sheep standing between trees

This One or no one

Mr. A: “Ahh… Kamu jangan fanatik gitu, koq selalu bilang cuma Kristen doank yang bener. Yang bener itu yah… Tuhan betul satu, tapi semua jalan (atau semua agama) ujung-ujungnya ke Allah koq. Semua agama sama koq.”

Mr. B: “Ah, saya tidak setuju kenapa Kristus harus mati menggantikan orang berdosa. Yah kalo berdosa, dia donk yang harus tanggung dosanya, bukan Kristus.”

Itu mungkin counter-argument yang pernah kita terima ketika kita mencoba mengabarkan Injil (atau tidak pernah karena kita tidak pernah menginjili?). Kutipan argumen di atas hanyalah dua dari sekian banyak lainnya yang mungkin kita hadapi ketika kita menginjili. Kita menerima serangan-serangan balik karena dalam kita mengabarkan Injil yang murni pasti tidak terlepas dari berita bahwa hanya melalui Yesus kita mendapatkan keselamatan.

Sebenarnya apakah konsep mediator itu bisa diterima secara umum? Kata “mediator” mempunyai asal kata ‘medius’ atau ‘middle’ yang berarti ‘berada di tengah’. Kalau mediator dimengerti sebagai pengantara atau penengah antara dua belah pihak yang berbeda, maka di dalam bidang-bidang kehidupan konsep mediator adalah seumum kita menemukan pasir di pantai. Contohnya, di dalam dunia bisnis seorang mediator kita mengerti sebagai pihak di tengah yang membantu mengantarai, memperkenalkan, atau menegosiasi kedua belah pihak, misalnya saja pekerjaan sebagai agent/broker rumah, head-hunter, dan lain-lain. Dalam bidang legal, kata mediator dimengerti sebagai penengah dari dua belah pihak yang saling bertentangan atau bersengketa, misalnya pengacara atau jaksa. Dalam bidang sosial kita bisa melihat ada orang-orang yang bekerja sebagai mediator yang menangani “conflict resolution” dalam keluarga, ataupun dalam pernikahan.

Saya yakin konsep mediator ini bukanlah barang asing dan bahkan sudah menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Seorang ibu pasti mempunyai banyak pengalaman mendamaikan kedua anaknya yang berselisih. Tetapi mediator di dalam agama sangatlah berbeda, karena konsep mediator bukanlah suatu konsep horisontal antara manusia dan manusia, melainkan suatu hubungan vertikal antara Allah dan manusia. Semua konsep mediator dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa diaplikasikan ke dalam agama karena semua konsep mediator sehari-hari berusaha mencari penyelesaian dengan cara kompromi antara kedua belah pihak. Penyelesaian rekonsiliasi antara Allah dan manusia tidak bisa dengan cara kompromi, karena Allah yang suci tidak berkompromi sedikit pun terhadap dosa dan manusia tidak berada dalam posisi yang mempunyai bargaining power karena manusia berada dalam posisi total depravity of sin dan berstatus covenantbreaker. Manusia dicipta dan ditaruh di Eden sebagai covenant-keeper (dengan menjalankan perintah Tuhan). Dengan melakukan itu, manusia memelihara covenant yang ada, yaitu God sebagai God dari manusia, dan manusia sebagai manusia before God. Di dalam dosa, manusia melanggar covenant ini dan melalui ketidaktaatannya, manusia menjadi covenant-breaker. Manusia yang seharusnya dicipta untuk Allah dan taat sepenuhnya kepada Allah, lalu bergeser melawan Allah dan melawan perintah-Nya sehingga menjadi covenant-breaker. Maka sebagai manusia berdosa yang tidak mempunyai bargaining power, manusia hanya dapat berharap kepada Sang Mediator.

Kekristenan sangat sarat dengan konsep mediator, bukan hanya dalam Perjanjian Baru, tetapi juga sudah dimulai dalam Perjanjian Lama. Dalam Kejadian 3, ketika manusia jatuh ke dalam dosa (broke the covenant), ada binatang yang dikorbankan untuk membuat pakaian bagi Adam dan Hawa. Konsep substitusi ini menunjuk kepada Kristus kelak sebagai Anak Domba Allah yang memikul dosa manusia. Lalu dalam Kejadian 28, berkisah tentang Yakub yang bermimpi melihat “ada didirikan sebuah tangga yang ujungnya sampai di langit, dan tampaklah malaikat-malaikat Allah turun naik tangga itu” dan ketika ia bangun berkatalah ia, “Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya… ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga.” Pdt. Stephen Tong ketika menjelaskan bagian ini, dia berkata, “Yakub sadar adanya kemungkinan manusia berhubungan dengan Tuhan Allah. Ada yang menjadi pengantara, penyambung antara sorga dan bumi. Penyambung itu seperti suatu tangga di mana manusia boleh naik ke sorga. Yang turun naik di tangga itu adalah malaikat theophany dari Yesus Kristus. Yakub adalah orang pertama yang mengerti konsep pengantara.” Kemudian ada juga Ayub yang dalam penderitaannya pernah meneriakkan, “Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua!” Ayub merindukan adanya suatu mediator di antara dia dan Allah.

Lalu kemudian konsep mediator yang bayang-bayang tersebut mulai lebih jelas lagi diwakili oleh para imam (yang menjadi pengantara manusia kepada Allah) dan para nabi (yang menjadi pengantara Allah kepada manusia). Konsep mediator dalam Perjanjian Lama secara garis besar dilihat dalam jabatan imam dan nabi. Nabi adalah seseorang yang berbicara atas nama Allah kepada manusia melalui wahyu, perintah, dan peringatan. Sedangkan imam adalah seseorang yang berbicara kepada Tuhan mewakili manusia dengan doa dan korban. Kedua jabatan ini saling melengkapi sebagai pengantara Allah dan manusia.[1] Tetapi kedua jabatan tersebut dalam Perjanjian Lama tidaklah sempurna dan kelak akan digenapi di dalam sang Mediator Tunggal antara Allah dan manusia, yaitu Yesus Kristus.

Ketika kita terbingung-bingung dan terbengong-bengong membaca kitab IMAMat (penekanan penulis) kenapa koq ada begitu banyak macam korban (korban sajian, korban bakaran, korban penebus salah, dan lain-lain), dan kenapa ritual pemberian korban kepada Allah begitu rumit dan begitu mengerikan (salah sedikit pakai api, yang tidak mengerti seperti kedua anak Harun – Nadab dan Abihu – bisa langsung mati hangus seketika), semua yang kita pandang aneh tersebut semata-mata karena dalam dunia modern ini kita sudah kehilangan kesan bahwa Allah yang suci itu memang tidak bisa mentolerir dosa sekecil apapun. Karena itu bangsa Israel “takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh. Mereka berkata kepada Musa, engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami nanti kami mati” (Keluaran 20:18-19). Mereka memerlukan pengantara.

Bahkan semua Imam Besar dalam Perjanjian Lama yang mewakili jemaat bukanlah “yang tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi daripada tingkat-tingkat sorga [tetapi] yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya” (Ibrani 7:26-27). Jabatan imam dalam Perjanjian Lama yang tidak sempurna itu sudah digenapi secara sempurna dalam Kristus “yang telah datang sebagai Imam Besar … dan Ia telah masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri” (Ibrani 9:11-12).

Mungkin lebih dari setengah kitab Perjanjian Lama mencatat kisah duka para nabi yang adalah utusan Allah, yang bukannya mendapatkan hak istimewa, malah “diejek dan didera, bahkan dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan” (Ibrani 11:36-37).

Kristus adalah Sang Nabi Besar yang dinubuatkan oleh Musa, yang kemudian diperjelas pengutusan-Nya oleh Allah Bapa secara langsung dalam momen pembaptisan di sungai Yordan, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Matius 17:5). Lalu Yesus juga mengkonfirmasi ulang dalam Injil Yohanes 14:9, “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.”

Lalu apakah konsep ini juga merupakan sesuatu yang umum dalam agama-agama lain? Konsep agama-agama Timur, misalnya Confucianism, Buddhism, maupun Hinduism, tidak memiliki atau hanya memiliki konsep mediator yang sangat kabur. Buddha tidak pernah mengklaim bahwa dia adalah utusan dari Allah maupun melalui dia manusia bisa kembali kepada Allah. Confusius pada umurnya yang lanjut merasa ia mendapat mandat surgawi untuk mengajarkan ajarannya tetapi ia pernah berkata, “Kalau kita bersalah kepada surga, tidak ada jalan keluar.” Maka dalam Confucianism sebenarnya tidak ada konsep mediator antara manusia dan Allah (yang dimengertinya sebagai “Tian” atau langit)

Sebagai konklusi, izinkan saya mengutip Pdt. Stephen Tong dalam khotbahnya di GRII Singapura tanggal 13 Januari 2008 yang lalu. Beliau berkata, “Dalam agama lain tidak ada konsep yang menjembatani Tuhan yang suci dan manusia yang berdosa. Hanya Kristus yang menjadi Jembatan sorga dan dunia.”

Namun tidak berarti agama-agama lain sama sekali asing terhadap konsep mediator. Sebagai contoh, tradisi Cina yang kuno sekali menganggap kaisar Cina sebagai anak dewa atau “son of heaven”. Tetapi sebenarnya kehidupan kaisar-kaisar Cina yang sangat berlimpah ‘3-ta’ (harta, takhta, dan wanita) lebih mirip sorga dalam bumi dan bukan pengantara sorga dan bumi. Islam pun juga mengakui adanya nabi-nabi yang berperan sebagai utusan Allah untuk membawa pesan Allah kepada manusia.

Agama-agama lain mengerti konsep mediator ini secara tidak penuh dan hanya secara bayang-bayang saja, karena agama adalah respon manusia terhadap wahyu umum (general revelation) yang diberikan Tuhan secara universal. Namun respon yang keluar dari wahyu tersebut seringkali tidak sesuai dengan maksud Tuhan karena bagaimanapun respon manusia berdosa terhadap wahyu selalu terdistorsi dan tercemar oleh dosa. Konsep mediator mungkin memang tidak terlalu sulit dicerna oleh orang dunia maupun orang beragama lainnya. Yang paling sulit mereka terima adalah fakta bahwa Kristus adalah satu-satunya mediator. Deklarasi Kristus dalam Injil Yohanes 14:6, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku,” merupakan kristalisasi pengakuan Kristus secara langsung dan gamblang. Pengakuan tersebut sekaligus juga merupakan polarisasi bagi umat manusia yang harus memilih antara setuju atau tidak.

Manusia sepanjang sejarah mempunyai kesulitan menerima konsep hanya satu mediator, apalagi dalam zaman postmodern kini yang merelatifkan segala sesuatu. “Only one mediator” absolutely tidak mempunyai tempat dalam postmodernism; mereka lebih suka menerima bahwa semua allah sama, semua agama sama, dan kalaupun mereka setuju satu allah, harus banyak jalan/cara menuju allah yang satu itu. Mana boleh sombong begitu mengklaim hanya ada satu mediator, itu mah konsep modern. Yohanes 14:6 membagi semua manusia kepada dua macam saja: yang menerima dan yang menolak. Tidak ada jalan tengah. No middle ground.

Ok, anggaplah sekarang semua manusia setuju hanya ada satu mediator, lantas kenapa kita berani klaim Yesus-lah Sang Mediator tersebut, bukan pendiri agama yang lain atau orang suci lainnya? Kenapa harus Yesus? Kenapa bukan Buddha, Sai Baba, Mahatma Gandhi, Superman, ataupun Spiderman? Kalau syarat utama mediator secara umum adalah dia dapat dipercaya dan mempunyai kualifikasi mewakili kedua belah pihak, lalu siapakah yang mempunyai kualifikasi cukup untuk mewakili Allah yang suci dan manusia yang berdosa? Setiap pendiri agama, seberapapun agung dan tinggi moralnya, tetaplah manusia yang lahir dalam keadaan berdosa. Kristus merekonsiliasi manusia dan Allah dengan penebusan-Nya yang sempurna di atas kayu salib. Hanya Kristuslah yang memiliki syarat menjadi mediator satu-satunya karena Ia 100% Allah dan 100% manusia.[2] Kita diselamatkan semata-mata karena anugerah Allah, “yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Timotius 2:5).

Kita mungkin mengangguk-angguk setuju membaca ulasan di atas, seperti setiap Minggu waktu bapak Pendeta berkhotbah di mimbar kita mengangguk-angguk (entah itu mengangguk setuju atau mengangguk terkantuk-kantuk). Tapi sebenarnya mungkin yang kita angguki hanya nyangkut di otak tetapi tidak ditransfer ke tangan dan kaki kita, alias tidak dijalankan. Bagaimana supaya ulasan ini tidak nyangkut di otak, saya mencoba menarik aplikasinya ke dalam usaha penginjilan. Apa hubungannya kita mengerti Kristus sebagai satu-satunya Mediator dalam kita memberitakan Injil? Setidaknya ada tiga poin yang ingin saya bagikan:

1. Kristus adalah satu-satunya Mediator

Kalau kita benar-benar mengamini bahwa Kristus adalah satu-satunya Mediator kepada Allah maka itu seharusnya mendorong kita untuk memberitakan Injil. Ini merupakan suatu hal yang natural. Misalnya saja kita tahu teman kita sakit kanker dan ada satu dokter yang bisa menyembuhkan, dan hanya dokter ini saja yang mampu, tetapi kita tidak memberitahukan padahal kita ada kesempatan itu. Maka, entah kita sengaja ingin teman kita mati atau kita ndablek setengah mati, itu hanya menunjukkan bahwa kita secara sadar dan sengaja ingin teman-teman kita tetap tidak sadar (akan kebutuhan mereka terdalam yaitu Injil). Ini suatu kalimat yang keras namun kiranya ini kalimat keras yang melembutkan hati kita semua untuk terdorong memberitakan Injil.

2. Dia adalah Imam Besar dan Nabi yang sempurna

Kita adalah orang Kristen, yang notabene adalah Kristus-Kristus kecil, maka kita menyandang peranan mediator sebagai imam dan nabi juga. Ketika kaki kita melangkah dan mulut kita terbuka memberitakan Injil, kita berperan imam dan nabi bagi mereka. Sama seperti nabi-nabi terdahulu, dalam memproklamasikan Injil kita pun akan tetap menghadapi tantangan yang sangat berat, karena kita memberikan tantangan yang mau tidak mau menyudutkan seseorang hanya kepada dua pilihan yaitu untuk takluk kepada firman Tuhan atau berontak dan tetap pada pendiriannya sendiri. Berita firman Tuhan tidak boleh dikompromikan, dilacurkan, atau direlatifkan karena Injil bernilai absolut.

Seperti seseorang pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa membawa pesan Allah dengan berkuasa kepada seseorang sebelum kita membawa pesan kepada Allah tentang orang tersebut dalam doa kita, sebelum kita pergi memberitakan Injil kepada teman atau sanak saudara kita (pergi sebagai nabi), adakah kita sudah menjadi imam bagi orang yang akan kita injili dengan membawa mereka dalam doa-doa kita? Keduanya berkait satu dengan yang lain bagaikan dua sisi koin. Pernah mendengar, “Ah, saya mah tidak fasih lidah, biar bapak pendeta dan penginjil saja yang pergi memberitakan Injil, peranan saya mendoakan saja”? Yang berkata itu seolah-olah ingin menghindari peranan dia sebagai nabi dengan berdalih mau berperan sebagai imam SAJA. Kita sebagai mediator mempunyai peran ganda sebagai ‘naim’ (nabi dan imam).

3. Ada harga yang harus dibayar

Ketika Kristus menjadi Mediator, ketika Ia mengerjakan rekonsiliasi tersebut, Ia lakukan dengan turun inkarnasi dari sorga ke dalam dunia. Kita sebagai wakil Kristus, di dalam merekonsiliasi manusia berdosa lainnya kepada Allah, harus meneladani Kristus yang inkarnasi. Jika Kristus mau enak-enak, Ia bisa menikmati sorga dan tidak usah turun. Lalu ketika kita sekarang masih enak-enak di dalam comfort zone kita dan menolak untuk terjun ke dalam pelayanan, kita mungkin belum memiliki semangat inkarnasi Kristus.

Kristus adalah satu-satunya Mediator. Seruan ini telah menutup seluruh akses kita membangun argumen untuk tidak memberitakan Injil-Nya. Jikalau kita menolak untuk melakukannya, ini merupakan jalan lebar mempertanyakan pengakuan kita akan Kristus sebagai satu-satunya Pengantara kepada Allah Bapa. The question is whether we are a good mediator or a bad mediator for Christ. Which one are you?

Heruarto Salim

Redaksi Pelaksana PILLAR

Endnotes:

[1] Evangelical Dictionary of Theology.

[2] Baca artikel “KRISTUS Paradoks Terbesar” dalam edisi Pillar Januari 2008 hal. 4-6 untuk ulasan yang lebih mendalam tentang Dwinatur Kristus.