Sam Harris, salah satu pilar gerakan atheisme baru (new atheism), pernah mengatakan bahwa keberhasilan di dalam bidang sains sering kali datang dengan mengorbankan dogma keagamaan atau theologi, dan sebaliknya. Kutipan di atas sebenarnya merupakan suatu manifestasi dari semangat Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) yang meninggikan supremasi rasio dan kemampuan manusia. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, orang mulai menganggap theologi sebagai sesuatu yang kuno, sempit, dan hanya berguna untuk ranah spiritual saja. Dengan cara berpikir yang dualisme seperti ini, sains dan theologi dianggap seharusnya dipisah. Mengapa? Karena sains dilihat hanya berurusan dengan hal-hal natural sedangkan theologi hanya dengan hal-hal supranatural. Akibatnya, banyak orang menolak pengaruh agama maupun theologi di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, salah satu contohnya adalah di dalam bidang konseling psikologis. Bagi para konselor sekuler, ilmu psikologi – yang didasari oleh rasio dan juga pembuktian ilmiah – merupakan satu-satunya dasar yang sah dalam praktik konseling. Sementara sebagian konselor Kristen juga percaya adanya manfaat dari ilmu psikologi, sehingga penggabungan antara ilmu psikologi dan theologi dapat memberikan kesejahteraan kepada si klien. Jadi, bagaimana seharusnya relasi antara theologi dan ilmu psikologi dan kedokteran di dalam praktik konseling? Apakah ada tempat bagi theologi di dalam konseling? Atau sebenarnya theologi tidak dibutuhkan di dalam konseling? Di dalam tulisan ini, setidaknya ada dua pandangan besar yang akan dibahas, secular counselling dan biblical counselling.
Secular Counselling
Pandangan yang pertama adalah konseling sekuler (Secular Counselling), yang pendekatannya didasari oleh sistem kepercayaan atheisme dan supremasi rasio serta empirisisme. Tentu ada banyak aliran dari konseling sekuler. Masing-masing aliran memiliki penekanannya sendiri. Namun pada dasarnya, konseling sekuler menolak Allah yang menciptakan manusia dan mereka juga menolak otoritas firman Tuhan di dalam segala aspek hidup manusia, termasuk di dalamnya konseling. Dasar filsafat mereka adalah kemampuan manusia untuk berubah menjadi lebih baik tanpa anugerah dari Tuhan, cukup dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri. Dari begitu banyak tokoh konseling yang telah memperkembangkan bidang ini, seperti Carl Jung, Carl Rogers, B. F. Skinners, dan lain-lain, kita akan membahas secara singkat dua tokoh yang meletakkan dasar bagi psikologi maupun konseling modern, yaitu Wilhelm Wundt dan Sigmund Freud.
Wilhelm Wundt
Pada abad ke-18, seorang psikolog berkebangsaan Jerman, Wilhelm Wundt memelopori munculnya psikologi modern setelah dia menciptakan laboratorium psikologi pertama. Di samping itu, Wundt juga memperkenalkan konsep baru di dalam psikologi yaitu psikologi fisiologis (Physiological psychology). Bagi Wundt, setiap proses psikologi dari manusia selalu didasari oleh susunan dan komposisi biologis masing-masing individu. Pemikiran seperti inilah yang menjadi dasar dari physiological psychology, apa pun yang kita pikirkan dan lakukan dipengaruhi oleh aktivitas di dalam otak kita. Aktivitas otak manusia, seperti konstruksi maupun dekonstruksi dari jaringan neuron dan sekresi enzim, dipercayai sebagai penyebab utama atas segala tindakan manusia. Heath Lambert (2012) di dalam bukunya The Biblical Counselling Movement after Adams, berargumen bahwa Wundt telah membawa bidang psikologi menjadi bagian dari sains sehingga pengaruh theologi di dalam bidang konseling semakin berkurang. Pemikiran Wundt ini sangatlah tidak asing pada zamannya. Pemikiran ini memberikan dampak pada zaman itu dengan banyaknya pengadilan yang memaklumi kejahatan dengan alasan gangguan mental atau kerusakan otak si pelaku. Kejahatan yang disebabkan oleh gangguan mental atau kerusakan otak tidak dapat ditanggungkan kepada si pelaku kejahatan tersebut.
Alkitab dengan sangat jelas memperkenalkan doktrin total depravity. Doktrin ini menyatakan bahwa setiap kejahatan di dalam dunia ini adalah akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 6:5-7; Mzm. 51:7; Rm. 3:23). Selain itu, dosa juga merusak manusia sebagai gambar dan rupa Allah sehingga kecenderungan hatinya adalah melawan Tuhan dan segala perintah-Nya. Amsal 4:23 menyatakan akan pentingnya untuk menjaga hati tetap bersih dan suci karena dari sanalah terpancar segala kehidupan termasuk tindakan kita. Hal yang sama juga diutarakan oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, bahwa bukan yang masuk ke dalam tubuh yang menajiskan tetapi apa yang keluar dari tubuhlah yang menajiskan. Melalui beberapa perikop ini, jelas bahwa setiap permasalahan dan kejahatan manusia berasal dari diri manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Sehingga yang menjadi masalah bukanlah otak manusia saja tetapi juga diri manusia itu sendiri secara keseluruhan, yang oleh Alkitab digambarkan dengan hati.
Sigmund Freud
Selain Wilhelm Wundt, tokoh lain yang sangat berpengaruh di dalam psikologi maupun konseling dan mungkin lebih akrab di telinga masyarakat luas adalah Sigmund Freud, bapak dari Psikoanalisis di dalam konseling. Freud (1907) di dalam Obsessive Actions and Religious Practices menuliskan bahwa agama memiliki kesamaan dengan neurosis yang membuat individu menjadi terobsesi dengan ritual-ritual keagamaan yang diulang-ulang. Bukan hanya itu, Freud juga beranggapan bahwa Tuhan hanyalah sebuah konsep imajinatif dan agama merupakan ‘ikatan’ untuk mengekang manusia sehingga tidak menjadi barbar.
Salah satu pemikiran Sigmund Freud yang terkenal adalah konsep bahwa pikiran manusia dibagi menjadi tiga bagian yaitu alam sadar (conscious), prasadar (pre-conscious), dan bawah sadar (unconscious). Freud percaya bahwa segala aktivitas dan pengalaman manusia dipengaruhi alam bawah sadar yang dibentuk oleh masa lalu, baik pengaruh yang buruk maupun yang baik. Selain itu, permasalahan yang dialami oleh klien adalah manifestasi dari konflik masa lalu yang tak terselesaikan dan tersembunyi di alam bawah sadar mereka. Oleh karena itu, tugas seorang konselor adalah untuk menggali alam bawah sadar itu dan menyatakan konflik tersebut kepada klien sehingga permasalahan dapat diselesaikan.
Kalau dilihat sekilas, apa yang dikatakan oleh Freud sepertinya tidak sepenuhnya bertentangan dengan Alkitab. Bukankah Alkitab banyak berbicara mengenai pentingnya pendidikan yang baik bagi anak sejak masa kecil dan menghindari pengaruh-pengaruh yang buruk? Benar, Alkitab membicarakan pengaruh didikan dan lingkungan pada masa kecil seseorang, tetapi lebih jauh lagi Alkitab juga membicarakan akar seluruh permasalahan manusia ada pada natur keberdosaannya. Natur keberdosaannyalah yang membuat seseorang menjadi semakin rusak dalam hidupnya, mulai dari masa kecilnya. Jadi, sebetulnya masa kecilnya pun dipengaruhi atau ditentukan oleh keberadaan keberdosaan seseorang. Masa kecil seseorang bukanlah secarik kertas putih kosong yang netral atau bahkan baik adanya, yang kemudian dituliskan dengan pengaruh jelek atau pengalaman jelek, yang kemudian memengaruhi kehidupan berikutnya. Tidak heran, penganut psikoanalisis atau kebanyakan orang pada umumnya percaya bahwa pendidikan dan kehidupan masa anak merupakan segalanya, bukan natur keberdosaannya yang paling perlu diperhatikan dan paling dini diselesaikan. Anak dilindungi sedemikian rupa agar menghidupi “sorga” di dunia ini, anak tidak difokuskan untuk dibawa kepada firman dan cara pandang Kristen sedini mungkin.
Jadi, secara garis besar, di saat psikoanalisis menggunakan berbagai macam teknik agar manusia menjadi otonom dan dapat mengontrol dirinya sendiri (melalui pengalaman hidupnya, baik masa lalu, sekarang, maupun untuk masa depan), Alkitab justru menyatakan bahwa manusia harus menjadi semakin bergantung kepada Tuhan karena Dialah penguasa hidup manusia. Saat manusia bergantung kepada Tuhan, mereka dapat melihat pengharapan bagi kehidupan mereka yang dihantui oleh kerusakan masa lalu. Iman Kristen percaya akan kuasa pemulihan darah Kristus yang total. Kitab Yesaya 43:18-19 berbicara mengenai janji Tuhan yang akan menebus dan memulihkan bangsa Israel sekalipun masa lalu mereka penuh dengan kejahatan dan dosa.
Biblical Counselling
Pandangan yang kedua adalah Biblical Counselling yang merupakan antitesis dari konseling sekuler. Biblical Counselling bertujuan untuk membangun sistem dan pendekatan konseling di atas dasar nilai-nilai kekristenan. Gerakan Biblical Counselling dimulai oleh Jay E. Adams, seorang konselor Kristen bertheologi Reformed yang rindu agar bidang konseling kembali ditundukkan di bawah otoritas Alkitab. Ada beberapa presuposisi yang menjadi dasar dari pendekatan Biblical Counselling ini.
Presuposisi yang paling pertama adalah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang eksistensinya bergantung kepada Tuhan (Kis. 17:28; Why. 4:11). Sebagai Pencipta dari manusia, sudah sewajarnya bahwa Tuhanlah yang memiliki pengetahuan total mengenai seluruh kehidupan manusia termasuk kesehatan mentalnya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin bagi manusia untuk menjadi otonom dan mencari solusi bagi segala permasalahan yang dihadapinya di luar Tuhan Sang Pencipta. Cornelius Van Til, seorang theolog dan apologis Reformed telah merumuskan konsep ini di dalam Creator-Creature Distinction. Van Til mengatakan bahwa Allah sebagai Pencipta berarti Allah bukanlah bagian dari ciptaan, ada perbedaan secara qualitative antara Allah dan ciptaan-Nya, termasuk manusia (Yes. 40:12-31). Di sisi lain, manusia sebagai ciptaan berarti manusia harus bersandar dan bergantung total kepada Tuhan di dalam segala aspek hidupnya. Selain itu, Tuhan sebagai Pencipta berarti Dialah sumber segala sesuatu karena segala sesuatu diciptakan oleh Dia. Atas dasar ini, maka segala macam pengetahuan berasal dari Tuhan dan tanpa wahyu dari Tuhan tidak mungkin manusia memiliki pengetahuan. Bukan hanya itu, seluruh makna dan tujuan kehidupan manusia bahkan seluruh keberadaannya berasal dari Tuhan. Sehingga hanya Tuhanlah yang memiliki otoritas untuk memaknai kehidupan setiap manusia (Rm. 11:36).
Pengertian akan konsep Creator-creature distinction ini memiliki implikasi besar di dalam bidang konseling. Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan, termasuk pengetahuan tentang manusia, maka satu-satunya jalan untuk kita dapat memberikan konseling yang memuliakan Tuhan adalah dengan mencari hikmat-Nya di dalam firman Tuhan. Itulah pentingnya bagi konselor-konselor Kristen untuk belajar dan mengerti firman serta hidup di dalam firman. Karena tanpa mengerti dan mengenal Alkitab, bagaimanakah kita bisa mendapatkan kebijaksanaan yang sejati? Namun, perlu dimengerti bahwa Biblical Counselling bukan berarti sedang mencoba untuk menolak anugerah umum yang Tuhan nyatakan kepada manusia, baik yang percaya maupun yang tidak percaya. Heath Lambert (2012) menjelaskan bahwa konselor Kristen tidak menolak informasi di luar Alkitab seperti sains, melainkan dapat menggunakannya di dalam praktik sehari-hari. Namun, perlu ditekankan bahwa semua informasi tersebut harus ditafsirkan dan dimengerti di bawah terang firman Tuhan. Jay Adams (1979) di dalam bukunya A Theology of Christian Counselling berkata, “God does, of course, restrain sin, allow people to discover facts about His creation, etc., in common grace, but God never set up rival systems competitive to the Bible” (p. 8). Sebagai contoh, salah satu prinsip terpenting di dalam konseling adalah empati terhadap klien yang sedang mengalami masalah. Konsep tentang empati dikembangkan oleh Carl Rogers di dalam pendekatan Client-Centered yang begitu menekankan otonomi manusia. Kita diminta berempati kepada orang lain agar dapat merasakan apa yang dia rasakan sehingga mampu menolong dia keluar dari permasalahannya dengan tepat. Pemikiran ini mengasumsikan kemampuan manusia mengenal manusia dengan tepat dan utuh, juga mengasumsikan manusia sanggup menolong manusia lainnya. Alkitab mengajarkan kita, pertama, bahwa pertolongan kita hanya dari Allah yang menciptakan langit dan bumi. Dari kedaulatan pemeliharaan topangan tangan-Nyalah kehidupan kita ada hingga saat ini, artinya Dialah yang menjadikan hidup kita seperti hari ini ada. Maka, hanya kepada Dia sajalah kita mencari motive, method, dan goal dari kehidupan kita, agar kita mengerti mengapa kita seperti ini hari ini, apa yang Tuhan ingin kerjakan melalui hidup ini, dan bagaimana semuanya ini bisa memuliakan nama-Nya (Rm. 11:36). Kedua, empati kepada sesama adalah bagian dari natur kita yang sudah ditebus menjadi satu tubuh Kristus. Berempati adalah pernyataan kita sebagai satu tubuh Kristus, tangan akan secara refleks menolong bagian tubuh lain yang terluka, dan bahkan rasa sakitnya dirasakan oleh keseluruhan tubuh. Inilah kehidupan orang Kristen yang menyaksikan dirinya sudah ditebus oleh Kristus menjadi anggota tubuh-Nya. Jadi, berempati merupakan suatu pernyataan kasih kepada sesama anggota tubuh Kristus yang mengekspresikan dan menyaksikan bahwa kita sudah menerima kasih Kristus. Bukan hanya kepada sesama anggota tubuh Kristus saja, tetapi juga kepada sesama manusia lainnya. Dengan demikian, manifestasi cinta kasih Kristus dinyatakan melalui kesaksian tubuh-Nya untuk membawa dunia ini melihat Kasih dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya. Inilah tanda kasih kita sebagai anak-anak Allah (1Yoh. 4:7-8).
Presuposisi kedua adalah mengenai sentralitas dan otoritas Alkitab di dalam praktik konseling. Surat 2 Timotius 3:16 menyatakan bahwa firman Tuhan bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, dan membawa perubahan di dalam perilaku. Paulus juga menyatakan hal yang senada di dalam surat Kolose 1:28. Di dalam ayat-ayat ini, Paulus sedang mengajarkan bahwa firman Tuhan memiliki otoritas dan kuasa untuk membawa perubahan yang sejati kepada setiap manusia. Heath Lambert (2012) menuliskan satu poin yang menarik mengenai sentralitas dan otoritas Alkitab di dalam konseling. Dia mengatakan bahwa Alkitab merupakan sebuah janji dari Tuhan bahwa Allah akan memberikan kebijaksanaan-Nya di dalam konseling melalui firman Tuhan. Jadi, melalui Alkitab kita dapat menemukan begitu banyak prinsip kebenaran yang dapat membawa dan menuntun orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan penyelesaian dari masalah mereka. Namun sayangnya, banyak orang Kristen yang percaya bahwa Alkitab hanya berguna untuk masalah kehidupan setelah kematian dan pergi ke sorga saja. Pengertian yang salah dan mengalami reduksi ini sudah ditentang di dalam The Second Helvetic Confession maupun The Westminster Confession of Faith yang menyatakan bahwa Alkitab berbicara tentang kehidupan yang baik, sehat, dan saleh. Alkitab merupakan firman Allah yang akan terus memberikan pemeliharaan dan pengharapan bagi manusia agar dapat hidup semakin baik di hadapan-Nya.
Meski demikian, masih banyak yang bertanya-tanya mengenai “Apakah Alkitab sungguh-sungguh memberikan informasi detil dari setiap topik yang ada di bidang konseling?” John Frame (2010) di dalam bukunya The Doctrine of the Word of God menyatakan bahwa Alkitab bukanlah buku panduan yang bersifat step by step melainkan merupakan buku panduan yang mengandung wahyu Tuhan bagi manusia agar dapat memuliakan Dia di dalam setiap bidang. Prinsip ini juga bisa diaplikasikan ke dalam praktik konseling. Alkitab tentu tidak mengandung setiap jenis informasi mengenai masalah medis maupun mental serta obat-obatan yang diperlukan. Namun, Alkitab menjelaskan mengenai prinsip-prinsip konseling yang diperlukan bagi konselor yang memuliakan Tuhan, misalnya prinsip mengenai sumber dari perubahan sejati di dalam hidup manusia, akar permasalahan dari manusia dan solusinya, identitas manusia, dan sebagainya. Jawaban bagi tema-tema tersebut sudah dicoba untuk dijawab oleh teori-teori sekuler sejak ratusan tahun yang lalu tanpa menyadari bahwa Alkitab sudah memberikan jawabannya sedari dulu. Selain itu, fakta bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa semakin menyatakan akan pentingnya firman Tuhan bagi kehidupan manusia. Dosa telah masuk dan merusak segala hal yang telah Tuhan ciptakan. Dosa telah memengaruhi segala aspek kehidupan manusia dari motivasi, emosi, pikiran, tubuh, sampai kepada relasi kita satu dengan yang lainnya. Satu-satunya cara manusia bisa lepas dari jeratan dosa dan mendapatkan perubahan yang sejati adalah ketika darah Kristus membasuh setiap orang yang mengaku percaya kepada Kristus. Satu-satunya kelepasan sejati bagi manusia dari keberdosaannya hanyalah melalui penebusan dari Kristus yang disaksikan oleh Alkitab. Atas dasar inilah, usaha konseling untuk membawa perubahan positif yang sejati dan tuntas menjadi sesuatu yang mustahil dikerjakan jika tidak dengan firman Tuhan yang membawa kepada Kristus. Karena hanya Dialah satu-satunya yang sanggup memberikan perubahan tersebut!
Sedikit ulasan di atas tentang secular counselling dan biblical counselling adalah untuk mengajak setiap pembaca bersama-sama belajar mengenal kebenaran-Nya yang telah Dia berikan kepada umat-Nya untuk menghidupi kehidupan yang memuliakan Dia sesuai kehendak-Nya. Dengan demikian, kita sedang mengembalikan seluruh bidang kehidupan kita kepada supremasi firman Tuhan sebagai dasar, kacamata, dan penuntun yang sejati.
Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne