Pada bagian pertama kita sudah membahas mengenai 2 tema Kristologi di dalam Surat Ibrani. Ada pengertian mengenai Kristus sebagai Puncak Wahyu dan Kristus yang lebih besar dari tokoh-tokoh di Perjanjian Lama. Selanjutnya di dalam bagian kedua ini akan ada 2 tema Kristologi yang sangat penting yang dibahas di dalam Surat Ibrani, yaitu status Anak dari Kristus dan jabatan Kristus sebagai Imam Besar.
3. Status Anak dari Kristus
Salah satu jabatan Kristus yang paling menonjol di dalam Surat Ibrani adalah jabatan sebagai “anak”. Dari pasal satu ayatnya yang kedua, penulis Surat Ibrani sudah memakai jabatan anak yang menunjuk kepada Kristus. Paul Ellingworth mengatakan ada kemungkinan bahwa jabatan “anak” bagi Kristus sudah sepenuhnya diterima dan umum digunakan baik oleh penulis dan juga pembaca.[1] Hal ini makin jelas jika kita melihat Ibrani 4:14. Penulis Ibrani menggunakan jabatan Yesus sebagai Anak Allah untuk menasihati jemaat agar berpegang teguh pada pengakuan iman mereka. Ini mengindikasikan bahwa jemaat sudah memiliki pengakuan iman dan penulis ingin mereka tetap menjaga pengakuan iman tersebut. Dalam ayat tersebut, pengakuan iman yang dimaksud merujuk kepada jabatan Imam Besar dan terutama jabatan Anak Allah dari Yesus. Maka dari bagian tersebut kita mendapati bahwa jabatan Yesus sebagai Anak Allah memang sudah diterima oleh para jemaat pembaca Surat Ibrani pada saat itu.[2]
Selanjutnya, mari kita coba melihat apa yang dimaksud penulis ketika menggunakan istilah “Anak Allah”. Seringkali ketika kita membaca istilah “Anak Allah”, maka ada kecenderungan untuk melihat istilah tersebut dalam nuansa keilahian Kristus. Hal ini tentu tidak salah karena di dalam beberapa bagian di dalam Surat Ibrani sendiri nuansa keilahian Kristus melalui istilah Anak Allah memang ada, seperti contohnya di dalam Ibrani 1 yang sangat kental dengan makna keilahian Kristus. Ibrani 1:6, status Anak Allah dari Kristus dihubungkan dengan penghormatan yang harus diberikan malaikat kepada-Nya. Lalu di dalam Ibrani 1:8, status Anak Allah dari Kristus dikaitkan dengan takhta-Nya yang kokoh untuk selama-lamanya. Bahkan, puncak makna keilahian Kristus dapat makin terlihat di dalam Ibrani 1:10-12, ketika di sana dikatakan bahwa Kristus memiliki atribut yang tidak berubah.[3]
Namun, kita akan mengalami kesulitan jika istilah Anak Allah dalam Surat Ibrani hanya dibatasi pengertiannya kepada salah satu aspek saja, antara keilahian atau kemanusiaan Yesus. Kedua aspek ini terdapat pada Surat Ibrani, tergantung konteks yang ada pada bagian tertentu. Di dalam suatu konteks, ada yang berfokus kepada kemanusiaan Yesus, misalnya bagaimana Ia menderita sebagai Anak Allah, Raja keturunan Daud, dan ditinggikan di sebelah kanan Allah Bapa (Ibr. 1:5; 5:5, 8). Di sisi yang lain, ada ayat yang menekankan kemanusiaan dan keilahian Yesus seperti pada Ibrani 1:8-9. Yesus adalah Allah dan juga manusia, imam dan juga raja, Ia adalah Anak Allah yang ditinggikan (Ibr. 4:14).[4] Kristologi di dalam Surat Ibrani itu kompleks, mencakup kemanusiaan dan keilahian, penderitaan dan peninggian, kelemahan dan juga ketidakberdosaan-Nya.[5] Maka ada kelimpahan makna dari istilah Anak Allah yang terdapat di dalam Surat Ibrani, kelimpahan dua natur Kristus yang tidak meniadakan satu natur dengan yang lainnya, tetapi justru makin menguatkan pengakuan iman kita kepada natur Kristus sebagai manusia dan Allah yang layak menebus dosa manusia.
4. Jabatan Imam dari Kristus
Pada bagian akhir ini, kita akan melihat tema yang paling unik di dalam Surat Ibrani, yaitu jabatan Imam Besar Kristus. Penggunaan istilah imam besar oleh penulis kemungkinan besar berasal dari perenungannya pada Mazmur 110.[6] Penulis berangkat dari pengertian ayat satu pada pasal ini, yaitu Kristus yang ditinggikan, suatu pandangan yang sudah diterima sejak awal dan secara luas pada tradisi Kristen. Kemudian penulis menuju kepada ayat kunci (Mzm. 110:4), “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek.” Dari sinilah penulis menggunakan bayang-bayang dari Mazmur tentang imam kepada Yesus sebagai Imam Besar.
Tesis dasar dari Kristologi imam besar adalah Yesus yang menderita dan tidak berdosa, ditempatkan sebagai Imam Besar, Anak Allah, Ia sampai ke surga dan dari sana memberikan akses bagi orang percaya kepada Allah.[7] Tesis dasar ini dapat terlihat jelas pada bagian besar Surat Ibrani yang dibungkus dari pasal 4:14-16 dan 10:19-23. Yesus yang menderita dan tidak berdosa menunjukkan aspek kemanusiaan-Nya. Hal ini terkait erat dengan posisi imam yang harus adalah seorang manusia, seperti tertulis pada Ibrani 5:1. Imam besar di Israel adalah manusia yang dipilih di antara manusia yang lain untuk mewakili manusia di hadapan Allah.[8]
Berdasarkan Perjanjian Lama, imam besar bukan dipilih berdasarkan pemilihan umum dari masyarakat. Seorang imam besar harus diangkat karena ditunjuk oleh Allah seperti dikatakan oleh penulis pada Ibrani 5:4. Pada ayat selanjutnya, yaitu Ibrani 5:5, penulis langsung merujuk kepada Yesus sebagai Imam Besar. Menurut Surat Ibrani, Yesus bukanlah imam besar biasa. Seharusnya, Yesus tidak dapat berfungsi sebagai imam jika dilihat berdasarkan hukum Perjanjian Lama. Seorang imam besar seharusnya dari keturunan Lewi, sedangkan Yesus berasal dari keturunan Yehuda (Ibr. 7:13-14). Akan tetapi, jabatan imam Yesus adalah sah dan bahkan lebih tinggi dari keimaman Lewi karena keimaman Yesus adalah keimaman yang berdasarkan peraturan Melkisedek.[9]
Pada bagian ini, Frank Thielman menjabarkan keimaman Yesus yang lebih tinggi daripada keimaman Lewi dengan membandingkan kesamaan dan perbedaan dari keimaman Yesus dengan keimaman Lewi.[10]
- Kesamaan Yesus dengan Imam Besar Keturunan Lewi
Pembahasan mengenai kesamaan keimaman Yesus dengan keimaman Lewi berangkat dari atribut yang dipakai penulis Kitab Ibrani kepada Yesus sebagai Imam Besar. Dalam Ibrani 2:17, dikatakan bahwa Yesus menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan setia. Mulai dari kedua atribut ini, penulis menggambarkan kesamaan keimaman Yesus dengan Lewi, dan memberikan penjelasan bahwa Yesus lebih besar.[11]
Pertama, Yesus sebagai Imam Besar yang Setia (3:1-6)
Penulis mengatakan bahwa Yesus adalah Imam Besar yang setia kepada Allah yang menetapkan-Nya menjadi Imam Besar (3:1). Dalam hal kesetiaan ini, Yesus paralel dengan Musa yang setia di dalam segenap rumah Allah. Selanjutnya, penulis tidak hanya membandingkan secara sederhana kesetiaan Yesus dengan kesetiaan Musa, tetapi ia juga mau menjelaskan bahwa Yesus lebih tinggi di dalam keimaman-Nya. Penggunaan istilah rumah (house) terus ada pada bagian ini. Musa adalah rumah (3:3) dan juga hamba di dalam rumah (3:5). Akan tetapi, Yesus adalah pembangun rumah (3:3) dan anak dari pemilik rumah tersebut (3:6). Dengan demikian, istilah rumah di sini berarti sebuah bait di mana Imam Besar itu melayani dan dunia itu sendiri, dan di dalam kedua pengertian rumah ini, sekali lagi Yesus lebih besar daripada Musa sebagai Pencipta, Anak dan juga Imam.[12]
Kedua, Yesus sebagai Imam Besar yang Berbelas Kasih (4:15; 5:1-8)
Yesus sama seperti imam besar yang lain karena Ia ikut berpartisipasi di dalam kondisi manusia. Ia juga mengenal penderitaan dan rasanya harus tunduk kepada otoritas. Ikut berpartisipasi di dalam penderitaan memberikan kelebihan bagi seorang imam besar untuk bersimpati kepada orang-orang yang ia representasikan di hadapan Allah. Sebagaimana Yesus adalah Imam Besar dan juga sepenuhnya manusia, pengalaman-Nya menghadapi ujian dan pencobaan menjadikan-Nya dapat bersimpati dan kemudian berbelas kasih kepada orang yang menghadapi pergumulan yang sama (2:17-18; 4:15; 5:8). Keselamatan yang Yesus berikan melalui penderitaan dan pengorbanan di atas kayu salib merupakan aksi solidaritas yang welas asih.[13] Akan tetapi, sekali lagi tidak seperti imam besar lainnya, penderitaan dan pencobaan yang Yesus alami tidak dihasilkan dari dosa.[14] - Perbedaan Yesus dengan Imam Besar Keturunan Lewi
Seperti yang sudah diantisipasi pada bagian sebelumnya, perbedaan utama keimaman Yesus dengan keimaman Lewi ada pada Yesus sebagai Imam Besar dari peraturan Melkisedek. Thielman menuliskan ada 4 jalan yang membuat Yesus lebih tinggi dibandingkan imam besar yang dideskripsikan oleh hukum Musa.
Hal yang pertama, keimaman Yesus itu kekal. Keimaman Yesus berdasarkan aturan dari Melkisedek. Di dalam Kitab Kejadian, Melkisedek hadir tanpa informasi mengenai asalnya dan menjadi bayang-bayang dari durasi keimaman Yesus (7:3). Kebangkitan Yesus dari kematian juga mengonfirmasi sebutan-Nya sebagai imam selamanya (7:8, 16). Karena keimaman-Nya permanen, maka perantaraan yang Ia lakukan juga kekal dan dapat menyelamatkan umat pilihan-Nya secara penuh. (7:24-25).
Kedua, interaksi antara Melkisedek dan Abraham di dalam narasi Kejadian mendemonstrasikan bahwa keimaman Yesus lebih tinggi daripada keimaman Lewi. Di dalam narasi Kejadian, dapat terlihat bahwa Melkisedek memberikan berkat kepada Abraham. Dengan prinsip yang lebih rendah diberkati oleh yang lebih besar, maka dapat dikatakan bahwa Melkisedek lebih besar daripada Abraham. Implikasi dari hal ini dapat terlihat jelas, bahwa keimaman Yesus yang mengambil pola dari Melkisedek lebih tinggi dari keimaman Lewi yang turun dari Abraham.
Ketiga, keimaman Yesus dihasilkan dari perubahan peraturan yang Tuhan tetapkan mengenai pelayanan imam. Perubahan ini mengimplikasikan ada situasi baru dan ada peningkatan dari yang sebelumnya. Keimaman yang baru berdasarkan aturan Melkisedek merupakan aturan yang baru yang lebih baik dan sempurna daripada yang sebelumnya.
Keempat, penulis berargumen bahwa sumpah Ilahi mengonfirmasi keimaman Yesus pada Mazmur 110:4. Bagian tersebut bukan hanya berbicara mengenai Raja sebagai Anak Allah dan Imam yang kekal, tetapi juga menunjuk kepada realitas bahwa Tuhan menunjuk Sang Raja untuk menjadi Imam dengan sumpah. Berbeda dengan keimaman Lewi, Tuhan menjadikan keimaman Kristus dengan sumpah.[15]
Dari hal ini, maka dapat dilihat bahwa Yesus sebagai Imam Besar menurut aturan Melkisedek memiliki keimaman yang kekal, menerima penghormatan dari Abraham dan juga Lewi, adalah institusi Allah yang lebih akhir dan sempurna, serta ditegakkan dengan sumpah Ilahi. Seluruh argumen ini menuju kepada kesimpulan bahwa keimaman Yesus berbeda dan juga sekaligus lebih tinggi dibandingkan keimaman Lewi. Betapa bersyukurnya kita sebagai orang percaya memiliki Tuhan yang sekaligus Imam Besar bagi kita. Keselamatan dan pendamaian yang kita miliki adalah pasti sebagaimana ada Perantara yang agung, yang kemuliaan-Nya melebihi imam besar mana pun yang pernah ada di Perjanjian Lama. Jika bangsa Israel saja mendapatkan berkat melalui imam besar mereka dulu, maka betapa lebih kaya berkat dan anugrah yang kita dapatkan melalui Imam Besar yang sejati.
Inilah keempat tema besar Kristologi di dalam Surat Ibrani yang makin memperkaya pengenalan kita akan Kristus. Kiranya melalui tulisan ini kita makin terpana dan mencintai pribadi Kristus yang sudah mencintai dan menebus kita.
Vik. Adam Kurnia
Hamba Tuhan GRII Karawaci
[1] Paul Ellingworth, The Epistle to the Hebrews: A Commentary On the Greek Text, The New International Greek Testament Commentary (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1993), 68.
[2] William L Lane, Glenn W Barker and David A Hubbard, Hebrews 1-8 Nashville: Nelson, 2009, 103.
[3] Dillehay, Justin. 2020. “How Hebrews 1 Hammers Home the Deity of Christ.” The Gospel Coalition. April 26, 2020. https://www.thegospelcoalition.org/article/hebrews-1-hammers-deity-christ/.
[4] Thomas R. Schreiner, New Testament Theology: Magnifying God in Christ (Grand Rapids, Mich.: Baker Academic, 2008), 393.
[5] Ibid.,
[6] Paul Ellingworth, The Epistle to the Hebrews: A Commentary On the Greek Text, The New International Greek Testament Commentary (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1993), 68.
[7] Udo Schnelle, Theology of the New Testament (Grand Rapids, Mich.: Baker Academic, 2009), 638.
[8] Thomas R. Schreiner, New Testament Theology: Magnifying God in Christ (Grand Rapids, Mich.: Baker Academic, 2008), 385.
[9] Ibid.,
[10] Frank Thielman, Theology of the New Testament: A Canonical and Synthetic Approach (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2005), 681.
[11] Ibid.,
[12] Ibid., 682
[13] Udo Schnelle, Theology of the New Testament (Grand Rapids, Mich.: Baker Academic, 2009), 640.
[14] Frank Thielman, Theology of the New Testament: A Canonical and Synthetic Approach (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2005), 682.
[15] Ibid., 684