Dalam buku IV Institutes, salah satu pembahasan Calvin adalah mengenai gereja yang ada di dunia ini, gereja yang kelihatan, local church. Gereja ini berfungsi sebagai ibu yang memelihara orang-orang yang telah dilahirkan oleh Roh Kudus di dalam Kristus. Gereja ini mempunyai tugas untuk membuat seluruh jemaat bertumbuh ke arah Sang Kepala, yaitu Kristus. Gereja mengasuh, mendidik, menumbuhkan anak-anak Allah agar setiap mereka terus bertumbuh. Tetapi gereja juga adalah pengantin Kristus. Gereja dipelihara oleh Allah dan dijaga oleh Allah. Ada periode di mana dia seperti begitu jauh dan terhilang. Tetapi periode ini tidak pernah terjadi tanpa adanya pengharapan akan pemulihan. Tuhan tetap membangunkan kembali gereja-Nya. Gereja dipelihara oleh terjadinya kebangunan demi kebangunan karena karya Roh Kudus di dalamnya. Apakah tanda bahwa umat Tuhan sedang dibangunkan? Di dalam beberapa contoh di Perjanjian Lama, salah satu tandanya adalah kerinduan mereka untuk datang beribadah kepada Tuhan. Dalam Kitab Kejadian, kembalinya sebagian kecil dari seluruh ras manusia kepada Tuhan ditandai dengan kalimat pendek, “menyebut nama TUHAN”. Kalimat ini merangkum pengertian adanya penyembahan dan ibadah kepada Tuhan di tengah-tengah dunia yang melupakan Dia. Meskipun orang-orang ini hanyalah sekelompok minoritas yang terkucilkan, tetapi mereka membuktikan pekerjaan Allah sepanjang sejarah yang tetap bekerja memanggil orang-orang kembali kepada Dia dan menyembah dengan benar. Di tengah arus dunia yang telah menjadi jahat, tetap ada orang yang kembali kepada Tuhan dengan penyembahan yang tulus. Lebih lanjut lagi adalah contoh di dalam Kitab Sejarah seperti Samuel dan Raja-raja. Daud ingin menjadikan kerajaannya sebagai kerajaan yang tunduk kepada Allah. Apakah tandanya? Tandanya adalah tabut perjanjian harus dibawa ke pusat pemerintahannya. Raja Hizkia dan Yosia merombak seluruh Yehuda dengan menyingkirkan penyembahan berhala dan kembali menyatakan nama Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Di dalam Kitab Raja-raja, kerajaan Israel dan Yehuda akhirnya dibuang oleh Tuhan karena mereka tidak lagi menyembah Allah yang sejati. Mereka sujud kepada ilah-ilah lain dan melupakan penyembahan yang benar. Calvin menafsirkan periode hancurnya kerajaan Israel dan Yehuda dalam kalimat-kalimat berikut.
“Rakyat Yehuda mengotori diri mereka sendiri dengan kebiasaan-kebiasaan yang jahat dan bersifat takhayul sebelum mereka menyelewengkan bentuk lahiriah dari agama mereka. Sebab walaupun sejak zaman Rehabeam mereka telah banyak mengadopsi ritual-ritual yang sesat, tetapi karena pengajaran Taurat, jabatan Imamat, dan segala ritual yang telah ditetapkan Allah tetap berjalan di Yerusalem, orang-orang saleh tetap memiliki gereja dengan keadaan yang cukup baik. […] Tetapi akhirnya, bahkan para imam sendiri mengotori Bait Allah dengan seremoni-seremoni yang sesat dan menjijikkan.”
Mengapa mereka dibuang? Karena mereka sudah lupa bagaimana beribadah kepada Dia dengan benar. Beribadah… apakah maksudnya? Bukankah seluruh hidup kita merupakan rangkaian ibadah kepada Tuhan? Benar. Tetapi di dalam konsep Calvin di atas, tindakan dalam hidup sehari-hari adalah cerminan dari bagaimana seorang bersikap ketika dia datang di dalam kebaktian kepada Allah yang sejati. Tuhan belum membuang Yehuda secepat Tuhan membuang Israel Utara. Mengapa? Karena di Yehuda masih ada Yerusalem, Bait Suci, Imam yang menjalankan tugas mereka, dan umat yang beribadah dengan benar. Tetapi ketika hal-hal ini hilang, maka Yehuda pun sudah menjadi dekat kepada kehancurannya. Tetapi Tuhan tidak akan tinggal diam. Dia akan merestorasi kembali kerajaan-Nya itu. Inilah restorasi yang Tuhan kerjakan melalui kebangunan tersebut. Inilah juga sebabnya Yehezkiel melihat kuasa kehidupan ilahi menghidupkan tulang-belulang yang telah kering. Inilah periode kebangunan itu. Periode di mana penyembahan yang hampa dan kosong digantikan dengan penyembahan yang sepenuh hati. Penyembahan yang lesu dan tidak bergairah digantikan dengan seruan hati dari orang-orang yang ingin berlari mendahului orang-orang lain seperti dalam Mazmur 42.
Jadi tanda kebangunan tidak berhenti pada kesadaran akan dosa setelah seseorang mengenal kebenaran firman. Tanda kebangunan juga tidak berhenti setelah adanya tingkah laku yang disucikan karena menantikan kedatangan Kristus. Tanda kebangunan juga mencakup kembalinya penyembahan yang benar kepada Allah. Tetapi seperti apakah penyembahan yang benar kepada Allah? Penyembahan yang benar kepada Allah harus keluar dari jiwa yang hanya berfokus kepada kemuliaan Allah.
3. “…kita dikhususkan dan didedikasikan untuk Allah sehingga kita tidak dapat berpikir, berbicara, merenung, dan melakukan apapun kecuali untuk kemuliaan Dia.” (Inst. III. VII. 1.)
Tidak ada kebangunan sejati yang dapat terjadi tanpa adanya penyembahan yang benar, di mana penyembahan ini terekspresikan dalam kebaktian-kebaktian untuk menghormati dan menyembah Allah yang sejati. Lalu apakah kebaktian kebangunan rohani itu? Dapatkah kebangunan rohani dipastikan terjadi karena adanya kebaktian-kebaktian kebangunan rohani? Tidak. Dapatkah kebangunan rohani dipastikan terjadi dengan metode-metode mempersiapkan KKR yang sesuai dengan SOP? Tidak! Lalu mengapa mengadakan kebaktian kebangunan rohani? Dalam NREC 2004, Pdt. Dr. Stephen Tong berbicara mengenai kebangunan. Apakah kebaktian kebangunan rohani yang sejati itu? Kebaktian kebangunan rohani yang sejati adalah kebaktian yang diadakan demi mengharapkan adanya kebangunan yang sejati terjadi. Dapatkah terjadi? Dapat. Dapatkah dipastikan? Tidak. Kalau tidak pasti berarti bisa saja tidak terjadi kebangunan… kalau tidak terjadi kebangunan bagaimana? Kalau tidak terjadi kebangunan maka setidaknya kita sudah kerjakan apa yang bisa kita kerjakan. I’ve done what I can. Maka merencanakan kebaktian kebangunan rohani yang sejati adalah kegiatan yang mempersiapkan sebuah kebaktian dengan harapan Tuhan bekerja di dalamnya. Bisakah kebaktian ini dilakukan dengan sembarangan? Tentu tidak. Bisakah kebaktian ini dilakukan dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga terlihat seperti nightclub? Tidak mungkin bisa! Bisakah kebaktian ini dilakukan dengan bentuk yang sangat mirip dengan sebuah konser musik pop? Tidak bisa! Lalu apakah yang bisa dilakukan? Yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan suatu kebaktian yang mendorong orang-orang yang datang untuk hormat dan sujud kepada Allah. Hormat, sujud, menyatakan kemuliaan bagi Allah, serta mendengar Dia berbicara. Seluruh rangkaian kebaktian adalah pernyataan kemuliaan Tuhan dan juga respons karena menyadari kemuliaan Tuhan. Inilah kebaktian yang sejati, dan kebaktian kebangunan rohani tidak mungkin boleh berbeda dari itu. Kebangunan sejati hanya mungkin terjadi dari kebaktian yang sejati. Tetapi apakah tidak mungkin ada individu-individu yang akhirnya mengenal Tuhan, mengasihi Tuhan dan kembali kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh dari kebaktian yang tidak sempurna? Untuk menjawab ini kita perlu membahas dua hal. Hal yang pertama adalah kebangunan sejati tidak identik dengan pertobatan individu saja. Kebangunan sejati adalah kebangunan gereja Tuhan. Kebangunan umat Tuhan. Ketika Tuhan merasa perlu membangkitkan kembali umat-Nya karena umat-Nya telah tersesat dan jauh dari Tuhan, apakah ini berarti pada waktu itu tidak ada orang yang sungguh-sungguh beriman? Pasti ada. Lalu mengapa tetap perlu kebangunan? Karena Tuhan mau bekerja, membangkitkan kembali umat-Nya secara besar. Untuk apa Elia menangis? Bukankah masih ada 7.000 orang yang tidak pernah menyembah Baal? Untuk apa Tuhan membuang umat-Nya? Bukankah masih ada 7.000 yang setia? Elia menangis dan Tuhan membuang umat-Nya karena umat-Nya secara total meninggalkan Tuhan, menghancurkan mezbah Tuhan, menyembah baal, membunuh nabi-nabi Tuhan. Lalu apa signifikansi yang 7.000 itu? Merekalah alasan Tuhan akan merestorasi umat-Nya. Jika masih ada sebagian kecil orang yang tetap setia kepada Tuhan, inilah harapan bahwa suatu saat nanti Tuhan akan merestorasi umat-Nya. Harapan bahwa Tuhan akan membangunkan umat-Nya.
Hal kedua yang perlu diingat adalah tidak ada satu pun kebaktian yang dapat dikatakan sebagai kebaktian yang sempurna. Sempurna dalam segala hal… apakah mungkin? Jika tidak mungkin lalu kebaktian yang seperti apakah yang dapat disebut sebagai kebaktian yang benar? Saya tidak akan membahas mengenai musik yang benar, tata ibadah yang benar, letak mimbar, dan lain-lain. Semua itu di luar kemampuan pengetahuan saya maupun pembahasan tulisan ini. Tetapi yang menjadi pembahasan kali ini adalah motivasi seseorang ketika datang mengikuti ibadah. Yang saya maksudkan bukanlah motivasi awal seseorang mau datang kebaktian. Jika sebuah kebaktian mengharapkan untuk menjangkau orang belum percaya, bagaimana mungkin mengharapkan orang belum percaya menjadi orang yang datang ke kebaktian dengan semangat Mazmur 42? Tidak mungkin. Tetapi apakah yang kita harapkan terjadi pada orang itu? Kita mengharapkan adanya perubahan. Kita mengharapkan mereka bertemu kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah yang dinyatakan melalui firman dan melalui seluruh rangkaian kebaktian yang memang dirancang dengan segenap kekuatan dan doa untuk mampu menyatakan kemuliaan tersebut dengan sebesar-besarnya. Inilah yang diharapkan. Jadi kebaktian yang sejati adalah kebaktian yang, dengan motivasi setulus-tulusnya dari orang-orang yang terlibat untuk menyelenggarakannya, bertujuan untuk membuat orang-orang yang hadir menyadari kemuliaan Allah di dalam kebaktian tersebut.
Kegagalan gerakan-gerakan Karismatik dalam menyelenggarakan kebaktian-kebaktian kebangunan rohani bukanlah kegagalan dalam mengumpulkan orang, tetapi kegagalan untuk memberikan wadah ibadah yang digunakan untuk menghormati dan menyembah Allah yang sejati. Mengapa? Karena hal-hal yang dipamerkan di dalam kebaktian tersebut bukan mau menyatakan kemuliaan Allah. Lalu apa? Pameran kesembuhan, pameran mujizat, pameran orang kerasukan yang dibebaskan, bukankah semuanya ini menyatakan kemuliaan Allah? Tidak. Mengapa tidak? Karena di dalam Kitab Suci, Paulus menyatakan bahwa kemuliaan Allah hanya bisa dipahami dan dikagumi melalui Kristus yang telah dikirim oleh Allah untuk mati disalib. Paulus menekankan tiga hal. Salib, kematian, dan kebangkitan yang menyusul. Salib Kristus, kematian Kristus, dan kebangkitan-Nya yang terjadi setelah itu merupakan inti dari ajaran yang disampaikan oleh Paulus. Mengapa ini penting? Bukan saja karena salib, kematian, dan kebangkitan Kristus adalah jalan bagi keselamatan kita, tetapi karena salib, kematian, dan kebangkitan Kristus adalah lambang ketaatan dan kemuliaan yang diperoleh setelah ketaatan tersebut. Lambang ketaatan yang menjadi berkat karena menyatakan kemuliaan Allah secara penuh. Dengan demikian salib dan kematian Kristus menjadi lambang bagaimana kemuliaan Allah dinyatakan melalui ketaatan mutlak, dan kebangkitan Kristus menjadi lambang bagaimana janji Allah pasti diterima oleh setiap orang yang taat kepada Dia. Karena Dia taat maka Allah dipermuliakan. Karena kita taat maka Allah dipermuliakan. Itulah sebabnya salib dan kematian Kristus tidak boleh hanya dipandang dari sisi soteriologi saja. Salib dan kematian secara paradoks menyatakan kemuliaan Allah dan kerelaan untuk taat secara sempurna demi kemuliaan itu tercapai. Calvin mengatakan,
“Kita bukan lagi milik kita sendiri: maka janganlah biarkan pikiran dan kehendak kita menyimpangkan rencana dan tindakan kita. Kita bukan lagi milik kita sendiri: maka janganlah biarkan kita menempatkan tujuan kedagingan kita sebagai sesuatu yang akan kita cari. Kita bukan lagi milik kita sendiri: sejauh yang kita bisa, mari kita melupakan diri kita dan semua yang adalah milik kita.”
Kristus telah menjadi teladan bagaimana harusnya menjalankan hidup di dunia ini. Dia yang adalah Allah sejati, rela mengosongkan diri, dan mengambil rupa seorang hamba. Sedangkan kita yang adalah hamba malah berusaha meninggikan diri dan mau menjadi seperti Allah. Tetapi contoh yang dinyatakan oleh Kristus sebenarnya adalah contoh mengenai jalan satu-satunya bagi perbaikan hidup di dunia ini. Sedangkan keinginan untuk menjadi Allah adalah motivasi perusak yang menjerumuskan seluruh manusia ke dalam hidup yang penuh dengan kesia-siaan. Tetapi lebih dari itu, salib dan kematian Kristus juga adalah pernyataan kemuliaan yang begitu besar. Begitu sempurna sehingga pertunjukan mujizat besar seperti laut yang terbelah, roti yang turun dari surga, dan juga sepuluh tulah yang menghancurkan bangsa besar yang melawan Tuhan tidak lagi perlu menyertai pelayanan Kristus. Seluruh pertunjukan itu diubah menjadi lambang dari kedatangan-Nya sehingga dengan demikian, pribadi Kristus yang mulia sudah cukup dan tidak lagi perlu dibarengi oleh pertunjukan besar tersebut. Tetapi bukankah Kristus juga melakukan mujizat? Bahkan lebih daripada siapa pun di dalam Kitab Suci. Benar. Tetapi mujizat tersebut bukan tandingan dari apa yang dilakukan Musa jika diukur dari dampak di dunia ini. Orang Yahudi mengatakan bahwa mereka diberikan roti dari surga oleh Musa. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dialah roti yang turun dari surga. Roti yang pertama terlihat besar karena mampu memelihara sebuah bangsa hingga puluhan tahun. Tetapi Roti Hidup, walaupun terlihat begitu kecil dibandingkan dengan roti di padang gurun tersebut, adalah Roti yang akan memberi hidup kekal. Pernyataan kemuliaan Allah dinyatakan oleh Kristus dan juga dicontohkan oleh Kristus. Dengan demikian ketika kita melihat Kristus kita mengagumi Allah dan meneladani Dia dalam usaha untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam hidup kita. Dengan demikian, setelah mengerti pernyataan Kitab Suci yang menyatakan Kristus, kita menjadi orang-orang yang mengambil langkah pertama untuk meninggalkan diri sendiri supaya mampu mengarahkan seluruh kekuatan kita untuk melayani Tuhan. Calvin mengatakan bahwa orang yang sungguh-sungguh beriman tidak akan “…mencari hal-hal yang merupakan milik kita sendiri, tetapi hal-hal yang berasal dari kehendak Tuhan, dan akan melayani untuk menyatakan kemuliaanNya.” Inilah orang-orang yang akan terhindar dari semua pikiran yang sia-sia. Inilah cara Allah dipermuliakan. Allah tidak dipermuliakan dengan seruan decak kagum seperti yang keluar dari mulut orang yang nonton sirkus. Allah bukan pemain sirkus! Allah dipermuliakan dengan seruan bertobat dari seseorang yang tadinya hidup bagi diri sendiri tetapi sekarang ingin hidup bagi kemuliaan Allah. Jadi kalau ada orang yang berseru “Haleluya!!” karena melihat ada orang lumpuh tiba-tiba loncat-loncat, maka ini adalah seruan mulia yang diturunkan derajatnya hingga sama dengan seruan “bravo!!” dari orang-orang yang melihat seorang pelempar pisau menghujamkan pisaunya mengenai kartu yang diletakkan di atas kepala seorang gadis. Tetapi kalau yang diserukan adalah seruan pertobatan yang sejati, maka inilah seruan yang menjadi awal dari serangkaian hidup yang diperjuangkan untuk memuliakan Allah. Jadi kebaktian kebangunan rohani harus mempersiapkan jemaat untuk menghormati Allah, memuliakan Dia, dan tidak ingin lagi hidup bagi diri sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat menyelenggarakan kebaktian sedemikian secara sempurna. Tetapi bila tujuan kita demikian, didorong oleh motivasi yang suci, dan disokong oleh kerelaan berjuang dan berkorban bagi kebaktian sedemikian, maka inilah kebaktian yang benar.
Apakah gereja memerlukan kebangunan? Selama kebaktian di gereja-gereja difokuskan untuk menampung gairah kedagingan manusia berdosa, maka gereja masih perlu kebangunan. Bayangkan apa jadinya jika gereja mempunyai ruang kebaktian yang dihiasi lampu seperti diskotek? Bukankah ini akan menarik banyak orang-orang muda keluar dari diskotek? Sulit. Mengapa sulit? Sebab gereja harus juga menambah rokok, alkohol, narkoba, dan juga perempuan-perempuan sewaan supaya bisa menandingi diskotek-diskotek paling populer. Apalagi jika sekali waktu mengadakan tarian telanjang. Mungkin lebih banyak lagi orang-orang dunia hitam akan datang. Jika kebaktian disulap untuk memuaskan sifat kedagingan manusia, bagaimana mungkin kebaktian itu mengharapkan adanya perubahan hilangnya sifat kedagingan tersebut? Tetapi mungkin mereka akan bertanya, “Jika kebaktian itu tidak disukai orang dunia, bagaimana mungkin orang dunia akan datang?” Saya akan menjawab bahwa menyenangkan Tuhan akan lebih mempunyai harapan terjadinya kebangunan ketimbang menyenangkan massa. Jadi mengapakah gereja perlu kebangunan? Karena gereja perlu kembali kepada kebaktian-kebaktian yang diadakan dengan motivasi mau mengubahkan orang. Mau membuat mereka mengagumi kemuliaan Tuhan dan menundukan diri di dalam kerendahan di hadapan Tuhan.
Tetapi ada lagi alasan mengapa gereja memerlukan kebangunan. Jika banyak gereja yang menyelenggarakan kebaktian dengan musik mirip pesta orgy sudah pasti perlu bertobat, maka ada juga gereja yang sangat lesu di dalam ibadah yang juga perlu kembali bertobat. Kebaktian yang dihadiri oleh orang-orang yang perjuangan beratnya adalah menahan kantuk. Kebaktian yang dihadiri oleh orang-orang yang menyanyi seadanya, berdoa seadanya, persembahan seadanya, sediakan waktu seadanya. Ini juga adalah gereja mati yang perlu kebangunan sejati! Gereja yang tidak ada gairah dalam menyembah Tuhan adalah gereja dari orang-orang yang tidak tergerak untuk kebaktian. Mengapa datang? Karena kalau tidak datang dianggap tidak suci. Apalagi sudah jadi majelis. Masak majelis tidak ke gereja? Jadi orang-orang beribadah karena ini adalah kegiatan rutin hari Minggu. Sama seperti upacara bendera adalah kegiatan rutin hari Senin di sekolah. Gereja yang menyembah Tuhan dengan hati yang hanya sedikit berada di atas level tidak peduli adalah gereja mati. Tetapi jangan lupa untuk mengoreksi diri sendiri. Jika ada gereja dengan jumlah kehadiran baru mencapai jumlah penuh satu menit sebelum khotbah, apakah ini gereja yang sudah mengalami kebangunan? Jika 15 menit setelah kebaktian mulai kursi-kursi kosong masih begitu banyak, tetapi satu menit sebelum Pdt. Dr. Stephen Tong naik mimbar, tiba-tiba, seperti disulap, kursi-kursi menjadi penuh terisi, apakah ini gereja yang sudah dibangunkan? Orang-orang yang datang dengan motivasi untuk mendengar khotbah tetapi tidak dengan motivasi mau menyembah Tuhan adalah orang-orang yang tertidur, tetapi sedang mimpi bahwa dia adalah orang yang sedang membangunkan orang lain. Di manakah gairah untuk memuji Tuhan? Di manakah gairah untuk berdoa? Di manakah hati yang menghormati Tuhan dengan mengikuti seluruh rangkaian ibadah dengan lengkap? Di manakah hati yang rindu untuk datang menghadap Tuhan dengan seluruh jiwa? Kalau ini tidak ada dalam sebuah gereja, maka gereja itu perlu kebangunan. Karena itu, di dalam KKR di Stadion Utama Gelora Bung Karno, jangan lupa untuk menjangkau satu gereja besar bernama GRII. Gereja yang, ironisnya, sebagian jemaatnya sangat bergairah untuk datang kepada Tuhan dan rindu akan terjadinya kebangunan, tetapi sebagian lain hanyalah golongan ningrat ngantuk yang menjadi penggemar Pdt. Stephen Tong, tetapi tidak menggemari Tuhan. Mari berdoa dengan rendah hati supaya Tuhan membangunkan kita semua. Bukan hanya orang per orang. Bukan hanya satu gereja. Tetapi seluruh gereja boleh sungguh-sungguh dibangunkan. Sungguh-sungguh menyadari dosa, sungguh-sungguh hidup suci karena menantikan Kristus, dan sungguh-sungguh mau datang beribadah di dalam pertemuan-pertemuan kebaktian yang berfokus pada kemuliaan Tuhan. Mari berdoa untuk kebaktian-kebaktian yang diselenggarakan dengan motivasi yang murni, yang kerinduan utama dan satu-satunya, adalah supaya Tuhan berkenan pakai untuk membangunkan gereja-Nya, dan melalui gereja-Nya kota-Nya, dan melalui kota-Nya bangsa-Nya ini. Kiranya Tuhan berkenan mendengar doa-doa kita.
Ev. Jimmy Pardede
Gembala GRII Malang