Kata “evangelical” atau “Injili” sering kita jumpai sebagai nama gereja tertentu. Bahkan ada sebagian dari orang Kristen yang mengaku diri sebagai kaum Injili. Di sisi lain, ada Pdt. Dr. Stephen Tong yang selama lebih dari enam puluh tahun pelayanannya terus mendorong Gerakan Reformed Injili di dunia. Apa sebenarnya makna kata “Injili”? Apa yang diperjuangkan oleh Pdt. Stephen Tong ketika mencanangkan Gerakan Reformed Injili? Apa artinya menjadi seorang Injili? Sering kali kita tidak betul-betul paham dengan makna kata tersebut. Kita dengan percaya diri mengaku sebagai kaum Injili atau pemuda Gerakan Reformed Injili, tetapi tidak dengan benar memahami bagaimana menghadirkan Injil itu sendiri. Kita bahkan tidak tahu bagaimana sejarah Gerakan Injili diinisiasi dan berkembang hingga saat ini. Melalui artikel singkat ini, penulis akan membahas bagaimana kegagalan orang Kristen Injili memahami identitas dirinya. Ketidakpahaman yang akhirnya menghambat orang Kristen sendiri menjadi saksi Kristus di tengah dunia ini. Hal ini mengakibatkan kehidupan kekristenan kita justru mengonfirmasi keberdosaan dunia ini, bukan menjadi garam dan terang dunia.
The Problem of Being Evangelical
Ketika berbicara mengenai asal mula kata “Injili” (evangelical), ada banyak perdebatan baik di kalangan sejarawan maupun para theolog. Ada yang mengatakan bahwa perkembangan Gerakan Injili dimulai di Amerika Utara melalui Kebangunan Rohani Besar Pertama dan Kedua (First and Second Great Awakenings) di abad ke-17 dan 18. Pada saat itu, kebangunan rohani yang terjadi berfokus kepada pertobatan orang-orang Kristen yang masih belum menghidupi pertobatannya dengan benar. Tema-tema kebangunan yang diangkat kerap kali terkait dengan pertobatan pribadi, urgensi akan kelahiran baru, hingga pengalaman-pengalaman pertobatan individual yang harus ada dalam diri setiap orang yang mau bertobat.
Pengalaman kebangunan rohani seperti ini sangatlah baik karena adanya kebangkitan orang Kristen untuk sekali lagi menghidupi pertobatan dengan benar. Para penginjil besar pada zaman itu seperti Jonathan Edwards, George Whitefield, dan John Wesley dengan berapi-api memberitakan pesan Injil dan pertobatan dari Tuhan. Tetapi, seperti yang kita ketahui bersama, setiap kali ada kebenaran diberitakan, Iblis tidak tinggal diam. Saat itu, banyak orang Kristen gagal memahami pesan kebangunan yang sesungguhnya. Mereka kurang menghidupi makna Injil dengan utuh. Aspek-aspek emosional, perasaan, ataupun pengalaman pribadi dijadikan sebagai tanda pertobatan sejati. Akhirnya, pengalaman-pengalaman kerohanian subjektif individual menjadi yang paling utama dan sentral dalam kehidupan kekristenan mereka, tanpa terlalu peduli bagaimana kehidupan sebagai orang Kristen dapat hadir dan berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Memang benar kita perlu menaruh perhatian yang lebih pada kehidupan pertobatan yang nyata. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika pengalaman individual menjadi tanda pertobatan yang paling mutlak. Paradigma sedemikian akhirnya akan memengaruhi dan menyebar kepada hal-hal lainnya. Kehidupan kekristenan pada akhirnya hanya berputar dan berpusat pada pengalaman individual belaka. Ibadah, pembinaan, penginjilan, penggembalaan, dan lainnya, semuanya harus memenuhi kebutuhan pengalaman individual ini. Pertimbangan pelayanan tidak lagi diinisiasi atas dasar visi dari Tuhan, melainkan bagaimana pelayanan yang ada bisa memberikan “pengalaman kerohanian pribadi”. Semuanya diarahkan kepada pengalaman yang nyata dan bisa dinikmati. Pada akhirnya, kehidupan kekristenan kita hanya dibangun atas dasar apa yang disukai oleh banyak orang. Kita hanya ingin melakukan apa yang kita suka. Kehidupan macam demikian pada akhirnya makin mengonfirmasi budaya keberdosaan dunia saja. Kekristenan gagal menghadirkan pembaruan; kekristenan akhirnya justru ditunggangi cara pikir yang berdosa untuk membuat para pemuda Kristen berpola pikir non-Kristen di dalam gereja.
The Self-Pleasing World and Its Problems
Penekanan yang berlebihan terhadap pengalaman subjektif membuat orang Kristen gagal menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia yang berdosa. Alih-alih menjadi saksi Kristus, kita gagal “tidak serupa dengan dunia ini”, kita bahkan khawatir kalau gereja tidak “up to date” yang artinya seserupa mungkin dengan gaya dunia. Gereja dan dunia hanya beda di labelnya saja, Kristen atau sekuler. Padahal Alkitab jelas menyatakan bahwa kita adalah (status, bukan proses) garam dan terang dunia. Kita bukan berasal dari dunia ini, tetapi kita diutus oleh Allah untuk hadir di tengah-tengah dunia ini. Kehadiran kita adalah untuk menyatakan kebenaran dan hidup yang seharusnya sebagai wakil Allah untuk menyatakan apa yang benar, kudus, dan berkenan kepada Allah.
Pada PILLAR edisi Juli 2019, penulis pernah membahas tentang budaya konsumerisme yang melanda di abad ke-21. Gaya kehidupan konsumerisme seperti ini lebih banyak disebabkan oleh keinginan untuk memanjakan dan mengasihi diri sendiri. Lebih buruknya lagi, hal ini menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan oleh banyak orang, terutama bagi mereka yang hidup di lingkungan perkotaan. Kerasnya hidup di dalam perkotaan, tekanan selama bekerja, tuntutan hidup yang makin tidak keruan bagaikan suatu perbudakan kehidupan modern membuat manusia merindukan kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Tanpa relasi sejati dengan Tuhan, apa lagi yang manusia dapat lakukan jikalau bukan usaha untuk mengasihi diri sendiri, agar hidup ini terasa sedikit berarti.
Lebih celakanya lagi, sebagian manusia yang lain memanfaatkan momen ini demi keuntungan diri yang lebih besar. Dunia dengan segala keberdosaannya menawarkan berbagai macam hal untuk kita nikmati, menjadi sarana bagi kita yang jiwanya kosong, dan untuk mendapatkan kelegaan semu untuk sementara waktu. Ada yang mengisinya dengan liburan ke berbagai tempat wisata, ada pula yang rela menghabiskan ratusan ribu rupiah demi menikmati berbagai macam makanan dan minuman. Apalagi dengan menjamurnya fitur cashback di berbagai macam market place, membuat kita makin tergoda untuk berbelanja segala sesuatu. Padahal kalau kita mau jujur, sesungguhnya kita tidak membutuhkan barang-barang tersebut; kita hanya membutuhkan kepuasan bisa mengasihani diri karena kita membutuhkan untuk dikasihi. Begitu pula dengan makanan dan minuman yang sebenarnya tidak kita perlukan, tetapi kenikmatan itu yang selalu kita inginkan demi sedikit perasaan kepuasan bisa membahagiakan diri. Semua hal itu pada akhirnya akan terus membentuk gaya hidup yang mengasihani diri sendiri. Semua dilakukan demi memanjakan diri dan mengasihi diri.
Loving God and Others
Lalu bagaimanakah kita sebagai orang Kristen dapat menghidupi kehidupan Kristen Injili yang tidak berpusat pada diri di tengah zaman yang terus mengasihani diri? Tidak mudah memang menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Tetapi, kita dapat menemukan jawabannya melalui kehidupan Tuhan Yesus di dunia. Ia memberikan perintah kepada setiap orang Kristen untuk saling mengasihi (Yoh. 13:34-35). Terutama pada ayat 35 yang dengan sangat jelas menyatakan tindakan saling mengasihi adalah tanda bahwa kita adalah murid Kristus sejati. Begitu juga ketika Tuhan Yesus ditanya oleh ahli Taurat, “Apakah hukum yang terutama dari seluruh hukum Taurat?” Jawaban dari Tuhan Yesus sangatlah menarik karena mengaitkan hukum dengan tindakan mengasihi. Hukum yang paling terutama adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama (Mat. 22:37-39). Tidak hanya terpaku pada larangan-larangan Hukum Taurat saja, tetapi Tuhan Yesus justru menyatakan inti yang paling utama dari Hukum Taurat yaitu tindakan mengasihi Allah dan sesama, bukan mengasihi, apalagi mengasihani, diri.
Setiap perintah tersebut tidak berhenti hanya di dalam kata-kata-Nya saja, tetapi Ia jalankan selama hidup-Nya sebagai manusia di dunia. Tuhan Yesus menghadirkan kasih sejati yang tidak ada pada dunia: kasih yang rela mengorbankan diri demi menyempurnakan orang lain. Kasih yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia di dunia. Tetapi, keberdosaan manusia mengakibatkan manusia gagal menghadirkan kasih yang seharusnya. Kasih yang muncul justru kasih yang mengasihi diri sendiri, tidak peduli dengan orang yang di sekelilingnya. Tidak ada satu pun ruang bagi orang lain di dalam tindakan kasih manusia yang berdosa.
Hal ini berlawanan dengan teladan Tuhan Yesus yang justru menghadirkan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Kasih yang memberi ruang bagi orang lain hadir di dalam hidup-Nya. Ia rela difitnah ketika menerima undangan perjamuan makan pemungut cukai. Orang Farisi mengolok Dia sebagai kumpulan para pencemooh, padahal Tuhan Yesus hadir di tengah-tengah pemungut cukai dan perempuan berdosa demi menyelamatkan mereka dari perbudakan dosa. Ia berjerih lelah setiap hari untuk memberitakan Kerajaan Allah dan melayani orang-orang sakit, supaya setiap orang sadar bahwa Ia adalah Mesias yang dinubuatkan oleh para nabi. Hanya melalui Dia, Kerajaan Allah akan datang. Puncaknya adalah Ia rela menerima cawan murka Allah di atas kayu salib, demi menggenapkan rencana keselamatan dari Allah Bapa. Ia harus menanggung segala hinaan dan siksaan fisik yang begitu menyakitkan. Bahkan Tuhan Yesus harus sampai berteriak, “Allahku, Allahku mengapa engkau meninggalkan Aku?” Allah Bapa sesaat berpaling dari Dia oleh karena murka Allah yang harus Ia terima. Itu semua oleh karena kasih Allah. Kasih dari Allah Bapa yang rela menurunkan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Kasih yang memberikan diri-Nya.
Squeeze Your Life for God and Others
Teladan Kristus bukan hanya untuk diketahui, melainkan untuk dihadirkan di dalam hidup setiap orang Kristen, para pengikut Kristus. Dengan demikian, kasih Kristus hadir di berbagai zaman, melalui berbagai macam orang yang telah Tuhan bangkitkan. Di dalam zaman ini, kita dapat melihat teladan hidup Pdt. Dr. Stephen Tong. Melalui pelayanannya, Pak Tong telah memberi teladan yang sangat baik bagaimana menghidupi kasih dari Allah. Pak Tong telah memberikan teladan yang nyata bagaimana semangat Injili yang sejati. “Squeeze Your Life” adalah salah satu slogan pelayanan beliau, rela memeras diri demi pekabaran Injil. Beliau rela menggunakan setiap waktu, tenaga, dan pikiran, demi pekerjan Tuhan. Umur di atas 80 tahun tidak menghalangi beliau untuk terus memberitakan Injil di dua ratus kota di seluruh dunia. Pada tahun 2019, beliau telah dua kali mengadakan Grand Concert Tour di hampir sepuluh kota di Asia Timur, Australia, dan Selandia Baru. Sampai akhir tahun 2019, beliau telah mengadakan KKR Natal di delapan belas kota di Indonesia dan Asia. Inilah teladan kasih yang dari Allah. Kasih yang rela memeras diri supaya banyak orang dapat mendengarkan Injil yang sejati. Beliau rela memaksa diri supaya pekerjaan Tuhan terus dilakukan melalui hidupnya. Tidak mungkin seseorang yang mengasihi diri sendiri akan melakukan itu semua. Hanya orang yang sungguh-sungguh telah menyadari kasih Allah yang sanggup melakukan itu semua. Kerelaan demikian hanya hadir dari kasih Allah yang membuat kita mau hidup bagi orang lain, seperti kerelaan Tuhan Yesus berinkarnasi demi menggenapkan kehendak Bapa, untuk menyatakan kasih-Nya kepada Bapa dan umat-Nya.
Seperti Tuhan Yesus yang mendapat penolakan, begitu juga umat Tuhan yang menyatakan kasih-Nya akan mendapatkan penolakan. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam dinamika pelayanannya sering mendapatkan penolakan, bahkan dari sesama orang percaya. Lebih buruknya lagi, pelayanan Pak Tong kerap kali mendapat penolakan dari kalangan Reformed Injili sendiri yang tidak memahami apa maksudnya slogan squeeze your life. Kita tidak setuju dengan prinsip pelayanan tersebut karena kita tidak ingin berbagian dalam semangat pelayanan semacam demikian. Mengapa harus memeras diri terlalu jauh demi orang lain yang tidak kita kenal, bahkan harus mengorbankan banyak hal demi hasil pelayanan yang mungkin tidak dapat langsung kita lihat? Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya karena apa yang diajarkan oleh dunia ini, yaitu mengasihani diri, memanjakan diri, dan menikmati diri. Prinsip squeeze your life sungguh-sungguh tidak memberi ruang untuk mengasihani diri. Tidak ada lagi tempat bagi mereka yang hanya mementingkan diri sendiri. Hanya mereka yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan dan umat-Nya yang dapat menjalankan prinsip pelayanan demikian.
Being Evangelical: To Bring God’s Love
Lalu apa kaitan kaum Injili, mengasihani diri, dan perintah mengasihi dari Tuhan Yesus? Tentu saja ketiga hal tersebut terkait satu sama lain. Ketika berbicara mengenai kaum Injili, maka tidak dapat lepas dari semangat untuk menyampaikan Injil atau kabar keselamatan sebagai ciri utamanya. Kabar baik yang tidak hanya melalui kata-kata saja, tetapi juga melalui kesaksian hidup. Salah satunya melalui kehidupan orang Kristen yang saling mengasihi, yang mana hal itu menjadi kerinduan bagi dunia berdosa ini yang terus mengasihani diri.
Ini berarti menjadi seorang Kristen Injili tidak hanya cukup sampai pada pertobatan individual saja, tetapi bagaimana pertobatan itu menghasilkan hidup yang baru di dalam Tuhan. Salah satunya yaitu menghadirkan kasih Allah di dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budimu, dan tentunya juga mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Dengan demikian, Gerakan Injili tidak lagi berpusat pada pengalaman pribadi dan merasa cukup dengan adanya pengalaman pertobatan pribadi saja tetapi gagal menyatakan hidup kesaksian yang penuh kasih dalam segala aspek. Dunia sedang dalam keterpurukan akan mengasihani diri tanpa dapat terpuaskan. Dunia memerlukan kasih Allah sebagai pengharapan satu-satunya. Siapa yang dapat mengabarkan kabar sukacita demikian, jikalau bukan kita, orang Kristen yang telah menerima Injil Yesus Kristus.
Melalui artikel singkat ini, penulis menyimpulkan bahwa menjadi seorang Injili bukan hanya terpaku kepada pengalaman pertobatan dan keselamatan pribadi saja, tetapi bagaimana anugerah keselamatan itu dapat kita hadirkan dalam kehidupan sehari-hari di setiap konteks dan aspek. Selain itu, kasih sejati bukanlah kasih yang penuh perhitungan, melainkan kasih yang mengorbankan diri untuk menyempurnakan orang yang dikasihi. Dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita menghadirkan Injil di dalam keseluruhan kehidupan kita. Dimulai dari Tuhan Yesus sendiri, yang inkarnasi-Nya sebagai manusia menghadirkan kasih dari Bapa kepada umat-Nya. Kemudian, ada hamba-hamba Tuhan sepanjang zaman yang rela memeras diri sehabis-habisnya demi Injil sejati secara utuh dan luas agar dapat disaksikan oleh banyak orang. Menjadi seorang Injili berarti mengabarkan dan menghadirkan Injil keselamatan secara utuh melalui hidup yang sungguh-sungguh menyatakan kasih dari Allah di dalam segala aspek. Injil menjadi ciri utama dan pusat totalitas perjuangan keseluruhan hidup kita, dan hal ini dapat disaksikan dengan jelas dan nyata dalam kehidupan kita oleh dunia. Injil dari hidup kita untuk dunia, bukan untuk kepuasan “kerohanian” diri. Kiranya Tuhan menolong kita.
“Definisi cinta yang sesungguhnya adalah mengorbankan diri demi menyempurnakan orang lain menjalankan kehendak Allah.”
– Pdt. Dr. Stephen Tong
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES