Foto sebuah boneka kayu sedang berpose seperti menatap ke depan, dengan tangan kanan berada di depan kening

Mendesain Hidup

Ketika mendengar istilah desain, pasti pikiran kita dibawa kepada suatu profesi seperti perancang busana, penata gaya, arsitek, atau apa saja yang berkaitan dengan menciptakan/merancang sesuatu sehingga sesuatu itu menjadi indah, proposional, dan utuh dikaitkan dengan keadaan sekitarnya. Hasil desain tersebut selalu mencerminkan desainer/perancang atau paling tidak pemikiran dan kehendak si perancang. Bila hasil rancangannya itu kemudian diutak-atik oleh orang lain, dalam arti diubah sana-sini dan yang merubah merasa (yang biasanya tidak mengerti jiwa dan kehendak si perancang asli) bahwa dia justru sedang membantu supaya hasil rancangan tersebut menjadi lebih bagus, akan membuat si perancang asli menjadi marah, kecewa, dan sedih. Tampaknya memang akhirnya hasil rancangan itu jadi, tetapi sesungguhnya rancangan itu telah ternoda, rusak, dan tidak lagi mewakilkan atau mengekspresikan jiwa dari si pendesain asli. Rancangan tersebut sebenarnya sudah bukan lagi rancangan dari perancang asli.

Demikian juga dengan Sang Pendesain Agung yang telah menciptakan seluruh dunia ini. Dia telah menciptakan segala sesuatu dengan maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan kehendak-Nya. Pernahkah kita merasakan Dia begitu sedih, kecewa, dan marah karena kita merusak desain-Nya bagi hidup kita? Campur tangan kita dalam “membantu” Allah mendesain hidup kita justru sebenarnya menghancurkan hidup kita karena kita sudah mengubah hidup kita dari definisi yang sesungguhnya. Namun kita justru merasa dan berpikir bahwa campur tangan kita itu membuat hidup kita lebih baik, lebih enak, lebih lega, dan sebagainya. Kita mengambil alih tugas Allah sebagai Pendesain kita lalu mendesain sendiri hidup kita, sekalipun terkesan di sana-sini kita tetap melibatkan Allah dan seolah-olah tetap menjalankan pelayanan yang dipercayakan kepada kita. Masihkah Anda merasa abstrak untuk mengerti kalimat-kalimat di atas?

Mari kita masuk ke dalam kisah detailnya. Pertama, pernahkah kita secara serius menggumulkan panggilan Allah (baca: desain orisinil Allah bagi hidup kita) dalam hidup kita? Panggilan di sini bukan hanya sekedar berbicara dalam konteks pergumulan insidentil seperti urusan mencari pekerjaan, urusan mencari jodoh, urusan sekolah, dan sebagainya, tetapi panggilan seluruh hidup selama kita hidup di dunia. Desain hidup seperti apakah yang Allah rancangkan bagi hidup kita? Desain itulah yang seharusnya menjadi fokus bagi seluruh hidup kita sehingga kita dapat mengatakan bahwa kita sedang menjalankan kehendak Allah.

Salah satu contohnya adalah pengalaman Penulis dalam pelayanan mahasiswa. Sering kali mahasiswa tidak mengerti apa yang merupakan panggilan hidup mereka, padahal mereka sudah memasuki suatu jurusan tertentu yang sudah cukup jelas menunjukkan ke arah mana hidup mereka. Mengapa itu bisa terjadi? Karena selama kita menjadi orang Kristen, sedikit sekali kita diajarkan untuk menggumulkan panggilan hidup kita sesuai dengan apa yang Tuhan mau. Kita terbiasa dibentuk dengan mengikuti apa maunya kita. Salah satu contoh sederhananya adalah soal makan. Dari kecil kita ditanya: “Mau makan apa?” Kita dilatih untuk memikirkan apa yang menjadi keinginan kita, kemudian orang tua mengikuti keinginan kita. Kita tidak dilatih untuk menjalankan apa yang harus kita jalankan. Adanya makanannya itu, ya, makan saja. Bukan lalu merasa tidak berselera maka orang tua perlu beradaptasi dengan selera kita dan harus menggantikan makanan demi selera kita. Atau misalnya kita sering mendengar orang bertanya: “Kalau sudah besar mau jadi apa?” Kita hampir tidak pernah dilatih untuk membawa dan menanyakan kepada Tuhan, “Tuhan maunya saya seperti apa”, bukan “saya maunya seperti apa lalu minta Tuhan memberkati apa yang saya mau tersebut”. Tanpa sadar hal ini terus terbawa dalam seluruh hidup kita termasuk ketika kita menganggap kita sudah melayani Tuhan dengan sepenuh hati. Kita sebenarnya melayani bukan seperti yang Dia mau tetapi seperti apa yang kita mau dan itulah yang kita persembahkan kepada Tuhan. Kita bisa melihat hal ini dalam kisah Saul di Perjanjian Lama (1Sam. 15). Perintah Tuhan kepada Saul adalah agar Saul menumpas segala yang ada pada orang Amalek dan jangan ada belas kasihan kepadanya. “… Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai.” Cerita selanjutnya menyatakan bahwa Saul dan bangsa Israel menyelamatkan Agag (raja orang Amalek) dan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dan tambun, pula anak domba dan segala yang berharga: tidak mau mereka menumpas semuanya itu. Tetapi segala hewan yang tidak berharga dan yang buruk, itulah yang ditumpas mereka. Ketika Samuel mendatangi Saul, berkatalah Saul, “Diberkatilah kiranya engkau oleh TUHAN; aku telah melaksanakan firman TUHAN.” Kemudian Saul memberikan alasan atas apa yang diperbuatnya, “… sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan maksud untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas.” Tetapi jawab Samuel, “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan. Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.”

Apakah yang salah dari Saul? Bukankah dia berbaik hati dengan mengambil kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik untuk dipersembahkan sebagai korban bakaran kepada Tuhan daripada dibunuh dengan sia-sia? Bukankah Saul tidak mengambil untuk dirinya sendiri tapi dia persembahkan kepada Tuhan? Perhatikan baik-baik, Saul tetap menganggap bahwa ia telah melaksanakan firman Tuhan (ayat 13), tetapi bagi Allah, Saul telah menolak firman-Nya sesuai yang dikehendaki-Nya. Saul menjalankan perintah Tuhan sesuai keinginannya sendiri dan hal itu merupakan suatu kejahatan di mata Tuhan. Karena Saul tidak melakukan seluruh perintah Tuhan, maka bagi Tuhan, Saul telah menolak firman-Nya. Dengan demikian, apa yang dikorbankan Saul sebagai persembahan kepada Allah merupakan kejijikan dan kekejian di mata Tuhan. Akibatnya, Allah menolak Saul sebagai raja. Bukankah apa yang dilakukan Saul mirip dengan apa yang kita jalankan sehari-hari dalam kehidupan kita, termasuk pelayanan kita? Kita menganggap kita telah menjalankan perintah-Nya dengan “menaati” firman-Nya walaupun kita mencampurkan keinginan kita di dalam rencana-Nya.

Kedua, kita anggap semua yang kita lakukan pasti benar asal dalam konteks melayani Tuhan. Dengan ikut di dalam pelayanan, sering kali kita menganggap kita sudah mengikuti desainnya Tuhan, tetapi sebenarnya apa yang kita kerjakan bukanlah seperti yang didesain Tuhan, melainkan desain kita sendiri. Sebagai contoh, bagaimanakah kita menyusun jadwal pelayanan kita? Benarkah kita mengikuti desain Tuhan yang menyatakan kebesaran dan keutamaan Tuhan dalam hidup kita? Bukankah kita sering menukar jadwal pelayanan sesuka hati kita? Kita menganggap selama jadwal masih bisa ditukar ya, baik-baik saja. Toh, tidak berarti saya tidak pelayanan, hanya tukar jadwal aja kok…. Apalagi jika pelayanan itu adalah pelayanan yang rutin kita lakukan, apa salahnya menukar jadwal dengan kesempatan langka untuk pergi berlibur atau menonton atau apa saja yang kita anggap sebagai kesempatan emas. Keputusan kita itu sesungguhnya sudah menunjukkan urutan prioritas dan nilai hidup kita. Untuk menjustifikasikan keputusan kita ini, tidak jarang kita memakai berbagai alasan bahkan yang rohani sekalipun. Bagaimanapun, keputusan kita tetap akan menyatakan isi hati kita.

Penulis teringat akan sharing Pdt. Stephen Tong, suatu kali beliau membatalkan nonton suatu konser penting seharga 300 Euro di Eropa demi mengejar pesawat kembali ke Jakarta untuk khotbah mingguan di GRII Pusat. Jika kita berada di posisi beliau, keputusan apakah yang akan kita ambil? Melanjutkan nonton atau terbang balik ke Indonesia? Alasan bisa sangat banyak, dari yang sangat logis sampai ke yang rohani. Kita mungkin akan berpikir bahwa kesempatan nonton mungkin hanya sekali seumur hidup dan tiket sudah dibayar dengan mahal, sedangkan kegiatan pelayanan di Jakarta adalah kegiatan rutin yang dapat digantikan oleh hamba Tuhan lainnya. Semua orang pasti akan memakluminya, apalagi beliau ke konser tersebut bukan sekedar untuk menyenangkan diri, memuaskan telinga dan mata tetapi untuk mempelajari ruangan dan akustik dari ruangan konser tersebut. Bukankah pengetahuan itu sangat diperlukan untuk menyelesaikan ruangan konser yang sedang dibangun di Kemayoran? Berbagai alasan masuk akal dan rohani bisa saja diutarakan untuk membenarkan diri agar tetap bisa ke konser tersebut, tapi beliau tetap memilih untuk kembali ke Jakarta dan melayani dengan rutin berkhotbah di hari Minggu. Pdt. Stephen Tong pernah berkata, “Kesempatan pelayanan itu tidak bisa tergantikan. Hari ini sudah beda dengan hari esok. Kesempatan anugerah yang diberikan Tuhan tidak akan terulang lagi.” Beliau menaruh dirinya untuk didesain oleh Tuhan. Yang utama adalah pekerjaan Tuhan sesuai panggilan Tuhan baginya yakni sebagai seorang hamba Tuhan yang telah menyerahkan seluruh hidupnya bagi pekerjaan Tuhan. Tidak ada kepentingan lebih besar daripada panggilan tersebut. Tidak ada intervensi diri untuk membantu Tuhan mendesain hidup kita. Karena ketika diri yang dicipta, terbatas, dan yang sudah terkorup oleh dosa ini mencoba mendesain diri, yang ada hanyalah kehancuran. Yesaya 55:8-9 mengatakan, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” John Jill mengatakan bahwa pikiran manusia terbatas sedangkan pikiran Tuhan tidak terbatas. Pikiran manusia ada awalnya tetapi pikiran Tuhan tidak ada awalnya. Pikiran manusia adalah jahat bahkan selalu jahat, sedangkan pikiran Allah adalah suci, berasal dari maksud dan janji Allah dan segala anugerah tindakan-Nya berada di dalam penebusan, panggilan, dan persiapan akan umat-Nya untuk kemuliaan. Sedangkan pikiran manusia adalah sia-sia dan tidak ada yang pantas. Manusia berpikir bahwa mereka dapat menyelamatkan diri mereka sendiri dengan cara mereka sendiri tetapi sesungguhnya kecelakaan dan kebinasaan yang akan mereka dapatkan. Sedangkan Allah merancangkan rancangan damai sejahtera bagi umat-Nya. “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer. 29:11)

Bagaimanakah dengan kita? Desain siapakah yang kita hidupi? Jikalau desain Tuhan, sungguhkah kita menjalankannya? Ataukah desain Tuhan yang telah kita modifikasikan karena menganggap Tuhan kurang pandai mengatur hidup kita? Masih banyak pertanyaan dan alasan lain yang bisa kita ajukan sendiri berkaitan dengan sang Perancang (atau si perancang) hidup kita. Apapun alasan yang kita utarakan, benarkah hal itu menyatakan kecintaan kita kepada Tuhan?

Kiranya kekuatan dan cinta kasih dari Allah memberikan kerelaan, keberanian, dan keteguhan kepada kita untuk belajar mencintai dan menghidupi firman-Nya; memprioritaskan dan mengutamakan Tuhan dan pekerjaan-Nya; serta mengejar dan menggenapkan desain (rencana) Allah secara utuh di dalam seluruh hidup kita sesuai doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita, “Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Akhirnya, bukan lagi I did it my way in Your name tetapi Your way is my way.

 

Diana Samara

Pembina FIRES