Sejarah Peradaban Manusia, Wahyu, dan Kekristenan

Pernahkah kita menghadapi pertanyaan mengenai asal-usul manusia? Jika tidak ada sumber pengetahuan di luar manusia yang lebih awal dari manusia, kita akan terus menebak dan membuat suatu gambaran manusia primitif yang tidak masuk akal di awal sejarah. Sesungguhnya kita tidak mungkin bisa menemukan jawabannya juga dengan penyelidikan binatang, biologi, geologi, ataupun paleontologi. Semuanya tidak memberikan kita kepuasan atau kepastian apa pun mengenai asal-usul satu ras yang disebut manusia. Maka untuk mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan di atas, manusia umumnya akan bersandar kepada tradisi.

Tradisi adalah saksi yang dimiliki umat manusia. Cerita turun-temurun adalah sumber pengetahuan tertua umat manusia. Dari masa lalu, tradisi adalah metode yang digunakan orang untuk melihat dan mengetahui sedikit tentang masa lalu. Tradisi ini mencakup baik lisan maupun tulisan. Para Bapa Gereja dipanggil keluar dari antara orang yang tidak percaya dan memperoleh kebijaksanaan asal-usul manusia dari theologi yaitu Logos (Firman) yang kekal. Agustinus berkata bahwa kekristenan telah ada sejak awal umat manusia, dan doktrin Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu dan terang dari segala pengetahuan telah diketahui oleh setiap orang bijak dan segala filsuf dari berbagai bangsa. Di masa lalu, kebenaran dan kebijaksanaan yang ditemukan di antara orang non-Kristen umumnya berasal dari wahyu primitif, dari penerangan firman, dari pengenalan literatur Perjanjian Lama, dan dari anugerah Tuhan.

Penemuan-penemuan arkeologi terbaru beberapa tahun terakhir akan Babel dan Asyur memungkinkan kita melacak lebih jauh ke belakang tradisi yang luas ini yang ditunjukkan oleh budaya dan sejarah kepada kita. Penemuan ini seakan-akan menjadi suatu dunia baru yang bangkit kembali dari kuburan. Sebagaimana ilmu pengetahuan alam telah memperluas cakrawala kita di atas, di bawah, dan di sekitar kita, demikian pula ilmu sejarah telah memperluasnya ke masa lalu yang “hampir” tak terbatas. Mereka yang mengetahui nilai sejarah dalam Kitab Kejadian tentu akan lebih tepat mengertinya. Namun bagi banyak orang, sesungguhnya dunia di belakang zaman Musa tidak ada apa-apanya selain dunia barbarisme yang rusak. Namun pandangan ini telah berubah. Kita bisa menembus ke masa lalu di bawah bimbingan penemuan hasil penggalian sejarah yang ada, bukan lagi imajinasi ataupun dongeng, melainkan peninggalan sejarah. Kita menemukan fakta kehidupan di Asia Kuno, yang tidak membuktikan adanya makhluk setengah binatang dan setengah manusia ataupun manusia yang bermoral seperti binatang, melainkan kita justru menemukan jejak-jejak kehidupan orang-orang yang sangat beradab dengan budaya yang berkembang dengan kayanya.

Kita menemukan bahwa orang Asia Kuno membuat teknologi tanah yang dapat menjaga kesuburan tanah dalam iklim kering, dengan saluran irigasi yang sangat teratur dan dijaga oleh pemerintah waktu itu. Kita juga bisa menemukan kode-kode tulisan Hammurabi yang berisi peraturan tentang pernikahan, hubungan antara orang tua dan anak-anak, orang bebas dan budak, tentang perlindungan kehormatan dan kehidupan, sewa-menyewa, kepemilikan feodal, utang piutang, warisan, dan peradilan pidana. Perdagangan dan seni menghasilkan kemakmuran yang melimpah; arsitektur dan patung, ahli logam, ahli pembuatan emas, pembuat tembikar, dan pemahat batu menghasilkan karya-karya yang sampai sekarang membangkitkan kekaguman kita, dan bahkan pada saat itu memiliki kekayaan bentuk yang sangat besar.

Bahkan tidak sedikit yang berpendapat, jika dibandingkan dengan peradaban Babilonia, Mesir atau peradaban setelahnya sejauh yang kita ketahui, peradabannya tidak menunjukkan gambaran kemajuan dan perkembangan dibanding peradaban Babilonia, tetapi justru kemunduran dan kemerosotan. Apa yang sejarah tinggalkan kepada kita, secara kontra memberikan kesan kemerosotan dibanding perkembangan peradaban, baik dalam nilai seni, sains, agama, maupun segala bidang lain yang makin terkonfirmasi hari demi hari.

Tentu saja kita sulit menerima fakta bahwa manusia zaman dahulu lebih beradab daripada kita hari ini. Kita lebih mudah untuk membayangkan bahwa manusia zaman dahulu masih mirip seperti hewan berdiri. Jikalau masih ada peradaban, itu hanya sebagian kecil dari manusia yang berhasil “evolusi” saja di zaman dahulu. Bagaimanapun juga, pemikiran tersebut hanyalah suatu fiksi dan tidak didasarkan pada fakta sejarah. Faktanya adalah bahwa di mana-mana dan selalu, sejauh penyelidikan dapat membawa kita, ada perbedaan esensial antara manusia dan binatang. Sifat manusia adalah sui generis: manusia memiliki karakter dan atributnya sendiri, tidak pernah bisa disamakan atau mungkin diwariskan dari binatang. Jika manusia zaman dahulu seperti binatang, tentu sudah ada bukti yang membenarkan hipotesis ini dan diterima secara praktis juga oleh semua orang. Tetapi faktanya, tidak ada yang bisa membuktikan atau mau secara praktis mengikuti hipotesis tersebut. Hal ini sekali lagi menyatakan bahwa pasangan pertama manusia adalah diciptakan oleh Allah, yang hidup secara tiba-tiba dari tanah yang “bermutasi” secara sempurna menjadi manusia yang sangat beradab, sempurna, dan yang menjadi pemimpin dari satu keluarga besar. Manusia pertama bukanlah berasal dari binatang terhebat mana pun.

Dengan demikian, sangat logis jika ras manusia berasal dari satu darah. Tentu saja pada mulanya kelompok manusia ini tinggal bersama, dan ketika mereka pergi untuk memenuhi seluruh bumi, mereka pasti juga membawa konsepsi dan kebiasaan dari nenek moyang ke seluruh bagian dunia. Kesatuan ras manusia inilah yang menjadi dasar kesatuan kodrat manusia, tentu termasuk di dalamnya tradisi umum yang asli. Ada fenomena yang mengarah kembali, dengan kemungkinan besar, kepada asal yang sama. Di antara ini kita menemukan, salah satunya, pengetahuan tentang satu Wujud tertinggi, yang ditemukan di antara berbagai bangsa. Kita tidak memiliki kesaksian sejarah tentang perkembangan politheisme menjadi monotheisme murni. Ketika politheisme tidak lagi memuaskan kalangan intelektual, politheisme diubah menjadi pantheisme, yang memiliki kesamaan dengan politheisme, namun dewa yang begitu banyak di alam tersebut “dilarutkan” menjadi satu sebagai satu dewa ultimat.

Di sisi lain, kita memiliki banyak contoh historis tentang monotheisme yang sebenarnya tidak berkembang, tetapi secara bertahap merosot menjadi politheisme dan polidemonisme. Ada gereja-gereja Kristen di masa lalu dan sekarang yang memberikan bukti dari pernyataan ini. Bahkan di antara orang-orang yang paling berbudaya, ada beberapa yang di zaman kita sekarang tidak hanya beralih ke agama-agama tertentu, tetapi juga ke bentuk takhayul dan sihir. Terkadang bahkan para theolog dan filsuf lebih memilih politheisme daripada monotheisme. Bavinck menyebut seorang tokoh bernama Goethe yang mengatakan bahwa dia tidak puas dengan satu sistem, tetapi bergiliran menjadi monotheis, politheis, dan pantheis.[1] Kita juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri pengakuan teoretis tentang iman kepada satu Tuhan, tetapi disertai dalam praktiknya dengan pemujaan kepada banyak malaikat dan orang-orang kudus.

Demikianlah dalam segala hal manusia di mana pun selalu terikat pada sifatnya, pada asal-usulnya, dan masa lalunya. Setiap manusia memiliki kesamaan. Manusia mengetahui gagasan tentang Tuhan sebagai sumber segala sesuatu yang Mahakuasa dan bijaksana, dunia yang didirikan oleh kebijaksanaan, ketertiban dan pemerintahan hukum, kesatuan dan keselarasan ciptaan, makna simbolis dari segala sesuatu, perbedaan antara dunia yang terlihat dan yang tidak terlihat, pertentangan antara kebenaran dan kepalsuan, perjuangan antara yang baik dan yang jahat, ingatan akan zaman keemasan dan kemerosotan yang terjadi selanjutnya, murka para dewa dan harapan akan rekonsiliasi, asal mula Ilahi dan tujuan manusia, kekekalan jiwa dan harapan untuk lolos dari penghakiman, pahala dan hukuman di akhirat.

Semua ide mendasar ini membentuk awal dan dasar sejarah, prinsip dan titik awal semua agama, moralitas, dan hukum, ikatan dari semua hubungan sosial, benih dan akar dari semua ilmu pengetahuan dan seni, kesatuan logika, fisika, dan etika, dari yang benar, yang baik, dan yang indah.

Semua dasar ini diberikan sejak awal dalam sifat manusia. Sifat ini diwariskan dari generasi ke generasi, dan pada saat yang sama didasarkan dan tertanam dalam setiap natur manusia. Mereka semua menunjuk kembali ke asal-usul Ilahi: “Semua pengetahuan adalah berasal dari Ilahi.” Pengetahuan dalam hal ini berasal dari “adanya wahyu Allah”.

Kita bisa melihat bahwa asal-usul manusia ditopang oleh Allah. Allah memelihara sejarah dan membukakan realitas yang lebih mengagumkan mengenai pekerjaan Allah dan wahyu-Nya di sepanjang sejarah manusia. Allah memberikan pengetahuan baik dari zaman dahulu sampai sekarang, dan natur manusia untuk menganut agama juga berasal dari Allah dari zaman dahulu sampai sekarang. Semua penemuan sejarah yang terus bertambah harusnya menyadarkan kita, bahwa Allah terus bekerja untuk membimbing manusia melihat kepada pekerjaan-Nya, dan pada akhirnya untuk mengakui karya keselamatan-Nya di atas kayu salib, dan dari saliblah kita dapat melihat kemuliaan Allah terpancar nyata.[1]

Hanshen Jordan

Pemuda FIRES

Endnotes:

[1] Herman Bavinck, Philosophy of Revelation, A New Annotated Edition (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2018).