,

Wahyu Umum: Bavinck, Barth, dan Van Til

Dalam kisah yang terkenal, Barth menjawab Brunner dengan penolakan keras atas kemampuan manusia untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah di luar Kristus Yesus. Jawaban “Tidak”-nya menjadi jargon terkenal yang diulang terus-menerus ketika seseorang membicarakan theologi wahyu dari Barth. Bavinck, berbanding terbalik dengan Barth, mengembangkan pemikiran organik dalam mengafirmasi wahyu umum. Dan melalui pemikiran organik ini, Bavinck menunjukkan bagaimana Allah Tritunggal telah dan terus mewahyukan diri-Nya. Artikel kali ini akan mencoba melakukan penjabaran singkat atas kedua pendekatan ini.

Kemiripan dari Pendekatan Bavinck dan Barth

Pertama, keduanya melabuhkan masing-masing argumennya dalam keberbedaan Allah Tritunggal. Keduanya menggunakan ungkapan “pembedaan kualitatif” untuk menggambarkan jurang ontologis antara Allah dan manusia. Keberbedaan Ilahi ini mengharuskan pewahyuan diri Allah untuk mengatasi kesenjangan antara yang tak terbatas dan yang terbatas. Jadi, Bavinck mengatakan “Ya” untuk wahyu umum sejauh Allah mengambil inisiatif untuk mengungkapkan diri-Nya kepada semua manusia, sementara Barth mengatakan “Tidak” untuk wahyu umum sejauh ini menjaga inisiatif Allah dalam pewahyuan Yesus Kristus terhadap segala kemungkinan usaha manusia dalam mencapai pengetahuan tentang Allah dalam ciptaan.

Landasan umum kedua yang dimiliki oleh Bavinck dan Barth adalah bagaimana mereka berpegang teguh pada pendekatan Kristosentris. Bagi Bavinck, Kristus bukan hanya pusat organik dari seluruh ciptaan sebagai organisme, melainkan juga pusat wahyu Allah sebagai organisme. Oleh karena itu, pusat organik wahyu Allah menentukan keberadaan wahyu umum dalam ciptaan. Bagi Barth, mengingat Realdialektik Allah dan kemanusiaan, pengetahuan akan Allah hanya dapat dimediasikan kepada manusia di dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, pengetahuan tentang Allah sama sekali tidak dimediasikan kepada manusia dalam penciptaan, meskipun Barth memungkinkan adanya bentuk-bentuk wahyu yang lain. Bavinck berpendapat bahwa Calvin bersikeras pada keberadaan wahyu umum dan ketidakcukupannya dalam membawa keselamatan; oleh karena itu, keselamatan di dalam Kristus diperlukan. Barth, di sisi lain, berargumen bahwa bagi Calvin gagasan tentang semen religionis tidak ada hubungannya dengan eksposisinya tentang inti kekristenan. Jelaslah bahwa baik Bavinck maupun Barth secara kukuh menganut pendekatan Kristosentris dalam penerimaan dan penolakan mereka terhadap wahyu umum, meskipun makna “Kristosentris” mereka berbeda.

Kedua landasan di atas didukung oleh landasan ketiga: baik Bavinck maupun Barth bersikeras bahwa Kitab Suci memainkan peran penting dalam theologi wahyu mereka. Bagi Bavinck, kisah mengenai wahyu Allah dalam penciptaan dapat dengan mudah ditemukan dalam Kitab Suci. Memang, hubungan organik antara wahyu umum dan wahyu khusus secara eksplisit ditetapkan dalam Kitab Suci. Menurut Barth, Kitab Suci memberikan kesaksian yang setia tentang wahyu Allah di dalam dan melalui Kristus. Oleh karenanya, mengingat Realdialektik dari antitesis yang Ilahi-manusia, seseorang hanya dapat mencapai pengetahuan tentang Allah melalui Kitab Suci daripada secara subjektif melalui penciptaan. Cukuplah untuk mengatakan bahwa penyebaran pemikiran organik dan dialektis Bavinck dan Barth dalam “Ya” dan “Tidak” mereka pada dasarnya diawali dengan komitmen sepenuh hati kepada firman Allah.

Perpisahan dari Pendekatan Bavinck dan Barth

Ketiga landasan ini digunakan baik oleh Bavinck dan Barth dengan cara yang sangat berbeda. Namun terdapat beberapa penyebab divergensi utama dari kedua pandangan ini: ide yang berbeda tentang Kristosentrisme, organisme dan dialektika theologis, serta mengenai apa yang dianggap sebagai wahyu dan pengetahuan tentang Allah.

Terlepas dari kenyataan bahwa baik Bavinck dan Barth berpegang teguh pada pendekatan Kristosentris, pengertian mereka mengenai Kristosentrisme sangatlah bertolak belakang. Bavinck mendasarkan doktrin Kristosentrismenya kepada Trinitas. Menurut Bavinck, Kristus memang adalah Perantara penciptaan dan keselamatan, namun perantaraan Kristus tidak ditetapkan dalam karya-karya ad extra. Sebaliknya, perantaraan ini bersifat abadi, karena didasarkan pada kehidupan Ilahi Trinitas. Bagi Bavinck, perantaraan Kristus yang kekal memanifestasikan kasih karunia Allah sebagai hal yang esensial bagi penciptaan dan penciptaan kembali (re-creation). Mengingat bahwa Kristus adalah pusat organisme ad extra, kasih karunia Allah Tritunggal yang dimediasi melalui Kristus akan memulihkan seluruh ciptaan. Melalui wahyu umum, kesatuan atas anugerah (grace) dan alam (nature) terbentuk secara organik. Jadi, pada dasarnya, pemikiran organik Bavinck adalah theosentris secara Kristologis. Namun pada ujungnya terdapat keterpisahan soteriologis dalam pemikiran Bavinck akan wahyu umum. Kristosentrisme Barth, sebaliknya, menekankan keharusan Yesus Kristus sebagai sumber epistemik, mengingat ketidakmampuan manusia untuk menerima wahyu Allah. Bagi Barth, pencapaian pengetahuan Allah secara eksklusif dikondisikan oleh wahyu penebusan Allah dalam Yesus Kristus seperti yang disaksikan oleh Kitab Suci. Kristosentrisme Barth memandang Kristus sebagai fondasi esensial (principium essendi) dan fondasi kognitif theologi (principium cognoscendi theologia). Oleh karena itu, “Tidak” dari Barth dimaksudkan justru untuk melindungi Yesus Kristus sebagai landasan kognitif yang esensial dari pengetahuan tentang Allah. Singkatnya, mengenal Allah, bagi Barth, berarti mengenal Yesus Kristus.

Alasan kedua yang menjelaskan “Ya” dari Bavinck dan “Tidak” dari Barth adalah titik fokus pemikiran organik dan dialektis yang berbeda. Pemikiran organik Bavinck dengan jelas menempatkan penekanan pada penciptaan Allah. Pandangan tentang wahyu yang terfokus pada penciptaan ini tentu saja mencakup wahyu umum, yang dengannya Allah menjadi imanen sekaligus tetap transenden. Pentingnya penciptaan tidak dirusak setelah kejatuhan manusia. Sebaliknya, wahyu disampaikan secara vertikal dari Allah sejauh Allah terus berbicara dalam penciptaan dan dalam sejarah. Sebaliknya, gagasan tentang keselamatan Allah merupakan pusat pemikiran dialektis Barth. Posisinya yang terfokus secara soteriologis menyiratkan bahwa transformasi pikiran manusia oleh keselamatan Allah adalah prasyarat bagi setiap pengetahuan manusia tentang Allah. Tanpa ragu, Barth sama sekali tidak mengakui jalan epistemologis menuju pengetahuan tentang Allah terlepas dari wahyu keselamatan Allah di dalam Kristus. Afirmasi akan pengetahuan dari ciptaan akan merusak Realdialektik dari perbedaan Ilahi-manusia.

Alasan ketiga mengapa Bavinck dan Barth berbeda dalam pandangan mereka terletak pada apa yang masing-masing anggap sebagai wahyu Allah. Bagi Bavinck, komponen wahyu Allah adalah seluruh kebenaran, fakta, dan peristiwa dalam sejarah yang bersifat jamak. Wahyu umum dengan demikian menyangkut kebenaran-kebenaran Ilahi yang diwahyukan, dan terus disingkapkan, dalam ciptaan. Bagi Bavinck, seluruh ciptaan yang dipahami sebagai organisme adalah teater Allah di mana kebenaran mulia Allah diungkapkan. Sebaliknya, Barth menganggap wahyu terutama sebagai peristiwa Yesus Kristus, yang tunggal dan pada dasarnya bersifat pribadi. Mengingat pandangan dialektika soteriologisnya tentang wahyu, Barth lebih menekankan pada perjumpaan Ilahi-manusia melalui peristiwa pewahyuan Yesus Kristus.

Mencari Jalan Keluar

Setelah kita melihat tiga landasan umum serta pemisah dari penjelasan Bavinck dan Barth, kita dapat dengan jelas mengusulkan pendekatan yang lebih sehat dalam mengeksplorasi wahyu umum. Paling tidak ada tiga hal yang diusulkan melalui pembelajaran penulis mengenai Van Til dalam menghindari kedua polar yang ada.

Pertama, penekanan atas Alkitab sebagai limiting concept. Bersama Bavinck, kita mengakui bahwa Kitab Suci memasukkan banyak catatan tentang wahyu Allah dalam ciptaan, seperti Mazmur 19:1-4, Kisah Para Rasul 17:24-28, dan Roma 1:18-20. Hal ini bertentangan dengan pembacaan Barth. Bagi Barth, perikop-perikop ini—misalnya Roma 1:18-20—tidak menargetkan semua manusia melainkan hanya mereka yang telah diubahkan oleh Injil. Oleh karena itu, Barth berpendapat bahwa ayat-ayat ini menunjukkan anugerah keselamatan Allah yang tersembunyi di dalam murka dan penghakiman Ilahi. Dalam nada yang sama, Barth menyatakan bahwa Mazmur 19:1-4 menunjukkan perlunya “iman dalam firman Allah dan pewahyuan” sebagai prasyarat untuk pemahaman pengetahuan asli tentang Allah. Tetapi kata kerja Ibrani dalam ayat 1 dari Mazmur 19 memperlihatkan bagaimana pemazmur memandang ciptaan itu sendiri sebagai saksi bagi Allah dan kemuliaan-Nya.

Meskipun dalam hal ini kita mengerti keprihatinan soteriologis Barth, jawaban yang dia tawarkan mengabaikan petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Di sinilah konsep “limiting concept” dari Van Til berjalan lebih jauh dengan mempertahankan “wahyu umum” dan “aspek soteriologis”. Baginya, kenyataan bahwa Alkitab mengatribusikan kedua jenis kebenaran yang terlihat bertentangan ini berarti keduanya harus dipandang sebagai paradoks yang membatasi pemikiran kita. Dengan demikian kita dapat dengan percaya memegang kebenaran biblika bahwa terdapat semacam pewahyuan secara umum, namun juga pada akhirnya pewahyuan akan memisahkan orang yang percaya dan tidak percaya. Van Til dengan demikian terhindar dari keterbatasan Bavinck, namun tidak jatuh dalam menolak testimoni biblika seperti Barth.

Kedua, theologi wahyu umum juga harus diartikulasikan melalui kesatuan doktrin Trinitas. Di dalam penjabarannya, Barth memutuskan hubungan Roh Kudus dari pekerjaan Allah yang terus-menerus dalam penciptaan. Baginya, Roh Kudus berhubungan erat dengan keselamatan dan wahyu penebusan Allah. Dalam theologi Barth, “Roh Penebus tidak pernah sepenuhnya diakui sebagai Roh Pencipta dan dinamisme rasional manusia.” Sebaliknya, Bavinck menekankan kerja sama pribadi-pribadi Ilahi Allah Tritunggal dalam penciptaan, termasuk Roh Kudus. Namun, ketika Bavinck membuka dimensi non-soteriologis dalam wahyu umum, dengan tidak sadar dia membuka ruang pemutusan rantai penciptaan dengan proses penciptaan kembali dengan dalih kemajemukan kehendak Allah. Lebih jauh, pandangan ini dibawa oleh penerusnya untuk menegaskan nilai independen dari ciptaan Allah.

Bersama Van Til, dalam mempertahankan kesatuan kehendak Allah Tritunggal, baik di dalam penciptaan maupun pemilihan-Nya, kita dapat terhindar dari pendekatan Barth dalam membuat ciptaan bergantung pada penyelamatan Allah; namun kita juga tidak membiarkan putusnya rantai pekerjaan Allah.

Ketiga, theologi wahyu umum yang mengakar pada konsep kejatuhan dan penebusan. Secara khusus, inti dari pemikiran dialektis Barth adalah gagasan tentang dosa dan wahyu penebusan Allah di dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu, “wahyu [bagi Barth] bukan hanya doktrin tentang keselamatan tetapi juga transaksi penyelamatan.” Dengan pandangan demikian, dia membuat wahyu khusus sama sekali tidak termasuk dalam wahyu umum. Bersama Van Til, kita dapat menyatakan penegasan kesinambungan wahyu umum dan khusus. Sebelum perjumpaan Ilahi-manusia melalui peristiwa Yesus Kristus, seharusnya sudah ada pengetahuan tertentu tentang Allah; jika tidak, Allah tidak dapat dikenali oleh manusia saat mereka bertemu satu sama lain. Dengan mengungkapkan pengetahuan tentang Allah dalam penciptaan, tujuan Allah adalah untuk bertemu dengan manusia melalui Kristus (Logos asarkos) sebagai Perantara penciptaan. Namun, karena pengaruh dosa, pengetahuan tentang Allah yang diambil dari wahyu umum tidak efektif terlepas dari wahyu khusus Allah di dalam Yesus Kristus (Logos ensarkos) sebagai Perantara keselamatan, sebagaimana disaksikan oleh Kitab Suci. Keserempakan singularitas dan pluralitas ini memperkuat sentralitas Yesus Kristus dalam wahyu Allah. Theologi Van Til juga memberi peringatan lebih lanjut dengan menggarisbawahi keberadaan yang berkelanjutan dari pengaruh buruk dosa pada wahyu umum. Perhatikan bahwa Bavinck tidak pernah meremehkan pengaruh dosa yang terus-menerus pada manusia. Sebaliknya, wahyu umum bagi Bavinck tidak dapat memberikan pengetahuan yang cukup tentang Allah kepada para pendosa, dan karenanya membutuhkan bantuan wahyu khusus dan penebusan Allah. Namun, pandangan Bavinck bahwa setiap wahyu adalah ciptaan, dikombinasikan dengan kaburnya perbedaan antara wahyu umum dan khusus, tampaknya mengidentifikasi segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi sebagai pekerjaan Allah secara positif (menyelamatkan). Misalnya, ia tampaknya mengidentifikasi perkembangan sejarah dengan terungkapnya wahyu Ilahi dalam sejarah. Meskipun Bavinck berusaha keras untuk menyebarkan dari tradisi Reformed dengan pola Allah sebagai penyebab utama dan makhluk sebagai penyebab sekunder untuk menjelaskan pemeliharaan Allah, van der Kooi dan van den Brink tetap berpendapat bahwa pola universalitas wahyu umum Bavinck “[menjalankan] risiko besar mengidentifikasi Allah dengan apa yang ada dan menyaring kehendak-Nya dari apa yang kita lihat di sekitar kita”. Efek sampingnya adalah kemungkinan dalam meremehkan pentingnya wahyu khusus. Sampai batas tertentu, pengaruh dosa pada penyebab sekunder (makhluk) dilemahkan oleh Bavinck, yang berarti bahwa theologi wahyu umumnya rentan untuk disalahartikan sebagai memisahkan wahyu khusus dari wahyu umum, meskipun pada faktanya Bavinck selalu menonjolkan hubungan organik di antara mereka. Kecenderungan untuk melepaskan wahyu khusus dari wahyu umum ini menjadi ciri khas gerakan Kristen Jerman. Van Til dengan demikian membantu mengingatkan kita akan pengaruh dosa yang terus-menerus sejak kejatuhan manusia, yang hasilnya berarti bahwa wahyu Allah dalam ciptaan bukan hanya tidak dapat benar-benar dipahami tanpa wahyu penebusan Allah di dalam Yesus Kristus; namun juga bersifat menghakimi pendosa. Mengingat kesadaran yang akut akan dosa ini, gagasan tentang kutukan Ilahi harus mendapat perhatian yang sama seperti pandangan Bavinck tentang pemulihan dan pembaruan Ilahi. Sesuai dengan klaim Bavinck dan Barth tentang otoritas alkitabiah, paradoks ini hadir di dalam sepanjang penulisan Kitab Suci, karena Kitab Suci menunjukkan bahwa Allah mengutuk, memulihkan, dan memperbarui apa yang diciptakan-Nya (Yes. 19:22; Yer. 1:10; Yeh. 29:1-16; Rm. 8:18-25; Ef. 4:20-24; Why. 21:1-2). Oleh karena itu, ketegangan ini haruslah tetap dipelihara sekaligus diadopsi sebagai limiting concept yang menavigasi setiap pemikiran kita.

Kesimpulan

Perbedaan pandangan antara Bavinck dan Barth muncul dari keprihatinan theologis mereka yang berbeda. Theologi Bavinck secara fundamental terfokus pada penciptaan, sedangkan theologi Barth terfokus secara soteriologis; kedua fokus ini menjadi pusat pemikiran organik dari masing-masing pihak. Terlepas dari kenyataan bahwa baik “Ya” Bavinck maupun “Tidak” Barth memanifestasikan tanggapan theologis yang berat terhadap konteks mereka masing-masing, kita tetap dapat melihat pengondisian oleh penyelidikan theologis mereka. Meskipun Bavinck dengan tegas membela kesatuan wahyu umum dan wahyu khusus, proyek theologisnya tetap menunjukkan kecenderungan untuk melepaskan wahyu umum dari aspek soteriologisnya. Demikian pula, proyek theologis Barth—ditandai dalam jawaban “Tidak”-nya pada Brunner menjadikan ciptaan tunduk pada keselamatan Allah. Mengingat minat theologis Bavinck dan Barth yang sama dalam keberbedaan Allah Tritunggal, pendekatan Kristosentris dan otoritas Kitab Suci, pendekatan Van Til dapat menjembatani lubang dari pemikiran Bavinck, juga mengantisipasi ekspektasi soteriologis Barth. Van Til juga menekankan keragaman-dengan-paritas sebagai ciri wahyu umum, namun mengingatkan kita akan pengaruh dosa yang terus-menerus sebagai kunci untuk memahami wahyu umum Allah yang menghakimi. Secara keseluruhan, pendekatan Van Til memberikan sebuah usaha yang menjanjikan dalam mengembangkan theologi natural Kristen, yang sekaligus mencerminkan pemahaman Kristen tentang dunia yang diciptakan oleh Allah Tritunggal.

Robin Gui

Pemuda FIRES