Natal yang Abadi

Natal telah tiba! Pohon Natal sudah dari jauh-jauh hari menghiasi tempat-tempat keramaian. Ornamen dan simbol Natal yang dikenal umum juga dipasang karena sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Natal di setiap tahunnya. Beberapa tempat, yang berusaha menunjukkan sisi Kristen dari Natal, memasang miniatur kandang hewan dengan patung seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang mengenakan pakaian Timur Tengah abad pertama, sedang melihat ke palungan dengan bayi di dalamnya. Kemudian di sekitarnya ada patung sekumpulan laki-laki berpakaian seperti gembala dan patung “orang bijak” yang membawa unta bergabung untuk membungkuk kepada bayi ini. Ada sebuah kutipan narasi khotbah Natal di Barat yang mungkin menjadi pengertian kebanyakan orang hari ini, mengisahkan cerita tentang bayi ini dengan kalimat-kalimat indah. Judul bahasa Inggrisnya adalah “One Solitary Life“[1]:

Dia lahir di suatu desa yang tidak terkenal 

Anak dari seorang perempuan desa 

Dia dibesarkan di desa lain yang tidak terkenal 

Di mana Dia bekerja di toko tukang kayu 

Sampai Dia berusia tiga puluh tahun ketika opini publik berbalik menentang-Nya

Dia tidak pernah menulis buku 

Dia tidak pernah menjadi pejabat 

Dia tidak pernah kuliah 

Dia tidak pernah mencari peluang karier di kota besar 

Dia tidak pernah melakukan perjalanan lebih dari dua ratus mil dari tempat Dia dilahirkan 

Dia tidak pernah melakukan hal-hal yang sudah disebutkan di atas yang biasanya dikaitkan dengan “kesuksesan”

Dia tidak memiliki gelar apa pun, selain diri-Nya sendiri 

Dia baru berusia tiga puluh tiga

Teman-teman-Nya melarikan diri

Salah satu dari mereka menyangkal Dia 

Dia diserahkan kepada musuh-musuh-Nya 

Dan melewati ejekan dalam suatu persidangan 

Dia dipaku di salib di antara dua perampok 

Ketika sekarat, algojo-Nya membuang undi untuk memperoleh pakaian-Nya yaitu satu-satunya properti yang Dia miliki di bumi 

Saat Dia mati

Dia dibaringkan di kuburan pinjaman orang melalui belas kasihan seorang teman 

Sembilan belas abad telah datang dan pergi 

Dan hari ini Yesus adalah tokoh sentral umat manusia 

Dan pemimpin kemajuan umat manusia 

Semua tentara yang pernah berbaris 

Semua angkatan laut yang pernah berlayar 

Semua parlemen yang pernah bertakhta 

Semua raja yang pernah memerintah digabung menjadi satu 

Belum pernah memengaruhi kehidupan umat manusia di bumi 

Lebih kuat dari hidup satu orang itu

Kutipan khotbah “One Solitary Life” yang begitu indah mengisahkan dengan haru gaya hidup sederhana dari Anak ini. Dikatakan bahwa meskipun sederhana, Anak ini dikenal di seluruh dunia sebagai manusia terbesar yang pernah hidup di dunia. Kisah ini indah, tetapi begitu sempit dan begitu kosong. Mengapa kosong? Kisah ini membuat orang bersimpati dengan Dia, tetapi kisah seperti ini tidak menggambarkan seorang yang layak dipuja dan disembah. Dia dilahirkan dari seorang perempuan, dibesarkan di desa, dan berkata-kata dalam bahasa manusia. Secara fisik material, Dia tidak memiliki hal yang begitu hebat.[2] Apa bedanya Anak ini dengan sekadar anak orang miskin yang kebetulan menjadi artis yang sangat terkenal? Bahkan dalam narasi itu dikatakan bahwa Anak ini, ketika Dia berusia tiga puluh tiga tahun, dikuburkan karena belas kasihan seorang teman. Kita setuju hidup Dia begitu agung, tetapi dalam narasi ini, apa alasan yang membuat orang seperti itu harus disembah?

Dalam karyanya yang melawan Theologi Liberal, J. Gresham Machen mengontraskan pandangan liberalisme tentang Kristus dengan pandangan alkitabiah. Dalam karya itu, dia mengatakan:

Yesus liberal, terlepas dari semua upaya rekonstruksi psikologis modern untuk membungkusnya menjadi Yesus yang hidup, tetap menjadi sosok panggung yang dibuat-buat.[3]

Sayangnya, “sosok panggung yang dibuat-buat” adalah semua pengertian yang dapat ditawarkan Natal ala dunia. Lebih buruk lagi, pandangan “One Solitary Life” ini, seperti theologi liberal, sama sekali tidak memberi ruang apa pun bagi makna Natal yang sesungguhnya. Yang tersisa hanyalah ornamen-ornamen, patung-patung, atau tari-tarian di acara Natal. Tidak ada yang memberikan jawaban untuk menyelesaikan penderitaan akibat dosa dan keputusasaan umat manusia hidup di dunia; pandangan “One Solitary Life” tidak memberikan Juruselamat. Itu sebabnya, kita harus memikirkan tentang Dia sedalam-dalamnya. Kita perlu mengembalikan pandangan alkitabiah tentang Kristus, termasuk menyatakan kembali yang mungkin kita sudah tahu, yaitu kebenaran yang mulia dari inkarnasi, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya yang ajaib.

Inkarnasi Allah Anak adalah puncak tujuan keseluruhan sejarah penebusan, baik sebelum Dia berinkarnasi maupun setelah Dia berinkarnasi. Lebih khusus lagi, inkarnasi-Nya adalah klimaks dari kisah penebusan yang sebelumnya dirindukan dalam Perjanjian Lama. Namun, Kristus tidak pernah berdiam diri saja sebelum Dia turun ke dunia. Kristus, Anak Allah, sudah pernah berkali-kali menampakkan diri, dan sering kali juga secara fisik, untuk menyelamatkan umat-Nya di dalam Perjanjian Lama.

Kehadiran Allah yang berinkarnasi, kata Bavinck, sudah “dimulai secara langsung setelah kejatuhan”.[4] Kita melihat Tuhan Allah berjalan di taman pada hari yang sejuk, datang untuk menghakimi dosa Adam dan Hawa. Meredith Kline menyebut ini sebagai “The Primal Parousia“. Ini adalah Hari Tuhan yang sekaligus menunjuk ke depan kepada Akhir Zaman dalam sejarah manusia. Dalam kedua “hari” itu, di awal dan di akhir, Anak Allah yang sama datang untuk menghakimi.

Perjanjian Baru juga mengonfirmasi dan menunjukkan kepada kita bahwa Allah Anak hadir dalam Perjanjian Lama. Para penulis Perjanjian Baru sering mengambil bagian-bagian yang merujuk kepada Yahweh dalam Perjanjian Lama dan, tanpa ragu-ragu, merujuknya kepada Kristus (lih. Rm. 9:33; 14:11; 1Ptr. 3:15). Kitab Yudas memberitahukan kita secara eksplisit bahwa Yesuslah yang menyelamatkan anak-anak Israel keluar dari tanah Mesir (Yud. 1:5). Rasul Yohanes memberitahukan kita juga bahwa penglihatan tentang keagungan dan kekudusan yang dilihat Yesaya di Bait Suci (Yes. 6:1ff) adalah penglihatan tentang kemuliaan Allah Anak. 

Yesus sendiri juga mengonfirmasi dalam salah satu dari banyak konfrontasi-Nya dengan orang-orang Farisi, memberitahukan mereka bahwa Dialah yang dibicarakan oleh seluruh Perjanjian Lama; ”Aku adalah Aku” (Yoh. 8:58). 

Realitas tentang kedatangan Allah Anak dari awal penciptaan hingga akhir, dan juga inkarnasi-Nya pasti memiliki implikasi bagi kita. Misalnya untuk menjawab kritik yang populer diucapkan, yaitu bahwa Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang kejam dan pendendam. Pernyataan ini adalah pernyataan yang bertentangan dengan prinsip bahwa Allah Anak adalah fokus penantian dalam Perjanjian Lama. Richard Dawkins, dengan angkuh mengatakannya seperti ini: 

Allah dalam Perjanjian Lama bisa dibilang adalah karakter yang paling tidak layak untuk diceritakan dalam semua cerita fiksi yang ada. Karakternya adalah: tukang cemburu dan bahkan bangga mengakui hal itu, tidak adil, pengontrol yang tidak punya belas kasih; pendendam; haus darah; rasis, pembunuh bayi, genosida, megalomaniak, sadomasokistik, dan tukang bully.[5]

Dawkins tentu punya alasan yang rumit bagi kita tentang mengapa ia berpikir secara demikian tentang Allah, tetapi menarik untuk kita lihat bagaimana tanggapan Dawkins jika dia menyadari bahwa Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang sama yang diumumkan oleh para malaikat pada Natal pertama itu. Scott Oliphint mengatakan bahwa apologetika kita tidak akan kuat ataupun masuk akal secara theologis kepada orang yang mempertanyakan iman kita, kecuali kita mampu menunjukkan kontinuitas penebusan Allah di sepanjang sejarah manusia.[6]

Allah Anak menderita sehingga penderitaan suatu hari akan berhenti. “Dalam segala kesesakan kita, Dia turut merasakannya” (Yes. 63:9). Tidakkah fokus kepada Allah Anak yang merendahkan diri sepanjang sejarah penebusan telah menunjukkan kepada kita kebenaran Allah yang begitu indah? Allah apa pun tidak merendahkan diri seperti Allah Tritunggal yang dinyatakan dalam Alkitab dan tidak mungkin menjadi Allah sejati yang layak disembah. 

Saat kita menghadapi perdebatan dan diskusi menjawab keberatan orang lain tentang siapakah Allah itu, apakah Dia ada dan peduli dengan kesulitan di dunia ini, seperti apa karakter-Nya, kita seharusnya bisa menolong mereka untuk mengenali bahwa Dia yang datang, yang merendahkan diri-Nya dengan mengambil natur manusia, adalah pribadi yang sama yang secara aktif hadir secara fisik ke dalam dunia, untuk menebus orang berdosa untuk diri-Nya sendiri sejak saat dosa masuk ke dalam dunia.

Sama seperti anak-anak kecil yang menerima paket kado yang dibungkus rapi dan ditaruh di bawah pohon, yang dengan cemas menunggu hari ketika kado itu dapat dibuka, demikian juga umat Tuhan dalam Perjanjian Lama, melihat Anak Allah seolah-olah seperti kado yang masih dibungkus untuk sementara. Sebagian mereka dengan cemas menunggu hari ketika kado itu dibuka, sehingga mereka dapat melihat dengan jelas karunia besar yang telah diberikan kepada dunia ini.

Pribadi yang berinkarnasi ini, “one solitary life” ini, bukanlah orang random yang kebetulan memiliki pengaruh di seluruh dunia saja. Dia sungguh adalah Anak Allah yang merendahkan diri untuk menebus sejak Kejadian 3 sampai akhir zaman. Berita para malaikat tidak mengejutkan bagi mereka yang mengetahui isi Kitab Suci. Berita itu seharusnya adalah berita bahwa pribadi yang dahulu sering menampakkan diri-Nya, yang bekerja di dalam sejarah, yang mengintervensi, yang menghibur, yang menegur, dan yang menebus sepanjang sejarah penebusan, akhirnya sudah datang dalam rupa manusia yang berdaging dan berdarah. Pembelaan kita terhadap iman Kristen bisa bertahan kuat ketika kita mampu menunjukkan bahwa keutuhan fokus Kitab Suci adalah pada revelasi Allah Tritunggal melalui Allah Anak.

Perjanjian Lama menantikan dengan rindu klimaksnya penebusan Allah. Demikian juga sejarah yang berjalan setelah turunnya Yesus Kristus ke dalam dunia, terus melihat kembali dan menjadikan hari itu sebagai titik referensi. Sama seperti halnya penantian Yesus Kristus yang turun ke dalam dunia, kita dengan tidak sabar menunggu hari ketika Dia akan datang kembali dengan segala kemuliaan-Nya dan membawa kita selamanya untuk bersama-Nya.  

Natal, yaitu turunnya Allah ke dalam dunia untuk bersama-sama dengan kita, hanyalah awal dari akhir. Akhir bagi kita adalah Natal yang abadi[6]:

Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Why. 21:3-4)

Hanshen Jordan

Pemuda FIRES

Endnotes:

[1] Adaptasi dari khotbah, “One Solitary Life” oleh Dr. James Allan Francis © 1926.

[2] Stephen Tong, Siapakah Kristus? (Surabaya: Momentum, 1992).

[3] J. Gresham Machen, Christianity and Liberalism, New Edition (Grand Rapids, MI; Cambridge, U.K.: William B. Eerdmans Publishing Company, 2009), hlm. 98.

[4] Herman Bavinck, Reformed Dogmatics: Prolegomena, ed. John Bolt, trans. John Vriend, vol. 1 (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2003), hlm. 344.

[5] Richard Dawkins, The God Delusion (Boston, New York: Mariner Books, 2008).

[6] Scott Oliphint, The End of Christmas, https://www.reformation21.org/articles/the-end-of-christmask-scott.php (Reformation 21, 2015).