open pocket bible on green surface

Zephaniah: The Most Forgotten Prophet

Dibandingkan kitab-kitab para nabi yang lain, Zefanya adalah salah satu yang paling sering dilupakan orang-orang. Salah satu alasan terbesar akan hal ini (selain ketidaktelitian membaca daftar isi Alkitab dan kemalasan membaca Alkitab) adalah klaim bahwa kitab ini “tidak memberikan hal yang baru”[1]. Memang, secara sepintas konten dari Zefanya mirip-mirip saja dengan tulisan para nabi lainnya. Selain hal-hal spesifik seperti penulis dan konteks penulisan, seakan-akan tidak ada hal yang baru yang membedakan kitab ini dari yang lainnya. 

Tetapi apakah itu berarti kita bisa mengabaikannya begitu saja? Apakah kita boleh membaca sepintas lalu langsung “move on” saja kepada tulisan-tulisan yang lebih “signifikan” seperti Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel? Atau, lebih jauh lagi, apakah sah-sah saja untuk meng-skip kitab ini, karena been there, done that?

Tentu saja kita tidak bisa melewatkan kitab ini! Kitab Zefanya dibuka dengan pernyataan: “Firman Tuhan yang datang pada Zefanya…” (Zef. 1:1). Kalau kita percaya bahwa semua firman adalah hembusan nafas Allah sendiri dan cukup untuk memperlengkapi orang percaya dalam perbuatan baik (2Tim. 3:16-17, bandingkan terjemahan ESV), sudah pasti kita harus memperhatikan kitab ini. Fakta bahwa ini adalah firman Allah meminta kita untuk tunduk di hadapannya. Saat Tuhan berfirman, adalah sebuah kewajiban untuk kita tunduk. Terlebih lagi, Tuhan sendiri sudah mengatakan bahwa ini ditulis untuk kebaikan kita sendiri. Betapa tidak tahu dirinya kita kalau kita melewatkannya karena merasa kitab ini “tidak memberikan hal yang baru”.

Kita pun juga bisa mengambil beberapa perenungan dari kemiripan berita Zefanya dengan kitab nabi yang lain. Satu perenungan yang bisa kita ambil adalah fakta bahwa sering kali yang kita butuhkan bukanlah pengetahuan dan insight yang baru. Memang, salah satu hal yang paling indah tentang belajar adalah mendapatkan pengetahuan baru. Saat belajar, kita berharap mengerti sesuatu yang baru, dan saat itu terjadi kita merasa puas dan kagum terhadap kebenaran itu. Rasa wonder yang kita rasakan saat mempelajari suatu hal yang baru tidaklah salah pada dirinya sendiri, dan agaknya tidak salah untuk memiliki itu saat belajar firman Tuhan.

Yang berbahaya adalah kalau wonder itu hanya muncul ketika mendapatkan hal yang baru. Kalau kekaguman kita muncul saat menemukan hal baru saja, hal ini sangat patut dipertanyakan: apakah selama ini kita kagum kepada Allah atau kepada yang “what’s new”? Apakah telinga kita gatal untuk mendengar hal-hal yang baru saja? Ini sebuah kondisi yang sangat berbahaya. Kita tidak ada bedanya dengan orang-orang Atena yang ditemui Paulus, yang “tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru” (Kis. 17:21).

Mungkin kita tidak selalu begitu. Mungkin di saat kita baru bertobat, atau baru bersungguh-sungguh mencari wajah Tuhan, kita menjadi haus akan firman Tuhan. Rasanya saat sedang berjalan-jalan, kita ingin cepat-cepat pulang untuk membaca firman Tuhan. Pada hari-hari di mana ada persekutuan, kita dengan hati-hati mengatur jadwal kita agar tidak bentrok dengan kesempatan belajar firman Tuhan. Tetapi ketika kita sudah merasa banyak tahu, saat kita memiliki checklist di dalam pikiran tentang hal-hal kekristenan dan kita merasa sudah mencentang hampir semua poin-poin yang ada, apakah kita tetap memiliki rasa kagum itu? Kita merasa kering, tidak mendapatkan apa-apa dari membaca firman Tuhan, tidak mendapat apa-apa dari persekutuan dan khotbah hari Minggu. Kita merasa sudah menguasai firman dan bisa menghakimi pembicara-pembicara yang Tuhan tempatkan. Betapa bahayanya sikap seperti ini. Kiranya kita bertobat dari kesombongan rohani seperti ini.

Mari kita membaca firman bukan, secara utama, untuk mendapatkan sesuatu yang baru, bukan sebagai “checklist” untuk kita kuasai, tetapi untuk menikmati Allah. Kedua orang yang sedang jatuh cinta (hampir) tidak akan merasa bosan mendengar pasangannya mengatakan “I love you”. Bukankah itu hanya tiga kata singkat dibandingkan begitu banyak kata yang Tuhan berikan pada kita? Marilah kita ingat bahwa kalau kita masih bisa membaca firman, itu adalah tanda kasih-Nya kepada kita. Biarlah kita mau untuk terus rendah hati dan menikmati-Nya terus di dalam semua itu.

Bukan hanya itu, kiranya kita juga membaca firman dengan kemauan untuk tunduk dan taat. Mungkin kita sudah tahu dan hafal banyak tentang firman. Tetapi berapa banyak dari pengetahuan itu kita taati? Jadi, marilah kita datang kepada firman sebagai mempelai wanita yang bersuka ketika membaca surat dari Kekasihnya, sebagai anak yang merindukan perkataan Ayahnya. Marilah kita datang sebagai hamba yang sudah begitu dibelaskasihani, yang mau taat menyenangkan hati seorang Tuan yang sungguh baik.

Rasa mudah bosan atau hilangnya rasa kagum kita terhadap firman mungkin menunjukkan bahwa kita sebenarnya belum benar-benar mengerti firman Tuhan. Mungkin saja kita hanya memiliki pengertian yang sangat superficial. Karena faktanya adalah, jikalau kita dengan benar-benar mengerti firman, kita akan mendapati bahwa kita tidak tahu apa-apa. Kalau kita sungguh-sungguh mengerti firman, kita akan mendapati hal yang berbeda-beda dalam setiap pembacaan firman, akan selalu ada hal-hal dan hubungan antarhal yang sebelumnya tidak terpikirkan. Tuhan pun juga memberi hal yang berbeda-beda saat membaca dalam konteks hidup yang berbeda. Sikap yang kita bicarakan tadi hanya menyatakan bahwa kita belum benar-benar mengerti firman.

Kembali memfokuskan diskusi kita kepada Zefanya, kita pun harus sadar bahwa pengertian yang sejati terhadap kitab ini akan membuat kita tidak lagi memandangnya rendah. Pada awal artikel ini sudah dikatakan bahwa konten kitab ini tidak memberikan hal yang baru, karena mirip-mirip saja dengan kitab nabi yang lain. Ada kebenaran yang bisa dipetik dari kalimat ini, dan sesungguhnya kalimat ini tidak harus dipandang dengan negatif. Martin Bucer pernah mengatakan, “Kalau siapa pun mau mendapatkan rangkuman semua ucapan Ilahi yang diberikan kepada para nabi, biarlah dia membaca Kitab Zefanya yang pendek ini.”[2] Kita bisa melihat kitab ini sebagai intisari dari semua kitab para nabi. Itulah “keunikan” dari kitab ini, dan itu bukanlah sebuah kesimpulan yang salah. Marilah kita lihat beberapa tema besar dari para nabi yang juga bisa kita temukan di sini.

Judgement over Idolatry       
Hal pertama yang bisa kita lihat adalah tema yang lama, yang sudah dikumandangkan sejak Kitab Keluaran: penyembahan berhala. Kita bisa perhatikan bahwa ini menjadi sebuah tema yang terus berulang-ulang di Perjanjian Lama. Umat Tuhan terus jatuh ke dalam penyembahan berhala. Tidak peduli berapa kali Tuhan sudah menegur, membuang, dan merestorasi, mereka terus jatuh ke dalam dosa ini. Hal itu pun berkali-kali menjadi sebuah teguran akan penghakiman di dalam kitab ini (Zef. 1:4-6). Berhala-berhala tidak akan bisa menyelamatkan mereka dari penghakiman TUHAN (Zef. 1:18).

Berapa banyak berhala yang mendiami takhta hati kita? Berapa banyak berhala yang kita lepaskan dengan setengah hati dalam hidup kita? Kalau kita sendiri capai membaca ratusan kali Israel jatuh ke penyembahan berhala, bagaimana perasaan Tuhan yang melihat kita yang juga jatuh berkali-kali bahkan mungkin lebih banyak dibandingkan Israel? Ketika kita membaca kisah-kisah kejatuhan Israel seperti ini, seharusnya kita menyadari bahwa itu adalah cerminan yang nyata dari kehidupan kita saat ini. Kehidupan bangsa Israel yang jatuh bangun adalah kehidupan kita saat ini yang juga jatuh bangun di dalam mengikuti Tuhan. Kekerasan hati Israel dalam mendengarkan firman Tuhan adalah kekerasan hati yang juga kita miliki ketika kita mendengarkan khotbah-khotbah yang murni dan sejati. Sikap kurang ajar Israel kepada Allah dengan “take it for granted” berkat dan anugerah Allah bagi mereka adalah kekurangajaran yang juga kita miliki ketika kita menyia-nyiakan anugerah keselamatan yang Allah telah berikan. Kita lebih memilih untuk menyembah berhala-berhala di dalam hidup kita. Berhala tidak harus patung, berhala adalah apa pun yang kita biarkan berkompetisi dengan Tuhan untuk mendiami takhta hati kita. Kita harus bertobat dan menyadari seperti yang dikatakan oleh Kitab Zefanya, bahwa berhala-berhala ini tidak dapat memberikan kita keselamatan. Segala pengejaran kita akan berhala di dalam masing-masing kehidupan kita, tidak satu pun di antaranya yang dapat memberikan keselamatan bagi jiwa kita. Semua berhala ini suatu saat akan lenyap bersama dengan dunia berdosa ini. Biarlah kita menyadari bahwa kekekalan hanya dapat diberikan oleh Allah dan kita menghargai anugerah itu melalui hidup kita yang berkenan kepada-Nya.

YHWH, God of the Nations
Kitab Zefanya ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar: penghakiman atas Yehuda (1:2-18), penghakiman atas bangsa-bangsa (2:1-3:8), dan transformasi dan sukacita dalam restorasi TUHAN.[3] Dari pembagian ini, kita bisa melihat bahwa TUHAN dinyatakan sebagai Allah dari semua bangsa. Hal ini bukan berarti semua orang dari segala bangsa menyembah-Nya tanpa pengecualian. Namun, kita akan melihat bahwa Ia bukanlah seperti ilah bangsa-bangsa sekitar, yang hanya berkuasa atas negara tertentu. TUHAN memiliki otoritas atas semua bangsa. Ia memang telah memilih Israel untuk menjadi umat-Nya secara khusus, tetapi Ia adalah Pemilik dan Penguasa segala bangsa. Dialah Pencipta semuanya, dan kuasa-Nya menyeluruh pada segala bangsa.

Seperti dapat dilihat di tiga bagian besar Kitab Zefanya, hal ini pertama-tama dinyatakan dengan penghakiman TUHAN atas segala bangsa. Ia bukan hanya menghakimi Yehuda, tetapi juga bangsa-bangsa sekitar Yehuda, tidak ada pengecualian. Apakah itu orang Yehuda ataupun bukan, mereka semua “duduk” dengan setara di hadapan takhta penghakiman Tuhan.

Di dalam bagian-bagian ini kita juga melihat tema mengenai kesombongan. Bangsa-bangsa yang sombong dan meninggikan diri melawan Tuhan pada akhirnya akan dibasmi. Konsisten dengan seluruh Alkitab, Tuhan akan merendahkan dan membasmi orang-orang yang sombong (Zef. 2:10; 3:11). Bagaimana dengan kita? Pembaca mungkin mengaku Kristen, mungkin saja tidak. Tetapi sama saja, Tuhan adalah penguasamu. Ia meminta kita datang, dan kalau kita dengan sombong menolak undangan Tuhan untuk merendahkan diri dan berlindung dalam-Nya, suatu saat kita akan dibasmi (Zef. 2:3). Sadarlah bahwa undangan ini bukanlah undangan dari tangan hakim yang dingin dan pembenci, tetapi dari tangan berlubang dan berdarah, yang siap untuk mengasihimu selamanya (Yoh. 6:37). Apakah kita tetap menolak tangan itu?

The Day of the Lord
Hari Tuhan adalah sebuah tema besar yang seharusnya menggetarkan hati kita. Tema ini muncul di begitu banyak kitab nabi (Yes. 2:12; Am. 5:18; Zak. 14:1, dan lain-lain). Dalam Zefanya, seperti beberapa kitab nabi yang lain, “Hari” ini adalah hari penghakiman, di mana TUHAN menyatakan kuasa-Nya sebagai hakim yang adil atas semua bangsa. Inilah hal yang terjadi pada orang-orang yang menolak ajakan Tuhan untuk berlindung dalam-Nya.

Hari ini juga mengantisipasi “Hari” yang terakhir, yang sering dibicarakan Perjanjian Baru. Pada hari itu, Kristus akan datang untuk kedua kalinya. Gambaran yang diberikan Zefanya adalah sebuah hari yang penuh dengan kehancuran (Zef. 1:2-6). Pembasmian tiada tara dinyatakan di sini, dan tidak ada orang yang bisa berlindung di luar-Nya. Tetapi sesungguhnya, kehancuran yang dinyatakan atas Yehuda dan bangsa sekitarnya bukanlah apa-apa dibandingkan penghakiman pada Hari Yesus Kristus (1Tes. 5:3; 2Ptr. 3:5-7). Apakah kita akan terus menolak? Terus sombongkah kita? Malanglah orang-orang yang terus menolak kasih Allah yang mau menyelamatkan kita dari kehancuran yang begitu besar ini!

Perseverance of the Remnant
Allah yang datang menghakimi adalah Allah yang juga berbelas kasihan. Dari dahulu Ia sudah berbelaskasihan. Ia tidak langsung menghakimi umat-Nya, tetapi memberikan waktu kepada mereka untuk bertobat. Bukan hanya itu, di Zefanya, Ia berjanji akan menjaga sebuah remnant—sisa-sisa yang rendah hati dan lemah lembut (Zef. 3:12). Saat Ia menghakimi umat-Nya, Ia tidak membiarkan mereka dibasmi tanpa sisa. Ada orang-orang sisa yang akan bertahan, dan mereka akan bersuka atas-Nya. Kontras dengan mereka yang dihancurkan, orang-orang ini memiliki sifat yang rendah hati dan lemah lembut. Mereka tidak meninggikan diri atas Tuhan, tetapi mau tunduk kepada-Nya yang mengasihi mereka. Bukan hanya itu, di sini kita juga melihat bahwa remnant ini pada akhirnya juga melingkupi segala bangsa (Zef. 3:9)! Segala bangsa yang tadinya bersatu di Babel untuk melawan Allah akan diperbarui. Mereka pun sekarang akan bersatu di Yerusalem memuji Tuhan. Itulah kita, gereja Tuhan. Kita sudah dipersatukan dari konteks yang berbeda-beda untuk memuji-Nya. Kita adalah sisa-sisa dari segala bangsa, yang dijaga oleh-Nya. Namun, marilah kita introspeksi diri! Apakah kita benar-benar rendah hati dan lemah lembut, seperti remnant yang dibicarakan di kitab ini? Atau mungkinkah tingkah laku kita lebih mirip orang-orang sombong yang dibasmi Tuhan di kitab ini? Marilah kita renungkan baik-baik firman Tuhan ini. Sungguh tidak worth it bagi kita untuk terus meninggikan diri. Mari kita merendahkan hati di bawah naungan-Nya yang begitu lemah lembut dan mengasihi kita.

Penutup
Biarlah artikel ini menjadi pengingat untuk menghargai firman Tuhan dan status kita sebagai umat Allah. Jikalau Tuhan tidak beranugerah kepada kita, keberadaan kita sudah berada di ujung tanduk dan tinggal menunggu saatnya saja akan dibinasakan. Namun, berdasarkan belas kasihan-Nya, Allah memberikan kita anugerah keselamatan. Oleh karena itu, dengan rendah hati kita menghargai anugerah ini dan menjalankan kehidupan yang berkenan kepada-Nya. Kiranya Tuhan memberikan kesadaran akan siapa kita dan hati yang terus sadar akan besarnya anugerah Tuhan, sehingga kita tidak lagi hidup main-main di hadapan-Nya, tetapi hidup dengan bertanggung jawab sesuai dengan kehendak-Nya.

Jordan Frans Adrian
Pemuda GRII Melbourne

Endnotes:
[1] Miller, Stephen R. Holman Old Testament Commentary: Nahum, Habakkuk, Zephaniah, Haggai, Zechariah, Malachi. Nashville: Broadman & Holman Publishers, 2005.
[2] Tecarta Bible. “Zephaniah: Introduction.” Tecartabible.com. https://tecartabible.com/share/1025/136.
[3] Mackay, John L. Jonah, Micah, Habakkuk & Zephaniah: God’s Just Demands. Tain: Christian Focus Publications Ltd, 2008.