Banyak orang Kristen, termasuk orang Reformed, yang mengerti doktrin providensia Allah dengan kerangka berpikir manusia berdosa. Providensia Allah menyatakan bahwa Allah terus berinteraksi dengan manusia, dan hal ini seharusnya memberikan penghiburan dan pengharapan bagi manusia. Reaksi seperti ini sangat wajar dan tidak salah, tetapi akan menjadi kebahayaan saat respons itu berhenti sampai diri manusia sendiri. Kita menikmati providensia Allah dan menganggap diri kita sebagai final end dari karya Allah tersebut. Terutama saat kita membutuhkannya atau dalam kondisi terjepit.
“Tenanglah, bersandar saja kepada Tuhan. Dia pasti akan menolong engkau, karena Ia adalah Allah yang memelihara.” Kalimat ini sepintas terlihat benar, tetapi saat kita menggali lebih lanjut, kita akan mengetahui bahwa kalimat ini sering kali diucapkan dengan motivasi atau konsep berpikir yang salah. Kita berpikir kalau seluruh karya pemeliharaan Allah diberikan agar manusia bisa menikmati kehidupan, merasakan ketenangan dan kedamaian, atau bebas dari segala bahaya dan ancaman baginya. Benarkah pola berpikir seperti ini? Untuk apakah Allah memelihara manusia? Apakah demi kebaikan manusia atau justru demi Allah sendiri? Pada artikel ini kita akan membahas mengenai final end dari providensia Allah. Kita akan melihat apa sebenarnya fungsi dari providensia Allah. Kita mulai dengan mengerti terlebih dahulu apa itu providensia Allah.
Providensia Allah – Classical View
Kata “providence” jikalau diterjemahkan artinya adalah “pemeliharaan”. Secara sederhana dapat kita katakan bahwa providence of God berkait dengan Allah yang terus memelihara dan menopang ciptaan-Nya (Kol. 1:17). Allah tidak membiarkan alam semesta berjalan dengan sendirinya tanpa topangan dari Dia seperti yang diajarkan dalam paham deisme. Pemikiran deisme berbeda dengan yang dipercayai orang Kristen. Kita percaya bahwa setelah Allah mencipta, Ia tetap terus menopang tatanan ciptaan sesuai dengan kehendak-Nya. Sampai di sini doktrin providensia Allah terdengar tidak terlalu sulit untuk dipahami. Tetapi, jikalau doktrin ini dibenturkan dengan fakta yang terjadi di dunia seperti kejahatan dan penderitaan, maka orang Kristen sering kali sulit menjawab permasalahan tersebut. Pada umumnya ada dua respons orang Kristen, antara tetap bersikukuh bahwa Allah berdaulat atas segala ciptaan dan mengompromikan sifat-sifat keilahian Allah. Respons yang pertama dikategorikan sebagai pandangan klasik (Classical/High View) yang dimulai oleh Bapa Gereja Agustinus. Lalu, respons yang berikutnya dikategorikan sebagai Low View of Providence.
Pandangan klasik mengenai providensia Allah menyatakan bahwa Allah memiliki kedaulatan atas seluruh ciptaan. Kedaulatan Allah bersifat absolut, sehingga tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di luar rencana-Nya. Segala sesuatu dari permulaan hingga akhir telah berada di dalam rencana kekal-Nya. Secara sederhana, kita bisa mengatakan bahwa pengetahuan Allah akan masa lalu, sekarang, dan masa depan adalah lengkap dan sempurna karena Ia adalah Allah atas waktu. Tidak ada satu pun rencana Allah yang bisa gagal, segala sesuatu pasti berjalan sesuai kehendak Allah. Tidak ada risiko kegagalan yang harus Ia pertimbangkan, karena semua berada di dalam kedaulatan-Nya. Lain halnya dengan manusia yang ketika berencana pasti mempertimbangkan risiko kegagalan yang mungkin ia terima.
Agustinus di dalam bukunya City of God menyatakan bahwa Allah tidak melalui proses berpikir dari satu langkah ke langkah berikutnya. Ia merangkum segala sesuatu dengan ketidakberubahan absolut, sehingga hal-hal yang terjadi di dalam waktu dipahaminya sebagai kehadiran Allah yang teguh dan kekal. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan Allah itu lengkap dan utuh. Allah tidak memerlukan tambahan informasi apa pun. Hal ini berbeda dengan kita manusia yang masih perlu belajar untuk meningkatkan pengetahuannya. Pengetahuan yang lengkap pada diri Allah juga berimplikasi pada tindakan manusia. Seperti yang Agustinus katakan, bahwa apa pun yang dilakukan oleh manusia telah diketahui oleh Allah sebelumnya secara pasti. Allah memastikan bahwa manusia mempunyai kuasa untuk menjalankan tindakannya. Pernyataan ini tentu menimbulkan banyak perdebatan mengenai bagaimana kehendak bebas manusia dapat dipertahankan. Permasalahan ini tidak akan dibahas lebih lanjut, tetapi yang pasti Agustinus meyakini bahwa kedaulatan Allah yang mutlak tidak bertentangan dengan kehendak bebas manusia, melainkan menjaminnya.
Pemikiran Agustinus mengenai providensia Allah menjadi inspirasi bagi berbagai kalangan theolog hingga ke abad ke-21 ini. Theolog besar di zaman Reformasi yang membangkitkan kembali doktrin ini adalah Martin Luther dan John Calvin. Luther juga setuju pada pandangan klasik Agustinus mengenai providensia Allah bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu. Luther memberikan suatu perumpamaan bahwa manusia itu seperti binatang yang perlu dikendalikan. Jika Allah yang mengendalikan kita, maka hidup kita akan diarahkan sesuai dengan kehendak-Nya. Hidup kita bagaikan instrumen di tangan Allah. Tetapi jika setan yang mengendalikan kita, maka tentu hidup kita akan seperti setan. Luther juga sadar bahwa perumpamaan ini dapat mengundang kritikan karena seolah-olah meniadakan tanggung jawab manusia dan membiarkan adanya kejahatan. Pendekatan Luther terhadap permasalahan ini juga sama seperti Agustinus. Luther mengatakan bahwa Allah tidak bisa melakukan kejahatan, yang ada adalah segala yang baik berasal dari Allah (Yak. 1:17). Walaupun pada faktanya kejahatan tetap terjadi di dunia ini, Allah tetap dapat mengatur itu semua sehingga tetap sesuai rencana dan kehendak-Nya. Bagi Luther kehendak Allah itu sempurna, apa yang terjadi pasti benar oleh karena Allah menghendaki demikian.
Tokoh Reformasi yang berikutnya yaitu John Calvin. Ia membahas lebih mendalam tentang providensia Allah. Calvin memfokuskan bagaimana doktrin providensia Allah tidak berhenti dalam bentuk pengetahuan, tetapi sungguh-sungguh dapat mentransformasi hidup orang Kristen. Mereka yang dulunya hidup di bawah ilah-ilah palsu, sekarang hidup dengan kesadaran bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu. Kesadaran ini mendorong mereka untuk mengakui bahwa Allah memerintah dan menopang seluruh alam semesta, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Bagi Calvin, doktrin providensia Allah ini justru memberikan kebaikan yang besar bagi hidup orang Kristen, karena segala penderitaan dan kesulitan kita pun berada di bawah kendali Allah. Jikalau sebelumnya Luther memakai istilah “instrumen”, maka Calvin memakai kata “secondary causes” (penyebab sekunder) untuk menjelaskan bagaimana providensia Allah melingkupi segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk kejahatan dan tindakan manusia. Hal ini menyatakan bahwa Allah memakai penyebab sekunder ini untuk menggenapkan rencana kekal-Nya di bumi. Sama seperti Luther, Calvin juga tidak melihat adanya pertentangan antara kehendak bebas maupun kejahatan terhadap kedaulatan Allah yang mutlak. Calvin melalui bukunya Institutio, mengatakan bahwa adalah suatu kebodohan belaka untuk mempertanyakan rencana kekal Allah secara sewenang-wenang dan merumuskannya dalam beberapa kalimat yang kita juga tidak mengerti, seolah-olah seperti rencana kegiatan manusia biasa.
Providensia Allah – Bukti Alkitab
Setelah membahas providensia Allah dari perspektif theologi klasik yaitu melalui Agustinus, Luther, dan Calvin, maka berikutnya kita akan melihat bukti Alkitab yang mendukung pandangan tersebut. James Spiegel melalui bukunya, The Benefits of Providence, memaparkan lima poin bukti providensia Allah yang tercantum di Alkitab. Pertama, Allah berdaulat atas seluruh alam semesta. Hal ini tentu saja benar adanya karena Allah yang pertama-tama menciptakan seluruh alam semesta, sehingga tidak mungkin Dia tidak berkuasa atas seluruhnya. Awal dan akhir dari dunia ini sudah ada di dalam rencana dan kehendak-Nya. Segala sesuatu berjalan atas perintah-Nya. Seperti yang dapat kita temukan di Yesaya 46:10, “yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan” (bdk. Mzm. 135:6).
Kedua, Allah berdaulat atas sejarah manusia, dan pemimpin atas segala bangsa. Hal ini secara jelas bisa kita temukan melalui cerita Musa yang meminta Firaun membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Tetapi, pada saat itu Firaun menolak permintaan Musa karena Allah mengeraskan hati Firaun, sehingga kemahakuasaan Allah dapat dinyatakan dengan jelas di hadapan Firaun yang merasa dirinya mempunyai kuasa atas kebebasan bangsa Israel. Keluaran 9:16 mengatakan, “akan tetapi inilah sebabnya Aku membiarkan engkau hidup, yakni supaya memperlihatkan kepadamu kekuatan-Ku, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi.” Providensia Allah tidak hanya berhenti pada zaman Perjanjian Lama, tetapi juga berlangsung hingga abad ke-21 ini. Allah yang sama turut memimpin setiap zaman untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Bukankah Pdt. Stephen Tong melalui khotbahnya sering menyatakan bahwa seluruh sejarah dunia bergerak berdasarkan pimpinan-Nya kepada umat pilihan-Nya, yaitu Gereja Tuhan? Kita bisa melihat bagaimana Kerajaan Romawi (Roman Empire) Allah biarkan menjadi besar supaya di tahun 312 kekristenan dapat menjadi agama resmi Romawi dan menyebar dengan sangat cepat. Kemudian pada tahun 1517, Allah bangkitkan Martin Luther untuk mereformasi gereja kepada ajaran yang sesuai dengan Alkitab. Pengaruh Reformasi bahkan sampai mentransformasikan cara hidup dan kebudayaan Eropa. Lalu, pada tahun 1620 Allah bangkitkan kaum Puritan dari Inggris untuk menjelajahi dunia baru yaitu Amerika. Jikalau tentara kolonial Inggris berusaha menjajah dan mengeksploitasi kekayaan dunia baru tersebut, orang Puritan melaksanakan kehendak Tuhan yaitu membangun kehidupan bermasyarakat yang baik dan sesuai dengan prinsip firman Tuhan. Mereka mempunyai moto, “A City on a Hill” (kota di atas bukit) yang tentu saja terinspirasi pada Matius 5:14, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” Orang Puritan ingin sebuah peradaban yang memancarkan terang kemuliaan Tuhan dari seluruh aspek hidup manusia, mulai dari ekonomi, pendidikan, pekerjaan, gaya hidup, dan sebagainya. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak percaya bahwa Allah masih terus memimpin sejarah dunia ini untuk menggenapkan rencana-Nya.
Ketiga, Allah berdaulat atas pilihan pribadi manusia dan segala kemungkinan (chance). Hal ini bisa kita temukan pada Amsal 16:9, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” Hal ini berarti providensia Allah mencakup setiap pilihan yang ditentukan oleh manusia. Allah tetap memegang kontrol penuh setiap keputusan manusia. Ini bukan berarti Tuhan meniadakan tanggung jawab manusia karena di bagian Alkitab yang lain Tuhan menuntut tanggung jawab setiap tindakan manusia. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa antara kehendak bebas manusia dan kedaulatan Allah tidak perlu dipertentangkan. Demikian pula kejadian yang bersifat acak dan tak beraturan (random) tetap berada di bawah kontrol kedaulatan Allah. Amsal 16:33 berkata, “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN.”
Keempat, Allah berdaulat atas gereja dan setiap kehidupan orang Kristen. Sekilas pada poin kedua sedikit menyinggung bagaimana providensia Allah juga hadir pada sejarah umat Tuhan. Tetapi, providensia Allah juga hadir pada setiap individu yang percaya pada-Nya. Terlebih lagi, Allah telah memilih siapa saja yang akan diselamatkan sebelum dunia dijadikan. Efesus 1:4-5 dengan sangat jelas mendukung pandangan Agustinus mengenai providensia Allah bahwa setiap orang Kristen ditentukan untuk selamat berdasarkan tujuan dari kehendak-Nya.
Kelima, Allah berdaulat atas penderitaan dan kejahatan moral. Permasalahan ini selalu menjadi pergumulan klasik setiap orang. Setiap zaman akan selalu bergumul mengenai pertentangan antara baik dan jahat. Setiap agama maupun filsafat selalu berusaha menjawab pertentangan ini. Seperti kepercayaan politheisme maupun animisme yang cukup memberi sesajen kepada dewa-dewi dengan harapan supaya tidak terjadi bencana alam lagi. Tetapi, pada kenyataannya bencana alam tetap terus terjadi hingga saat ini. Di ranah filsafat, ada Manichaeisme yang menyatakan bahwa dunia ini adalah sebuah arena pertarungan abadi antara baik dan jahat. Terlihat bahwa antara agama dan filsafat tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Di sinilah iman kekristenan menawarkan sesuatu yang berbeda dan tuntas. Providensia Allah menjamin bahwa sebesar apa pun kejahatan maupun penderitaan yang terjadi di dunia ini, pasti selalu berada di bawah kontrol Allah yang berdaulat. Walaupun ada saat di mana kita tidak bisa mengerti mengapa kejahatan tertentu bisa terjadi dengan begitu mengerikan. Tetapi yang pasti kita harus percaya adanya providensia Allah yang senantiasa menaungi dunia ini.
Kita juga bisa melihat kehidupan Tuhan Yesus yang harus rela menerima berbagai bentuk kejahatan manusia. Mulai dari dikhianati oleh murid-Nya sendiri, mengalami banyak penganiayaan yang sangat berat, hingga harus mati di kayu salib. Orang-orang pada saat itu menganggap pekerjaan Tuhan Yesus telah gagal. Tulisan “Inilah Raja Orang Yahudi” di atas kayu salib juga menunjukkan penghinaan kepada Tuhan Yesus karena mengaku sebagai Mesias tetapi harus mati di kayu salib. Apakah rencana Allah gagal? Justru melalui kematian di kayu salib itu, Tuhan Yesus menggenapkan rencana keselamatan dari Allah Bapa. Melalui kebangkitan Tuhan Yesus pada hari ketiga menjadi pengharapan adanya keselamatan bagi umat pilihan Tuhan. Seperti yang Rasul Petrus katakan, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.”
Providence as Divine Government
Setelah membahas doktrin providensia Allah, maka kita sebagai orang Kristen dituntut untuk berespons dengan tepat terhadap hal ini. Pengenalan akan Allah bukan hanya sekadar informasi dan juga bukan sekadar berkat yang kita ‘take it for granted’. Kita harus melihat bahwa pemeliharaan ini adalah bagian dari keutuhan pekerjaan Allah. Pekerjaan Allah mulai dari penciptaan, pemeliharaan, penebusan, hingga penyempurnaan segala sesuatu bukanlah pekerjaan yang dapat dipandang secara parsial. Seluruh karya Allah di dalam dunia ciptaan ini dinyatakan demi penggenapan akan kehendak-Nya. Herman Bavinck menyatakan, “Governance points to the final goal of providence: the perfection of God’s kingly rule.”
Providensia Allah menyatakan kedaulatan Allah atas segala sesuatu di dunia ini. Bukan hanya dalam situasi yang mendatangkan kebaikan tetapi juga atas hal-hal yang jahat seperti dosa dan pemerintahan yang lalim, semua tunduk di bawah kedaulatan Allah. Kita dapat melihat providensia Allah di dalam kaitannya dengan pergerakan sejarah. Allah yang berdaulat atas sejarah adalah Allah yang juga melakukan intervensi ke dalam sejarah. Hal ini dapat kita lihat tidak hanya di dalam sejarah Alkitab maupun gereja yang kita kenal sebagai sejarah keselamatan, tetapi juga di dalam sejarah dunia. Pdt. Stephen Tong pernah memberikan khotbah yang menyatakan bahwa kebangkitan dan kejatuhan dari suatu negara maupun kerajaan bergantung kepada kehendak Allah dalam memberikan anugerah-Nya. Sebuah negara masih memperjuangkan keadilan dan kebenaran karena Tuhan masih beranugerah atau masih memelihara negara tersebut. Hal inilah yang sering kali orang Kristen lupakan. Kita selalu mengaitkan providensia Allah di dalam konteks individual atau diri saja tetapi kita lupa bahwa Allah juga memelihara di dalam konteks makro atau yang lebih global. Segala kelaliman di dunia ini, cepat atau lambat akan Tuhan hancurkan, karena Ia adalah Allah yang memelihara. Segala keadilan dan kebenaran di dunia ini, akan Tuhan berkati di dalam kebijaksanaan-Nya karena segala kebaikan bersumber dari Dia yang memelihara. Bukan hanya itu saja, segala godaan dosa, konsekuensi dari perbuatan dosa, hingga hukuman atas segala kejahatan, semua itu pun adalah bentuk pemeliharaan Allah. Semua ini Tuhan berikan untuk menyatakan bahwa Ia adalah Raja yang berdaulat dan berotoritas mengatur seluruh ciptaan ini. Seluruh ciptaan ini Ia pelihara, karena ini adalah wadah di mana rencana-Nya digenapi dan kemuliaan-Nya dinyatakan. Jikalau Tuhan memberkati suatu zaman atau suatu kelompok dengan begitu berlimpah, ini adalah bentuk pemeliharaan Allah bagi zaman tersebut. Kelompok yang diberkati ini di satu sisi akan berbahagia karena berkat yang berlimpah, tetapi di sisi yang lain juga berbahaya karena menanggung suatu tanggung jawab besar yang Allah percayakan kepada mereka, yaitu menyatakan kemuliaan Allah dengan mengerjakan panggilan-Nya sesuai anugerah yang diberikan-Nya.
Maka, sebagai pemuda dari Gerakan Reformed Injili, kita harus menyadari bahwa keberadaan gerakan ini di Indonesia adalah sebuah providensia Allah bagi zaman ini khususnya bagi masyarakat Indonesia. Pernahkah kita bayangkan atau bertanya “Apa jadinya negara Indonesia ini jikalau Gerakan Reformed Injili ini tidak Tuhan bangkitkan? Apakah negara ini, khususnya kekristenan di Indonesia masih memiliki harapan?” Jikalau kita mencoba memikirkan pertanyaan ini, kita akan menyadari betapa agungnya providensia Allah bagi kita. Marilah sebagai pemuda, kita menghargai setiap karya Allah khususnya providensia yang Ia nyatakan, bukan hanya secara individual tetapi juga di dalam konteks komunal. Dengan melakukan hal ini kita akan semakin digugah untuk menghargai bahkan turut berjuang di dalam pekerjaan-pekerjaan Allah yang Ia percayakan kepada kita sebagai umat-Nya di zaman di mana Ia menempatkan kita.
“Behind the scenes, God is orchestrating all things to serve his greater purposes, even when it means that crosses must come before resurrections”[1] – Bryan R. Gregory
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Gregory, Bryan R. Inconspicuous Providence. Hal 35.