Dosa sering kali dimengerti sebagai sebuah tindakan praktis. Seseorang dikatakan sudah berdosa saat orang itu telah melakukan tindakan nyata secara fisik. Memang tindakan nyata adalah bukti autentik dari sebuah perbuatan dosa. Tetapi, jika kita mengerti dosa hanya di dalam ranah tindakan saja, maka jalan keluar bagi masalah dosa adalah setumpuk peraturan yang harus ditaati. Jikalau dosa hanya sebatas perbuatan tampak luar saja, maka penebusan yang diperlukan mungkin tidak perlu sebesar yang kita mengerti saat ini. Ini adalah cara mengerti dosa seperti seorang legalis. Hal ini juga yang dilakukan oleh orang Farisi. Mereka mengerti dosa sebagai sebuah pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah dibuat, tetapi mereka gagal mengerti arti dosa yang sesungguhnya.
Kegagalan dalam mengerti dosa secara benar menyebabkan berbagai konsekuensi, salah satunya adalah dalam mengerti konsep penebusan. Seorang yang berpikir dosa secara legalis akan berpikir bahwa penebusan juga bersifat legalis. Sehingga kerohanian orang-orang yang berpikir seperti ini pun tidak jauh hanya pada level superficial atau secara tampak luar saja. Mereka akan menunjukkan kerohaniannya berdasarkan aktivitas rohani seperti pelayanan, keluasan pengetahuan theologi, dan tingkah laku yang menunjukkan dirinya seorang rohani. Oleh karena itu, pengertian yang benar mengenai dosa adalah hal yang penting di dalam kita membangun kehidupan seorang Kristen.
Salah satu gambaran yang Alkitab berikan pada kita mengenai dosa adalah pengkhianatan relasi. Dosa bukan saja sekadar melakukan perbuatan yang kita anggap jahat atau tidak bermoral, melainkan kita melakukan sebuah pengkhianatan terhadap Pribadi dalam sebuah relasi. Allah adalah Sang Pencipta, Ia yang menciptakan dunia ini dan segala isinya termasuk manusia. Manusia yang adalah gambar dan rupa dari Sang Pencipta ini seharusnya menjadi alat untuk menghadirkan, menyatakan kebesaran, kebenaran, dan kemuliaan Allah. Terlebih lagi, Allah yang berdaulat ini mengadakan ikatan perjanjian dengan manusia. Dengan demikian, relasi Allah dan manusia adalah relasi yang bersifat perjanjian (Covenantal Relationship).
Konsep perjanjian antara tuan dan hamba memiliki beberapa komponen. Pertama, kondisi atau syarat yang harus dipenuhi oleh si hamba. Kedua, kondisi jikalau syarat itu dipenuhi yaitu diberikannya berkat oleh si tuan. Ketiga, jikalau si hamba melanggar, maka konsekuensinya adalah kematian. Setiap kali diadakan perjanjian, selalu pihak si hamba akan berjalan di antara korban sembelihan yang sudah dipotong menjadi dua dan ia berjalan di antaranya. Hal ini menandakan bahwa konsekuensi dari dilanggarnya sebuah perjanjian adalah kematian seperti korban hewan tersebut. Maka, pelanggaran terhadap perjanjian memiliki konsekuensi yang fatal.
Relasi yang sama juga berlaku dalam diri manusia sebagai gambar Allah. Alkitab menggambarkan bahwa relasi manusia dengan Allah adalah relasi perjanjian. Saat Allah melakukan perjanjian dengan manusia, berarti manusia memiliki peran dan tanggung jawab yang khusus dari Allah. Hal ini tercermin di dalam keberadaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia harus menyatakan siapa Allah melalui dirinya. Sebagai gambar Allah manusia harus tunduk dan taat kepada seluruh perintah Allah. Oleh karena itu, saat manusia melanggarnya, maka konsekuensi yang diterimanya sangatlah berat, yaitu kematian. Namun, manusia berkhianat. Kejadian 3 menyatakan bahwa ciptaan yang paling mulia ini lebih menaati ular yang bukan siapa-siapanya dibanding Allah sendiri yang adalah Penciptanya. Itulah permulaan manusia mulai meragukan Allah. Meragukan kebenaran Allah, meragukan kebaikan Allah, dan meragukan kebijaksanaan Allah. Siapa yang akhirnya menjadi penentu? Manusia sendiri. Manusia mengambil posisi sebagai Allah, ia memiliki hati yang ingin menyaingi Allah. Manusia mencoba mengudeta Allah.
Allah dengan rela menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, Ia menaruh kemuliaan yang begitu besar pada manusia. Begitu indahnya anugerah dan kasih Allah pada manusia. Namun manusia berdosa tidak sadar bahwa ia hanya ciptaan dan bukan Sang Pencipta. Allah diturunkan dari takhta-Nya dan manusia menjadi pengganti Sang Pencipta. Betapa kurang ajarnya manusia! Untuk mengerti hal ini dengan lebih jelas, kita dapat mempelajari kisah Hosea dan Gomer.
Pelajaran dari Kisah Hosea dan Gomer
Salah satu kisah Alkitab yang sangat menggambarkan betapa durhakanya manusia kepada Allah adalah Kitab Hosea. Dalam Kitab Hosea, dikatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Hosea untuk mengambil seorang pelacur, Gomer, menjadi istrinya. Seorang pelacur adalah orang yang layak dilempari batu hingga mati, tetapi Gomer menjadi istri seorang nabi. Hal ini merupakan hal yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang nabi menikahi seorang pelacur? Bahkan yang lebih ironis adalah bahwa Gomer bukannya berespons terhadap anugerah ini dengan baik, melainkan ia tetap menjalani kehidupannya yang lama – Gomer tetap melacur! Ia tetap berbuat zinah. Gomer mengkhianati kebaikan sang nabi yang mengambilnya sebagai istri.
Pengkhianatan Gomer ini adalah gambaran dari pengkhianatan Israel di zaman itu. Israel berkali-kali mendapatkan anugerah, belas kasihan yang sangat besar, tetapi mereka terus kembali kepada berhala-berhala. Mereka melacurkan diri kepada allah-allah lain dan berkhianat terhadap Allah yang sejati, yang sudah menyelamatkan mereka. Kisah Gomer juga menggambarkan pengkhianatan orang Kristen. Kita sudah diberikan anugerah, walaupun kita tidak memiliki kelayakan untuk mendapatkannya. Kita ditebus oleh Kristus. Kita dibukakan jalan menuju keselamatan dari cara hidup kita yang sia-sia. Tetapi sering kali kita menerima anugerah ini sambil memandang kepada kenikmatan yang ditawarkan dunia ini. Kita melacur!
Gomer tidak dapat melihat pemeliharaan dan kesetiaan penyertaan suaminya dan menganggapnya sebagai pemberian kekasih-kekasihnya yang lain. Sama dengan kita, Allah memelihara dan memberikan berkat-Nya, tetapi kita menganggap itu adalah pemberian dan pemeliharaan kekasih-kekasih hati kita yang bukan Allah. Kita mencari yang lain dan tidak berpaut pada Allah. Kita mencari yang lain yang kita anggap dapat menjamin dan memelihara kehidupan kita. Kita lupa akan status kita sebagai “istri Allah” dan lupa akan kesetiaan Allah yang memelihara dan menopang kita. Mengapa bisa demikian? Sebetulnya kita tahu bahwa tanpa Allah kita mati, tanpa pemeliharaan dan topangan tangan Allah kita tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi yang menjadi permasalahan adalah hati kita. Hati kita menginginkan yang lain, bukan Allah. Sesungguhnya kita adalah pelacur, hati kita melacur pada berbagai macam hal, bisa pada uang, materi, kekuasaan, kenyamanan diri, dan masih banyak hal lainnya. Hal ini menyatakan satu hal yaitu, kita tidak mencintai Allah. Hati kita melacur!
Jika kita mencintai seseorang, maka kita akan berusaha semaksimal mungkin dengan seluruh yang kita miliki untuk menyenangkan hatinya. Banyak orang mengatakan bahwa cinta itu buta, karena orang yang sedang jatuh cinta pasti hanya akan melihat yang ia kasihi, melakukan hal-hal yang menjadi keinginan hati kekasihnya itu, dan menggunakan segala sesuatu demi hidup bersama-sama kekasihnya. Tetapi kita harus menyadari bahwa cinta yang seperti ini hanyalah emosi sesaat saja, cinta yang sejati adalah cinta yang juga harus rasional, bukan cinta yang buta. Cinta yang sejati memakai dan memaksimalkan semua aspek termasuk rasio demi yang dikasihinya. Jika kita mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh, maka kita akan memakai seluruh harta dan hidup demi yang kita kasihi. Inilah salah satu karakter cinta. Kita akan mengusahakan segala sesuatu demi memenuhi keinginan orang yang kita kasihi.
Kerusakan Relasi Manusia
Sejak manusia pertama Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa maka semua keturunannya adalah kaum pengkhianat. Relasi manusia dengan Allah yang tadinya indah sekarang terputus. Relasi antarmanusia pun menjadi rusak. Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular. Manusia tidak lagi bisa bersahabat dengan sesama manusia. Kita bisa membangun relasi berpuluh-puluh tahun dengan orang tua kita, saudara kita, teman kita, pacar kita, tetapi dibutuhkan sekejap saja untuk merusak suatu relasi. Keberdosaan yang menjangkit umat manusia membuat manusia sulit sekali berdamai dengan sesama manusia. Kita sering berpura-pura baik di depan orang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan dari orang itu, entah itu kepintaran, uang, atau bahkan cinta dari orang itu. Akhirnya kita melihat bahwa manusia cenderung untuk mencari manusia ketika dibutuhkan saja. Cinta kasih yang memperalat sesama demi diri!
Bukan hanya relasi antarmanusia yang rusak, relasi antara manusia dan alam pun menjadi rusak. Manusia yang dipanggil untuk mengembangkan taman-Nya Allah, sekarang menjadi sumber perusak alam. Di dalam dunia perkuliahan atau pekerjaan pun kita membawa semangat berdosa dalam relasi ini ke tengah-tengah dunia. Kita memanfaatkan segala sesuatu di alam untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Memang tujuan tercapai, ilmu semakin berkembang dan teknologi semakin canggih, tetapi akhirnya kita mengabaikan aspek lainnya, seperti lingkungan, kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Semua motivasi dan tujuan kita akhirnya tertuju pada kenyamanan diri. Jika kita tidak nyaman, maka kita tidak akan melakukannya. Namun untuk memperoleh kenyamanan yang lebih besar di depan, kita rela melakukannya dengan menamakannya sebagai “investasi” atau “asuransi”. Semua motivasi dan tujuan kita akhirnya kembali lagi kepada diri, kekasih kita yang terdalam. Diri kitalah kekasih kita yang sejati, bukan Allah!
Pengkhianatan manusia terhadap Allah itulah dosa. Kita tidak mungkin bisa lepas dari hukuman dan penghakiman Allah, termasuk orang Kristen tidak bisa melarikan diri dari hal ini. Kita mendapatkan kutukan bahwa siapa yang taat kepada Allah akan diberkati, tetapi siapa yang tidak taat ia akan binasa. Kita semua akan dituntut pertanggungan jawab di hadapan Tuhan atas keputusan yang kita ambil. Kita mau lepas dari Allah? Allah mengizinkan manusia, silakan, tetapi yang akan kita terima adalah kebinasaan yang tidak berpengharapan. Kita harus menyadari bahwa kita perlu berelasi. Kita tidak bisa independen. Allah membukakan diri kita kepada pengenalan akan Dia dengan cara yang ajaib ketika kita menyadarinya. Allah masih menopang manusia berdosa dan hal ini seharusnya membuat kita gentar. Bukankah Allah tidak wajib berelasi lagi dengan kita yang sudah tidak ingin lagi melihat Allah? Manusia yang memutuskan relasi dengan Allah, tetapi Allah yang berusaha untuk memperbaiki relasi kita dengan-Nya.
Rekonsiliasi
Allah berbelaskasihan kepada manusia, sekalipun sudah dikhianati sedemikian rupa, Allah tetap menopang dunia ini dan manusia. Ia tetap memanggil manusia untuk bertobat kembali pada-Nya di sepanjang zaman sampai pada kegenapan rencana penyelamatan-Nya yaitu di dalam Kristus Yesus. Melalui Kristus, orang yang berstatus musuh Allah yang layak mati kembali diperdamaikan dengan Allah. Ia kembali dapat berelasi dengan Allah bukan sebagai seteru melainkan sebagai umat Allah. Ia berjanji akan memulihkan kita dan segala kondisi kerusakan kita asal kita mau taat, meninggalkan dosa kita, dan mengikuti teladan Kristus.
Melalui Kristus, kita direkonsiliasi dengan Allah. Kita yang tadinya adalah seteru Allah, kini diperdamaikan kembali menjadi umat Allah. Inilah dasar dari kehidupan yang sudah ditebus, yaitu kembalinya relasi kita dengan Allah. Seluruh aktivitas rohani kita harus lahir dari hati yang sudah diperdamaikan dengan Allah, yaitu hati yang kembali mengasihi Allah. Hati yang mengasihi Allah akan menjadi pendorong yang memotivasi diri kita untuk terus berjuang dan dengan konsisten melayani Dia. Meskipun harus menghadapi berbagai tantangan bahkan pergumulan melawan sisa-sisa natur berdosa, hati yang kasih akan terus membakar kita untuk berjuang hidup kudus, dan berkenan di hadapan Allah.
Jikalau kita kembali melihat kehidupan seorang Reformator yang bernama John Calvin, kita seharusnya kembali ingat akan slogan hidupnya, “I offer my heart to thee O Lord, promptly and sincerely.” Seharusnya moto hidup ini menjadi moto hidup setiap orang yang sudah ditebus oleh Yesus Kristus. Hidup yang bukan sekadar menjalankan kewajiban atau sekadar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Alkitab, tetapi sebuah kehidupan yang secara utuh dipersembahkan kepada Allah. Dengan hati yang seperti inilah kita dapat membangun kehidupan yang berkenan kepada Allah. Oleh karena itu, berdoalah dan mintalah kepada Allah, sebuah hati yang mengasihi-Nya dengan jujur, sehingga hidup kita benar-benar menjalankan fungsi hidup kita sebagai manusia, yaitu menyatakan diri Allah melalui panggilan hidup kita seumur hidup kita. Soli Deo Gloria.
Ben Hanan & Hanshen Jordan
Pemuda FIRES