Bangsa Asyur dan Budaya Konsumerisme di Abad ke-21 Ini

Hukum pertama dari 10 Hukum Taurat, “Janganlah ada padamu allah lain di hadapan-Ku,” kerap kali ditafsirkan secara sempit hanya pada penyembahan berhala secara fisik, seperti percaya pada jimat ataupun ajaran-ajaran yang bersifat animisme. Celakanya lagi, ada juga yang berpandangan bahwa hukum pertama tersebut hanya relevan pada zaman bangsa Israel yang masih tertarik baik kepada kehidupan Mesir maupun ilah pada bangsa-bangsa lain. Tetapi, di Perjanjian Baru Tuhan Yesus justru memberikan penafsiran yang akurat. Pada Matius 6:24, Tuhan Yesus jelas menyatakan bahwa manusia tidak dapat menyembah dua tuan, yaitu mamon (uang) dan Allah.

Penafsiran ini memberikan kita gambaran bahwa hal-hal material pun dapat dijadikan berhala. Sehingga, di tengah-tengah abad ke-21 ini pun, orang Kristen tidak kebal terhadap dosa penyembahan berhala. Justru di zaman ini ilah-ilah palsu jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan apa yang dialami oleh bangsa Israel. Tidak lagi berupa praktik-praktik spiritual yang dapat dilihat secara fisik seperti di zaman Israel, melainkan hal-hal biasa yang kita temui sehari-hari, seperti makan, bekerja, belajar, dan menikmati produk pop culture (musik, film, buku, dan games). Jika kita tidak hati-hati, berbagai aktivitas tadi dapat mengikat kita menjadi budak dari produk-produk kebudayaan tersebut. Pada akhirnya, kita melanggar hukum pertama dari 10 Hukum Taurat.

Maka dari itu, penulis memakai salah satu ayat di Kitab Nahum, yang berbunyi demikian, “Semuanya karena banyaknya persundalan si perempuan sundal, yang cantik parasnya dan ahli dalam sihir, yang memperdayakan bangsa-bangsa dengan persundalannya dan kaum-kaum dengan sihirnya” (Nah. 3:14). Konteks ayat ini tertuju kepada bangsa Asyur yang berada di kota Niniwe (Nah. 3:1-7). Nabi Nahum menganalogikan bangsa Asyur sebagai perempuan sundal atau pelacur. Analogi ini tidak menunjuk kepada ketidakmampuan Asyur sebagai suatu bangsa sehingga harus bergantung kepada bangsa-bangsa sekitarnya. Justru sebaliknya, bangsa Asyur dengan segala kecantikan dan sihirnya memperdaya atau menipu bangsa-bangsa lainnya sehingga dengan rela mau diperbudak oleh bangsa Asyur. Artikel ini akan membahas bagaimana penggambaran Nabi Nahum mengenai bangsa Asyur tetap relevan dengan pergumulan kita sebagai orang Kristen di abad ke-21 ini.

Assyrian – The Great Prostitute
Seperti yang disebutkan sebelumnya, ada kejanggalan ketika Nabi Nahum menganalogikan bangsa Asyur sebagai perempuan sundal. Sebagai bangsa yang besar dan makmur di zaman itu, mereka tidak perlu merendahkan dirinya di hadapan bangsa-bangsa lain. Kemakmuran dan kekayaan bangsa Asyur sudah cukup membuat bangsa sekitar berdecak kagum. Tetapi, Nabi Nahum tetap memakai istilah ini, yang menandakan ada maksud tertentu dibalik analogi tersebut. Gregory D. Cook dalam bukunya Severe Compassion: A Gospel According to Nahum, memberikan usul untuk melihat pemakaian analogi ini di bagian kitab-kitab lainnya. Ada dua analogi yang mirip seperti yang Nabi Nahum tuliskan, yaitu kisah Rahab (Yos. 2:1-24) dan Izebel, istri dari raja Israel, Ahab (1Raj. 18:20-19:2).

Kasus Izebel barangkali yang paling mendekati analogi dari ayat Nahum 3:4. Beberapa ayat di Kitab 1 Raja-raja menunjukkan bagaimana Ratu Izebel menjadi yang terdepan dalam membuat Israel jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala. Tentu saja hal ini dapat terjadi karena Izebel sendiri bukan keturunan bangsa Israel. Alkitab menyebutkan bahwa Izebel adalah anak dari seorang raja Sidon yang bernama Etbaal. Parahnya lagi, Izebel yang menjadi penyebab raja Israel, Ahab, beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya (1Raj. 16:31). Jika rajanya sudah jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala, tentu saja rakyatnya ikut jatuh ke dalam dosa yang sama. Berbagai tindakan Izebel lainnya juga tidak kalah menyakitkan bagi hati Allah, seperti membunuh nabi-nabi Tuhan (1Raj. 18:4), dan memberi usul kepada Ahab untuk membunuh Nabot agar dapat dirampas kebun anggurnya (1Raj. 21:1-29). Lebih dari itu, Tuhan Yesus sendiri pun menyebut nama Izebel sebagai contoh orang yang jahat karena menarik banyak orang menuju dosa perzinahan dan penyembahan berhala (Why. 2:20). Penggambaran atas tindakan Izebel ini yang menjadi acuan bagi Nabi Nahum untuk juga melihat hal yang sama dilakukan oleh bangsa Asyur di kota Niniwe.

Salah satu tindakan kejam yang dilakukan oleh bangsa Asyur adalah strategi menjajah suatu bangsa. Ada berbagai macam strategi yang dilakukan ketika menjajah bangsa lain. Strategi yang umum dilakukan adalah menumpas baik semua orang maupun ternak-ternak di daerah tersebut. Ada juga strategi seperti bangsa Babel yang menawan orang-orang yang berusia muda dan berbijaksana untuk dilatih menjadi pejabat tinggi di kerajaan. Kedua strategi ini memiliki kelemahan tersendiri. Jika strategi pertama yang langsung menumpas habis semuanya, tidak ada lagi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Kalau strategi kedua seperti bangsa Babel, ada kemungkinan terjadi pemberontakan karena orang-orang yang ditawan sewaktu-waktu dapat berkumpul di satu tempat.

Cerdiknya bangsa Asyur adalah strategi mereka yang dapat meminimalkan kelemahan pada kedua strategi sebelumnya. Strategi bangsa Asyur adalah mencampuradukkan dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Misalnya, ketika bangsa Asyur berhasil menundukkan Kerajaan Israel, mereka tidak memusnahkan semua rakyatnya. Justru mereka memindahkan rakyat Israel ke berbagai bangsa lain di sekitarnya. Ada yang dipindahkan ke Asyur, ke Babel, dan ke daerah lainnya. Sebaliknya, orang-orang dari Asyur, Babel, Kuta, Awa, Hamat, dan Sefarwaim dipindahkan dan tinggal di kota-kota Israel (1Raj. 17:24). Sehingga perlahan tetapi pasti identitas orang Israel sebagai umat pilihan Tuhan akan makin pudar.[1] Strategi licik bangsa Asyur ini memberi dampak yang besar bagi sejarah bangsa Israel. Rakyat Israel dideportasi menuju berbagai tempat yang tidak menyembah Allah Israel. Mereka tidak ada lagi kesempatan untuk beribadah kepada Allah. Dengan terpaksa, mereka harus menyembah ilah-ilah palsu bangsa Asyur.

Selain itu, strategi ini juga memberikan keuntungan bagi bangsa Asyur oleh karena bangsa jajahan yang dideportasi dijadikan budak oleh mereka. Bangsa Asyur masih tetap dapat menarik upeti dari hasil-hasil ladang atau ternak mereka. Sehingga dapat kita katakan bahwa bangsa Asyur adalah bangsa yang licik karena menjadikan bangsa yang dijajah sebagai budak ekonomi mereka. Lalu, pada saat yang bersamaan mampu meredam kemungkinan adanya perlawanan atau pemberontakan karena hilangnya identitas sebagai suatu bangsa. Semua keuntungan dari perbudakan ini dipakai oleh raja Asyur, Sanherib, untuk menjadikan Niniwe sebagai ibu kota yang baru. Suatu proyek yang seluruhnya mereka dedikasikan kepada ilah palsu mereka, yaitu Dewi Istar. Maka tidak heran Nabi Nahum menganalogikan bangsa Asyur sebagai perempuan sundal yang bukan menjual dirinya sendiri, melainkan memperdagangkan orang lain untuk keuntungannya sendiri.

Assyrian Today – Consumerism Culture
Lalu bagaimana dengan kondisi abad ke-21 ini? Ketika kita berbicara tindakan bangsa Asyur yang memperjualbelikan dan memperbudak manusia layaknya barang, tentu kasus ini masih dapat kita temui di dunia ini. Kasus perdagangan manusia dan anak-anak masih terus terjadi saat ini yang sayangnya jarang diberitakan di ruang publik.[2] Tetapi dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa Nabi Nahum memberi keluasan atau cara pandang lain di dalam menafsirkan perbudakan dan analogi Asyur sebagai perempuan sundal. Nabi Nahum tidak membatasi pada masalah perbudakan fisik, tetapi justru melihat adanya potensi perbudakan rohani yang jauh lebih menakutkan. Seperti halnya yang dialami oleh bangsa Israel ketika dipimpin oleh Ratu Izebel yang tidak menyiksa mereka secara fisik, tetapi justru memperbudak mereka secara tidak langsung kepada Baal. Sama halnya dengan bangsa Asyur yang bukan hanya sekadar memberi tekanan secara fisik, tetapi memaksa mereka secara rohani beribadah kepada ilah-ilah palsu.
 
Hal yang sama dapat kita temukan pada abad ke-21 ini. Mayoritas di antara kita tidak lagi diperbudak secara fisik, tetapi diperbudak baik secara ideologi maupun rohani. Bukankah banyak di antara kita yang mudah tersihir oleh iklan-iklan produk tertentu yang membuat kita mau tidak mau harus membelinya? Padahal jika dipikirkan kembali, kita sebenarnya tidak membutuhkan produk tersebut. Hal ini diperburuk dengan begitu banyak toko-toko online yang saling berperang diskon dan cashback. Peperangan yang akhirnya mendorong kita untuk membeli produk yang kita dambakan dengan alasan “mumpung lagi diskon”.

Hal yang sama juga dapat kita temukan dalam pasar gadget atau telepon genggam. Dua hingga tiga tahun belakangan ini siklus peluncuran gadget terus menunjukkan tren yang makin cepat, hingga masuk ke fase di mana hanya perlu jeda waktu 1 tahun untuk meluncurkan varian baru.[3] Siklus seperti ini seolah-olah memaksa kita untuk terus membeli gadget yang baru, walaupun gadget kita tidak rusak dan kerap kali tidak ada peningkatan fitur yang signifikan. Yang penting gadget tersebut terlihat menarik di mata kita, dan tanpa perlu berpikir panjang kita langsung ingin membelinya. Lebih buruknya lagi, ada yang rela menggunakan cicilan agar dapat segera memegang gadget baru. Pada akhirnya, kita menjadi budak-budak pasar yang siap dimanjakan dengan produk-produk terbaru mereka. Inilah yang dinamakan ilah konsumerisme dan kita telah menjadikannya sebagai berhala di abad ke-21 ini.

Jikalau bangsa Israel diperbudak oleh Asyur untuk membangun kuil-kuil ilah palsu mereka, kita yang terjerat dengan ilah konsumerisme juga melakukan hal yang sama. Bukankah kita telah menjadikan tempat berbelanja alias mall sebagai tempat ibadah sekuler? Kita perlu jujur bahwa sering kali jiwa kita lebih “terpuaskan” ketika berada di mall daripada di gereja. Kita menghabiskan lebih banyak waktu di mall dibandingkan ibadah di gereja. Kita boleh mengaku diri Kristen dan rajin datang ke gereja, tetapi ironisnya kita lebih menikmati momen-momen “khusyuk” di tempat berbelanja. Kita tidak sungguh-sungguh menikmati hadirat Tuhan di dalam setiap liturgi yang ada. Lebih buruknya lagi, kita bergumul setengah mati untuk memberikan perpuluhan yang hanya sekadar 10%. Tetapi soal makan dan gadget, tanpa pikir panjang kita gelontorkan seluruh uang yang kita punya. Sehingga penyembahan berhala tidak hanya dialami oleh bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama, tetapi sekarang pun kita juga jatuh di dalam dosa yang sama.

Our Response as Christians
Sampai di sini kita dapat melihat bagaimana firman Tuhan pada ayat Nahum 3:4 masih terasa sangat relevan di zaman ini. Yang membedakan adalah bangsa Israel mengalami perbudakan secara fisik, sedangkan kita saat ini mengalami perbudakan ideologi atau rohani. Keduanya juga memiliki kesamaan, yaitu terpikat pada sihir bangsa Asyur yang menyeret kita pada penyembahan berhala. Budaya konsumerisme telah menjadi Asyur di abad ke-21 ini. Kita dengan mudah terpikat dengan segala hal yang bersifat baru. Seolah-olah hal-hal yang baru itu dapat meningkatkan status sosial kita di hadapan masyarakat. Ketika hal yang baru itu telah ditelan oleh waktu, kita mencari lagi hal baru lainnya agar jiwa ini dipuaskan. Kita diasimilasikan dengan dunia ini, sehingga identitas Kristen kita tidak lagi jelas. Perlawanan kepada dunia melalui kesaksian hidup kita menjadi sirna. Siklus seperti terus berulang hingga kita menjadi budak sejati dari konsumerisme tanpa kita rasa perlu melawannya.

Melalui analogi yang ditulis oleh Nabi Nahum mengenai bangsa Asyur ini, maka ada dua hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, kita perlu mewaspadai segala macam bentuk ilah-ilah palsu di zaman ini. Tidak hanya sekadar tradisi nenek moyang, jimat, ataupun segala macam bentuk penyembahan berhala secara fisik, tetapi hal-hal yang biasa kita lakukan juga dapat menjadi berhala. Kewaspadaan ini dapat kita mulai dari mengevaluasi kebiasaan sehari-hari yang kita lakukan (habit). Seperti yang pemazmur pernah katakan, orang benar adalah orang yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (Mzm. 1:2b). Ayat ini jelas mengindikasikan perlunya kebiasaan yang baik untuk memiliki relasi yang baik pula dengan Tuhan. Maka dari itu, kita perlu mengevaluasi segala kebiasaan kita. Entah itu di dalam hal makan, mengisi waktu luang, hingga dalam hal menggunakan uang. Apakah itu semua kebiasaan yang kita bangun di dalam rangka ketaatan kepada Allah atau justru kepada ilah konsumerisme yang selama ini tidak kita sadari?

Salah satu permasalahan utama dari gaya hidup konsumerisme bukan terletak pada kegiatan berbelanja atau menggunakan uang itu sendiri. Persoalan utamanya adalah hati manusia. Seperti yang Tuhan Yesus pernah katakan, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7:21-22). Sehingga yang perlu dibereskan terlebih dahulu adalah hati yang terdalam dari diri manusia. Inilah yang menjadi tahap kedua setelah kita mengevaluasi kebiasaan kita selama ini. Melalui kebiasaan ini kita dapat mengetahui apakah kita sungguh-sungguh mengarahkan hati dan hasrat jiwa kita kepada Tuhan atau tidak. Hal ini tidaklah mudah karena kerap kali kita menipu diri sendiri dan tidak mau jujur akan kebobrokan hati kita. Maka dari itu, kita perlu yang namanya pertobatan dan kejujuran di hadapan Tuhan. Berdoa kepada-Nya dengan memohon agar Tuhan yang menyelidiki setiap lubuk hati kita seperti yang pemazmur katakan di Mazmur 139:23.[4] Sehingga sekali lagi melalui anugerah-Nya, kita diberikan kepekaan untuk menyadari di mana sesungguhnya kita beribadah dan kepada siapa kita memanjatkan pujian, kepada Allah yang ada di Alkitab atau ilah-ilah palsu di zaman ini.

Steven Miles says of consumerism that a parallel with religion is not an accidental one… It (consumerism) is arguably the religion of the late twentieth century.” – Craig Bartholomew[5]

Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] Hal inilah yang mengakibatkan di zaman Perjanjian Baru dikatakan bahwa orang Samaria dicap sebagai bangsa yang tidak lagi murni bangsa Israel karena sudah mengalami asimilasi (percampuran) dengan bangsa lain.
[2] Untuk info statistik kasus perdagangan anak dan manusia di Indonesia, dapat dilihat melalui laman http://yayasankasihyangutama.org/statistics.
[3] Peluncuran Samsung Galaxy S9 pada bulan Maret 2018, dan setahun berikutnya, Maret 2019, sudah diluncurkan varian barunya, Samsung Galaxy S10.
[4] “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku.”
[5] Bartholomew, Craig & Moritz, Thorsten. 2000. Christ and Consumerism: Critical Reflections on the Spirit of Our Age. Paternoster Press. Hlm 2.