Natal merupakan masa yang paling tepat bagi kita semua untuk merenungkan kembali momen kasih Allah yang ajaib, di mana Kristus rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa sama seperti kita, berdaging dan berdarah tetapi tanpa dosa (Flp. 2:7). Sayangnya sebagai orang Kristen, kita cenderung mengabaikan kesempatan ini dan mencukupkan diri dengan makna Natal yang dangkal. Kita merasa tema ini sudah sangat kita mengerti, tetapi ironisnya pengertian itu tidak berdampak sama sekali terhadap hidup kita. Artikel kali ini akan menyoroti bagaimana makna inkarnasi di mata para Reformator, perbedaannya, serta implikasinya di dalam kehidupan
bergereja kita.
Theology of Incarnation
Di dalam sejarah gereja, theologi inkarnasi berkembang pesat dan memunculkan corak yang beragam. Ragam ini pada dasarnya timbul karena adanya penekanan pada aspek-aspek tertentu di dalam Kristologi. Pada masa Bapa-bapa Gereja, theologi inkarnasi cenderung direnungkan sebagai bagian dari aspek ontologis (theory of being). Perenungan ontologis ini memunculkan kekeringan dan mendorong para Reformator untuk menggumulkan theologi inkarnasi yang lebih memiliki sifat relasional.
Perbandingan yang akan kita lakukan adalah antara kelompok Reformed dan Lutheran. Kaum Reformed memandang theologi inkarnasi dengan menekankan Pribadi Anak Allah. Mereka memandang inkarnasi sebagai kehadiran Sang Anak sebagai Allah yang sejati dan manusia yang sejati, yang memberikan keutuhan Pribadi-Nya bagi manusia. Sedangkan kaum Lutheran mencoba melihat inkarnasi sebagai Sang Anak yang menghisap natur kemanusiaan ke dalam keilahian-Nya.
Perbedaan ini menghasilkan rangkaian pertanyaan dalam debat theologis pada masa Reformasi, salah satunya mengenai kemampuan ‘yang terbatas’ menampung ‘yang tak terbatas’ (finitum capax/non-capax infiniti). Pergumulan yang sering disebut extra calvinisticum ini berujung pada dua pandangan yang berbeda terhadap administrasi meja Tuhan.
Perbedaan tersebut pada dasarnya didasarkan atas cara pandang para Reformator akan realitas ruang sebagai wadah. Bagi Lutheran ‘dunia ini merupakan wadah dari Sang Isi’, sedangkan kaum Reformed memilih pandangan relasional dalam memahami hubungan Isi dan wadah. Menurut kaum Lutheran, inkarnasi Kristus menunjukkan kerelaan Kristus untuk ‘dibatasi’ dan mengambil wadah terbatas, sehingga bisa masuk ke dalam dunia ini; sedangkan Calvin dan pengikutnya melihat bahwa keilahian Kristus tetap terpancar penuh meskipun Ia mengambil kemanusiaan yang terbatas. Palungan tidak dapat menahan kemuliaan Bayi Kristus yang lahir, yang mana kemuliaan Sang Bayi menembus dan memenuhi
semesta alam.
Menurut Theologi Lutheran, Sang Anak menghisap kemanusiaan (genus maiestaticum) sehingga kemanusiaan-Nya pun diwarnai natur ilahi. Berbeda dengan kaum Lutheran, Theologi Reformed, mengafirmasi Chalcedon, mengakui bahwa Sang Anak “memiliki keberadaan dalam dua hakikat, tanpa percampuran dan tanpa perubahan, tanpa perpecahan ataupun tanpa pemisahan”. Dengan kata lain, terdapat penyatuan langsung antara hakikat kemanusiaan dan keilahian Kristus tanpa menghisap satu dengan lainnya.
Keunikan Theologi Reformed juga terdapat dalam pandangan mengenai komunikasi fungsi yang terjadi antarkemanusiaan dan keilahian Sang Anak. Keunikan ini digambarkan dalam tiga perspektif: bagaimana anugerah bekerja (communicatio gratiarum), bagaimana properti-properti yang ada berkomunikasi satu dengan yang lain (communicatio idiomatum), dan bagaimana kedua hakikat ini beroperasi bersama-sama (communicatio operationum).
Di dalam communicatio idiomatum, Theologi Reformed menekankan adanya tiga cara kemanusiaan dan keilahian Kristus berfungsi. Yang pertama, inkarnasi mengharuskan adanya komunikasi anugerah (communicatio gratiarum) di mana hakikat ilahi Sang Anak bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan diri sebagai manusia yang memuncak pada peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis. Kedua, baik hakikat ilahi maupun insani, bekerja sama sehingga apa yang terjadi dengan kedua hakikat tersebut dapat diketahui oleh Sang Anak. Ketiga, communicatio operationum, di mana hakikat kemanusiaan Kristus bekerja sama dengan hakikat ilahi-Nya untuk menggenapi jabatan Kristus sebagai Imam Perantara antara Sang Khalik dan ciptaan-Nya yang telah jatuh.
Incarnational Hospitality
Dari penjelasan singkat di atas dapat dikatakan bahwa sebagai kaum Reformed, inkarnasi Kristus bukan hanya pernyataan Anak Allah turun menjadi manusia, tetapi juga Allah di dalam Kristus, menjalankan misi inkarnasional-Nya dengan Personalising Person yang mengambil kemanusiaan (personalized person) kita ke dalam Pribadi ilahi-Nya. Perlu digarisbawahi, keunikan Theologi Reformed ini mengindikasikan adanya komunikasi kepenuhan diri Allah Tritunggal di dalam Kristus Yesus, dan bukan sekadar memberi informasi akan diri-Nya kepada manusia. Ia mengomunikasikan diri-Nya di dalam Pribadi dan pekerjaan-Nya sebagai Tritunggal yang penuh kasih dan rahmat. Sederhananya, Ia menyatakan diri-Nya dengan hadir di antara manusia sebagai Pribadi yang bisa dilihat, dirasakan, dan disaksikan. Ia menjadi Pribadi yang bisa berinteraksi dengan manusia, sehingga kita dapat mengenal-Nya secara personal sebagai perwujudan kasih Allah kepada
manusia berdosa.
Berdasarkan konsep inilah Theologi, Kristologi, Soteriologi, dan Eklesiologi Reformed didirikan. Di dalam kasih yang konsisten inilah, siapa pun yang menolak Kristus pada akhirnya harus dihakimi. Injil menyatakan kepada kita bahwa hanya di dalam Kristuslah segala sesuatu dijadikan dan demi pemilihan Bapa, Sang Anak harus membawa diri-Nya secara keseluruhan dan mengambil kemanusiaan. Spirit inkarnasi inilah yang ditawarkan oleh Theologi Reformed. Sebuah semangat untuk menyatakan kebesaran dan seluruh sifat Allah di dalam dunia ini sehingga bisa dikenal oleh manusia. Semangat inkarnasi ini seharusnya ada di dalam setiap
pelayanan kita.
Di dalam pelayanan kita baik penginjilan, pembelajaran, maupun diakonia, terkadang kita menahan diri kita ketika merepresentasikan diri kepada orang lain (the stranger). Ada rasa takut menjamu orang asing itu menjadi tamu (guest) kita. Kita bahkan terlalu khawatir akan banyak hal ketika tamu hendak masuk menjadi sahabat kita (friend). Proses perubahan stranger-guest-friend ini menjadi satu pola tranformasi yang Kristus berikan melalui inkarnasi-Nya. Peristiwa inkarnasi Kristus membawa kita melihat keramahan ilahi (divine hospitality) ketika Kristus sebagai tuan rumah (host) mau mengambil kemanusiaan yang asing (stranger) bagi diri-Nya dan mengubahnya menjadi sahabat di dalam pribadi-Nya. Di tengah kisah besar kuasa Romawi yang adidaya, inkarnasi menyuguhkan kisah kecil penuh keramahan. Di sini imajinasi spasial akan inkarnasi Kristus kita gunakan. Keramahan ilahi ini dapat kita terjemahkan menjadi “the ministry of making space”.
Awal keramahan ilahi ini haruslah didasarkan pada persatuan dengan Kristus (unio mystica) di dalam kemanusiaan-Nya. Melalui inilah segala sesuatu yang telah Ia lakukan menjadi milik kita, dan kita diciptakan untuk membagikan apa yang Ia berikan kepada kita, sebuah lawatan ilahi kepada stranger. Melalui inkarnasi dan penebusan inilah pembenaran harus dimengerti, tetapi bukan hanya dari sisi pencangkokan kebenaran (Kristus melawat kita) tetapi juga dari sisi partisipasi di dalam kebenaran Kristus yang telah Kristus berikan melalui persatuan dengan-Nya (keramahan ilahi melalui kita). Inilah yang Calvin maknai dengan sebutan blessed exchange.
Refleksi
Semangat inkarnasi Kristus menjadi kebenaran yang seharusnya kita renungkan di dalam semangat kita melayani. Sering kali kita menganggap pelayanan tidak ada bedanya dengan rutinitas pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Kita jalankan tidak dengan sepenuh hati dan dengan semangat yang “asal selesai”. Namun, inkarnasi Kristus mengajarkan kita bahwa pelayanan harus dilakukan dengan sepenuh hati bahkan hingga mengorbankan segala kenyamanan yang sudah ada selama ini. Jikalau kita melihat para Reformator seperti John Wycliffe dan Jan Hus, kita akan melihat bagaimana mereka berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Baik Luther, Calvin, Kuyper, Van Til, dan Stephen Tong adalah orang-orang yang mengerti semangat inkarnasi Kristus. Mereka menjalankan panggilan pelayanannya dengan sepenuh hati karena melihat semangat inkarnasi Kristus. Maka pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita merenungkan dan menghidupi semangat inkarnasi selama ini? Jikalau kita sudah mengerti semangat ini, mengapa kita masih sulit memiliki pelayanan yang sepenuh hati? Biarlah perenungan singkat di dalam artikel ini dapat menyadarkan kita untuk memiliki semangat inkarnasi dalam pelayanan kita. Selamat Natal!
Robin Gui
Pemuda FIRES