A Brief History of the Canons of Dordt

Pada tahun ini kita merayakan 400 tahun dikeluarkannya Canons of Dordt, sebuah pengakuan iman penting yang diterima oleh semua gereja Reformed di dunia. Canons of Dordt merupakan bagian dari The Three Forms of Unity, kumpulan pengakuan iman Reformed yang terdiri dari Canons of Dordt, Heidelberg Catechism, dan Belgic Confession. Pada abad ke-20 dan 21, isi dari Canons of Dordt lebih sering dikenal denganakronim TULIP. Akronim tersebut terdiri dari Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irresistible grace, dan Perseverance of the saints. Kelima poin ini sering juga disebut sebagai lima pokok Calvinisme dan dapat dikenal orang banyak sebagai “trademark” dari Calvinisme. Ketika orang bertanya tentang Calvinisme, maka sering kali hal pertama yang terpikir adalah TULIP dan kelima poinnya. Hal tersebut memang tidak salah karena kelima poin tersebut memang adalah bagian penting di dalam theologi Calvin sendiri. Namun, kelima poin tersebut bukanlah inti ataupun esensi dari theologi Calvin sendiri. Saya percaya kekeliruan ini muncul dari kegagalan orang Kristen untuk memahami semangat, konteks, dan sejarah perkembangan Canons of Dordt tersebut. Atas dasar ini, saya akan membahas secara singkat berkenaan tentang sejarah perkembangan Canons of Dordt baik di dalam konteks theologis maupun politis pada zaman itu.

Konflik antara Jacobus Arminius dan Franciscus Gomarus
Jikalau kita mempelajari sejarah gereja, kita akan tahu bahwa pada zaman pra-Reformasi, gereja terbagi menjadi dua aliran besar, yaitu Gereja Barat (Roma Katolik) dan Gereja Timur (Ortodoks Timur). Pada zaman Reformasi, Gereja Barat terpecah menjadi Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan. Semenjak Reformasi Protestan yang dimulai oleh Martin Luther pada abad ke-16, muncul banyak denominasi di kalangan Protestan, seperti Lutheran, Anglikan, Anabaptis, dan juga Reformed yang menganut pemikiran John Calvin. Di dalam denominasi yang berbeda-beda ini, ada beberapa perbedaan theologi yang tidak terselesaikan dan berkembang menjadi perdebatan yang sengit antara dua kubu. Salah satu perbedaan theologis tersebut terjadi di dalam Gereja Reformed Belanda antara dua profesor di Leiden University, yaitu Jacobus Arminius dan Franciscus Gomarus. Sebagai kaum Reformed, mereka tentu berdua percaya tentang konsep predestinasi, di mana Allah telah memilih orang yang akan diselamatkan sebelum dunia diciptakan. Tetapi perbedaan yang tajam muncul di dalam bagaimana mereka memahami dasar dari pemilihan Allah tersebut. Bagi Jacobus Arminius, Allah melakukan pemilihan-Nya berdasarkan pra-pengetahuan Allah atas iman orang tersebut (foreknowledge of faith). Di lain pihak, Franciscus Gomarus percaya bahwa Allah melakukan pemilihan-Nya sepenuhnya hanya berdasarkan kedaulatan dan kehendak-Nya sendiri. Pemikiran Franciscus Gomarus merupakan pemikiran dari John Calvin yang dipegang oleh Gereja Reformed Belanda pada zaman itu. Perdebatan antara keduanya berlangsung cukup sengit selama bertahun-tahun dan banyak pertemuan sudah diadakan untuk menemukan solusi dari perdebatan tersebut. Namun, sampai akhir hidup dari Arminius sendiri, Gereja Reformed Belanda belum menemukan solusi atas perbedaan doktrin tersebut.

Remonstrants dan Counter-Remonstrants
Setelah kematian Arminius, para pengikutnya menyadari bahwa posisi mereka di gereja menjadi terancam karena mereka memegang doktrin yang berbeda dengan yang dipegang gereja pada umumnya. Untuk melindungi diri mereka sendiri dari disiplin gereja, maka pada tahun 1610, sebanyak 46 pendeta dan 2 pemimpin dari Leiden University bertemu untuk merumuskan pemikiran dan perselisihan mereka terhadap beberapa pokok doktrin, dan untuk meminta perlindungan dari pemerintah sipil. Butir-butir pemikiran tersebut dimatangkan dan disusun oleh Johannes Wtenbogaert menjadi lima butir keberatan yang dinamakan Five Articles of Remonstrance. Kemudian, para simpatisan dan pengikut pemikiran Arminius menamakan kaum mereka sebagai The Remonstrants. Tulisan ini menciptakan kontroversi dan perdebatan yang besar di antara orang Kristen pada zaman itu, sehingga perlu diadakan pertemuan untuk menyelesaikan kontroversi tersebut. Salah satu pertemuan yang diadakan adalah The Hague Conference pada tahun 1611, di mana para pengikut Calvin menyebut diri mereka sebagai Counter-Remonstrants dan menuliskan The Counter-Remontrance of 1611 sebagai respons terhadap Five Articles of Remonstrance. Setelah pertemuan ini, beberapa usaha dilakukan untuk kembali menyatukan gereja, tetapi perbedaannya menjadi makin dalam dan sengit sehingga gereja ada di ambang perpecahan.

Faktor Politik dari Synod of Dordt
Pada saat yang bersamaan, Belanda mencapai kesepakatan dengan Kerajaan Spanyol untuk mengadakan gencatan senjata (Twelve Year’s Truce) yang mengakhiri perang 80 tahun (Eighty Years War, 1568-1648) antara kedua negara tersebut. Gencatan senjata ini membuat Belanda akhirnya diakui oleh negara Eropa lainnya sebagai sebuah negara yang berdaulat. Sebagai respons atas gencatan senjata ini, Belanda mulai mengirim duta-duta besar untuk negara-negara lain dan membangun hubungan diplomatik dengan negara Eropa lainnya. Namun, gencatan senjata ini tidak serta-merta membuat rakyat Belanda satu suara, khususnya berkaitan dengan relasi dengan Kerajaan Spanyol. Sebagian rakyat ingin membangun relasi yang baik dengan Kerajaan Spanyol, sedangkan sebagian lainnya enggan untuk berurusan lagi dengan Kerajaan Spanyol. Mereka yang ingin membangun relasi dengan Kerajaan Spanyol pada umumnya adalah para pedagang yang melihat bahwa relasi baik dengan Kerajaan Spanyol akan meningkatkan perdagangan dan pendapatan mereka. Di sisi lain, mereka yang menolak pada umumnya adalah para buruh dan juga para klerus (clergy), yang notabene adalah kaum Calvinis. Mengapa para klerus ingin menjauhkan diri dari Kerajaan Spanyol? Hal ini disebabkan karena agama resmi Kerajaan Spanyol pada zaman itu adalah Katolik dan mereka khawatir bahwa relasi dengan Kerajaan Spanyol akan memengaruhi kemurnian dan ortodoksi iman mereka. Oleh karena itu, kaum buruh dan para klerus Gereja Reformed Belanda bergabung dengan Counter-Remonstrants, sedangkan para pedagang justru memihak kaum Remonstrants. Maka, perdebatan yang tadinya bersifat theologis lama-kelamaan berubah menjadi bersifat politis dan ekonomis. Kontroversi ini membawa Belanda akhirnya berada di ambang perang saudara.

Sementara itu, pemerintah sipil, yang diwakili oleh Johan van Oldenbarnevelt (1547-1619), seorang negarawan Belanda yang menginisiasi gencatan senjata antara Belanda dan Kerajaan Spanyol, memberikan toleransi dan melindungi para Remonstrants dari disiplin gereja. Hal ini berlangsung sampai Maurice, Pangeran Orange (1567-1625), seorang pemimpin utama militer Belanda yang menolak gencatan senjata tersebut dan menginginkan perang total dengan Kerajaan Spanyol untuk menjamin kemerdekaan total, mulai beribadah di gereja Calvinis dan mengasosiasikan diri dengan para Counter-Remonstrants. Akibatnya, dia mulai melawan kebijakan-kebijakan Van Oldernbarnevelt yang memberikan toleransi dan perlindungan kepada kaum Remonstrants. Sebagai respons atas manuver Pangeran Maurice, maka Van Oldenbarnevelt menginisiasi sebuah resolusi yang dinamakan Sharp Resolution pada tanggal 6 Agustus 1617 yang memberikan hak kepada pemerintah provinsi dan kota untuk membangkitkan tentara bayaran yang dinamakan Waardgelders. Bukan hanya itu, resolusi tersebut memberikan instruksi bahwa tentara Belanda memiliki loyalitas pertama-tama kepada provinsi yang mengupahi mereka, bukan kepada negara. Pangeran Maurice melihat ini sebagai pengkhianatan terhadap negara dan konstitusi negara Belanda. Bukan hanya itu, resolusi tersebut juga dilihat oleh Pangeran Maurice sebagai usaha untuk membuat provinsi-provinsi di Belanda menjadi berdaulat dengan sendirinya. Atas dasar ini, maka sebagai pemimpin militer Belanda, Pangeran Maurice menggerakkan militer untuk mengalahkan tentara bayaran tersebut dan menangkap Van Oldenbarnevelt beserta rekan-rekannya. Setelah Van Oldenbarnevelt ditangkap dan diadili, maka pemerintahan yang baru yang dipimpin oleh Pangeran Maurice mengadakan muktamar internasional (Synod of Dordt) untuk membahas dan menentukan apakah pandangan Arminian dapat diterima oleh gereja. Muktamar tersebut dihadiri oleh perwakilan gereja-gereja Reformed dari seluruh Eropa, termasuk perwakilan Gereja Anglikan dan juga Gereja Skotlandia. Pertemuan pertama terjadi pada tanggal 3 November 1618 dan pertemuan yang terakhir dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 1619.

Hasil Synod of Dordt
Synod of Dordt, yang memakan waktu sekitar enam bulan, akhirnya menghasilkan keputusan berkenaan dengan paham Arminian dan dituangkan di dalam Canons of Dordt. Canons of Dordt memuat keputusan para pemimpin gereja bahwa pandangan Arminian tidak alkitabiah dan tidak seharusnya diajarkan oleh gereja. Hal ini termanifestasi di dalam kata pengantar dari Canons of Dordt yangberbunyi demikian, “A judgment, in which both the true view, agreeing with God’s word, concerning the aforesaid five points of doctrine, is explained, and the false view, disagreeing with God’s word, is rejected.” Selain itu, Canons of Dordt juga berisikan respons theologis terhadap kelima poin Five Articles of Remonstrances. Meskipun secara formal hanya ada empat bagian besar di dalam dokumen tersebut, namun pada umumnya kita menyebutnya sebagai lima poin Calvinisme sebagai respons terhadap lima poin Arminianisme. Kelima respons tersebut sering dikenal sebagai Total depravity, Unconditional election, Limited atonement, Irresistible grace, dan Perseverance of the saints. Secara struktural, setiap pokok pembahasan doktrin memiliki aspek positif dan negatif, di mana aspek positif berisikan eksposisi dan penjelasan kaum Reformed atas doktrin yang diperdebatkan, sedangkan aspek negatif berisikan penolakan dan pembuktian kesalahan dari pemikiran Arminian. Berkenaan dengan Canons of Dordt, perlu kita ingat bahwa semangat dari Synod of Dordt bukanlah untuk memberikan inti sari dari pemikiran Calvin, melainkan untuk memberikan jawaban dan keputusan berkenaan dengan doktrin yang dipermasalahkan oleh kaum Remonstrants. Atas dasar inilah, Canons of Dordt memiliki lingkup pembahasan yang lebih sempit dibandingkan dengan pengakuan iman lainnya, seperti Belgic Confession atau Heidelberg Catechism.

Dengan dikeluarkannya Canons of Dordt, maka gereja menolak pemahaman Arminianisme. Para penganut Arminian diwajibkan untuk menandatangani dokumen The Act of Cessation sebagai persetujuan bahwa mereka tidak boleh berbagian di dalam pelayanan gereja seperti berkhotbah, mengunjungi orang sakit, mengadakan sakramen, dan juga menggembalakan jemaat. Mereka tentu saja menolak untuk menandatangani dokumen tersebut dan akibatnya mereka dilabel sebagai “disturbers of public peace” dan diusir bukan hanya dari gereja tetapi juga dari tanah air mereka. Beberapa dari tokoh Arminian ada yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, dan beberapa dari mereka mengasingkan diri ke negara lain. Namun setelah Pangeran Maurice meninggal pada tahun 1625, negara menjadi lebih lunak dan sampai tahun 1631, paham Arminianisme secara resmi ditoleransi di Belanda.

Sedikit ulasan di atas tentang sejarah dari Canons of Dordt bertujuan untuk mengajak kita semua mengerti dan mempelajari sejarah gereja, khususnya di dalam perkembangan doktrin. Bukan hanya itu, kita juga dapat melihat semangat yang dimiliki oleh gereja pada zaman dahulu untuk sesetia mungkin kembali kepada Alkitab di dalam pengakuan iman mereka. Tentu di dalam prosesnya banyak faktor yang memengaruhi bagaimana Synod of Dordt akhirnya dijalankan. Tetapi bagaimanapun juga, hasil dari muktamar tersebut di dalam bentuk Canons of Dordt merupakan salah satu pengakuan iman Reformed yang paling penting. Sebagai orang Kristen, apalagi kita menamakan diri sebagai Reformed Injili, sudah seharusnya kita menghargai perjuangan dari kekristenan di dalam sejarah. Bukan hanya menghargai perjuangan mereka, tetapi kita juga harus meneruskan semangat perjuangan ini pada zaman di mana kita hidup saat ini. Tantangan demi tantangan kita hadapi di zaman ini, bukan tantangan secara fisik melainkan tantangan dalam pengajaran dan keberanian kita menyatakan kebenaran. Biarlah di dalam rangka memperingati 400 tahun Canons of Dordt,kita diberikan semangat yang sama oleh Tuhan untuk makin bertumbuh mengenal Tuhan melalui firman Tuhan, sesetia mungkin kembali kepada Alkitab, dan dengan berani menyatakan kebenaran ini kepada publik.

Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne