, melainkan rela mengesampingkan itu semua demi relasi yang dipulihkan. Mungkin sebagian dari antara kita merasa berada di posisi Onesimus dan Filemon, permasalahan relasi akibat kesalahpahaman hingga menimbulkan sakit hati yang masih terus diingat dan membekas di dalam hati. Lihatlah kepada Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan rela merendahkan diri-Nya dan mengambil rupa manusia. Itulah jalan yang dihidupi oleh Paulus. Inilah jalan hidup orang Kristen, hidup di dalam Kristus. Marilah kita rela untuk merendahkan diri, walaupun hal itu harus membuang ego di dalam diri kita, demi kasih Allah terpancarkan dan relasi dengan sesama dapat dipulihkan.

For although the death of Christ on the cross is never explicitly mentioned in Philemon, it is the subtext of the entire document, offering both Paul and Philemon a pattern for life in Christ.”7 – Michael J. Gorman

Pola

Filipi 2:6-7

Filemon 1:8-9

walaupun x

yang walaupun dalam rupa Allah,

sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai

kebebasan penuh untuk memerintahkan

kepadamu apa yang harus engkau lakukan,

tidak melakukan y

tidak menganggap kesetaraan dengan Allah

itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

tetapi mengingat kasihmu itu,

tetapi melakukan z

melainkan telah mengosongkan diri-Nya

sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba,

dan menjadi sama dengan manusia.

lebih baik aku memintanya dari padamu.

Trisfianto Prasetio

Pemuda FIRES

Endnotes:

  1. https://www.washingtonpost.com/health/2020/11/23/covid-pandemic-rise-suicides/ diakses pada tanggal 16 Januari 2021. Hasil survei kepada anak muda (18-24 tahun) pada bulan Agustus 2020 menunjukkan 25,5% memikirkan untuk bunuh diri. Angka ini naik dari tahun 2018 yang hanya sebesar 10,7%.
  2. https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-55284729 diakses pada tanggal 16 Januari 2021.
  3. Gorman, Michael J. 2003. Apostle of the Crucified Lord: A Theological Introduction to Paul & His Letters. Eerdmans: USA.
  4. Kolose 2:6 Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia.
  5. Galatia 2:20a namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. 
  6. Gorman, Michael J. 2003. Apostle of the Crucified Lord: A Theological Introduction to Paul & His Letters. Eerdmans: USA.
  7. Ibid.